Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Thursday 26 July 2012

Preferred Flatmate

"Mbak Rae, hasil tes IELTS-nya sudah ada. Boleh langsung diambil di kantor ya, mbak." Begitu isi SMS yang kuterima Jumat kemarin. O ow, jeritku dalam hati. Pastinya aku cemas dengan hasilnya karena aku merasa tidak mengerjakannya dengan baik. Secara aku keburu jiper ketika melihat si bule bermata sayu yang menjadi pengawas tes.

Di bagian Listening aku kehilangan konsentrasi sehingga melewati beberapa pertanyaan. Sementara di bagian Writing aku terlalu lama mengerjakan sub-bagian kedua, sehingga sub-bagian pertama kukerjakan dengan terburu-buru dan kemungkinan besar tidak mencapai seratus lima puluh kata. Dan di bagian Speaking, aku tergagap! Banyak bengongnya daripada bicaranya karena si bule seperti sedang menginterogasiku. Blank-lah sudah otakku dalam seketika. Dia menanyaiku pertanyaan, aku menjawab dengan satu dua kata, lalu dia lanjut ke pertanyaan berikutnya. Aku tidak sempat bercas-cis-cus. Ampun deh! Yang kurasa bisa kukerjakan dengan baik hanya di bagian Reading saja.

Hari Senin siang aku ke kantor penyelenggara tes, dan ternyata, eh ternyata, hasilku memenuhi syarat dari pihak universitas! Dengan overall band score pas dengan nilai yang diwajibkan, yaitu 6.5. Oh, betapa girangnya aku! Lebih mengherankan lagi, justru nilai Speaking-ku yang paling tinggi. Dengan hasil itu maka aku tidak perlu lagi mengikuti kursus Bahasa Inggris di sana yang harganya selangit jika dirupiahkan. Lumayan kan, menghemat biaya. Hasilnya pun segera di-submit dan sekarang aku tinggal menunggu surat Conditional Offer-ku diganti dengan Full Offer dari universitas yang bersangkutan. 

Sementara menunggu, aku coba-coba mencari akomodasi. Browsing dan googling kujabani demi mencari sebuah kamar sesederhana mungkin dengan harga sewa tidak melebihi AUD100 per minggu, ditambah biaya utilities (gas, laundri, listrik, internet, dll) antara AUD30-40. Itupun dengan biaya sewa kurang lebih AUD400 sebulan, artinya aku harus menghemat biaya makan, make-up, baju, dll dll. Sekalian diet deh tuh. Untung saja kudengar kabar bahwa untuk mahasiswa internasional diberikan potongan harga jika ingin menggunakan transportasi publik, bahkan ada yang gratis, asalkan menunjukkan kartu mahasiswa. Haleluya!

Aku masuk dari satu website ke website lainnya, dan akhirnya nyasar ke website EasyRoomate. Iseng saja kuisi aplikasi dan melakukan pencarian di situs tersebut. Dan lihatlah apa yang kutemukan!

Klik pada gambar untuk lebih jelas.

Iya, aku agak sedikit norak ketika mengklik kotak isian "Preferred Orientation" itu. Secara kalau cari kamar kost di Indonesia, kan tidak ditanyai sama tante kost-nya kamu mau tinggal serumah dengan gay, lesbian atau biseksual. Ya, kan? Kan?

Lantas pilihan mana yang kupilih? Tentu saja aku memilih "Doesn't Matter." Aku tidak peduli dengan orientasi teman serumahku. Lagipula, tidak mungkinkan ketika di sana nanti lalu aku memperkenalkan diri "Hai, aku Rae dan aku lesbian." Aku tidak kepikiran untuk keluar dari lemari. Belum. Pokoknya sekarang fokusnya pengurusan dokumen, visa dan cari kamar. Yang murah!

Dan pencarian pun masih berlanjut...

Monday 23 July 2012

Cerita Minggu

Sudah beberapa waktu lamanya aku tidak menghabiskan waktu luangku bersama kedua adikku. Biasanya di hari Minggu, kami bertiga, ditambah pacarnya si Tengah, jalan-jalan atau nonton bareng di bioskop. Tapi semenjak masalah pelik yang datang menimpa, kami tidak pernah lagi menikmati hari Minggu bersama. Namun hari ini, akhirnya kami memliki kesempatan jalan-jalan bersama, meski hanya sebentar.

Setelah mengantar Mama ke bandara, kami berempat memutuskan untuk jalan-jalan ke mal. Kami makan siang, kemudian menemani si Tengah menindik telinganya, lalu ke Naughty dan memilihkannya anting. Aneh, ya? Tidak satupun telingaku ditindik. Dipaksa pun aku tak mau. Dan ini adikku malah memiliki dua tindikan di kedua telinganya. Ketika kutanya kenapa ditindik, jawabnya supaya mirip Lee Min Ho. Halah, memangnya Min Ho telinganya ditindik? Si Bungsu pun menyeletuk, "Si Koko mah gara-garanya pacarnya dilirik cowok lain, yang dandanannya mirip Lee Min Ho. Makanya jadi ikutan pengin tindik." Ada-ada saja.

Beres dengan urusan tindik-menindik dan telinga, pacarnya si Tengah mengajak foto bareng. Kamipun menyetujui usulnya. Maka kami berempat bergegas ke sebuah arena bermain yang menyediakan photo box. Beberapa klik di layar, dan kamipun siap berpose, mulai dari pose jaim sampai dengan pose tergila, dengan berbagai latar yang tersedia. Aku jadi kangen dengan teman se-gengku. Dulu, jika baru saja dari salon dan potong rambut, kami selalu foto bersama di photo box untuk mengabadikan momen hari pertama memiliki model rambut baru, juga dengan alasan karena rambut jadi terlihat lebih indah karena baru saja ditata sedemikian rupa, sehingga membuat kami terlihat lebih cantik. Iya, narsis memang.

Sesudah foto berempat, si Tengah foto berdua bersama pacarnya sambil mengenakan topi Angry Bird yang dibelinya sebelumnya. Anak muda kalau pacaran, ya begitu tuh. He he... sok tua deh aku ini. Dengan waktu kurang dari 5 menit, fotonya pun jadi. Kami jadi terkikik-kikik sendiri melihat hasilnya. Lalu si Bungsu memelas minta diajakin main Timezone. Mau tidak mau, kami semua ikutan bermain. Bergantian kami bermain Time Crisis dan Nascar.

