Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Saturday, 31 December 2011

New Year & SoS Song List (Vol. 1)

Tidak terasa kalender sudah memasuki penghujung tahun. Hari ini hari terakhir di tahun 2011. Saatnya melihat kembali tahun 2011, bercermin dari setiap kejadian yang terjadi dan bersiap untuk menyongsong hari-hari di tahun 2012.

Berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi, melambungkan harapan yang lebih tinggi, dan bekerja lebih keras. Oh, tidak lupa juga menjadi lesbian yang lebih lesbian lagi. (Eh?!)

Another Day, another Month, another Year, another Smile, another Tear, another Winter, a Summer too, but there will be never another You!
May lovely, happy times decorate this time of season. May warm, special memories brighten your New Year, may the wonder of Christmas be with you forever.
Have a very Happy New Year to all of you. 

Dan, oh, tiba-tiba terbersit ide untuk memberikan link lagu-lagu yang pernah dipasang di blog ini selama tahun 2011. Gue memilih 12 lagu sebagai simbol 12 bulan, karena sepertinya ada lebih dari 12 lagu yang pernah gue pasang di sini. Untuk itu, mulai tahun depan setiap bulan blog ini akan memainkan satu lagu. Dan nantinya akan di-posting di akhir tahun 2012.

So, here's the list.Go grab it fast, ladies, before it reaches their 100 downloads limit.

 

Secret on Screen Song List (Vol. 1)

Wednesday, 28 December 2011

Ketika PMS Melanda

Sepanjang hari ini langit mendung. Udara dingin karena angin terus berhembus dan sesekali hujan turun tapi tidak pernah deras. Cuaca seperti ini biasanya membuat selera makan gue meningkat. Sekalipun sudah diisi dengan sepiring bubur di pagi hari dan nasi beserta lauk pauk di siang hari, perut masih saja bernyanyi minta makan. Jadi ketika diajak makan bakso oleh si Bungsu, gue mau-mau saja. Oh, baiklah. Gue mengaku saja. Ini karena gue sedang PMS, bawaan kepengen makan melulu.

Tempat makannya cukup sepi saat kami tiba. Kami mengambil tempat di samping dua orang pelanggan yang tengah menimakti baksonya. Adik gue memesan mie bakso dan es jeruk, sementara gue cukup dengan bakso dan es jeruk saja.

"Jadi perempuan itu lebih enak," kata salah seorang pelanggan di samping kami kepada temannya. "Mereka tidak perlu bekerja, hanya tinggal di rumah, dan tahunya cuma minta uang sama suami. Tidak seperti kita, para lelaki, yang selalu pusing memikirkan biaya. Pokoknya uang harus ada. Ada atau tidak, harus diberi uang."

Telinga gue langsung menegang saat mendengar perkataan pria tersebut. Ya ampun, ini orang tidak sadar apa ya, gue ini perempuan? Kurang perempuan apa coba gaya gue? Berani-beraninya bicara seperti itu. Seketika emosi gue langsung meletup. Wajah gue memerah dan nafas mulai memburu.

Dan inilah yang terjadi selanjutnya:

Gue mengambil gelas es jeruk di meja, berdiri, lalu menumpahkannya di atas kepala pria itu. Dia melompat karena kaget dan tanpa sengaja menyambar mangkok bakso di depannya. Isinya tumpah ke celananya.

"Apa-apaan kamu ini?" bentaknya. Matanya melotot. Es jeruk menetes-netes ke wajahnya.

"Apa katamu tadi?" balas gue, sengit. Gue berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang, membalas tatapannya. "Jadi perempuan itu enak? Tahunya cuma minta uang? Kau pikir jadi ibu rumah tangga itu gampang? Bahkan setelah menahan siksa selama sembilan bulan mengandung dan melahirkan, setiap hari harus memikirkan menu makanan, mengurus keperluan anak-anak, melayani suami, dan membersihkan rumah. Belum lagi harus diet karena berat badan naik hingga sepuluh kali lipat. Kau pikir itu mudah? Atau ketika sekujur tubuhmu sakit dan emosimu meluap-luap selama hampir dua minggu setiap bulannya, kau pikir itu menyenangkan?

"Apa menurutmu emansipasi wanita itu, hah? Pengambilalihan tugas-tugas kaum lelaki? Sehingga adalah wajar jika kaum perempuan bekerja keras membanting tulang, sementara para lelaki hanya menganggur? Tidakkah kau melihat ada kaummu yang memperbudak kami? Atau kaum pekerja perempuan yang ikut bekerja untuk membantu suaminya? Belum lagi harus dipermainkan seenaknya oleh suaminya? Itu yang kau maksud?"

Gue mengucapkan semua itu dalam satu tarikan nafas. Pria itu masih menatap gue, terdiam. Dia menelan makanannya yang sedari tadi hinggap di mulutnya. Dia menggumam kata maaf lalu mengalihkan pandangan. Gue menoleh ke arah pria yang satunya lagi dan dia cepat-cepat menunduk. Takut bernasib sama seperti temannya.

Gue kembali duduk dan memesan es jeruk lagi. Si Abang Tukang Bakso cepat-cepat membuatkan es jeruk dan meletakkannya di meja. Semua orang kembali makan dalam keadaan hening, kecuali pria itu. Dia sibuk membersihkan bajunya dengan tisu. Dan saat temannya selesai makan, secepat kilat mereka membayar lalu pergi tanpa menoleh sedikitpun ke arah gue.

***
Yeah well, tentu saja itu hanya terjadi dalam imajinasi gue. Meskipun kesal saat mendengar perkataan pria itu, tapi gue memilih untuk diam dan menghabiskan makanan gue, demi menghormati semangat damai Natal dan menyongsong Tahun Baru. Sementara adik gue asyik bermain "Smurf" di HP-nya.

Monday, 26 December 2011

More about the Anxiety

Gue setuju dengan yang dikatakan Gre atau Greek atau Anonymous pada komentar di dua tulisan sebelumnya. Bahwa gue memiliki hal-hal yang gue pikirkan. Dan untuk beberapa hal gue tidak bisa membagi pikiran gue dengan orang lain.

Mungkin bedanya jika Gre sulit menemukan seseorang untuk bisa diajak berdiskusi karena keadaannya dan dikarenakan keterbatasan bahasa, tidak begitu dengan gue. Gue memiliki teman-teman yang gue yakin bersedia untuk berdiskusi atau sekedar mendengarkan isi pikiran gue, tanpa ada keterbatasan bahasa.

Masalahnya adalah justru gue sendiri yang kurang bisa mengutarakannya. Bukan karena bahasa melainkan karena gue tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang gue pikirkan. Kalaupun gue berhasil, mungkin hanya pada sebatas kalimat "Gue sedang cemas." Jika ditanya kenapa, maka gue tidak bisa menjelaskan lebih lanjut. It's at the tip on my tongue, but I just can't make it into words. Mungkinkah seperti ini juga yang kamu rasakan, Gre?

Thingking is the only way I know that my brain is still working, yes. Namun tidak seperti biasanya, banyak pikiran di kepala gue saat ini memerangkap gue ke dalam sebuah kecemasan. Kamu tahu, seperti saat kamu cemas sebelum menghadapi ujian Matematika. Kamu ingin agar hari cepat berlalu sehingga kamu bisa segera mengikuti ujian dan mengetahui hasilnya. Dengan begitu kamu bebas dari kecemasan yang menyelimuti.

Entah sampai kapan keadaan seperti ini akan berlangsung. Satu-satunya yang memberikan rasa lega diantara himpitan kecemasan itu adalah sebuah pikiran - atau lebih tepatnya keyakinan - bahwa suatu saat semua ini akan berakhir. Dan di saat itu terjadi, maka menghilanglah semua rasa cemas yang gue rasakan. Lenyap tanpa bekas, seolah ia tidak pernah hadir dan menghantui pikiran gue.

Dan hidup pun akan terus berlanjut.

Ps. Thanks to Gre, (you are officially Gre to me) for your comment. It makes me feel not alone when it comes to what you call "Lautan Pikiran." Hehe....

Christmas 2011

Sudah menjadi tradisi kalau setiap tahun sebelum Natal kami ziarah ke makam Oma dan Oma buyut. Jadi kemarin kami ziarah, sekalian membersihkan makam yang sudah ditumbuhi rumput liar lalu berdoa.

Banyak orang yang juga datang saat kami tiba di TPU. Sama seperti kami, mereka membersihkan makam, berdoa, bahkan ada yang membawa makanan lalu makan di sana. Makam-makam berjajar dan bentuknya seragam yang dirancang sedemikian rupa sehingga para peziarah merasa nyaman. Dan setiap tahun gue ke sana, pasti tercengang dengan banyaknya jumlah makam baru yang bertambah.

Setelah ziarah, kami siap-siap mengikuti misa Malam Natal. Gue kan harus menyanyi, ingat? Hehe. Misa berjalan khidmat dan nyanyian pun lancar. Awalnya agak gugup sih. Tapi setelah Kyrie, gue jadi rileks. Ya, setidaknya tidak ada nada yang melenceng dari yang seharusnya.

Dan tepat di hari Natal - hari ini - well, tidak ada yang spesial-spesial amat. Pagi hari gue bantu-bantu masak di dapur lalu siangnya makan bersama. Juga sambil menjamu tamu yang kebanyakan kenalan keluarga dan beberapa saudara sampai malam tadi.

Jadi Natal tahun ini berjalan seperti biasanya dan cerita mengenai pernikahan yang batal gue nobatkan sebagai "Story of the Year," karena mereka masih saja membahas mengenai masalah itu.

Oh, tidak lupa juga gue ingin mengucapkan Selamat Hari Natal untuk teman-teman yang merayakan. Semoga damai Natal selalu membawa damai untuk kita semua. Amin.

Saturday, 24 December 2011

Unexplained Anxiety

Here's the thing: if you're living in a house with extended-family, practically you have lesser private time. And if you're running a business with your parents, meaning you're not only doing your work, but also do chores for them. That way you barely have time for yourself.

Begitulah kira-kira keadaan gue sehari-hari. Maka tidak mengherankan apabila setiap kali tiba di rumah pada malam hari, hal yang paling ingin gue lakukan adalah segera mandi kemudian tidur. Namun satu-satunya saat dimana gue bisa menikmati privasi dan waktu untuk diri gue sendiri adalah saat-saat sebelum tidur itu. Maka rasanya terlalu berharga jika hanya gue gunakan untuk tidur.

Entahlah, mungkin terdengar aneh bagi orang lain, tapi rasanya menyenangkan bisa menyendiri untuk sesaat. Maksudnya setelah seharian penuh bekerja dan berinteraksi dengan orang lain atau melakukan ini-itu, hal yang paling gue inginkan adalah menikmati saat gue akhirnya bisa sendirian sebelum tidur.

Saat seperti itu biasanya gue gunakan untuk membaca buku, menulis apa saja yang bisa gue tulis, blogging, atau hanya berbaring dan berpikir sambil mendengarkan lagu. Untuk kegiatan yang terakhir itu, kadang-kadang membuat gue hanyut dalam pikiran.

Selalu ada saja hal-hal yang bisa dipikirkan saat malam menjelang tidur. Macam-macam pikiran yang melintas, misalnya mereka ulang kejadian hari ini atau mengingat-ingat kembali apa yang gue lakukan. Sampai dengan hal-hal yang nampaknya sedikit berlebihan seperti apa yang akan terjadi di masa depan atau bagaimana kehidupan akan bergulir. Bahkan kadang-kadang gue berpikir bagaimana rasanya menjadi salah satu karakter dalam buku yang sedang gue baca. To sum it all, all of my thoughts are about life, future, destiny, faith, people I meet, etc.

Seringnya pikiran-pikiran tersebut seperti lagu pengantar tidur dan mereka akan hilang dengan sendirinya saat gue tidur. Dan apa yang gue pikirkan itu terasa bodoh di pagi harinya. Atau malah saat gue bangun, gue sama sekali tidak ingat satupun apa yang gue pikirkan semalam.

