Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Saturday 30 June 2012

Midnight Rambling

It's less than an hour before midnight and I'm still wide awake. Despite my eyes are weary and by now I'm having severe headache, I still couldn't fall asleep. If this is what people call insomnia, then I might have it right now.

S has already been asleep. Usually I would just ramble on her about everything before we go to sleep, that she told me it has become a ritual for us when I'm having sleepover. Me rambling is more like I'm singing lullaby to her. But lately she had to stay up late at night doing paperwork these past few days, so I didn't want her to listen to any more thoughts that came into my mind when she got more time to rest.

By the way, earlier this evening we had a little argument over something that - when I think about it now - was silly. Apparently, we have different perception on certain things, which is quite normal, right? And difference doesn't really do any good when you are worn out, or when you are having PMS. It wasn't a big deal actually, though she really got into my nerve when she said the things she had said to me. I wasn't the saint either, because I said something terrible to her. (And people wonder why do I prefer to be silent most of the time, really.)

However, we finally came to an understanding and we made up and she got back to her paperwork, while I continued doing the task exercise on the IELTS book that she bought me.

Well then I guess it was the first fight we had.

It wasn't an ugly argument, yet I have to keep in mind that other people, including S, have different point of view about things before we get into each other's throat (figuratively). And knowing S and her story of the past, I, of all people, should have better understanding when it comes to her disagree about my doings that involves her in personal.

So, maybe what's happened earlier has been keeping me awake. Or maybe I am just worried about the next week test. Whatever it is, I should probably go to bed. And S's mother is coming to town and we'll have to pick her up in the morning.

Oh yes, I'm having a big day tomorrow then. Crossing my fingers that things will go well!

Sunday 24 June 2012

Mimpi

Pernah tidak, mengalami mimpi buruk? Yang karena buruknya, lalu membuat mimpi itu seolah nyata? Dan bahkan menghantuimu sampai-sampai kamu tidak lagi berani tidur?

Bagiku, mimpi dikejar manusia yang jahat, seperti psikopat, itu jauh lebih horor dibandingkan mimpi dikejar setan. Dan sialnya, aku lebih sering bermimpi dikejar psikopat. Bukannya aku sering bermimpi saat tidur juga... hanya saat-saat tertentu sepertinya.

Hari kedua di rumah sakit, malamnya aku bermimpi. Buruk. Jauh lebih buruk dari mimpi dikejar psikopat, yang sepertinya kini kunobatkan menjadi mimpi terburuk abad ini. Aku bermimpi ketahuan lesbian oleh Mama. Tuh kan, buruk banget kan? Bahkan S sampai harus membangunkanku karena katanya aku mengigau yang tidak-tidak. Esoknya aku tidak berani tidur siang sendirian karena takut bermimpi lagi. Mengingat reaksi Mama di mimpiku masih membuat bulu kudukku meremang.

Kuceritakan mimpiku pada seorang teman. Setelah beberapa saat mengobrol, aku lantas sadar ada satu kecemasanku yang cukup mengganggu, meski seringnya tidak kuacuhkan. Dan kemudian kecemasan itu bisa saja memengaruhi alam bawah sadar dan membuatku bermimpi... atau setidaknya itu yang kupikir. Lalu kata temanku itu, katanya sebaiknya coba aku ceritakan pada S. Mengikuti sarannya, malam itu kuceritakan semuanya kepada S. Mulai dari tentang mimpiku, kecemasanku, sampai pikiran-pikiranku yang tidak mungkin kukatakan pada orang lain, apalagi dituliskan di sini. Yang S lakukan setelah aku selesai bercerita yaitu memelukku erat. Dia tidak mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja, melainkan berkata, "Aku ada di sini."