Puas bermain, dan isi voucher-nya habis, aku mengajak mereka pulang. Kakiku sudah mulai pegal dan aku mengantuk. Entah karena umurku atau karena aku menghabiskan hidupku di mal sewaktu kuliah dulu, aku jadi tidak tahan berlama-lama berada di dalam mal. Apalagi jalan-jalan mengelilinginya di saat sedang ramai pengunjung. Biasanya kalau ke mal, aku lebih suka menongkrongi kafe dan berlama-lama di sana, atau nonton bioskop.

Ketika hendak pulang, aku minta diantarkan ke rumah S karena hampir sepanjang akhir pekan ini aku tidak bersamanya. Hanya kemarin malam aku mampir sebentar di rumahnya sebelum menghadiri resepsi pernikahan sepupuku untuk mengambil parfumku yang ketinggalan. Ke pesta itu harus wangi. Ya, kan? Melihatku turun dari mobil dengan baju terusan berwarna hitam selutut, sepatu hak tinggi, dengan rambut yang dikeriting rol (itu namanya keriting apaan sih?) dan make-up komplit, dia menyolek lenganku dan berkata, "Hey, Seksi. Godain aku dong." Ha ha ha! Dan sebelum aku pergi, dia sempat menyematkan sebuah cincin di jariku. Bukan, bukan. Itu bukan cincin pertunangan. Hanya supaya matching dengan kalungku, begitu katanya. Makanya tadi aku minta diantar ke sini untuk mengembalikan cincinnya, dan pada akhirnya dia memintaku menginap.

Jadi tadi aku menemaninya makan malam sambil kuceritakan tentang pesta pernikahan sepupuku kemarin, juga tentang kegilaan kami berempat tadi. Mendengar itu, dia mengajakku foto bareng di photo box. Kupikir dia tidak akan mau melakukan hal-hal seperti itu, lho. Tapi mengetahui bahwa dia juga kepengin, apalagi sampai mengajakku, membuat aku tergelak. Setelah aku selesai bercerita, gantian dia yang menceritakan apa saja yang dilakukannya sepanjang akhir pekan ini, seperti yang sudah bisa kutebak, yaitu bersih-bersih dan baca buku.

Menjelang tidur, dia memintaku menambahkan lagu-lagu Korea yang minggu lalu kuselundupkan di ponselnya. Tuh, strategiku berhasil. Hahay! Dan sekarang diapun sudah pulas. Pacaran dengannya, mataku jadi sering terpejam di bawah jam sepuluh malam. Kecuali di saat-saat tertentu, seperti ketika kepalaku sedang penuh-penuhnya, atau di saat aku sedang ingin menulis, meski sebenarnya yang kutulis juga tidak penting-penting amat. Hanya berupa randon posting dan curcol tak jelas. Mungkin ini efek sampingnya saat ponselku sudah dibekali lengkap oleh aplikasi untuk menulis blog, mulai dari Blogger sampai Tumblr. Bahkan Wordpress juga ada, padahal aku tidak memiliki blog di domain yang satu itu.

Baiklah, ini sudah kelewat random deh. Jadi kututup saja dengan dengan sebuah kutipan yang kuambil dari salah satu fanfiction pilihanku. Sepertinya pernah kukutip di sini, tapi tidak lengkap. Dan kutipan ini kupilih berdasarkan pada kejadian yang kualami hari ini; momen bersama adik-adikku, juga kebersamaanku dengan S.
"Life and love are not about the moments you plan out, because rarely anything goes according to plan, right? Life is a collection of the small things; the quiet moments when you gaze at the stars, or when you share a delicious cup of coffee with good friends, or when you get a surprise visit from somebody special, however brief the visit might be.

Enjoy those moments... soak them up... store them away. Because
those are the moments that make the best memories, and those are the memories that will keep us warm on
cold nights when we are all old and gray."

Tuesday 17 July 2012

Minggat

Aku minggat. Tidak, tidak. Aku bukannya coming out pada keluargaku lalu diusir dari rumah. Yang kumaksud dengan "minggat" adalah aku menginap di rumah S. Minggat, karena seharusnya aku berada di sini hanya pada akhir pekan saja dan bukannya di hari kerja. Penyebabnya? Karena sebuah kejadian yang terjadi, yang membuatku kesal, sedih dan sakit hati yang terjadi di rumah.

Tidak pernah terbayangkan bahwa aku akan melakukan hal ini. Kau tau, minggat seperti ini. Aku bahkan bukan tipe orang yang bisa secara impulsif melakukan sesuatu di luar akal sehatku. Namun ketika kejadian yang menyakitkan itu terjadi, tahu-tahunya aku sudah berada di rumah S. Jadi kukirimkan pesan singkat kepadanya, mengatakan bahwa aku ada di rumahnya.

Mendengarkan lagu-lagu Joshua Radin selama perjalanan menuju rumah S tidak cukup membantu. Buktinya aku malah menangis seperti orang yang patah hati di kamar mandi. Selama beberapa saat aku menangis sampai kudengar ketukan di pintu. Dia masuk sebelum aku sempat menjawabnya. Baiklah, ini bukan adegan yang pernah kubayangkan bakal kualami; menangis di kamar mandi, di bawah pancuran, dan dipergoki pacar. Enggak keren dan menunjukkan betapa cengengnya aku. Not to mention that I was naked. And this time, I was literally naked.

Melihat reaksiku, dia meraih handukku yang digantung di balik pintu, menarikku keluar dari pancuran, membungkus tubuhku dengan handuk, lalu memelukku. Dan itu malah membuat tangisku semakin menjadi-jadi. Tuh kan, dasar cengeng. Manja deh. Tapi dia memelukku sampai tangisku reda, lalu entah bagaimana caranya tahu-tahu dia juga sudah ikutan mandi. Benar-benar kesempatan dalam kesempitan.

Selesai mandi, dia mengeringkan tubuhku dengan handuk, memakaikanku baju dan menyisir rambutku yang masih basah. "Nah, sudah cakep. Sekarang kamu mau donat?" Pertanyaannya itu membuatku menatapnya dengan mata mengerjap. Donat? Seriusan? Aku baru saja menangis selama sejam lebih, dan sekarang dia menawariku donat? "Aku mampir beli selusin Alcapone tadi..."