Tapi selama beberapa malam terakhir ada sesuatu yang mengganggu pikiran gue. I can't quite point that out what it is. Entah itu apa. Dan setiap kali melintas dalam pikiran, gue merasa cemas. Bahkan tidur pun gelisah. Kadang gue berdoa, di lain waktu gue membiarkan diri tenggelam dalam pikiran.

Apakah gue mengalami semacam "anxiety syndrome" atau semacamnya? If there's some kind of psychological explaination, please, do tell me. Ataukah hanya karena gue terlalu hanyut dalam pikiran gue? (Masokis sekali ya?) Apapun itu, hopefully it comes to an end soon.

Tuesday, 20 December 2011

Sekilas Sahabat

Tadi baru saja gue mengakhiri percakapan yang berlangsung di telepon dengan seorang teman. Kami bersahabat sudah sejak awal masuk kuliah. Bukan hanya berdua saja, tapi bertujuh.

Sepertinya memang takdir yang mempertemukan kami. Diantara sekian banyak mahasiswa baru di kampus dulu, gue malah nyantol dengan enam anak manusia yang mengagumi band-band beraliran J-Rock, meskipun mereka juga menikmati lagu-lagu J-Pop. Jadi ingat dulu kalau nginap bareng, pasti acaranya menonton DVD live konser band-band yang mereka gandrungi.

Konon katanya, awal persahabatan kami dimulai dengan sebuah kata yang tanpa sengaja terucap diantara tiga orang, yaitu: "hentai". Dari situlah mulai terbentuk sebuah pengertian yang kemudian mengarah pada kecocokan satu sama lain: sama-sama pencinta je-Jepangan. Dari tiga orang tersebut berkembang menjadi lima, kemudian tujuh. Gue merupakan anggota kelima.

Diantara mereka, hanya gue yang kurang begitu mengerti dengan segala hal yang berbau je-Jepangan. Pengetahuan gue seputar hal itu hanya pada komik dan anime Inuyasha saja. Setelah mengenal mereka, baru gue mulai mengenal dorama dan beberapa band-band J-Rock dan J-Pop. Soal J-Pop, gue satu selera dengan mereka. Tapi soal J-Rock, semacam Dir en Grey, it's out of my taste. Gue hanya tidak paham dengan jenis lagunya. Entah apa yang mereka nyanyikan, dan melodi lagunya tidak beraturan. If growling is what they call sing, then Kyo must be the best singer. Ever. Hehehe, peace!

Namun meskipun sedikit berbeda dalam hal selera musik, tentu tidak menghalangi persahabatan yang terjalin selama tujuh tahun lebih ini. Dalam berbagai hal, kami memiliki berbagai kesamaan; we love the same people and we don't like the same people. Kesamaan yang juga membentuk sebuah kecocokan dan saling pengertian sehingga di saat kami berkumpul takkan ada satu pun orang lain yang akan memahami lelucon kami. Mereka hanya akan melihat sekumpulan mahasiswi yang tertawa terbahak-bahak dengan mulut yang dibuka lebar-lebar. Mungkin mereka mengira kami ini sekumpulan kuda nil yang berhasil kabur dari Taman Safari dan merubah wujud menjadi perempuan-perempuan cantik.

Dari antara mereka berenam, gue paling jarang berkomunikasi dengan Bombay ini. Semua tahu bahwa Bombay memiliki sejarah hubungan yang buruk dengan HP. Jadi tidak ada satupun yang mau repot-repot menghubunginya bila itu hanya sekedar menanyakan kabar. Bisa dipastikan balasannya akan tiba sehari sesudahnya. Baru sekali ini kami mengobrol. Gue telepon untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Juga sekalian untuk mengomelinya karena tidak memeberitahu kami semua saat hendak sidang skripsi dan wisuda.

Bombay. Itu julukan yang diberikan oleh kakak perempuannya, yang kemudian kami amini bersama. Bombay karena dia benci dengan bawang. Segala jenis bawang. Maka kami semua memahami jika dia membutuhkan waktu yang lebih lama dari kami semua saat menghabiskan makanannya, karena harus menyingkirkan satu per satu bawang goreng - bahkan sampai yang terkecil sekalipun.

Gue dan Bombay sebenarnya yang paling banyak memiliki kesamaan. Sama-sama sulit menyuarakan apa yang sedang ada dalam pikiran. Kadang untuk mengutarakan sebuah pendapat, bahasanya berlepotan karena ketidakmampuan menemukan kata-kata yang tepat. Tapi sih ya, Bombay masih lebih parah dari gue. Gue masih mendingan dong. Hehe... Dan kita juga sama-sama memiliki moto: "tidak tahu dan tidak mau tahu." No wonder we usually be the last to know.

So, kita berdua mengobrol sebentar di telepon. Rasa rindu mencuat ke permukaan melalui pekik tertahan saat bisa saling mendengar suara masing-masing. Ada keinginan kuat untuk segera menembus jarak dan berkumpul bersama-sama lagi dengan yang lain. Semoga suatu saat nanti bisa berkumpul lagi.

And to you, Bombay, even though you would not read this anytime soon, I'd love to wish you a happy birthday, dear. I wish you all the best.

And to you all, girls, I miss you so bad.

Saturday, 10 December 2011

Sports Person

Lagi-lagi gue terbangun di tengah malam. Padahal tadi capek banget dan sudah sempat menjadi penghuni Pulau Kapuk. Tahu-tahunya, nyanyian tetangga gue yang sudah kelebihan alkohol, diiringi keyboard dengan sound system lengkap, malah membangunkan gue.

Lagi-lagi gue bingung mau ngapain di tengah malam buta begini. Lanjut baca buku? Uh, buku yang sedang gue baca ini kurang menarik. I regret reading Jonathan Stroud's The Leap. Gue jadi mengurungkan niat untuk membeli "The Last Siege" dan "Heroes of the Valley". Dengerin lagu? Gak deh. Kepala gue berdentam-dentam seperti palu. Nonton film, tapi lagi kehabisan stok film-film bagus. Kalau baca manga scan juga kayaknya malas bangun dari tempat tidur. Jadinya ngoceh-ngoceh di blog aja deh. Ngetiknya pakai BB sambil tiduran.

Anyway, di milis Sepci Kopi lagi ada topik tentang olah raga. Seriously, "Lesbian" dan "olah raga"? It's soooo sexy. Hehehe. Omong-omong soal olah raga, satu-satunya mata pelajaran yang paling gue sukai sewaktu sekolah dulu ya olah raga. Macam-macam olah raga yang gue suka. Bulutangkis, tenis meja, voli, sepak bola, maupun atletik seperti lari. Kalau basket, gue nyerah. Bolanya kegedean! Jadi jujur aja deh, gue bukan bintang basket di sekolah dulu. Sedihnya...

Buat gue, olah raga itu bisa dijadikan sebagai obat pengalih stress, entah itu karena kerjaan atau masalah-masalah lainnya. Kalau sekarang, gue lebih memilih untuk olah raga di gym karena lebih pas dengan waktu kerja gue. Gue biasanya menghabiskan waktu kurang lebih 30-45 menit jalan cepat di atas treadmill. Katanya itu bisa mengencangkan otot perut lho. Sesudah itu ikutan kelas aerobic bareng cewek-cewek dan tante-tante muda. Hehe. Selesai aerobic, latihan angkat beban sebentar, dibantu personal trainer yang kelebihan otot. Nah, jadi salah satu resolusi gue di tahun 2012 nanti: get a great abs, great ass, and great abs. *crossing fingers*

Selesai olah raga, pulang dan mandi air hangat. Dijamin badan dan pikiran jadi segar, tidurpun nyenyak.

Selain melakukan olah raga-nya, gue juga suka nonton pertandingan sepak bola, F1, atau tenis. Kalau sepak bola, gue nonton EPL dan tim jagoan gue sudah pasti Chelsea dong. Suka kesengsem sama si Abang Lampard. (Iya iya, gue masih lesbian kok.) Musuh bebuyutan gue pastinya Msi Setan Merah MU. (Maaf ya, kalau kalian penggemar MU. "Musuhan" nih kita kalau lagi ada laga antara Chelsea vs MU.) Untuk F1 lagi jarang ikutin. Sementara untuk tenis, gue fans-nya Nadal.

Selain seksi jika disandingkan dengan lesbian dan menyehatkan, olah raga juga bisa jadi pemersatu bangsa. Coba perhatikan, setiap kali ada tim Indonesia yang bertanding di ajang olang raga internasional, pasti orang-orang saling berkumpul, bersatu dan sama-sama mendukung tim Indonesia. Kalau dipikir-pikir, I may not be an "animal person", but definitely I'm a "sports person".

Ps. Tapi tetap saja gue paling ogah disuruh senam SKJ setiap hari Jumat di lapangan sekolah dengan seragam lengkap. Kan bau!


Sent from afar EastBerry�

Wednesday, 7 December 2011

Saatnya Bernyanyi

Hari ini gue menghadiri rapat Mudika se-Paroki di gereja. Sebenarnya agak sedikit mengherankan kenapa gue yang diutus mewakili wilayah gue, bersama satu orang lainnya. Padahal gue kurang aktif dalam kegiatan-kegiatan pemuda seperti itu, dikarenakan gue sering berpindah-pindah tempat. Dan lagi, selama di sini gue lebih sering masuk gereja yang berbeda paroki dengan paroki gue.

Tapi karena itu keputusan ketua wilayah, yasudah, gue ikuti saja. Rapatnya sendiri ternyata diadakan dalam rangka untuk mengaktifkan kembali kegiatan pemuda yang sudah beberapa tahun belakangan ini mati suri. Huff, ternyata gue tidak ketinggalan-ketinggalan amat.

Rapat berlangsung santai karena topik yang dibicarakan seputar "bagaimana mengumpulkan kembali anggota-anggota pemuda." Sekalian juga menentukan jadwal ibadah pemuda serta kegiatan untuk jangka pendek dan panjang. Hasil rapatnya, ibadah akan diadakan setiap minggu, sementara kegiatan untuk jangka pendeknya adalah melayani misa Natal atau Tahun Baru. Tapi kemungkinan besar misa Natal. Dan itu artinya kami akan bersiap-siap latihan koor.

Ahay! Sudah lama sebenarnya gue kepengen ikutan koor. Di kampus dulu, gue tidak berani ikutan kelompok koor. Habisan tesnya itu disuruh nyanyi "do-re-mi" dan sebuah lagu di depan banyak orang. Gak pe-de dong gue, secara suara gue dibilang bagus banget, gak juga. Jelek banget juga enggak. Tapi di koor pemuda ini, setidaknya gue bisa ikut membantu kelompok sopran.

Semoga latihannya berjalan lancar untuk minggu depan. Dengan ikutan koor ini, maka tamatlah sudah karir gue sebagai penyanyi di kamar mandi. Saatnya unjuk gigi, pamer suara. Hehehe....


Sent from afar EastBerry�

Tuesday, 29 November 2011

I Love Me

PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!
PING!!!

BB gue bergetar-getar. Owalah, siapa pula ini yang nge-PING gue di siang bolong nan panas begini? Ternyata teman-yang-kebelet-ingin-menikah itu.

"Rae, kok gak dateng di nikahannya Di?"

"Waduh, ada halangan. Mana tiket pesawat mahalnya mencekik gitu."

Jadi ada lagi seorang teman kuliah kami yang baru saja menikah tanggal 19 November kemarin. Dan seperti biasa, jika ada teman yang menikah, kepanikan teman gue ini naik satu tingkat. Tapi karena yang menikah kemarin itu usianya lebih muda, kepanikannya jadi berlipat ganda.