Malam itu kami tidur dempet-dempetan di tempat tidur pasien. Aku tidur nyenyak. Begitu nyenyaknya sampai aku memimpikan Santana mendadak berubah menjadi seorang heroine yang memiliki ilmu sihir. Lalu mimpiku beralih dari dunia sihir ke pertarungan hi-tech ala Transformers. Ketika kuceritakan mimpiku itu kepada S di pagi harinya, katanya aku terlalu banyak membaca buku dan fanfiction Brittana. Ya, kuhabiskan hari-hariku di rumah sakit dengan membaca buku seri "The Infernal Devices," yang mengisahkan tentang dunia sihir, juga membaca fanfiction dari Blackberry. Tapi aku bahkan tidak menonton Transformers! Well, tidak setelah Megan Fox diganti. Namun setidaknya aku tidak bermimpi yang horor malam itu.

Jangan tanya apa mimpiku di malam selanjutnya, karena sampai tadi malam akupun masih bermimpi. Ini kejadian yang cukup aneh bagiku. Tidak pernah aku mengalami mimpi di malam berturut-turut seperti sekarang ini. Tidak juga aku merupakan seorang yang penakut. Tapi mimpi-mimpiku yang semakin hari kian aneh ini mulai membuatku takut. Mungkinkah karena aku sedang sakit? Entahlah... Lihat saja apa aku akan bermimpi lagi malam ini.

Semoga tidak.

Wednesday 20 June 2012

Celoteh Saat Sakit

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Kamis minggu kemarin, aku dan S duduk berdempetan dengan pasien yang lain di ruang tunggu praktek dokter. Hari itu aku menemani S yang sedang sakit. Untungnya hanya demam biasa, dan bukannya demam yang menjadi gejala penyakit-penyakit yang menyeramkan itu.

Hari Sabtu S sudah merasa baikan. Maka atas usul seorang teman, kubawa dia menginap di rumahku. Pikirku, kan lumayan bisa makan enak kalau di rumahku. Jadi itu merupakan kali pertama aku membawa pacar ke rumah, juga pertama kalinya S bertemu keluargaku.

Rasanya? Aduh, dag-dig-dug-deg-duar! Pokoknya cemas-cemas senang. Cemas karena bisa saja ketahuan kami ini tidak sekedar berteman. Pasalnya, si Nut bilang gerak-gerik dan bahasa tubuhku sekarang berbeda. Bahkan katanya, "You have this silly I-just-got-laid smile on your face." Padahal kami hanya bercakap melalui Skype, lho. Oh, dan aku tidak sedang "got laid" juga. Duh! Namun aku senang karena akhirnya dia bisa datang di rumahku, makan masakan Mama dan menginap pula. Yay!

Di hari Senin, S sudah merasa sehat, meski belum mulai bekerja. Jadi kemarin kuantar dia ke rumahnya. Namun sebelumnya kami sempat mampir makan dan ngopi dulu. Sesudahnya, kami menuju tempatnya, dan setibanya di sana aku segera menyiapkan obat-obatnya, lalu pulang.

Nah, sekarang malah gantian aku yang sakit. Bahkan sampai harus diopname. Jadi saat tiba di rumah semalam, aku masih sempat bersih-bersih dan melakukan ritualku sebelum tidur; sikat gigi, membersihkan wajah, tak lupa juga selalu mengenakan krim wajah untuk malam hari. Tepat ketika aku selesai dengan ritualku itu, aku mulai merasa pusing. Sekelilingku terasa berputar, dan aku tidak bisa bangun. Maka malam itu aku langsung dibawa ke RS.

Menurut hasil pemeriksaan dokter, aku hanya kelelahan dan tekanan darahku rendah, serta kurang cairan. Meski begitu, aku tetap harus di-infus. Sore tadi, S datang dan membawa bubur ayam dari restoran yang sering kami kunjungi, yang memang bubur ayamnya yang paling kugemari.

Entah apa yang merasukiku, aku malah menangis saat melihatnya. Mungkin karena seluruh tubuhku sakit, seolah baru saja menabrak dinding. Atau karena suster-susternya yang galak, yang ketika memasang infus di lenganku seolah sedang menyuntik hewan. Atau mungkin juga karena bubur ayam yang dia bawa. Maksudku, ternyata dia ingat bubur ayam kesukaanku. Hehe.