"Alcapone?" Dia mengangguk. "Selusin?" Angguk lagi. Kali ini ledaklah tawaku. Baiklah, sedikit gula mungkin bisa mengusir rasa sedihku. Lagipula, melihat bahwa dia ingat dengan pilihan rasa kesukaanku membuat hatiku sedikit berbunga. Iya, iya, banyak berbunga, deh.

Benar saja, ternyata ada sebuah kotak JCo di atas meja. Semuanya Alcapone. Dia menarikku duduk di sofa, meraih remote lalu menyalakan DVD. Tidak bisa dipercaya, kan? Baru beberapa saat yang lalu aku menangis bombay sampai hidungku mampet dan mataku terasa bengkak, dan sekarang kami makan donat sambil melanjutkan menonton episode Grey's Anatomy yang sedang kami ikuti.

Malamnya kami berbaring di tempat tidur, dalam diam, hanya menatap langit-langit kamar. Lampu sudah dimatikannya sejak tadi karena aku mengeluhkan sakit kepala dan menolak minum obat. Berbaring dalam gelap adalah cara yang cukup ampuh yang kutemukan untuk sedikit meredakan sakit kepalaku. Maklum saja, itu memang penyakit andalanku. Jadi tidak perlu heran jika aku menemukan cara meredakannya tanpa harus minum obat.

Beberapa saat lamanya kami berbaring, namun aku tahu dia sedang menungguku bicara. Maksudku, jika pacarmu tiba-tiba muncul di rumahmu, menangis lalu tertawa lalu makan donat sambil menonton Grey's Anatomy, kau pasti ingin tahu apa yang terjadi. Ya, kan? Kepalaku masih berdenyut ketika akhirnya aku bicara. Kuceritakan padanya apa yang terjadi, dan dia mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa. Bahkan ketika aku selesai bercerita, dia tidak mengatakan satu kata pun. Aku tahu, dia juga tahu, bahwa tidak ada yang perlu dikomentari mengenai ceritaku tadi. Yang dilakukannya justru meraihku ke dalam dekapannya, menyusupkan gelitik ketabahan dalam diriku.

Ketika pagi hari aku terbangun karena alarm di ponselku berbunyi sejam lebih awal, aku menemukan bungkusan obat dan segelas air putih di meja samping tempat tidur. Kuminum obatnya karena kepalaku masih terasa sakit. Kuselipkan tubuhku di antara guling, kembali ke dalam pelukannya, samar menghirup aroma sabun dan sampo. Lalu aku kembali tidur.

Sesaat sebelum S berangkat ke kantor, aku meminta diantarnya pulang. Dia tergelak. "Minggat kok pakai minta pulang segala, Say?" godanya. Aku menyipitkan mata, yang memang sudah sipit, dan dia mengiyakan masih sambil tertawa. Maka di sinilah aku, di mobil, di sampingnya yang sedang menyetir, mengantarku kembali pulang di jam makan siangnya.

Bisa-bisanya aku minggat. Meh...

Sunday 15 July 2012

I am Grateful

Hujan mengguyur deras di luar, membuat kami berdua dengan senang hati memilih untuk tinggal di rumah saja. Kami meringkuk di sofa dan aku mendekapkan tubuhku erat padanya karena udara yang dingin. Dia membaca buku, sementara aku membalas BBM sambil mengutak-atik iTunes. Aku harus meng-update beberapa aplikasi di ponselnya karena dia paling malas mengurusi segala sesuatu seperti itu. Sungguh, aku ini seperti sekretarisnya. "Itulah mengapa sebabnya aku punya kamu. He he he. Lagipula, kamu yang mengunduh mereka di ponselku, say," katanya. Tapi tak mengapa, karena itu artinya aku punya kesempatan menyusupkan lagu-lagu Korea. Lihat saja nanti siapa yang pada akhirnya akan tertawa. Ha ha!

Sambil menunggu unduhan aplikasi, aku mengecek email. Ada email dari Caty yang isinya berupa "ancaman" kalau aku bakal dijitaknya sampai pitak jika aku mempermainkan S. (Tenang saja, Caty. Aku tidak main-main. Lagian, aku tidak ingin kepalaku pitak.) Juga dia mengatakan kalau aku beruntung memiliki S. Kuingat-ingat, sudah ada 4 orang yang mengatakan kalau aku ini beruntung, dan salah satunya temanku yang sedang kubalas BBM-nya. Q juga berkata seperti itu ketika kuceritakan padanya saat kami chatting.

Kurasa mereka benar. Aku beruntung. Tidak hanya karena memiliki S, tapi juga karena banyak hal lainnya. Dan aku bersyukur untuk itu. Salah satunya karena aku memiliki teman-teman baik dan dekat. Aku tidak memiliki banyak teman. Aku mengenal banyak orang, iya. Tapi tidak sebegitu kenalnya hingga aku bisa berbicara lebih dari sapaan formal dengan mereka. Namun dengan teman-teman dekatku, kami bisa saling berbicara dengan terus terang. Bahkan kadang aku merasa aku terlalu straightforward dan membuat mereka tersinggung atau malah kesal. Tetapi bagiku, itu merupakan tanda bahwa mereka telah menjadi bagian yang penting dalam hidupku. Sebagai gantinya, aku tidak keberatan jika mereka melakukan hal yang sama terhadapku. Jika memang aku salah, maka mereka akan terang-terangan mengatakan aku salah. Termasuk juga mengingatkanku akan apa yang kumiliki saat ini yang sudah seharusnya kusyukuri.

Itu semua kemudian mengingatkanku juga akan segala sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupanku. Segala kesulitan, halangan dan rintangan, adalah sesuatu yang membuatku menjadi yang seperti sekarang ini. Jika tidak pernah aku mengalami semuanya itu, maka akupun tidak akan bertemu dan mengenal mereka yang saat ini memegang peran penting dalam hidupku, termasuk S. Aku lebih suka menyebut mereka orang-orang hebat, karena mereka memang hebat, dan karena melalui merekalah aku belajar banyak hal. Juga aku tidak akan pernah mengalami hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kukira ada, bahkan yang kusangkal selama ini. Dan pada akhirnya, semuanya berujung pada sebuah kesimpulan bahwa di tengah-tengah kekacauan dan hiruk-pikuk kehidupan, pasti ada sesuatu yang layak dan patut untuk disyukuri, sekecil apapun itu.