Tadinya gue heran. Kenapa juga dia harus panik setiap kali ada yang menikah? Sampai akhirnya gue tanya langsung dan jawabannya: "ya iyalah panik. Semakin banyak yang menikah, semakin berkurang stok laki-laki untuk dijadikan suami." Dan gue cuma garuk-garuk kepala yang tidak kutuan mendengar jawabannya.

"Aduh, gimana dong gue, Rae?"

Ah, kali ini gue punya jurus. Gue ikuti saran Mas Bedjo di komentar postingan yang lalu. Maka dengan bijak gue berujar, "pasti nanti ada jodoh buat lo. Yang perlu lo lakukan sekarang adalah membuka hati. Nanti pasti ada yang nyantol."

"Yaelah Rae, Rae. Hati gue udah terbuka lebar-lebar. Masalahnya, gue udah nyantol, eh, yang dicantolin malah gak punya perasaan apa-apa sama gue."

Gue kehabisan jurus.

Gue mati gaya.

Mau tidak mau, gue jadi ikutan mikir. Apa sih sebenarnya masalah teman gue itu? Kenapa tidak ada laki-laki yang mau dengannya? Beneran deh, teman gue itu tipe isteri yang ideal, lho.

Kalau yang gue dengar dari teman yang lain, katanya waktu masih sekolah dulu, teman gue ini orangnya minderan, tidak PD, sinis, negative thinking, selalu mikir ada yang salah dengan dirinya. Eh, ini gue dengarnya dari teman dekatnya dari kecil teman gue ini lho. Dan di-iya-kan oleh seluruh teman-teman geng-nya yang lain. Jadi sumbernya terpercaya, dan gue tidak asal ngomong.

Dibandingkan dengan yang dulu, dia yang sekarang ini jauh, jauh lebih menarik. Maksudnya sekarang penampilannya berubah 180 derajat. Jadi lebih modis, lebih percaya diri, lebih luwes dalam bergaul. Jalan bareng dia, dikit-dikit berhenti karena dia disapa orang. Ini juga menurut kesaksian teman-teman geng-nya.

Gue pernah mengajukan sebuah teori. Teman gue ini sekarang jadi menarik dan lebih percaya diri karena dandanan dan make-up. Setelah hijrah ke Jakarta dan mulai mengenal mode, dia selalu up to date kalau urusan baju, aksesoris, sampai model rambut. Gue dan teman gue yang satunya lagi sering disebut kumal karena selalu mengenakan baju kebangsaan sejuta umat: celana jins, kaos, sandal jepit. Tapi dia ngomongnya dalam bahasa Kek, yang kemudian diterjemahkan oleh teman geng-nya ke gue.

Jadi gue kembangkan lagi teori gue tadi, sebagian karena kesal dibilang kumal. Kata gue, dia bersembunyi di balik pakaian ber-merk dan make-up-nya untuk kemudian menciptakan kepribadiannya yang sekarang ini. Dan dengan kepribadiannya itu, dia mencari-cari jodohnya. Intinya, she doesn't love her real self enough. Baju-baju dan aksesoris mahal serta make-up itu untuk membuat dia bisa merasa dicintai. Teori gue disetujui oleh teman-teman geng-nya. GONG!

Ada kutipan yang mengatakan: "nobody will love you if you don't love yourself." Kalau tidak bisa mencintai diri sendiri, mana bisa mencintai orang lain? Kalau tidak bisa mencintai, mana bisa dicintai? Seharusnya bisa bilang "I love me" dulu sebelum bisa bilang "I love you". (Lihat nih, gue bisa ngomong cinta. Hihi....)

Yah, itu hanya teori yang diketahui gue dan teman-teman geng-nya. Tidak ada yang berani menyampaikan ke dia. Apalagi gue, si pencetus teori. Biarlah dia bertanya-tanya sendiri dulu. Nanti juga bosan sendiri. Karena pada dasarnya, fase orang menjomblo itu mulai dari: tidak peduli jomblo - mulai peduli - mulai pengen punya pacar - kebelet pengen pacaran - desperate gak dapat-dapat pacar - capek desperate. Dan teman gue ini berada dalam fase "kebelet".

Wednesday, 23 November 2011

Thank You

Begini deh kalau tengah malam gini mata malah melek. Tadi selesai nonton SEA Games, gue melanjutkan pekerjaan menerjemahkan buku. Tapi malah ketiduran di meja, dengan laptop yang menjadi alas pipi gue. Dan begitu bangun tengkuk gue sakit. Banget. Pindah ke tempat tidur, eh, mata malah melek lebar karena kepikiran terjemahannya belum selesai. Sudah deadline.

Gulang-guling, bolak-balik bantal, akhirnya menyerah. Kantuk sudah keburu hilang, padahal badan rasanya letih. Gue memilih bangun dan browsing. Jalan-jalan ke blog orang, baca-baca Sepoci Kopi, buka Twitter, dll. Kantuknya masih tetap belum kembali. Bingung mau ngapain lagi.

Dan tiba-tiba gue ingat! Kemarin atau kemarinnya lagi, gue menerima komentar dari seorang pembaca. Katanya dia membaca blog ini dari awal hingga tuntas. Sungguh, tiada yang lebih menggembirakan dan mengharukan bagi seorang blogger saat mendapatkan komentar yang seperti itu.

Apalah arti blog ini? Hanya sebuah diary maya yang isinya kadang curhat colongan, dan lebih sering lagi tulisan-tulisan mengenai isi pikiran gue yang ngawur. Namun ada pembaca yang bersedia meluangkan waktu untuk membaca blog ini hingga tuntas? Wah, tak terlukiskan dalam kata-kata apa yang gue rasakan.

Dan ada juga pembaca-pembaca lainnya, yang meskipun tidak menuliskan komentar, tapi selalu menyempatkan untuk membaca. Iya, pasti bertanya, gue tahu dari mana? Ge-er deh gue. Hehehe... Ketahuan kok dari statistik pengunjung. Sesuatu banget deh, mengutip dari Syahrini.

Untuk itu, gue sangat, sangat berterima kasih telah meluangkan waktu untuk selalu singgah di blog gue dan tahan membaca tulisan-tulisan yang ngarol-ngidul. Terima kasih juga bagi yang sudah meninggalkan komentar atau yang melakukan e-mail subscription. Sekali lagi, terima kasih yang setulus-tulusnya.

Dan yang belum berkomentar, ayo dong. Kan biar gue jadi kenal juga. Atau kalau malu komentar di blog, boleh sapa gue melalui e-mail di secret_on_screen@yahoo.com. (E-mail yah, bukan YM, karena gue jarang banget online messenger.) Bisa berisi sharing, diskusi, atau curhat colongan juga boleeeehhh. Bisa langsung gue balas atau malah bisa gue posting di sini bagi yang e-mailnya menarik. Anonymous atau tidak, tergantung pengirimnya. Maksudnya mau disebutkan namanya atau tidak :).

Nih gue ge-er-nya udah gak ketulungan lagi deh. Tapi nggak apa-apa kan ya? Ya ya ya? Hehehe.... Yaudah, ditunggu ya e-mail-nya ;).

Misi sudah selesai, dan kantuk pun perlahan mulai mendekat. Saatnya tidur. Good night, ladies. Sweet dream :).

Ps. Pokoknya kalian sesuatu banget! Hihi....

Saturday, 12 November 2011

Ringkih

Sepertinya ada yang salah dengan tubuh gue. Belakangan ini jadi ringkih, jadi mudah sakit. Mungkinkah ada yang mengobrak-abrik sistem imun gue?

Kalau diingat-ingat, tahun ini sudah dua atau tiga kali gue jatuh sakit, dan penyakitnya selalu sama: radang tenggorokan, flu, batuk, dan sinus.

Tapi yang paling parah adalah yang baru-baru ini gue alami. Hampir dua minggu gue di-KO-kan sama virus-virus jahat. Juga memaksa gue harus dua kali bolak-balik mengunjungi prakter dokter. Dokternya adalah dokter yang dulu pernah gue ceritain. Pada kunjungan yang kedua, gue akhirnya diberi resep antibiotik dan vitamin yang lebih tokcer... dan lebih mahal!

Belum juga virus-virus jahat tadi tewas dibasmi antibiotik, gantian perut gue yang bermasalah. Penyakit maag yang sejak kecil gue idap memulai aksinya. Meskipun sempat menhhilang selama beberapa tahun, akhirnya ia kembali dengan gagahnya, siap mengambil alih tahtanya. Tak mengherankan jika gue menghabiskan waktu dua sampai tiga kali dalam sehari membungkuk di kamar mandi dan mengeluarkan isi perut.

Dan seolah itu belum cukup untuk membuat gue uring-uringan, penyakit migren setiap hari tak pernah absen mengapeli kepala gue, membuat suasana hati gue jadi tambah buruk. Setiap malam hari kepala gue pasti cenat-cenut, dan bagian yang paling tersiksa adalah pelipis. Sangking sakitnya, pelipis gue tidak bisa disentuh. Kadang gue menyerah dan menenggak sebutir painkiller. Tapi seringnya gue abaikan dengan memilih berbaring. Cukup ampuh untuk beberapa saat.

Dan sumpah!!! Cuaca panas di siang hari juga memperparah keadaan kepala gue!!! Efek terparahnya adalah membuat gue pusing - lebih dari tujuh keliling - seperti sedang mengalami vertigo.

Benar-benar parah... Dan percayalah, dengan apa yang gue alami ini, kesehatan itu memang merupakan harta yang paling berharga.

Anyway, di tengah-tengah rasa sakit, gue ingin menyatakan betapa bangganya gue menjadi orang Indonesia saat melihat Opening Ceremony SEA Games XXVI. Salute!

Obor SEA Games sudah berkobar, begitu juga dengan semangat para atlit. Selamat berjuang!

Dan kini saatnya gue tidur sambil berjuang menahan rasa sakit kepala. Yah, setidaknya gue dan para atlit itu sama-sama berjuang...

Good night, ladies.

Sent from afar East Berry�

Monday, 7 November 2011

To Love Like a Mother

Ditanya, apa itu "cinta"? Waduuuh, otak gue dijamin bakal langsung korslet, jaringan-jaringannya pasti putus... Zztt zztt (disertai kilatan-kilatan listrik)... Bleessss. Mati total. Tidak lagi berfungsi.

Hari Senin begini gue ditanyain pertanyaan semacam itu, rasanya otak gue tidak sanggup lagi berpikir setelah seharian fitness tiada henti. Dan lagi, IQ gue tidak pernah cukup tinggi untuk mengartikan cinta.
"Makanya cinta itu jangan dipikir tapi pakai hati dong, Rae." Kata sesepuh jauh.
Iya sih. Tapi tetap saja EQ gue juga susah nyampenya. Maksudnya susah untuk menerjemahkan arti "cinta". Halah bahasa gue... Sudah dari sananya begitu. Makanya dari dulu nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia gue tidak pernah melewati angka 7. Selalu gagal dalam bab per-puisi-an. Untung tidak ada bab percintaan. Bisa-bisa merayap nilai gue.

Kesulitan untuk menafsirkan arti cinta itu juga didukung dengan ketidakpahaman mengenai cinta itu sendiri. I do feel love, yet I don't understand it. Mungkin seperti itu tepatnya.

Seperti misalnya sepupu gue yang rela bertahan hidup bersama suaminya yang pengangguran dan jelas-jelas pelaku KDRT. Tapi dia selalu membela suaminya. Itu yang tidak pernah bisa gue pahami. Apa yang seperti itu disebut cinta? Atau sesuatu yang lebih mirip disebut "kebodohan"?

Mungkin gue tidak paham soal cinta. Tapi setahu gue, cinta tidak seperti itu. Cinta itu baik, cinta itu adalah kasih. Cinta itu tidak egois, tidak membuat seseorang mati konyol, tidak juga merusak tali persahabatan atau persaudaraan, ataupun menyebabkan perilaku-perilaku buruk dan negatif seperti yang biasa ditunjukkan di sinetron-sinetron itu.