Selama beberapa saat aku menangis sesegukan dan dia mengusap-usap kepalaku. Ketika akhirnya tangisku berhenti, aku bergumam ingin mandi karena hampir seharian aku belum mandi. Dia nyengir, katanya, "Memangnya kamu boleh mandi?" Lho, memangnya aku tidak dibolehkan mandi? Setelah aku memaksa, akhirnya dia membolehkanku mandi. Dia membantuku turun dari tempat tidur lalu berjalan menuju kamar mandi, sambil aku menyeret-nyeret tiang gantungan infus. Itu sangat tidak keren, lho. Jalan sambil menyeret tiang gantungan, maksudku. Sungguh! Dan kegiatan mandi-memandikan pun ribetnya minta ampun dengan adanya selang infus serta tiangnya yang ikut memenuhi kamar mandi yang memang sudah sempit. Ada aku, S dan tiang infus. Yeah...

Selesai mandi dan ganti baju, aku disuapinya bubur tadi. Lalu aku sempat memberitahu temanku mengenai keberadaanku di RS melalui BBM, sambil juga mengetik postingan ini. Dan sekarang S sudah memelototiku. Jadi mendingan aku tidur. Semoga satu-dua hari ke depan aku sudah bisa segera pulang. Sungguh sangat membosankan di sini...

Sent from my iPhone

Sunday 10 June 2012

Complete



Akhir pekan kali ini merupakan akhir pekan kedua yang kami habiskan bersama-sama. Hari Jumat aku menjemput S di kantornya, cari makan, lalu pulang ke tempatnya, yang sementara ini menjadi rumahnya selama dia tugas di sini.

Hari Sabtu kami makan siang bersama atasannya, yang juga dulu pernah menjadi atasanku. Kami mengobrol tentang banyak hal, termasuk masalah di kantor mereka. Dan harus kuakui, aku kangen dikejar-kejar tenggat waktu atau target. Aneh, ya? Waktu kukatakan itu pada S saat kami berada di mobil, dia langsung menatapku seolah aku ini makhluk luar angkasa. Katanya, "Kamu gantiin aku dong kalau begitu." Aduh, aku kan cuma kangen, bukan berarti aku mau mengerjakannya lagi. Hehehe.

Malam harinya, kami mengobrol santai. Jika minggu lalu aku yang curhat bombay, kali ini giliran S. Bisa dikatakan apa yang tengah aku alami sekarang, pernah juga dialaminya dulu. Bahkan kejadiannya sedikit lebih parah. Dan sewaktu mendengarnya menceritakan kisahnya, aku merasakan ada sesuatu yang membuncah. Seperti rasa kagum dan bangga terhadapnya. Setelah dia selesai bercerita, kupeluk dia erat, dan dibalasnya dengan kecupan ringan di keningku. Sisa malam itu kami habiskan dengan menonton TV, dan aku sambil membalas BBM yang masuk saat ponselku dimatikan.

Pagi tadi, aku bangun dan mendapatinya tengah menatapku. Yang langsung terpikirkan adalah jangan-jangan aku ngorok. Melihat gelagatku yang mulai panik, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Tuh kan, aku pasti ngorok! Apalagi seminggu ini aku kurang tidur dan kelelahan, yang biasanya menjadi pemicu ngrokku kumat. Kuambil bantal dan kututupi wajahku. Seketika mulai kurasakan panas menjalar di kupingku. Dia meraih bantal yang menutupi wajahku, mengecup keningku dan berkata, "Kamu nggak ngorok kok, say. Cuma mengigau." Ah, gubrak! Lalu dia kembali tertawa.