Aku melirik S yang masih asyik membaca buku. Aku tidak heran jika dia begitu asyik membaca karena akupun demikian saat membacanya. Menyadari aku sedang menatapnya, dia pun mengangkat wajahnya dan balas menatapku dengan tatapan penuh tanya. Aku memberinya sebuah senyum, lalu menggerakkan bibirku, mengucapkan I love you. Dia nampak terkejut. Belum terbiasa mendengarku mengucapkan kalimat itu rupanya. Hehe... Namun hanya sesaat dia terlihat kaget, dan kemudian membalas ucapanku sambil mendaratkan sebuah kecupan di bibirku. Maka aku pun tahu bahwa aku akan selalu mensyukuri dan mengingat saat-saat seperti itu.

Saturday 14 July 2012

In or Out

Life is about taking risks. Bukankah begitu kata orang? Dan aku setuju, kalau kau menanyakan pendapatku. Itulah sebabnya kukatakan bahwa aku ingin mencoba bungee jumping kepada S saat kami sedang duduk santai di sofa sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kuis untuk mengetahui apakah kamu seorang pengambil resiko atau sebaliknya, di sebuah majalah. Dan bungee jumping adalah jawabanku untuk pertanyaan "hal baru apa yang ingin kamu lakukan dalam hidupmu?"

Berbeda dengan jawabanku, S memilih untuk tidak melakukan apapun. Baginya, hal-hal baru lebih merupakan beban daripada tantangan. Dia merasa lebih tenang jika segala sesuatunya berada dalam keadaan stabil dan tidak berubah-ubah, meski dalam beberapa hal lainnya, mau tidak mau dia harus menerima perubahan karena dunia akan tetap berubah dengan atau tanpa persetujuannya. Aku mengerti kenapa dia seperti itu, terutama dalam hal pekerjaannya. Apa yang diperolehnya sekarang adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Itu yang membuatnya tidak ingin mengambil resiko, apalagi mencoba hal baru. Jadi aku memaklumi saja saat suatu ketika dia mengoceh ini-itu mengenai pekerjaannya atau mengenai bosnya. Yang kulakukan adalah bertanya padanya apa dia mau mencari pekerjaan baru, dan dia akan menjawab tidak, dan aku akan berkata, deal with it, baby, sambil tersenyum simpati. Lalu dia hanya akan mendesah pasrah.

Tidak hanya dalam hal pekerjaan saja, tetapi pada banyak hal lain dalam kehidupannya juga seperti itu. Misalnya, dia lebih memilih makan di restoran yang sama dan memesan menu yang sama setiap kali. Ketika kuajak dia makan di restoran lain yang juga menyediakan jenis masakan yang sama, namun belum pernah kami datangi, dia menolak. Alasannya mungkin bisa saja karena kenyamanan atau karena pelayanan restoran itu. Aku juga biasanya seperti itu. Ketika merasa nyaman dengan suatu tempat, aku akan terus mendatanginya. Meski, tentu saja, aku tidak keberatan untuk mencoba tempat baru. Tapi mengenal S, kemungkinan terbesar alasannya adalah karena dia malas menyesuaikan seleranya di restoran yang baru dan menghabiskan waktu menelurusuri satu per satu makanan di daftar menu.

Ketika insiden aku yang membeo saat dia menyatakan perasaannya, yang seharusnya menjadi momen intim dan indah bagi kami berdua tapi malah akhirnya jadi pemicu perang dingin, segalanya jadi terbalik. Aku sekarang berada di posisi S, dan S berada di posisiku. Aku lebih memilih untuk merasa aman, untuk melindungi diriku dari rasa sakit, dan menjaga jarak pada batas-batas tertentu agar aku tidak terlalu bergantung padanya, tidak mengikat diriku terlalu erat padanya, tidak melekat padanya. Alasannya? Simpel saja, karena agar nanti ketika waktunya kami harus berpisah, rasanya tidak akan terlalu menyakitkan, baik bagiku maupun bagi dia. Sementara S, dia tahu resikonya namun dia memutuskan untuk melangkah, bahkan sejak awal ketika dia memberanikan dirinya mendekatiku, dengan taruhan aku ini lesbian atau bukan. Lihat, dia bahkan sudah melompat, ber-bungee jumping, dan aku masih berdiri di atas, menimbang-nimbang apakah harus melompat atau tidak. I got chickened out because I want to save my ass, I mean my heart from getting hurt.

Maka malam ketika kami kembali dari kencan spesial yang kubuat untuknya sebagai usaha perdamaian dan menunjukkan niatku bahwa aku benar-benar ingin menjalani apapun yang akan kami jalani bersamanya, aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Kutelanjangi diriku - tidak secara harafiah - dan secara gamblang mengatakan semuanya kepadanya. Semua yang menjadi alasan kenapa aku membeo. Semuanya.

Dan inilah yang dia katakan padaku; masih ada waktu 6 bulan, kurang lebih, sebelum tugasku berakhir, bukan? Aku mengangguk. Dan selama ini kita menikmati saat-saat bersama. Angguk lagi. Meski kadang ada adu pendapat, tapi kita justru malah lebih menikmatinya, betul? Angguk, angguk. Ingin kutambahkan kalau aku juga sangat menikmati waktu sesudahnya. Well, kau tahu maksudku... Dan apapun nanti yang akan terjadi, atau seberapa sakitnya luka yang akan dirasakan, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa bersamamu, walau sesingkat apapun. Angguk. Karena aku pernah melewatkannya dan aku menyesalinya. Angguk, meski aku kurang paham dengan maksudnya. Pernah melewatkan? Akan kutanyakan padanya nanti. Jadi aku ingin melanjutkan apa yang kita miliki sekarang ini. Angguk, angguk, angguk. Gimana dengan kamu? Are you in or out?

Kali ini aku tidak membeo. Sudah cukup urusanku dengan si beo. Hanya membawa petaka saja. Kali ini, mengikuti saran temanku, show some gestures, kutatap dia dengan penuh keyakinan dan kukatakn I love you untuk yang pertama kalinya dan untuk yang kesekian kalinya di antara ciuman kami. I am so in.

Malam itu kami pun bercinta seperti tiada hari esok.

Thursday 12 July 2012

The Right One

Temanku baru saja putus dengan pacarnya. He wasn't the right one, begitu jawabnya ketika kutanya alasan kenapa dia mengakhiri hubungan mereka. Dia temanku dan aku mengenalnya dengan baik dan aku tahu dia akan baik-baik saja meski sedang patah hati. Tidak akan butuh waktu lama sampai dia menemukan pengganti.