Gue merasakan cinta, tapi rasanya gue tidak akan mau menjalani kehidupan seperti sepupu gue. Itulah yang gue maksud dengan "tidak memahami cinta".

Teman gue pernah cuhat. Katanya, kalau bukan karena anak-anaknya, dia tidak akan bertahan untuk terus hidup dengan suaminya. Sudah pasti akan dia tinggalkan suaminya seandainya tidak memiliki anak. Dan sejujurnya, itu juga yang sering dikatakan nyokap kalau lagi berantem sama bokap.

Mungkin memang gue tidak tahu apa-apa soal cinta. Dangkal. Dan mungkin, memang seharusnya seperti itulah cinta; cinta seorang ibu terhadap anak-anaknya. Melihat perjuangan sepupu gue, teman gue atau bahkan yang lebih nyata lagi, perjuangan nyokap untuk anak-anaknya, mungkin itu yang disebut cinta.

And to understand love, maybe we should learn to love like a mother. 

Thursday, 3 November 2011

True love, where are you?

"There must be something wrong with me, Rae." Jawab teman gue saat gue menanyakan kabarnya.

Masih ingat dengan teman yang pernah gue ceritain, yang sedang mencari-cari soulmate-nya yang entah di mana rimbanya? Yang kebelet pengen cepat nikah itu. Ingat kan? Gak ingat? Coba baca ini.

"Lho kok gitu?" Tanya gue yang tiba-tiba jadi bingung karena jawabannya yang membingungkan itu.

"Ade gue married bulan Desember nanti."

"Ooohhh. Cepet juga ya? Wah, keduluan dong lo?" Ups, salah ngomong deh gue.

"Nah makanya itu gue bilang ada yang salah dengan diri gue." Tuh kan bener, salah ngomong gue.

Selanjutnya gue jadi makin bingung. Kalau gue bilang tenang aja, mungkin belum jodoh lo, nanti juga datang kok, atau kalau gue bilang jodoh gak bakalan kemana, duh kayaknya udah basi banget deh. Kata-kata penghiburan yang seperti itu sudah ratusan kali dikatakan oleh ratusan orang, selama bertahun-tahun belakangan ini. Jadi enggak bakalan mempan kalaupun gue hibur dia.

"Uhmm... memangnya di kantor lo gak ada gitu cowok yang lumayan?" Kali ini gue mencoba membantu.

"Gak ada, Rae! Gak ada! Kalo ada juga udah dari dulu gue kejar." Waduh, tambah bingung deh gue. Salah-salah mau ngenalin temen-temen gue. Lah temen gue kebanyakan perempuannya. Yang laki-laki, either mereka terlalu fokus sama kerjaan sampai gak peduli kalau bakal melajang seumur hidup, atau mereka yang pikirannya jorok melulu. Kalau ketemu atau chat di grup BB, bawaan becandaannya jorok terus.

"Uhmm... temennya temen-temen lo yang lain?"

"Gak ada juga. Udah pada ada yang punya semua. Salah-salah mau rebut pacar orang, ato lebih parah lagi, suami orang." Yaaahhh... kesian amat sih temen gue yang satu ini.

Yasudah gue juga nyerah deh. Jadi mungkin memang ada yang salah dengan dirinya. Mungkin. Tapi mana tahu apa yang salah. Well, gak mau nge-judge juga sih. Jadi gue biarkan saja dia mikir begitu dan tidak perlu gue sebut apa yang salah dari dirinya. Suwer gue juga gak tahu sih! Hehe.

Jadi nih ya, siapa bilang cuma lesbian aja yang susah cari pacar? Tuh buktinya temen gue juga susah tuh. Tapi ada berapa banyak sih orang di dunia ini yang sedang menanti-nantikan datangnya "the true love"? Ck, gue ini macam orang kurang kerjaan amat, mikirin yang begituan. Padahal ini hidung lagi mampet, tenggorokan gatal, kepala juga kliyengan.

Tapi beneran deh. Kalau ngikutin twit maupun status FB kebanyakan orang yang menjomblo, seringnya pada ngomong soal cinta. Pada mencari cinta sampai ke ujung dunia (halah!) Kalau kata gue sih, gak usah dicari. Nanti juga datang sendiri. Beneran deh. Tapi emang gue juga malas nyari sih bok.

Yang sedang menjomblo, janganlah berkecil hati. Tuh buktinya ada banyak juga yang menjomblo. Jadi kalian tidak sendirian dan pastinya bakalan ketemu satu. Siap-siap aja umpan yang banyak saat memancing. So, let's go fishing in the pond, ladies! *lirik Kopi* hehehe.

Ps. Gue ngomongin apaan sih? @!*##$@!#@*!

Wednesday, 2 November 2011

Kembali ke masa lalu?

Jadi gue ditanyain, seandainya bisa, apa gue mau kembali ke masa lalu?

Hmmm... mungkin ya masih terasa banget keraguan gue di postingan yang sebelumnya. Soalnya alasan gue menulis blog ini salah satunya adalah untuk mengingatkan dan meyakinkan diri gue sendiri. Jadi mungkin tulisan sebelumnya lebih untuk meyakinkan diri gue sendiri mengenai memperbaharui cita-cita dan impian gue.

Sebenarnya, kalau ada kesempatan untuk kembali ke masa lalu mungkin gue mau-mau saja. Tapi masalahnya Doraemon itu hanya ada di TV, kartun ciptaan Fujiko F. Fumio, dan jelas tidak ada di dunia nyata. Ada sih. Tapi yang jenis itu hanya bisa goyang-goyang, salam-salaman sama anak kecil, melambai-lambaikan tangan, dan diajak foto bareng. Enggak bisa membawa gue ke masa lalu.

Tapi terus gue jadi bertanya-tanya sendiri. Kalau bisa dan gue sudah kembali ke masa lalu, lantas apa selanjutnya? Bukankah ujung-ujungnya ceritanya bakalan sama seperti masa sekarang? Jangan percaya deh soal "kembali ke masa lalu untuk mengubah masa sekarang dan masa depan". Itu cuma ada di film-film. Karena nyatanya, waktu tak akan bisa kembali. Waktu akan terus berjalan maju, bukannya mundur. Manusia akan bertambah usia, bukannya berkurang.

Sekarang gue menghadapi dan mengalami hal-hal yang sama sekali berbeda dari masa lalu, seperti yang gue ceritakan di tulisan sebelumnya. Tapi tahu gak? Apa yang gue alami sekarang justru apa yang dulunya sering gue bayangkan. Jadi dulu itu gue sering membayangkan jalan dan belanja bareng nyokap, bisa ngobrol sampai puas sama adik-adik gue, bisa punya pekerjaan baru, dll dll. Meskipun memang gue masih butuh waktu untuk beradaptasi dengan hal-hal baru yang sekarang gue miliki ini.

I have what I need, dan itu cukup buat gue. Karena tidak setiap keinginan manusia bisa dimilikinya. Itu bisa saja tidak adil bagi orang lain. Ya toh? Lagipula sekarang hidup gue gak kekurangan satu pun. Jadi gue mensyukuri segala apa yang gue miliki saat ini. Masa lalu tetap akan menjadi bagian dari kehidupan gue. Bukan merupakan bagian yang terpisah karena masa lalu membentuk gue yang sekarang ini.

Seperti tagline sebuah film yang diperankan Ashton Kutcher dan Cameron Diaz, "what happens in Vegas, stays in Vegas." Sama juga dengan "apa yang terjadi di masa lalu, tetap tinggal di masa lalu." Yang dibawa adalah kenangan dan pelajaran dari apa yang sudah dialami.

So, I'm happy with what I have now, tanpa lagi ada keraguan :).

Ps. I miss my friends #hikh

Wednesday, 26 October 2011

In Another Ten Years

Semalam, saat tengah tidur-tidur bengong sambil menunggu reaksi obat flu yang gue minum untuk membuat gue tertidur pulas, tiba-tiba gue kepikiran tentang obrolan gue bersama Q beberapa hari yang lalu.

Q pernah bertanya sesuatu mengenai kehidupan, karenaa saat itu dia sedang membutuhkan seorang partner untuk melatih peran, termasuk berdisikusi tentang kehidupan untuk menghayati perannya (entah apa pula perannya itu.) Tanyanya, "ten years ago, did you expect that your life would be anything like it is today?"

Waktu itu, entah karena gue sedang sibuk karena kita ngobrol di sela-sela pekerjaan atau karena gue sedang malas berpikir, jadi gue menjawab asal saja. Tapi kemarin malam, tiba-tiba gue ingat lagi. Perlahan gue mengingat kembali kejadian-kejadian selama 10 tahun belakangan. Dalam hati gue bertanya, apa iya, kehidupan yang sekarang gue jalani adalah kehidupan yang gue harapkan sepuluh tahun yang lalu? Sepertinya gue harus kembali ke sepuluh tahun yang lalu untuk bisa menjawab pertanyaannya itu.

Sepuluh tahun...

Memori-memori saat gue masih berseragam putih abu, teman-teman sekolah, guru-guru yang ditakuti maupun yang disenangi. Kemudian gue yang berangkat ke Jakarta ditemani nyokap, untuk mempersiapkan segala keperluan kuliah. Awal masuk kuliah artinya beradaptasi dengan lingkungan baru. Ada teman-teman baru yang berasal dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, dosen pembimbing akademik yang suaranya seperti TOA, dosen Filsafat Ekonomi yang kalem, dosen Mikro dan Makro Ekonomi yang terkenal killer dan super pelit soal nilai (dan apesnya, gue kebagian kelasnya selama dua semester berturut-turut!), dan berbagai kejadian lainnya yang kini kalau diingat-ingat lagi, membuat gue tersenyum.

Semuanya terlintas seperti film yang diputar, meskpiun ada beberapa gambar yang terlihat buram karena gue kurang bisa mengingatnya dengan jelas. Tapi dalam memori-memori tersebut, sepuluh tahun itu rasanya berlalu begitu cepat. Terlalu cepat malah. Seperti ketika bertemu seorang teman lama dan saling mengingat-ingat kapan terakhir kalinya bertemu, dan ternyata sudah sepuluh tahun lamanya. Rasanya sepuluh tahun itu berlalu hanya dalam satu kedipan mata. Dua kedipan deh, biar gak terkesan hiperbola banget. Hehehe.

Dalam rentang sepuluh tahun itu, gue seperti bisa melihat dengan jelas masa depan gue. Gue tahu betul apa cita-cita gue, apa yang gue inginkan nanti; menjadi perempuan yang sibuk dengan pekerjaan, oh dan tak lupa juga dengan suit-nya ;), travel ke berbagai tempat di berbagai penjuru.

Selesai kuliah, gue semakin yakin bahwa gue sudah semakin dekat dengan apa yang gue inginkan. Dan memang itu yang terjadi. Gue mendapatkan apa yang gue cita-citakan dan gue sempat travel ke beberapa tempat, meskipun enggak sampai ke berbagai penjuru dunia sih. Tapi itu tidak bertahan lama.

Dan sekarang, sepuluh tahun kemudian, rasa-rasanya gue yang sekarang tidak seperti apa yang gue harapkan sepuluh tahun yang lalu. Gue ternyata harus kembali pulang. Yang gak enaknya, gue merasa asing di tempat asal gue sendiri. Gue bahkan tidak mengnal jalan-jalan yang ada. Disuruh pergi ke suatu tempat, gue pasti bakalan bingung. Disuruh nyetir sendiri, jangan harap gue bisa tiba di tempat tujuan. Bukan hanya karena jalannya banyak mengalami perubahan jalur, tapi bahkan dulu, sebelum gue sempat menjelajahi tempat asal gue ini, gue sudah hijrah ke ibu kota. Dan sepertinya gue lebih mengenal jalan-jalan di Jakarta, dibandingkan di sini.