Tidak ada yang spesial juga di hari Minggu ini. Kami memilih untuk tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan bersih-bersih. Well, rencana awalnya sih begitu. Namun sejak pagi aku mengeluhkan sakit di bagian pinggang dan punggung. Dan benar saja, aku kedatangan bulan (eh?) Maka tugasku hanya duduk dan menunggunya menyelesaikan cucian, menyapu, mengepel, dan memanaskan makanan yang semalam sengaja kami beli untuk makan siang hari ini.

Sambil menunggu, aku sibuk BBM-an dan internetan. Sekali S lewat di depanku, dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Baginya, yang tengah kukerjakan adalah sesuatu yang mengherankan. Akses internet untuknya hanya sebatas mengecek email, browsing, atau baca koran online. Sedangkan aku, gentayangan di dunia maya. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk tidak memberitahunya mengenai keberadaan blog ini. Selain aku bisa lebih leluasa menulis segala hal yang kualami atau kurasakan, untuk pertama kalinya aku ingin memilikinya hanya untukku sendiri (aih, posesif kumat) dan biarlah dia menjadi bagian yang nyata, tanpa terbawa-bawa hingar-bingar dunia maya.

Memang tidak ada yang istimewa jika dibandingkan dengan standar pasangan yang baru jadian. Tapi kali ini aku mengetahui sesuatu yang baginya hanya orang-orang terdekat yang tahu, seperti keluarganya. Itu membuatku merasa menjadi bagian yang istimewa. Meski dulu aku sudah mengenalnya, tapi hanya sebatas rekan kerja selama beberapa bulan. Dan berada sedekat ini dengannya, membuatku bisa melihat lebih banyak hal yang ada dalam dirinya. Tidak semuanya sempurna, karena begitu juga aku yang tidak sempurna.

Jika sebelum ini aku ditanya apakah aku bahagia, maka akan kujawab, iya, aku bahagia. Dengan berbagai hal yang kuperoleh sebelumnya, membuatku bahagia. Namun saat ini aku merasa tidak hanya bahagia, tetapi juga aku merasa utuh. Lengkap. Seperti menemukan sebuah puzzle di antara ratusan potongan lainnya, yang lalu melengkapi satu bagian kecil dari keseluruhan gambar.

Meski segalanya aman sentosa saat ini, aku menunggu pertengkaran pertama kami. Akan seperti apa itu? Hmmm, aku juga tidak bisa membayangkannya. Tapi lihat saja nanti.

(Aku ini aneh ya, malah menanti pertengkaran. Ya gak sih?)

Friday 8 June 2012

A New Beginning



Jam di layar ponsel sudah menunjukkan waktu pukul 22:22 ketika aku mengakhiri percapakan dengannya. Hanya sebuah percakapan ringan, seperti saling menanyakan kabar, yang setiap malam kami lakukan sebelum tidur. Ada nada kelelahan dalam suaranya, namun kami masih bisa tertawa saat dia menceritakan sebuah kejadian lucu yang dialaminya hari itu.

Sebut saja dia S. Seorang perempuan yang entah bagaimana caranya bisa tiba-tiba muncul di hadapanku, lalu kemudian menjungkirbalikkan kehidupanku dan membuatku akhirnya menjilat ludah sendiri. Maksudku, belum lama aku mengata-ngatai kalau yang namanya relationship bukan untukku. Eh, malah sekarang aku justru berada di dalamnya. Kata kasarnya, aku (lagi-lagi) kualat sama kata-kata sendiri. Untungnya, kali ini kualatnya indah. Hehehe...

Tunggu dulu. Jangan langsung menghakimiku, karena bagiku ini merupakan sebuah langkah besar. Tidaklah mudah mengalahkan rasa takut: takut gagal, takut disakiti, takut menyakiti, belum lagi masalah trust issue yang sedang kualami, yang disebabkan oleh masalah internal dalam keluargaku. Bahkan hingga detik ini, aku masih merasakan itu semua, dan membuatku sedikit menahan diri serta menjaga jarak.