Aku menoleh ke sebelah kanan monitor, dimana ada kotak chat dengan temanku yang lain. Kalau yang satu curhat menenai putus cinta, yang satu ini curhat kapan dia bisa menemukan si "Mr. Right".

Kenapa sih, banyak orang terobsesi untuk menemukan "the right one"? Temannya temanku bahkan pernah berkata bahwa dia harus pacaran sesering mungkin untuk memperbesar kemungkinan menemukan pendamping yang paling tepat untuknya. Percayalah, aku sedang tidak men-judge. Aku hanya ingin tahu saja. Maksudku, kalau setiap orang yang pacaran lalu merasa pacarnya bukanlah orang yang tepat, bukan belahan jiwanya, lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan, kasihan amat yang diputusin. Bagaimana kalau mereka ternyata bukanlah orang yang tepat bagi siapapun? (Aku tahu, ini pikiran paling ngaco. Jadi tidak usah diambil pusing.)

Sekarang coba bayangkan kalau aku juga seperti itu. Mencari orang yang paling tepat untukku. Kemungkinan besar aku tidak akan menemukannya. Maksudku begini, berapa banyak lesbian yang bisa kutemui dalam sebulan? ZERO. NULL. Ini saja kalau bukan S yang mengambil inisiatif lebih dulu, aku tidak akan pernah tahu kalau dia lesbian, apalagi menjadi pacarku. See? I don't even have gaydar on me!

Kembali ke pertanyaanku tadi. Akan kuperjelas pertanyaanku: Sepenting itukah menemukan "the right one"? Berapa banyak kali harus pacaran dengan orang yang salah sebelum akhirnya menemukan yang tepat?

Kupalingkan wajah ke arah S yang sedang asyik membaca buku, lalu kusenggol kakinya. Dia hanya menyahutku dengan "hmmm"-nya yang khas tanpa mengangkat wajahnya dari buku. Kutanyakan saja pendapatnya tentang perihal tadi. Nah, kali ini aku mendapatkan perhatiannya sepenuhnya.

"The right one?" tanyanya, dan aku mengangguk. Aku benar-benar ingin tahu jawabannya. Dan inilah jawabnya.

Whoever the person you're in love with, he/she is the right one. Otherwise, you wouldn't fall in love in the first place."

Jackpot!


Pikirku benar juga apa yang dikatakannya. Kalau dari awal sudah merasa salah, ya tidak bakal jatuh cinta. Iya, kan? Kurasa ya.

Karena merasa telah memperoleh jawaban yang sangat memuaskan, kuberi dia kecupan di pipi. Tapi ternyata di sinilah kekacauan mulai terjadi. S meletakkan bukunya di atas meja, memutar tubuhnya hingga menghadapku. Wajahnya tampak serius.

"Aku cinta kamu, itu artinya kamu orang yang tepat untukku. The right one, kalau mengikuti istilahmu." Pengakuannya membuat hatiku melonjak. "Pertanyaannya," lanjutnya. Kali ini aku was-was. "Apa kamu juga seperti itu terhadapku?"

Aku melongo. Aku bengong. Aku membuka dan menutup mulutku seperti ikan mas koki. Tidak mengatakan "ya" ataupun "tidak." Aku hanya menatapnya, tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutnya. Selama beberapa saat dia menungguku mengatakan sesuatu, tapi mulutku tidak bisa berbicara di saat ia seharusnya berkata-kata. Dan malam itu dia memunggungiku saat tidur. Pintar sekali kamu, Rae.

Esok harinya dia mogok bicara. Bahkan ketika aku pamit pulang pun dia tidak mengatakan apa-apa. Baiklah, dia sedang emosi. Sedang sewot, kalau kata temanku. Jadi kubiarkan dia tenang dulu. Uh, setidaknya itulah yang kukira. Namun ternyata diamku, lagi-lagi, malah memperburuk keadaan. Setelah disadarkan, baru aku mengambil tindakan.

Kalau kamu belum menentukan pilihanmu, lebih baik akhiri saja hubungan ini. Lebih cepat, lebih baik.

Itu katanya ketika aku menelepon dia untuk meminta maaf dan menjelaskan kenapa aku bengong seperti beo malam itu. Ya ampun, begini nih repotnya pacaran sama yang lebih tua. Gak neko-neko.

Namun harus kuakui bahwa perkataannya itu membuatku sadar. Aku sadar bahwa aku memiliki sesuatu yang berharga. Aku memiliki seseorang yang tahan mendengar kicauanku tentang pikiran-pikiran teraneh yang tak bisa kaubayangkan, yang bersedia menggosokkan minyak gosok di punggungku sebelum tidur (oh ya, aku baru bisa tidur setelah digosoki minyak gosok), yang memberiku kecupan selamat malam dan selamat pagi, yang membuat dadaku sesak oleh bahagia saat dia menatapku, yang membuatku memasang senyum I-just-got-laid yang membuatku terlihat bodoh tapi aku tidak peduli.

Dan di antara segala ketidakpastian, aku tahu pasti bahwa aku tidak ingin kehilangan dia. Aku sudah menetapkan pilihanku sejak awal. Yang harus kulakukan sekarang adalah meyakinkannya bahwa - seperti aku baginya, dia bagiku juga orang yang tepat. The right one.


Ps. Maaf, aku sedang mellow, dan malam ini hujan lebat. Kelebayanku sedang berada pada titik tertinggi, dan aku perlu meredakan kecemasanku. So yeah...

Friday 6 July 2012

Blogger yang Tidak Pandai Menulis

Itupun kalau aku layak disebut blogger. Sepertinya aku lebih merupakan tukang curcol di dunia maya. Semacan dedemit yang gentayangan di dunia per-blog-an dan senang curhat.

Lantas kenapa aku menyebut diriku seperti itu? Jadi begini ceritanya. Aku sedang panik. Panik sepanik-paniknya. Aku panik karena kedapatan ternyata aku tidak bisa menulis! Padahal sebentar lagi aku akan mengikuti tes IELTS.

Begini, lho. Dalam tes IELTS terdapat empat bagian, yaitu Listening, Reading, Writing, dan Speaking. Awalnya kupikir aku akan kesulitan di bagian Listening, karena aku sering terpukau dengan aksen British yang digunakan sehingga lupa menjawab soal. Atau bagian Reading, karena aku sering mengantuk saat mebaca artikelnya. Eh, ternyata malahan aku bengong saat mengerjakan bagian menulis ini.