Kemudian soal pekerjaan. Memang sibuknya gue yang sekarang masih tetap sama dengan sibuknya gue yang dulu. Malah jauh lebih sibuk deh kayaknya. Cuma pekerjaannya saja yang berbeda. Kalau mau jujur, gue sepertinya tidak terlalu menyukai pekerjaan gue yang sekarang, juga dengan siapa gue bekerja. Selalu ada pertentangan batin dengan cara kerja, tapi gue mau tidak mau harus nurut.

Gue yang sekarang juga berubah menjadi orang yang terlalu realistis, yang sepertinya mulai menjurus pada pesimis. Gue jadi lebih sering menoleh ke belakang - menoleh pada Rae yang dulu, daripada menatap lurus ke depan. The point is what I pictured about me ten years ago was way bigger than what I am right now. I had bigger plans and bigger dreams. Now it's all gone (with the wind deh kalo perlu).

Soal keadaan gue yang "lesbian in the closet", bagi gue itu merupakan sebuah bonus tambahan untuk kehidupan gue saja. Sepuluh tahun yang lalu memang gue tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini. Tapi gue anggap ini sebagai bonus karena menjadi lesbian hanyalah sebagian kecil dari cerita kehidupan gue. Karena saat ini gue berbicara mengenai kehidupan gue dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya terfokus pada kelesbianan gue.

Satu hal yang, untungnya, segera gue sadari adalah gue tidak boleh terus-terusan menoleh ke belakang. Karena Rae yang dulu tetap akan menjadi Rae yang dulu, dan Rae yang sekarang adalah Rae yang sekarang. Sudah saatnya gue memperbaharui cita-cita dan mimpi, sehingga nantinya sepuluh tahun kemudian gue bisa menjadi Rae seperti apa yang gue impikan saat ini.

Dan semoga sepuluh tahun kemudian, jika ada yang bertanya "ten years ago, did you expect that your life would be anything like it is today?", gue akan menjawab dengan mantap dan penuh percaya diri ala angkatan 45, "ya, tentu saja."

Tuesday, 18 October 2011

A Little Lesson

"Jadi gimana itu ceritanya kamu gak jadi menikah akhirnya?" Tanya si encim bersasak tinggi.

Aduh, basi banget deh. It's so yesterday. Banget-banget! Mau gue curhat di sini aja udah males. Yang baca juga udah bosen. Ya kan?

Tapi demi menyenangkan hati para tamu arisan, maka nyokaplah yang menjadi "story teller", sedangkan gue hanya duduk manis sambil senyam-senyum palsu. Ck, menghadapi satu encim aja gue kewalahan, apalagi ini ada puluhan encim yang sedang berkumpul?! Jadi biarlah nyokap yang jadi juru bicaranya.

Akhirnya nyokap menceritakan ulang kejadian yang terjadi, sambil diiringi "oh ya?", "ah masa sih?", "kok mereka gitu?", dari para encim-encim yang mendengarkan dengan penuh seksama. Dan di akhir cerita, mereka menarik nafas lega dan mengucap syukur karena gue tidak terjerumus.

Kata mereka, gue masih muda ini. Baru juga memasuki awal pertengahan 20-an. Mereka bilang nyokap gak perlu khawatir. Santai aja dulu. Dan gue pun hanya senyum miris aja mendengar komentar mereka. I mean, sekarang sih iya, mereka ngomong gitu karena umur gue, yang menurut mereka masih muda. Now I wonder, apa yang bakal mereka bilang kalau nanti, setelah gue mulai menua dan belum kawin-kawin juga? Ya kan?

Dari situ gue mengambil sebuah pelajaran kecil: bahwa mulai sekarang gue tidak perlu terlalu memikirkan apa kata orang. Mereka memang senang melontarkan komentar ini-itu, meskipun sebenarnya hanya berdasarkan pada kabar burung belaka.

Terserah orang mau bilang apa. Selama itu termasuk kritik yang membangun - meskipun kadang kritik itu sedikit menyakitkan, gue terima. Tapi jika itu omong kosong dan hoax belaka, I wouldn't give a damn, because they don't even know me. Satu hal yang penting, gue gak pernah mengusik urusan orang lain. Jadi kalau mengusik urusan gue, mending ke laut aja lah. Buang-buang waktu. Gue anggapnya angin lalu.

People can say whatever they want, because they only see what they want to see. But only me can control to let it affect me or not. Ain't I right?

Thursday, 13 October 2011

Lesbian Life: Happy in the Closet (Part 2 - End)

Pernah ada yang bertanya, "gimana cara lo bisa bahagia dengan pilihan lo untuk tetap tinggal di dalam ruangan sempit dan gelap itu kalo alasan dibalik pilihan lo itu adalah karena keluarga, Rae?"

Yup, I got it. Pilihan gue, seperti yang sudah gue ungkapkan di part 1, mungkin terlihat seperti dipaksakan dan lebih karena ketakutan. Meaning, karena gue takut kehilangan keluarga gue, maka gue memutuskan untuk tinggal di lemari. Nope, it's not it.

Logically thinking, gue tahu seperti apa keluarga gue, terutama bokap nyokap gue. They won't accept me, no matter how much they love me. And I don't wanna make such a chaos for my family. So there the decision is made.

Soal bahagia atau tidak, gue rasa itu tergantung gue sendiri. Ada sebuah kutipan yang berbunyi seperti ini:

"Orang yang tidak bahagia adalah orang yang selalu ingin pergi dari tempat di mana dia tinggal."

Hey, bukankah hidup ini seperti sebuah film dan kita yang menjadi pemeran sekaligus produsernya? So it's up to me whether I want a happy ending or a sad one. Kalau gue pengen ending yang bahagia, gue tinggal merelakan keadaan gue yang harus selamanya tinggal di ruangan sempit dan gelap ini. Pasrah, tapi bukan berarti menyerah. Stay in the closet, tapi bukan berarti gue tidak merasa bebas.

Yang perlu gue lakukan hanyalah mengubah persepsi gue bahwa stay in the closet itu bukan tinggal di dalam penjara. The bottom line is freeing my mind and I'll be happy. Sementara kalau gue pengen ending yang menyedihkan dan berdarah-darah, gue tinggal melakukan kebalikannya, and forever living in a prison.

Well, it's obvious that option #1 seems a lot lot lot better. But when it comes to action, it's never easy. I mean changing the perception? Whew, it's a pain in the ass. But then again, I wanna be happy for what I am and where I stay.

So, I wrote these post series in order to keep cheering me up, and maybe some of you out there who experience the same as I do :).

Monday, 3 October 2011

Lesbian Life: Happy in the Closet (Part 1)

There are some times where I wonder how my life would be if I get out of the closet. Would it be freer? Or whether would I feel like a heavy burden has been lifted from my shoulder?

Mungkin aja ya, jika gue come out, either kehidupan gue bisa jadi lebih bebas sekaligus merasa ada beban berat yang terangkat. Tapi mungkin juga enggak dua-duanya.

Gue ngaku deh kalo kadang gue iri saat membaca blog-blog mereka yang udah coming out, apalagi membaca cerita-cerita mereka. Seperti misalnya nih ya, blognya Mas Bedjo, yang kadang membuat gue pengen cabut ke luar negeri aja. Hehe....

But then in time like this, gue sadar sesadar-sadarnya kalau itu pun gak mungkin. Keadaan dan situasi gue membuat gue harus tetap tinggal di lemari, entah sampai kapan. Bisa aja seumur hidup. Well, who knows?

Motonya kaum minoritas seperti kita-kita, yang berbunyi: "out and proud", jelas tidak bisa diterapkan. Kalaupun gue coming out, belum tentu gue bisa bebas. Misalnya semua orang tahu gue lesbian, belum tentu gue bisa berkeliaran bebas dimana-mana. Ya kan?

Begitu pula jika gue coming out, at least pada keluarga gue, belum tentu gak akan ada beban lagi yang muncul. Kenyataannya, coming out to the family hasilnya bisa either keluarga gue bisa menerima atau malah gue diusir dari rumah hanya dengan mengenakan pakaian di badan dan tanpa uang sepeser pun. Belum lagi rasa malu yang dialami keluarga juga jadi beban tersendiri. Ya kan?

Apapun itu, pasti ada konsekuensinya. Coming out or staying in the closet. Tinggal pilih konsekuensi mana yang bisa ditanggung. Buat gue pribadi, entah sejak kapan gue memilih untuk staying in the closet. Mungkin sejak gue pertama kali sadar kali ya.

Ya, gue udah coming out ke satu dua teman dekat - very very very very very close friends. Tapi itu bukan berarti gue "out and proud". Buat gue, "out and proud" itu artinya gue bisa dengan leluasa dan entengnya ngomong "I'm gay, so you don't have to worry about me not getting married" ke setiap orang, tanpa ada beban, tanpa ada rasa was-was.

Kembali ke pilihan gue, jujur pilihan gue itu enggak ada hubungannya dengan konsekuensi dari pilihan itu sendiri. Mungkin konsekuensi untuk tinggal di dalam lemari jauh lebih ringan dan mudah, makanya gue pilih itu. Bukan. Tetapi karena apapun konsekuensinya, sama-sama memiliki berat yang sama dan tingkat kesulitan yang sama pula untuk dijalani.

Family always come first. That is why. Maybe you think I'm silly, but you know what? Family mean the world to me, whatever happens. So I am willing to stay happily in the closet.

Saturday, 1 October 2011

Officially Launched

Yihaaa...akhirnya the new blog is officially launched!

Btw, dodolnya gue, gue lupa kasih tahu link blog barunya ya. Maklum, kemarin-kemarin itu ngerjainnya sambil kepala terantuk-antuk hehehe.

So, here's the link: Sanguinis & Plegmatis

Silakan cekidot, ladies (and gentlemen?) :D

Tuesday, 27 September 2011

The New Blog

As Kopi announced on her blog a week ago, kita berdua memang berencana untuk membuat blog baru barengan, sebagai gantinya karena gue keluar dari blognya Kopi. Blog yang dimaksud udah selesai dibuat hingga tahap pemilihan theme dan header, cuma belum siap diluncurkan karena emang belum sepenuhnya selesai (baca: gue lagi malas menulis postingan pembuka.)

Alasan lainnya adalah karena udah tanggung. Ini udah tanggal segini dan bentar lagi bulan Oktober. Gue sih pengennya mulai tanggal 1 Januari tahun depan, tapi kalo gue kasih tahu Kopi, bisa-bisa gue didemo. Hihi. Jadilah gue pikir yang terbaik adalah blognya diluncurkan di tanggal 1 Oktober nanti. Don't miss it, ladies ;)

A little peek of the blog, it's gonna be a white-and-clean-themed-blog with special made header and more stories will be written on time being :) So, jangan lupa yaaaa, tanggal 1 Oktober, jam 12 teng WIB :D

Ps. I thought this post will be a short one. But look what I got, 3 paragraphs! Ok, I should stop now!

Ps lageh. Sok banget deh kita pake pengumuman sama countdown segala, hehehe #cuekbebek

Monday, 26 September 2011

Life is Beautiful

Sorry for the lack of post, ladies. Gue seperti biasanya, sibuk menyibukkan diri. Hehe, ga deng.

Anyway, gue baru aja menamatkan sebuah drama Korea 63 episode yang dikirimin Kopi sekitar sebulan yang lalu, bok. Berjudul "Life is Beautiful", drama ini merupakan drama keluarga yang mengisahkan tentang berbagai hal yang lumrah terjadi dalam sebuah keluarga.

Ceritanya mengenai kehidupan sebuah extended family yang tinggal di pulau Jeju dan memiliki bisnis penginapan. Extended family yang gue maksud adalah anggota keluarganya mulai dari kakek, nenek, ayah, ibu, 2 orang paman yang menjomblo, 4 anak, seorang menantu, dan seorang cucu perempuan.