Namun akupun belajar dari kesalahan di masa lalu. Sebelum memulai hubungan dengannya, kukatakan semuanya kepadanya, dengan jujur. Tidak lebih, tidak juga kurang. Aku menyadari kekurangan terbesarku adalah kecenderunganku untuk menutup diri dari semua orang ketika keadaan justru sedang sulit. Karena itulah aku membuatnya berjanji bahwa ketika aku mulai berdiam diri, dia harus mengingatkanku kalau aku memiliki dia, dengan cara mengajakku bicara. Dan akupun berjanji bahwa aku akan selalu membicarakan segala masalahku dengannya.

Ini hal baru bagiku, namun rasanya aku bisa menikmatinya, karena aku sendiri bukanlah seorang yang bisa begitu saja menerima suatu perubahan. Seorang teman pernah berkata bahwa menjalani hidup itu seperti menulis novel. Dan kita sendirilah yang menjadi penulisnya. Kita sendiri yang memutuskan kapan untuk mengakhiri sebuah bab dan kapan memulai sebuah bab baru. Satu bab kehidupan harus berakhir untuk kemudian menjadikannya awal dari bab lainnya. An end is a new beginning, begitu istilahnya.

Memang tidaklah mudah untuk mengakhiri sebuah bab, apalagi memulai bab baru. Tapi seperti kata temanku lagi, kalau tidak membuka hati bagaimana kita bisa tahu akan seperti apa bab selanjutnya? Lagipula bukankah hidup harus terus berlanjut? Ibarat sepeda, harus terus dikayuh agar tetap seimbang. Maka begitu pula dengan hidup.

Ya, aku masih memiliki ketakutan. Aku masih memiliki banyak masalah yang bisa membuatku mengacaukan hubungan ini, tapi aku ingin mencoba. Dengan serius tentunya. S tahu itu, sehingga kami berdua sama-sama memutuskan untuk menjalani apa yang ada untuk sekarang ini. Mumpung masa tugasnya di kotaku masih ada kurang lebih 6 bulan lagi. Maka waktu ini akan kami gunakan untuk menjalani dan melihat akan dibawa kemana hubungan ini nantinya. Kok jadi seperti lirik lagu, ya? Ah, tak apalah. Sesekali lebay, boleh kan?

Baiklah, daripada kalian nanti jatuh terjungkal dari kursi ketika kelebayanku semakin menjadi-jadi, maka mendingan aku akhiri sampai sini dulu. Lagipula, mataku nyaris tertutup dan kepalaku sudah mulai terantuk-antuk. S sudah tidur sejak tadi, dan dia sempat mengeluarkan ultimatum agar aku tidur lebih cepat malam ini. Nah, sebagai langkah awal dari segala perubahan adalah aku menuruti kata-katanya. Daripada aku kualat karena melawan perintah yang lebih tua.

Tuh kan, lebay lagi. Yuk, mari ah.

Friday 1 June 2012

The Third Coming Out

Selama ini bagi gue coming out bukanlah merupakan sebuah pressure. Bukan pula merupakan suatu keharusan. Gue tidak pernah merasa harus memberitahu semua orang-orang terdekat dalam hidup gue mengenai orientasi seksual gue. Namun entah apa yang membuat gue tiba-tiba coming out kepada seorang sahabat yang sudah 13 tahun gue kenal.

Ini merupakan kali ketiga gue coming out, dan lagi-lagi tanpa perencanaan sebelumnya. Ketika itu kami berdua tengah mengobrol mengenai kehidupan masing-masing dan segala dilema yang sedang dihadapi. Usianya 3 tahun lebih tua, sehingga selama ini gue selalu menganggapnya sebagai seorang kakak perempuan yang tidak pernah gue miliki. Begitu juga sebaliknya, dia menganggap gue sebagai adiknya.