Ada dua sub-bagian untuk Writing, yang pertama adalah menjelaskan data yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau diagram, dan yang kedua adalah menuliskan opini atas sebuah pernyataan. Dan di kedua sub-bagian itu aku sama sekali kesulitan. Sulitnya adalah aku bingung harus memulai dari mana, dan seringnya ide-ideku tidak memiliki draft yang beraturan karena aku terpaku pada waktu pengerjaan soal dan pada aturan agar tidak menggunakan kata-kata yang sama berulang-ulang.

Tuh, kan? Gimana aku tidak panik kalau begini? Saking paniknya aku sampai menelpon S selesai les tadi, lalu mulai nyeloteh yang tidak karuan. Menyadari ada yang tidak beres, dia memintaku mampir ke rumahnya. Saat aku tiba, mami sudah tidur. Jadi kami mengobrol di ruang tengah. Di sana aku baru bisa menjelaskan kepanikanku dengan lebih jelas. Namun yang dia lakukan hanyalah tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Itu benar-benar membuatku kesal. Aku sedang panik dan dia menertawaiku.

Bukannya menjelaskan apa yang lucu, dia malah bangkit berdiri, masuk ke kamarnya, lalu keluar lagi sambil membawa sebuah buku di tangannya. Akupun bengong ketika dia menyerahkan buku itu. Di tanganku kini ada sebuah buku yang berjudul "Sputnik Sweetheart" karya Haruki Murakami. Mataku langsung melotot dan aku melonjak kegirangan. Itu buku yang sudah lama kucari!

"Nah, udah gak panik lagi, kan?" katanya. Aku memandanginya dengan penuh ucapan terima kasih dan dia membalasnya dengan tersenyum manis.

"Terima kasih," kataku akhirnya.

"Kamu pasti bisa mengerjakan tes dengan baik," hiburnya, sambil mengelus kepalaku. Aih, aku merasa seperti anak kecil kalau sudah diperlakukannya seperti ini. Tapi aku suka... (memang dasar anak kecil.)

Setelah beberapa saat, aku pamit pulang. Dan sekarang, setelah tiba di rumah, aku malah dilema antara membaca buku pemberiannya, lanjut latihan, atau malah ngeblog. Ujung-ujungnya, kalian tahu sendiri, kan? Kini panikku mulai kumat lagi. Duh, memang dasarnya aku tukang panik! Jadi malam ini aku akan tidur dalam kepanikan.

Ps. Ketika kukatakan "melonjak kegirangan," yang kumaksud adalah menggoyang-goyangkan tangan dan kepalaku tanpa bersuara, karena takut mami bangun.

Wednesday 4 July 2012

Perawan Tua

Wajah maminya terlihat berseri saat mendapatiku berdiri di depan pintu rumah. Aku membalas dengan senyum yang tak kalah sumringah dan mami mengajakku masuk. Rasanya lucu karena aku diperlakukan seperti tamu. Padahal aku punya kunci rumahnya, lho. Sambil menunggu mami siap-siap, aku duduk manis di sofa. Kemarin aku janji mengajaknya jalan-jalan hari itu. Katanya bosan di rumah sendirian karena S harus bekerja. Kebetulan aku memiliki beberapa jam waktu luang sebelum mulai les, jadi kuajak mami jalan sebelum nanti kembali pulang ke kotanya. Ketika mami akhirnya siap, kami langsung menuju mal terdekat.

Di mal aku menemaninya belanja beberapa barang keperluan hariannya, juga keperluan S. Selesai belanja, aku membawa mami ke restoran favoritku untuk makan siang, yang juga akhirnya menjadi tempat kencan favorit aku dan S. Di sana kami mengobrol tentang banyak hal, termasuk mengenai S. Awalnya aku sedikit kikuk membicarakan S dengan maminya. Aku tidak ingin terlalu banyak memberikan komentar. Tapi kemudian kuanggap saja maminya berbicara padaku seperti berbicara pada teman anaknya. Ngerti kan maksudku? Enggak, ya? Yasudah. Aku juga tidak mengerti.

Dan tentu saja, dari sekian banyak hal yang dibicarakan tentang S, terselip pembicaraan mengenai S yang sampai saat ini belum ada tanda-tandanya bakal menikah. Setelah beberapa waktu bersama S, aku tahu kalau maminya masih suka mengingatkan dia mengenai usianya yang sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga, meski menurut S tidak sesering dulu. Katanya, Mami sudah di ambang menyerah, tapi belum karena orang-orang sering bertanya padanya kapan anaknya menikah.

Aku melayangkan senyum pengertian, seolah aku mengerti. Tapi aku tak kuasa menahan mulut, dan tanpa kusadari aku berujar, Mungkin dia lebih senang hidup sendirian dan bebas, ai. Oh, terkutuk mulutku. Dan mami merespon ucapanku dengan menjelaskan bahwa meski tidak ingin memaksa, tapi ia hanya tidak ingin anak perempuannya hidup sendiri dan kesepian di masa tuanya. Ia tidak akan selamanya hidup di dunia dan ketika saat itu tiba, saat ia harus pergi, maka S akan sendirian. Lalu siapa yang mengurusnya di saat dia tua nanti? Siapa yang akan menemaninya?

Kali ini aku mengerti perasaan mami. Maksudku, orangtua mana yang tidak bakalan memikirkan anak-anaknya? Dan setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, bukan? Meski sebenarnya bagiku, kadang yang mereka anggap terbaik belum tentu seperti itu bagi anak-anak. Untungnya kali ini aku berhasil menahan mulutku, dan yang kulakukan hanya mengangguk-angguk kecil.

Mungkin ini salahku, karena keadaan keluarga yang sulit membuat dia tumbuh menjadi perempuan yang terlalu mandiri, lanjutnya lagi. Nah, ini baru mengejutkan buatku. Aku memang tahu cerita mengenai riwayat kehidupan keluarga mereka. Tapi mami yang menyalahkan dirinya dengan apa yang terjadi pada anaknya sekarang? Ini sungguh di luar dugaan. Aku jadi kehilangan kata-kata. Ingin kuhibur, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tiba-tiba aku memikirkan Mama. Dalam hati aku bertanya, akankah Mama juga nantinya berpikir seperti ini? Menyalahkan dirinya karena aku tidak menikah? Atau menyalahkan keadaan yang pernah terjadi, yang membuatku tidak ingin menikah?