Di awal ceritanya tentang si kakek, yang konon adalah playboy dan beristri banyak, mendadak memaksakan kehendak untuk pulang dan tinggal bareng si nenek. Bok ya, jelas aja si nenek, yang punya dendam kesumat sama si kakek karena dulu pernah ninggalin keluarganya, menolak mentah-mentah. Pake adegan kejar-kejaran dan susup-menyusup pula. Lucu deh lihat si nenek ngomel-ngomel sama si kakek.

Cerita kemudian bergulir perlahan mengenai si menantu yang ketahuan selingkuh, si paman #1 mau menikah, paman #2 nyari-nyari calon istri, anak #3 yang jatuh cinta, dst. Tapi yang paling menarik di si film ini, yang menjadi alasan kenapa gue bela-belain nonton meskipun membutuhkan waktu sebulan lebih, adalah karena anak tertua di keluarga ini gay dan akhirnya coming out. Dan yang menarik adalah anggota keluarganya bisa menerima. Yea well, namanya juga film sih ya, hehehe.

Bagi yang seneng nonton drama keluarga, mungkin bisa ikutan nonton. Lagipula, tema yang diangkat drama ini menyangkut kejadian sehari-hari yang sering kita alami dan tidak terkesan dipaksakan. Akting para pemerannya terlihat santai dan gak dibuat-buat.

And here's the OST (kalo kata gue, ini drama yang minim OST): 영원한 내사랑

Sunday, 11 September 2011

September 11

September 11...

Seharusnya tidak hanya menandai sejarah tragedi World Trade Center di New York sana, tapi juga menandai suatu perubahan dalam kehidupan gue di sini, di tahun ini.

Seperti yang dibilang nyokap, "seharusnya hari ini kita semua pada lagi sibuk-sibuknya nyiapin pernikahan kamu, ya."

Iya sih, seharusnya...

Kalau ditanya kenapa kok ya gue bisa sampai hampir menikah, sebenarnya juga gue bingung. Kenapa ya?

Sewaktu gue cerita ke J, one of my closest friends, dia cuma bilang "with your situation right now, I don't see any other solution. This could be the best for you." Dan dia benar. Karena waktu itu, gue juga berpikir sama seperti J.

Rasanya sih memang masih sulit dipercaya gue masih bisa lolos, karena saat itu nyata-nyatanya gue dihadapkan pada sebuah pernikahan. Everything was real; the preparation, the wedding dress, all the talk about the wedding, etc.
Sekarang kalau gue pikir-pikir lagi, malah bikin gue merinding tapi sekaligus lega.

Kalau ditanya kenapa gue, yang ngaku lesbian, kok bisa hampir menikah? Well...ada banyak lesbian yang juga memutuskan untuk menikah. Ya kan? Keputusan gue waktu itu tidak ada sangkut pautnya dengan keadaan orientasi seksual gue. Sewaktu mengambil keputusan, orientasi seksual berada pada urutuan paling bawah yang gue pikirkan.

Banyak yang mungkin masih belum mengerti dengan keputusan gue. Tetap kekeh kalau lesbian itu gak seharusnya menikah dengan laki-laki, dan gue itu lesbian. Well, just step into my shoes and you'll get what I mean. Tapi sih ya, mudah-mudahan gak harus mengalami apa yang gue alami *ketokmeja*.

Dan soal, ehmmm, 'burung'... Well, I can only say that it gave me nightmares every night.... (-.-!)

Sunday, 28 August 2011

Mohon Maaf Lahir dan Batin


Kata orang, gue ini pendiam. Diajak ngobrol artinya gue cuma menjawab pertanyaan yang diajukan, tanpa balik bertanya. Yang kalau istilahnya nyokap, gue kudu diketok dulu baru bunyi.

Kata saudara kandung gue, gue ini terlahir tidak hanya pendiam, tapi dengan sumbu kesabaran yang lumayan panjang. Mereka bilang katanya gue paling cocok ngurusin bokap nanti kalau dia udah tua. (Hah...kayaknya sih, mereka mau mangkir jagain bokap nantinya. Curang! Heheh...)

Kata teman-teman terdekat, meskipun gue ini pendiam, tapi lumayan cerewet juga kalau lagi barengan mereka. Tukang ngebanyol pula, persis Tukul. (Asem!!!) Tapi juga katanya, mulut gue ibarat gado-gado berkaret dua; pedes. Sejarang-jarangnya gue buka mulut, ternyata berlidah tajam.

Harap dicatet, itu cuma terjadi pada satu dua kesempatan dan di saat-saat tertentu, ketika sumbu kesabaran sudah mulai mendekati akhir. Tetapi saat seperti itu terjadi, katanya gue akan berubah menjadi orang yang sangat menyeramkan karena komentar-komentar yang gue lontarkan bagaikan cabe rawit. Bisa bikin insomnia 3 hari 3 malam bagi yang kena lontaran.

Sighs....

Sebenarnya tidak bermaksud menyakiti. Mulut ini kadang tidak sinkron dengan hati dan memilih bersekongkol dengan otak. Maka keluarlah kata-kata pedas dari mulut tanpa sempat di-filter terlebih dahulu. Dan setelahnya baru kemudian menyesal. Sekarang, bukan hanya mulut gue aja yang bisa berkata pedas, tapi juga jari-jari gue. Dengan adanya blog, jari-jari gue bisa berubah menjadi tajam seperti jarum. Menusuk.

Oleh karenanya, di kesempatan ini gue ingin mengucapkan selamat hari raya Lebaran bagi yang merayakan, sekaligus mohon maaf lahir dan batin jika selama ini ada kata-kata gue yang salah dan menyakiti. Semoga amal ibadah puasanya menjadikan Lebaran tahun ini menjadi semakin indah :).


Wednesday, 24 August 2011

The Content Warning

Melihat ada sesuatu yang berbeda saat masuk ke blog ini? Yup, the content warning. Kenapa tiba-tiba ada warning seperti itu? Begini ceritanya:

Beberapa waktu yang lalu, gue membaca sebuah artikel di Yahoo News mengenai sebuah talent show di Filipina (atau Thailand, gue lupa deh). Acaranya mirip-mirip Indonesia Mencari Bakat gitu. Nah, salah satu pesertanya itu seorang tranny-woman, alias laki-laki yang menjadi perempuan. Gue lupa juga namanya. Yang jelas, di acara itu dia menunjukkan bakat menyanyinya. Dia nyanyiin lagu duet dengan dua suara; suara laki-laki dan suara perempuan.

Selesai membaca artikelnya, iseng gue baca komentar-komentar para pembaca yang lain. Well, lebih banyak yang mengomentari si peserta-nya dibandingkan mengomentari bakat-nya, yang menurut gue extraordinary. Salah satu komentar yang menangkap perhatian gue adalah komentar yang kira-kira isinya seperti ini:
"Sepertinya ini tanda-tandanya dunia sebentar lagi kiamat."
Lucu ya, komentarnya? Well, gak lucu kalau blog gue yang dapat komentar seperti itu. Meh! Isi komentarnya sih tidak tepat seperti itu. Cuma intinya ya begitu. Sepertinya ditulis oleh orang yang nyasar sampai ke blog ini deh. Untunglah semua komentar yang masuk di-moderasi. Jadinya, maaf-maaf aja kalau komentar yang sejenis itu tidak lolos moderasi.

Tadinya gue kesal, pengen marah. Tapi setelah dipikir-pikir, buat apa? Lagian kenapa juga gue harus marah? Orang itu yang berkomentar juga ngawur. Memangnya apa hubungannya orang-orang seperti gue atau si tranny-woman tadi dengan kiamat? Beneran ngeracau deh. Lagipula, yang memberi komentar itu cuma membaca sekelebat salah satu tulisan yang ber-label #LesbianLife, tanpa membaca keseluruhan blog ini. Atau malah cuma membaca judulnya yang diawali dengan 'Lesbian Life' dan mengambil kesimpulan hanya dari kata 'lesbian'-nya. Ck...rempong bener ketemu orang kayak gitu!

Jadilah gue memutuskan untuk men-enable-kan 'Adult Warning' di blog gue. Agak sedikit kurang tepat sih sebenarnya, karena gue juga tidak pernah menulis sesuatu yang sangat vulgar. Tapi ya, berhubung gue pernah membaca entah di mana, bahwa segala sesuatu yang berbau homoseksual - dalam UU di Indonesia -  termasuk pornografi atau sejenisnya, maka ada baiknya gue memberikan peringatan terlebih dahulu. Daripada ujung-ujungnya gue kesandung kasus pornografi, kan lebih gak lucu lagi. Hehehe....

Seharusnya sih ya, rada gak sreg juga sama isi 'Content Warning'-nya Blogger. Pengennya gue ganti dari ini:


menjadi ini:


Nah kan kalau yang kedua itu jadi lebih tepat :p. Hanya saja, karena gue masih ngontrak gratisan di Blogger, jadi gue cuma bisa terima apa yang sudah disediakan. Nanti deh, mudah-mudahan kalau waktunya udah tepat, gue pengen pindah ke self-hosting blog. Semoga bisa tercapai *crossing finger*

Jadi, tanpa perlu argumen dan pembelaan diri yang panjang tiada akhir, salah sendiri kalau masih nyasar ke blog ini, bahkan setelah ada warning. 

Ps. Setelah ada 'Adult Content Warning', artinya sekarang gue bisa beneran nulis yang rada-rada vulgar dong??? Hahayyy! Hihihi....

Wednesday, 17 August 2011

Going bitchy, can I?

Seharian ini bener-bener menyebalkan. Puncaknya terjadi ketika gue ke toko langganan buat nuker Aqua galon.

Begitu gue nyampe, eh, ternyata ada temen nyokap yang terkenal paling cerewet dan paling doyan bergosip. Selalu mau tahu urusan orang. Males banget deh gue. Mau langsung cabut, tapi kepalang tanggung. Si tante-cerewet-dan-mau-tahu-urusan-orang itu udah terlanjur melihat gue turun dari mobil. Yasudahlah....

Gue turunin galon kosong dari mobil dan berjalan masuk ke toko. Gue sapa si pemilik toko, yang kebetulan adalah sodara gue, juga si tante-cerewet-dan-mau-tahu-urusan-orang. Dan benar aja tebakan gue, bok!

"Waahh, calon pengantin baru," (nah kan, apa gue bilang?) "bulan depan kan nikahnya? Jangan lupa undang tante, ya."

Bah meh gah ugghhhh!!! Situ kan pasti udah tahu, gue gak jadi kawin!

Berhubung gue lagi super bete, super cape, dan super kesakitan karena bahu kanan gue keseleo dan baru diurut sama nenek-yang-rokoknya-pria-punya-selera, kali ini gue tidak tinggal diam. Gue cuma senyum aja, bayar Aqua dan berdiri di samping si tante. Dengan senyum bak Siti Nurbaya, langsung aja gue skak mat.

"Tante, baru punya cucu, ya? Cucunya laki apa perempuan, tan?"

(FYI, anak perempuannya 'kecelakaan'.)

Dan terdiamlah si tante-cerewet-dan-mau-tahu-urusan-orang. Dan gue dengan anggunnya melangkah keluar dari toko, sambil tersenyum.

Sekarang gue tahu, rasa sakit dapat menyebabkan gue menjadi bitchy.

Saturday, 6 August 2011

Siluman Pemangsa Amarah

Gue pernah membaca sebuah cerita tentang amarah dalam sebuah buku. Dalam ceritanya dikisahkan bahwa amarah itu ibarat seekor siluman yang sangat buruk rupa, baunya sangat tak sedap, dan apapun yang keluar dari mulutnya sangat menjijikan. Siluman ini diberi nama Siluman Pemangsa Amarah.

Seperti namanya, ketika siluman ini diperlakukan dengan kasar dan dihujani kata-kata makian yang penuh dengan rasa marah, maka tubuhnya bertambah besar, wajahnya menjadi tambah jelek, baunya semakin busuk, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin jorok. Semakin banyak menerima amarah, maka siluman ini semakin terlihat buruk.