Berjam-jam kami mengobrol. Gue bercerita mengenai banyak hal dan dia sesekali memberikan pendapatnya. Dan saat gue coming out, seperti yang gue duga, dia sangat, sangat terkejut. Baginya ini merupakan pengelamannya yang pertama. Gue sahabatnya yang pertama yang lesbian, dan ini pertama kalinya dia menghadapi hal yang berhubungan dengan homoseksual. Well, selalu ada yang pertama untuk segala sesuatunya, bukan?

Seperti yang sudah gue duga dengan reaksinya, begitu pula gue bisa menebak seperti apa responnya. 13 tahun gue mengenalnya, sudah barang tentu gue tahu seperti apa karakternya. Oleh karenanya gue paham betul ketika dia mengingatkan gue akan dosa, dsb. Bahkan dengan jujur dia mengungkapkan mengenai "penyimpangan" atau "penyakit" ini. Katanya, kalaupun gue akan membencinya setelah dia mengatakan semua itu, atau bahkan ingin memukulnya, dia akan terima, karena sebagai sahabat dia harus menyampaikannya. Dan dengan segala hormat gue menerima semua perkataannya.

Kenyataan bahwa dia masih tetap menganggap gue sahabatnya, bagi gue sudah lebih dari cukup. Hey, bahkan pada awalnya gue sendiri sulit menerima keadaan gue sendiri. Malahan sampai sekarang kadang-kadang gue masih berharap kalau gue ini bukan lesbian. Jadi adalah tidak mungkin jika gue memaksakan orang lain untuk bisa mengerti dan paham dalam sekejap mengenai keadaan gue, ya kan? Sudah untung dia masih bisa melihat gue apa adanya, melihat gue sebagai gue dan tidak dari sisi orientasi gue. Sudah lebih dari cukup bahwa dia masih bisa menerima gue.

Obrolan pun berlanjut pada apa yang bisa menjadikan seseorang homoseksual. Dia bertanya, kenapa gue bisa menjadi lesbian. Sesungguhnya, gue sendiri pun tidak tahu. Lalu kemudian dia mencoba mengambil kesimpulan dari cerita-cerita gue yang sebagian besar dia ketahui, bahwa mungkin gue dibesarkan dalam sebuah lingkungan keluarga dimana perempuanlah yang memegang peran penting, yang menjadi tulang punggung.

Mungkin ada benarnya juga, karena sejak kecil gue dibesarkan oleh Oma. Lalu ketika gue beranjak dewasa, gue bisa melihat sendiri bahwa Mama-lah yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Bukan berarti peran Opa dan Papa tidak ada. Ada, tapi tidak seintens peran para perempuan-perempuan perkasa yang membesarkan gue.

Selama ini gue melihat bagaimana perjuangan mereka, yang seringkali tanpa dukungan sang suami, membuat gue berpikir bahwa seorang perempuan bisa hidup sendiri dan mandiri. Sejujurnya, tidak hanya kagum terhadap mereka, namun gue juga merasa iba dengan mereka. Mungkin bukan iba, melainkan lebih kepada perasaan tersentuh dan ingin melindungi. Dan itulah yang kemudian menyebabkan ketertarikan gue pada perempuan. Namun itu masih merupakan kemungkinan. Tidak lantas paten menjadi penyebab gue lesbian.

Apapun kesimpulan kami berdua saat itu, bagi gue yang jauh lebih melegakan adalah dia masih menerima gue apa adanya. 13 tahun, baru pada akhirnya gue sanggup mengutarakannya. Dan 13 tahun adalah waktu yang gue butuhkan untuk mengenali dan mempelajari karakter serta pemikirannya. Atau bisa dibilang 13 tahun adalah waktu yang gue butuhkan untuk mengumpulkan keberanian, sebelum akhirnya gue coming out.

Meski memang ada beberapa teman dekat gue lainnya yang sudah tahu mengenai orientasi gue, dan gue baru mengenal mereka selama kurang lebih 8 tahun. Sehingga menurut gue, lamanya waktu saat kita mengenali seseorang tidak selalu menjadi patokan. Namun untuk tetap berhati-hati adalah sebuah keharusan. Bukan begitu?