"Bagaimana dengan kamu?" tanya mami, membuyarkan lamunanku.

"Eh? Aku? Uhmm, belum kepikirian, ai," kataku.

"Ah, kamu sama saja dengan S. Kalian berdua bisa tua bersama kalau begitu. Si perawan-perawan tua." Aku hanya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan mami. Seandainya mami tahu, ya...

Kami melanjutkan makan, lalu aku memesan es krim sebagai makanan penutup. Es krim kami tiba bersamaan dengan S yang baru saja pulang dari kantor. Kami janjian bertemu di sana karena dia yang akan mengantar maminya pulang. Kutanya apakah dia ingin makan, tapi dia menolak. Katanya dia kepingin makan tahu tempe yang dimasak maminya di rumah, lalu menyicip es krimku. Setelah selesai, kami keluar dari restoran karena sudah waktunya aku les. Maminya minta ditemani ke toilet dan sambil kami menunggu, kuceritakan kepada S obrolanku dengan mami.

Perawan tua yang tidak perawan tentunya, komentar S, menanggapi ceritaku. Dan mami bilang kita berdua boleh tua bersama. Kamipun tergelak. Dan masih tergelak ketika mami kembali, membuatnya menatap kami penuh heran.

"Ya, ya, ya. Kalian berdua memang cocok. Sama-sama aneh," kata mami, lalu ngeloyor pergi dan kami mengikutinya dari belakang sambil terkikik.

Mami, mami...

Sunday 1 July 2012

Never Give Up Hope

Kali ini aku memilih tinggal di rumah dan bersantai. Aku tidak bertemu S dan maminya hari ini agar mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Lagipula masih ada setumpukan buku yang harus segera ku-khatam, dan aku masih harus kembali me-review bahan untuk tes nanti.

Well, rencananya sih begitu. Tapi ujung-ujungnya malah aku asyik menonton TV, lalu pada akhirnya ngeblog sambil mengunduh lagu-lagu Korea. Oh, ini salah satu misiku; mengojok-ngojokin S dengan lagu Korea yang ajib-ajib dan unyu-unyu. Jangan melulu mendengarkan Il Divo dan lagu-lagu lainnya yang populer di zaman manusia masih menulis di atas batu. Jadi aku harus menyiapkan persediaan lagu-laguku dan tinggal menunggu saat yang tepat untuk kuselundupkan mereka di ponselnya. Kalau perlu, akan kuselundupkan juga video klip para artis-artis nan bening itu, yang usianya mencapai satu dekade lebih muda darinya. (Nah, sekarang coba bayangkan aku yang sedang tersenyum ala Lucifer.)

Baiklah, mari kembali ke tujuan awal aku menulis postingan ini. Jadi tadi aku makan siang sambil menonton acara "Got to Dance UK," yang digawangi Adam Garcia, Kimberly Wyatt (pasti kenal dong ya?) dan Ashley Banjo. Di saat ada waktu luang, aku selalu menyempatkan diri menonton acara itu, jika sedang tayang di TV. Ingin rasanya bisa jago menari, ya? Tapi mau bagaimana lagi, tubuhku kaku seperti batu. Hanya jari saja yang lincah jika diketuk-ketukkan di atas tombol-tombol keyboard komputer. Anyway, yang menarik adalah saat audisi yang tadi kutonton, ada sebuah grup tari yang terdiri atas beberapa anak penderita down syndrome.

Ketika awal melihat mereka diwawancarai oleh pembawa acara Davina McCall, aku ragu bahwa mereka bisa menunjukkan sebuah tarian apik, apalagi diloloskan juri masuk ke dalam shortlist. Namun yang membuatku merasa seperti seperti ditampar bolak-balik adalah ternyata tarian mereka lumayan. Mulai dari teknik menari sampai koreagrafi yang ditampilkan, melebihi ekpektasiku. Dan yang paling menggugah adalah ketiga juri juga memberikan bintang emas, sebagai tanda mereka lolos masuk ke shortlist.

Kupetik sebuah pelajaran dari adegan sepanjang satu setengah menit itu, yaitu untuk tidak pernah berhenti berharap. Jika dibandingkan dengan peserta lainnya, yang jelas-jelas bisa lebih baik dari mereka, adalah mustahil mereka bisa lolos. Tapi harapan untuk bisa terus menarilah yang membuat mereka tidak menyerah, bahkan ketika orang-orang meragukan kemampuan mereka.

Aku membayangkan betapa sulitnya mereka harus melatih gerakan-gerakannya, dan entah berapa kali mereka harus melakukannya karena gerakannya tidak sempurna saat latihan. Dan betapa melelahkan... Namun mereka terus berusaha karena ada harapan. Jika ada yang berkata bahwa harapan adalah sesuatu yang membuat seseorang tetap hidup, maka aku setuju. Apa gunanya hidup jika tiada lagi harapan?

Ah, Rae. Kamu berkata seperti itu karena sekarang hidupmu penuh dengan pengharapan. Hidupmu terlihat mudah. Kamu mendapatkan apa yang kauinginkan.

Siapa sih yang tidak pernah mengalami kegagalan? Semua orang pasti pernah, termasuk juga aku. Entah itu kegagalan dalam meraih impian, kegagalan dalam hubungan percintaan, atau kegagalan-kegagalan lainnya. Namun ketika mengalami kegagalan ada yang langsung patah semangat, tapi juga ada yang bisa langsung bangkit kembali. Seberapa banyak proporsi antar keduanya, aku kurang tahu pasti. Yang jelas, yang selalu menjadi contoh adalah mereka yang bisa bangkit kembali, bukan?

Hidupku sekarang mungkin terlihat mudah di mata orang-orang. Tapi bukannya hidup itu tidak selamanya sulit, juga tidak bakal selalu mudah? Itu artinya kehidupanku sebelum ini adalah sulit. Tak perlu aku ceritakan secara detail mengenai pergumulanku, yang sebenarnya masih terus berlanjut hingga saat ini. Bedanya, kini aku bisa menghadapi segala sesuatu dengan lebih lapang. Harus kuakui, menerima masalah dengan tangan terbuka menjauhkanku dari depresi. Dan berdoa, itu juga perlu.