Sebaliknya, ketika siluman ini diperlakukan dengan baik dan penuh lemah lembut, maka tubuhnya kembali mengecil, keburukan wajahnya berkurang, begitu juga dengan kekasarannya. Semakin baik siluman ini diperlakukan, tubuhnya, keburukannya, kekasarannya semakin berkurang sampai akhirnya siluman ini lenyap tak berbekas.

Begitulah yang terjadi dengan amarah. Semakin disulut, semakin membaralah dia dan membuat sang pemilik amarah itu sendiri menjadi buruk seperti siluman tadi. Sebaliknya, jika amarah itu tidak digubris, malahan diperlakukan dengan baik, maka dengan sendirinya dia akan lenyap.

Yang terjadi saat marah adalah bahwa kita cenderung untuk membenarkan rasa marah yang kita rasakan itu, sehingga membuat kita merasa tidak apa-apa untuk marah. Seperti dalam sebuah pengadilan, tanpa mendengar pembelaan terdakwa, hati kita dengan segera mengetok palu dan menyatakan: bersalah. Dan saat itulah kita membiarkan amarah mengalir ke setiap sel dan mengubah kita menjadi siluman.

I used to be si siluman itu. Tapi gue kemudian belajar dari cerita itu dan akhirnya sadar. Hasilnya? Untuk pertama kalinya, selama hampir 7 tahun, hari ini gue bisa ngobrol lagi dengan sepupu gue. Gue mengangkat telepon dan mengucapkan selamat buat dia yang baru aja melahirkan seorang bayi perempuan yang imut.

Rasanya menyenangkan bisa bebas dari amarah...seperti ada beban yang terlepas. Lagipula, ternyata gue kangen juga dengan sepupu gue itu. Padahal dulu, kalau denger namanya disebut atau kalau mengingat wajahnya, bisa membuat darah gue mendidih dan naik sampai ke ubun-ubun. Hehehe....

Seperti kata orang, pemberian maaf itu selalu indah. Lagian ya, ngapain juga berlama-lama jadi siluman jelek? Mau dipandang aja udah gak enak, apalagi mau dideketin :p. Gak ada untungnya buat diri sendiri dan orang lain, ya kan?

Oia, di kesempatan ini juga gue mau mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. (Maap ye, rada telat ngucapinnya.) Sekalian gue minta maaf kalau ada kata-kata yang salah dan menyakitkan yang pernah gue tulis ya, temans! Kudu dimaafin ya. Yayayaya??? Ya iya dong. Kalo enggak, bisa jadi siluman jelek. Situ bakalan gak dapat pacar deh. Hihihi....

_____________________________

Ps. Judulnya gue ganti. Kayaknya yang baru ini lebih keren :D

Wednesday, 3 August 2011

Avoiding People

There's one thing I recently realized. It is that I have been avoiding people who know me, reflexively.

Itu terjadi karena setiap kali gue bertemu orang yang mengenal gue atau orang tua gue, pasti bawaannya nanya soal pernikahan gue yang dibatalkan. Pertanyaannya pasti gini: "kenapa kok dibatalin?", dengan nada kaget sambil memegang dada. Respon gue, setiap kali ditanya, hanya tersenyum simpul dan bilang "karena gak cocok aja."

Lama-lama gue cape juga ditanyain begitu terus dan harus memberikan jawaban yang serupa setiap saat. Makanya gue selalu menghindar saat melihat ada orang yang gue kenal. Tapi apa mau dikata, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga. Sepandai-pandai gue menghindar, akhirnya ketangkap juga. Lah, habis gimana? Meskipun dunia tak hanya selebar daun kelor, tapi tiap hari gue harus wara-wiri karena kerjaan. Gak mungkin kan gue musti ngendon di rumah barang sebulan dua bulan. Jadi pastinya gue tetep berpapasan dengan orang yang gue kenal.

Hal lain yang bikin gue jadi menghindar adalah karena gue ogah membeberkan alasan yang sebenarnya kenapa gue membatalkan pernikahan. Tapi orang-orang ini kayaknya terlalu kelaparan; lapar mencari informasi dan bahan gosip. Dan jawaban "karena gak cocok" tidak mampu mengenyangkan mereka. Dan semakin dekat dengan hari pernikahan yang seharusnya terjadi, orang-orang jadi semakin menjadi-jadi, semakin sewot dan semakin penasaran.

Here's the thing, bahwa ada di antara mereka sudah tahu dan bisa menebak kenapa pihak gue membatalkan pernikahan karena mereka tahu bagaimana sifat dan keadaan keluarga mantan calon gue itu. Well, keluarganya memang cukup dikenal. Tapi teteeeeeep aja mereka masih terus mengais dan mengais demi sebukit informasi.

I just don't wanna trash-talk him, despite who he really is and what he had done to me...to us. Maksud gue, kan kasian juga kalau nanti dia mau ngelamar anak orang lain. Lagipula, gue tahu apa yang orang-orang cari. They're looking for his flaws. And I just can't let that happen because he's actually a nice man. Dan apa yang terjadi dengan sifatnya ataupun keanehannya, itu diluar kemauannya.

Now I wonder when these people will ever stop asking.... I really, really want September to get over (and it's only early August. Oh man....) Maybe after that time, they'll forget about this like it's never happened. Besides, I don't wanna keep avoiding people. Hey, my social life is sucks already!

Monday, 1 August 2011

The Young Butches

Satu hal yang mengalami peningkatan di kota gue, yang baru-baru ini gue perhatikan dan sadari, selain jumlah kendaraan dan kemacetan, adalah para anak-perempuan-yang-bergaya-laki-laki, a.k.a. the young butches.

Penampilannya hampir serupa, sampai-sampai gue tidak bisa membedakan wajahnya; potongan rambut pendek sependek-pendeknya, dengan model rambut laki-laki, kaos oblong, ada juga yang pakai kemeja, celana yang banyak kantongnya, kalung karet, gelang karet, jam tangan bulat besar, berdada sangat, sangat rata. Ada yang tindikan sana-sini, ada yang biasa-biasa aja.

Tadi gue nonton Harry Potter bareng ade gue (ya, I know...my social life sucks...) dan sejauh mata memandang, di setiap sudut ruangan bisokop, satu di antara segerombolan anak-anak, ada aja anak-perempuan-yang-bergaya-laki-laki. Jika dialihkan ke dalam perbandingan matematis, seperti 1:10. Artinya dari 10 anak perempuan, pasti ada 1 anak-perempuan-yang-bergaya-laki-laki ini.

Kalau mengikuti naluri lesbian gue sih, well, itu surga dunia namanya. Bayangin aja dong sepanjang lirikan pasti melihat butchie brondong, dan seriously, ada yang lucu, imut dan ganteng tampangnya. Uh oh, sedap di mata!

Tapi yaaaaaa, hati gue menjerit. Aduh, mereka itu beneran butch dan beneran lesbian? Or is it just some kind of a popular new style diantara anak-anak remaja ini? Kalau iya mereka lesbian, do they really know what kind of world they're getting into? Atau kalau berdandan ala laki-laki itu hanya semata trend gaya yang lumrah di kalangan anak remaja, lantas apa kata orang tuanya?

How old are they? 15? 16? Younger than that? Bahkan dari tutur kata, obrolan yang sesekali tanpa sengaja gue curi dengar dan tingkah lakunya, gue perkirakan mereka bisa jauh lebih muda dari itu. Apa mereka itu sadar dengan orang-orang sekitarnya? I mean, seriously, cipika cipiki kecup jidat di depan orang banyak, di tengah-tengah mall??? Is it another trend? Or what?

Well, iya sih, namanya juga anak muda, darahnya masih mendidih-didih. Moto hidupnya berkisar antara "lo ya lo, gue ya gue", "ini gaya gue, bukan urusan lo", atau "be yourself, and this who I AM!" Bukannya mau menganak-bawangkan para anak-anak ini, but I just hope that they will come up to their minds before whatever they do, cause them a great damage. It would be such a waste, really....

Wednesday, 27 July 2011

What has Happened

Bok ya, pulang-pulang ternyata gue banyak kerjaan, banyak pula undangan sana-sini. Sekarang gue bisa bayangin betapa repotnya jadi presiden. Pasti banyak undangan ini-itu, belum lagi ngurusin negara... (apa sih gue???)

Anyway, mumpung lagi ada energi yang tersisa, gue kudu nulis. So here's the catch up:

Like Nitz said on the previous comment that life does get better, so does my life. Seperti yang sudah kalian ketahui, hubungan gue dan Kopi berakhir. Dan sebelum-sebelumnya juga gue menghadapi masalah-masalah lain yang cukup pelik. That's why my life was in a downfall.

Another update: I. Was. Supposed. To. Get. Married. On. September 11, 2011.

Yup, surprise surprise!!! It was an arranged marriage of course. Dan butuh waktu lama banget sebelum akhirnya gue memutuskan untuk menerima "lamaran". Awal-awalnya sih sempet pake acara mogok ngomong sama Mama gara-gara jodoh-jodohan. Tapi belakangan, setelah berpikir masak-masak dan demi kebahagiaan semua orang, akhirnya gue iyain.

Gue tahu, sebagian dari kalian pasti bilang gue bodoh, egois, dsb, karena keputusan gue itu. But try putting yourself in my shoes, and you'd know how it feels. Obviously, it was another though decision I had to make. Luckily, pernikahannya batal lho! Believe it or not, sebelum gue mengambil keputusan, gue cuma berdoa minta yang terbaik. Kalau memang itu jalan yang terbaik, gue minta bimbingannya. Eeeehhhh, ternyata eh ternyata, malah gak jadi kawin! Hihihi....

For some reason, I called off the wedding. Setelah gue mencoba mengenal lebih dekat (ex) calonnya gue ini, ternyata ada yang enggak beres dengan dia. Tapi gue diem aja, takut ngomong sama Mama karena nanti dikira gue cuma alesan aja.

Setelah kenal and he finally popped out the question and, stupidly, I said yes, mulai deh pada ngurus-ngurus persiapan. Nyari gedung, fitting wedding dress, nyari baju pre-wed, dll. Bahkan udah pake downpayment gedung sama bajunya segala lho.

Pada akhirnya orang tua lihat sendiri keanehan yang dimiliki si ex-calon. Actually, mereka sendiri yang akhirnya bilang pernikahannya dibatalin aja. Jadi, dengan senang hati gue sampaikan ke si calon kalo gue ogah kawin sama dia. Hihihi.... Padahal seharusnya pre-wed tanggal 22 Juli kemarin.

(Keanehannya apa? Hmmm kayaknya kurang etis kalau gue ceritain di sini. Alias ogah bergosip, hihihi....)

Setelah gue batalin pernikahannya, gue langsung cabut ke luar kota selama hampir dua minggu. Bukannya sengaja kabur sih, tapi emang karena ada urusan. Sekarang udah balik, gue kaget ternyata semua orang di sini pada heboh karena pernikahannya gue batalin. Oh, small town people...

Apesnya, sehari setelah kembali, gue harus menghadiri pesta pernikahannya temen sekolah gue, yang pastinya juga dihadiri oleh orang-orang sekota yang gue kenal. Jadi mau gak mau gue datang bareng nyokap. So I got myself pampered, worn a new dress and a 15 inches high heels. I walked in, chin up. Dan seperti yang gue duga, begitu gue melangkah masuk ke ruangan resepsi semua mata tertuju ke gue. For a moment, I was the center of attention. Ihiy!

Orang-orang menatap gue dengan tatapan simpati, ada juga tatapannya penasaran. Saat ngobrol dengan gue, ada yang pura-pura nanya kenapa dibatalin, ada langsung menghibur gue, ada juga yang ternyata gak tahu kalo pernikahannya udah batal. Mereka itu biasanya menegur dengan cara "eh, jangan lupa bagiin gue undangan ya!"

Yang lebih parahnya lagi, ada yang lansgung nembak "udah tenang aja, Rae. Nanti ai cariin jodoh yang lebih baik dari dia." Kalo udah begitu, gue cuma bisa pasang senyum-tanpa-arti-apa-apa. I mean, helloooooooooo??? Do I look sad???? Do I look like I need another arranged marriage????? Seriously, even my dad asked, "kamu gak apa-apa kan pernikahannya batal? Kamu gak patah hati kan?" Omigod, plis deh, Pa.

Hey people, I AM FINE. And I couldn't be happier! DUH! Besides, I'm too gay to get married, hihihi. At least, gue udah pernah ngerasain gimana rasanya pake wedding dress. Rasanya... sesek napas bok! Rempong bener musti pake korset, pake petticoat, pake asesoris ini itu. Tapi eh tapi, I looked beautiful! *numpang narsis* :p

Soooo, setelah semua yang terjadi belakangan itu, gue dilanda depresi hebat. But then again, my life gets better. And so does will yours. Whenever your life is in a downfall, just remember that good things will come to you, eventually.

Saturday, 23 July 2011

Almost Home

Lama enggak nongol di sini. Hampir tiga minggu lamanya dan selama tiga minggu ini ada banyak hal yang terjadi.

Kemarin-kemarin gw pernah nulis bahwa hidup gue seperti salju longsor yang meluncur turun dengan cepatnya. Bedanya, rasanya yang terjadi dengan hidup gue yaitu terus meluncur turun tanpa pernah mencapai dasarnya. Tapi sekarang, it finally hit the bottom. It stopped falling down. Amazingly, I'm alive. After a long, long way down, I finally reached the bottom alive. Miracle, isn't it?

I have bruised during the fall and they may leave scars on my body, tapi itu justru akan menjadi pengingat bahwa gue pernah melewati masa-masa sulit dan gue bisa bertahan. It made me the person I am now. 

Setelah puas, bahkan sampe eneg, bergelinding turun, sekarang gue mendongakkan kepala dan menatap ke atas. Well, benar-benar perjalanan yang panjang hingga akhirnya gue mencapai dasar. Begitu juga dengan perjalanan naik kembali ke atas. Gue turun terlalu jauh sampai-sampai puncaknya tidak telihat dari bawah sini. 

I've started my way up, even if I can't see the top. Jalannya menanjak dan banyak tikungan. Memang melelahkan dan menguras tenaga, tapi gue seneng. This is what I called life and it feels good. I do feel good.

I'm one day closer to home. Iya, gue lagi "melancong" ke sana-sini, makanya gak pernah nongol... hehehe. I'll just catch things up later when I'm home. (Habisan di hotel wi-fi lemot abis. Online pake modem juga putus nyambung. Bikin gue pengen cekek leher sendiri deh....)

Sunday, 3 July 2011

The Unmarried Uncle

Kalau ada yang bilang tidak menikah itu turun-temurun pada setiap generasi dari sebuah keluarga, gue mungkin salah satu, dari sedikit orang, yang bilang itu benar.

Gimana enggak? Lha setiap generasi keturunan baik dari pihak bokap maupun nyokap, ada aja yang tidak menikah. Malahan gue bisa aja jadi penerus dari generasi nyokap yang selanjutnya. Entah mereka itu sejenis dengan gue atau kah memang karena tidak ingin menikah. Well, who knows? Tapi kalau gue, udah jelas kan alasannya apa... hehe.

But I suspect one of my uncles itu satu spesies dengan gue. I mean I like women, he likes men. Alasannya? Paman gue yang satu itu gak cuma pintar masak, pintar bikin kue, pintar jahit, pintar merangkai bunga, dll dsb. He does everything that women do... and of course he does better!

Terus ya, paman gue punya seorang 'sahabat dekat' (read: TTM), yang mungkin 1 atau 2 tahun lebih muda, dan laki-laki. Dari sejak gue mengenal dunia, gue tahu mereka berdua udah temenan, bahkan sampai sahabatnya ini menikah dan punya 2 orang anak. Dan kedua anaknya itu akrab banget dengan paman gue.

Kalau temannya ini datang ke rumah, paman gue selalu nemenin dia makan, ambilin air atau bikinin kopi. Kalau jalan bareng berdua dengan anak-anaknya, pasti paman gue yang mengambil peranan sebagai 'istri', alias yang ngurusin kedua anak temannya itu. Mulai dari nyuapin makan, gantiin baju, nidurin mereka, dll.

Maybe, I said maybe, itu alasan kenapa paman gue tidak menikah. Dulu, ada banyak perempuan yang mau sama dia, tapi semuanya ditolak. Nyokap dan Oma gue, bahkan teman-temannya sendiri, sebentar-sebentar cariin calon buat dia. Tapi keputusannya udah bulat; tidak menikah. Sampai akhirnya semua orang menyerah dan semua perempuan menikah dengan orang lain.

Melihat apa yang terjadi dengan paman gue, membuat gue berpikir akan kah gue bisa seperti itu? Maksud gue, apa bisa gitu semua orang akhirnya menyerah dan membiarkan gue hidup sesuai dengan keinginan gue sendiri?

Banyak yang deketin gue, tapi eh tapi gue kan gak berminat. Mau langsung dikasarin, salah. Dibaik-baikin, eh malah salah sangka, kiranya gue juga suka. Dalam hati gue bersungut; not you, but your sister, silly! Jadi serba salah kan ya...

Tapi eh tapi lagi ya, seiring berjalannya waktu, gue malahan jadi bingung dengan apa yang sebenarnya gue inginkan. Life changes and so does what I want. Kenyataannya, kehidupan tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa kita inginkan dan itu bisa merubah keinginan dan harapan seseorang.

Buat gue, apa yang dialami oleh paman gue, itulah jalannya. Sementara gue memiliki jalan hidup gue sendiri... and that's what I live for... meskipun itu mungkin bukan sesuatu yang sebenarnya gue inginkan. Dengan kata lain, gue hanya menyesuaikan keinginan gue with the way things turn out. Dan gue rasa itulah yang terbaik untuk gue saat ini.

Thursday, 23 June 2011

Lesbian Life: The Guilty Feeling

Salah satu konsekuensi, dari sekian banyak, yang mungkin ditanggung oleh sebagian besar lesbian di muka bumi ini adalah rasa bersalah. Dan rasa bersalah itu mungkin juga merupakan salah satu konsekuensi terberat yang harus diterima.

What I'm saying here is not about religion or whatsoever. Not really into talking about that kind of topic, at least not for now. Yang gue maksudkan adalah rasa bersalah terhadap orang lain karena memilih untuk menjalani hidup sebagai lesbian, semisal terhadap orang tua.

Untuk yang kesekian kalinya ya, "memilih untuk menjalani hidup sebagai lesbian" itu maksudnya menerima kenyataan bahwa gue lesbian, berdamai dan coming out pada diri sendiri. Dan pada dasarnya, siap untuk menjalin hubungan dengan perempuan.

Back to topic, konsekuensi yang cukup berat ini rasanya masih terus menghantui, bahkan setelah lama berdamai dengan diri sendiri mengenai orientasi seksual. For me, it does still haunt me and it never go away. It never will, even if I come out to my parents, which obviously and surely will never ever happen.

I eavesdropped my mom talking to her friend. Well, udah sering sih gue secara tidak sengaja nguping pembicaraan nyokap dengan teman-temannya mengenai anak-anak mereka masing-masing. Bukannya gue tukang nguping, tapi yang namanya ibu-ibu kalau udah ngomong tombol volume-nya suka bablas.

Gue tahu, at some point, nyokap gue bersyukur karena gue termasuk anak yang paling enggak pernah macam-macam, bahkan gue bisa mendengar suaranya yang bisa dibilang cukup bangga saat berbicara. Apalagi karena gue anak perempuan satu-satunya di keluarga gue. Setidaknya gue tidak pernah melakukan apa yang dilakukan anak-anak teman-temannya. Dan gue tahu kalau teman-temannya nyokap juga tahu kalau gue anak baik-baik.

Well, gue gak baik-baik amat. Ada juga saat dimana gue bikin nyokap marah, bikin nyokap sakit hati. Tapi kalau dibandingkan dengan anak teman-temannya, gue masih jauh lebih mendingan. Gitu deh kira-kira. Bahkan di mata beberapa teman nyokap yang lain, gue ini anak yang sempurna.

But I also know, and you know it too, kalau sebenarnya gue tidak sesempurna itu. You know what I hide so well. It got me thinking, gimana ya seandainya kalau mereka tahu kalau gue itu... ya gue yang ini...? Dan gue merasa bersalah karena mereka, termasuk juga orang tua gue, salah mengira kalau gue ini adalah anak yang sempurna.

Gue tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi seandainya rahasia yang selama ini gue simpan, akhirnya ketahuan. It's the end of the world deh kayaknya, bukan cuma buat gue tapi juga keluarga gue. Makanya gue lebih memilih dihantui rasa bersalah seumur hidup daripada harus ketahuan.

After all, dihantui rasa bersalah itu udah jadi konsekuensi yang harus gue tanggung. As people say, there's always a consequence for every decision. Dan gue harus belajar bagaimana menanggapi rasa bersalah itu dengan cara yang paling baik. Doing whatever people ask isn't exactly the way, meskipun pada akhirnya itulah yang terjadi. So, I still have to learn...

Tuesday, 21 June 2011

I miss the dance, Brit!

Gue lagi nonton Channel V Countdown dan tahu-tahunya Britney Spears nongol di layar. Whew udah lama banget gue gak ngikutin perkembangan musik yang terbaru. (Iyalah, sibuk donlot lagu-lagu jadoel sih!)

Speaking of Britney, she was (is) one of my favorite singers, as well as one of my teenage-girls-crush... hehehe. Saking demennya, gue selalu ngikutin news tentang Brit. Mulai dari Brit cupu yang nyanyiin "Baby One More Time", sampai Brit yang lagi susah payah bertahan di industri musik. Dan terakhir kali gue ikutin perkembangannya adalah sewaktu dia ngeluari album "My Prerogative".

Setelah lama gak terdengar kabar, not only karena gue-nya yang gak update soal musik, Brit kembali lagi dengan album terbarunya "Femme Fatale". Yup, dan single-nya "Til the World Ends" berada di urutan 3 Channel V Countdown. Way to go, Brit!

Anyway, waktu gue lihat video clip-nya, there's one thing missing. The dance! Lagunya udah oke, video clip-nya udah mantap, lah dance-nya Britney kok ya begitu??? Hikh, padahal gue kangen lihat dia nge-dance. And I kinda miss the old Britney (yeah, there are always "the old one" and "the new one").

Nih ya video clip-nya...


Tuh kan, dance-nya biasa aja kan? Tapi gak apa-apa. At least now she made her way up. And like the VJ said, everyone loooooooooooooves Britney. So do I! LOL.

Friday, 17 June 2011

Waiting For the Chance

My life has been in a downfall lately. Things just happened and in one blink, I'm moving down fast like an avalanche. Once I realized, it's too late to stop nor to turn my way to one side. It's like driving a speed car with no brake...

I talked to an old friend a few days ago. Well, he was one of my ex's back on school days. (Yeah, I dated guys, too; 2 guys actually.) He said that his life is in a mess. He's not blaming other people, he knows exactly what caused the mess. And to the most regret for him is that he blew off the only chance he had to make things up for his life.

It hit me that I may have blown off the only chance I had to make things up for my life, too. Or maybe I haven't had the chance yet. Well, I'm not sure which one. But one thing I know, I can never blow off the chance to make my way up.

All I can do now is waiting for the chance to come, even though I feel like I'm waiting for something that isn't gonna happen. I know that chance only knocks once and like an avalanche, there's only one tiny little chance to survive.