Kini aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Namun harus diingat juga bahwa aku pernah mengalami kehilangan. Bukankah ada kutipan yang berkata bahwa saat kita kehilangan sesuatu, maka nantinya kita bisa memperoleh sesuatu yang lebih besar? Menangisi kehilangan terus-menerus bisa membuat seseorang lupa untuk kembali berharap.

Kalau boleh jujur, aku sendiri pernah kehilangan pengharapan. Seolah aku dihadapi pada jalan buntu kemanapun aku melangkah. Dan yang lebih jujur lagi, aku pernah lelah berharap karena terlalu sering dikecewakan oleh harapan itu sendiri. Sepertinya pernah kuceritakan mengenai itu di blog ini. Akan tetapi hidup memiliki caranya sendiri bagi setiap manusia. Selama masih bernafas, maka roda kehidupan masih terus berputar.

Untuk menjaga agar harapan tetap realistis itu juga penting. Akan tetapi untuk berhenti berharap adalah sesuatu yang mustahil. Mengingat kelompok tari tadi... mereka saja, yang memiliki keterbatasan, berani untuk bertindak dan berharap. Apalagi lagi kita - aku dan kamu? Seperti kata seorang sahabatku, "Hope is what I go to sleep with every night, and what I wake up for every morning." Dan aku tidak bisa tidak lebih setuju dari itu.

Kuncinya adalah menerima, melanjutkan hidup dan jangan pernah berhenti berharap, apalagi menyerah. Itu yang selalu kuingatkan pada diriku sendiri, manakala aku sedang berada di titik terendah kehidupanku.

Si Mami

Akhirnya maminya S tiba juga. Pagi tadi, setelah *ehem ehem* kilat (yang sepertinya karena adu argumen kemarin malam), kami buru-buru mandi lalu berkendara ke bandara. Dan benar saja, ketika kami tiba ternyata pesawat yang ditumpangi maminya sudah mendarat, dan maminya sudah menuggu beberapa saat di sana. Aku, yang merasa tidak enak karena terlambat, berkali-kali minta maaf. Aduh, masa iya, kesan pertama bertemu mertua adalah aku orang yang tidak tepat waktu? Apalagi jika mengingat alasan kami terlambat...

Anyway, dari bandara aku mengantar mereka ke sebuah restoran yang menyediakan menu-menu sarapan untuk kami sarapan sekaligus hampir makan siang. Di sana, sambil menunggu pesanan, kami mengobrol santai. Lebih tepatnya sih, maminya menanyaiku ini dan itu, layaknya sedang mengintoregasi. Seperti fit and proper test gitu deh. Hehehe... enggak deng. Aku berlebihan.

Selesai makan, kami kembali pulang. Namun baru beberapa saat tiba di rumah, maminya bersikeras minta diajak jalan-jalan. S melarang karena maminya baru saja menempuh perjalanan panjang dan seharusnya istirahat. Tapi katanya, "Mami ini jauh-jauh datang ke sini, masa cuma berdiam diri di rumah? Mami masih kuat lho." Dengan itu, maka berakhirlah sudah rundingan, dengan hasil aku memihak maminya dan S mengernyitkan alisnya kepadaku, menyadari mulai terciptanya aliansi antara aku dan maminya. Kubalas dia dengan cengiran selebar cengir kuda.

Jadilah maminya kubawa jalan-jalan ke sebuah tempat wisata yang pernah aku dan S datangi. Sepanjang perjalanan maminya terus mengobrol, menanyaiku tentang kotaku, dan terutama ingin tahu banyak mengenai tempat wisata yang kami kunjungi. Pokoknya jika dibukukan, obrolan kami seharian ini bisa lulus syarat penerbitan novel.

Menjelang sore, S mengajak kami pulang dengan alasan aku masih harus menyetir pulang ke rumahku, yang letaknya cukup jauh dari rumah S. Iya, malam ini tidak ada acara inap-inapan karena ada maminya S. Di perjalanan pulang, S menyetir, maminya duduk di kursi penumpang dan tertidur, sementara aku duduk di kursi belakang. Berkali-kali S menatapku dari spion mobil dan kami saling beradu pandang. Seolah kami bisa berbicara melalui tatapan, aku tahu dia meminta maaf karena celotehan maminya yang tiada henti. Meski S selalu ikutan nimbrung dalam obrolan dan canda kami, tapi pada dasarnya aku lebih banyak berbicara. Aku memberinya senyum pengertian. Lagipula, aku menikmati obrolan dengan maminya tadi.

Aku sudah hampir menoleh ke arah jendela di samping ketika kulihat dia masih menatapku, sambil sesekali mengalihkan tatapannya ke jalan di depan. Lagi-lagi dia meminta maaf melalui tatapannya itu, dan kali ini aku tahu apa maksudnya. Dia meminta maaf atas kejadian kemarin malam. Padahal semalam kami sudah saling minta maaf, begitu juga tadi pagi. Namun melalui tatapan ternyata rasanya lebih menyentuh dan lebih tulus. Jadi ingat dengan kalimat "If looks can kill..." Melihat tatapannya, aku hanya menggelengkan kepala, seperti berkata, Lupakan saja. Lagipula pertengkaran itu tidak sepenuhnya salahnya. Aku juga salah.

Sisa perjalanan kuhabiskan dengan menyelesaikan buku yang sedang kubaca. Lalu setelah tiba di rumah S, aku segera pamit pulang. Dan sekarang, lagi-lagi, aku masih belum bisa tidur. Padahal tubuhku sudah berteriak minta diistirahatkan. Tapi apa daya, mataku belum mau menyerah. Entah karena dua gelas kopi hitam yang tadi kuminum, ditambah seperempat gelas kopi milik S, atau karena aku tidak berceloteh mengenai pikiran-pikiranku kepada S, seperti yang biasa kulakukan.

Semalam, setelah selesai menulis blog, aku bisa langsung tidur. Semoga malam ini juga begitu. Semoga menulis di sini, di tengah malam buta, bisa menjadi obat tidur untukku. Jika S bisa tidur setelah kuninabobokan dengan celotehanku, maka aku bisa tidur setelah berceloteh di sini. Makanya, kupikir blog ini seharusnya kunamakan "Celotehan Rae."

Ah, baiklah. Aku sudah mulai ngawur. Sebaiknya aku akhiri di sini lalu bersiap tidur.

Selamat malam, maksudku pagi, dunia.