Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Monday 31 January 2011

Chasing a Dream

Beberapa waktu yang lalu, gue sempat chatting dengan seorang teman chat, Q, yang sudah gue kenal hampir 7 tahun. Udah lama kita enggak chat dan akhirnya baru kesampaian beberapa hari yang lalu, setelah gue membatalkan janji chatting bareng yang entah sudah ke-berapa kalinya.

Nampaknya ada sesuatu yang sudah tidak sabar untuk dia segera ceritakan ke gue dan tanpa ba-bi-bu, she just dropped the bomb on me. Katanya, "guess what? I'm taking acting classes!!!"

Tahun lalu gue terkejut ketika dia bilang bahwa dia akan mengambil jurusan mechanical engineering, padahal sebelumnya dia pernah bilang bahwa dia ingin belajar mengenai segala seuatu yang berhubungan dengan film, either it's acting or directing. Dan gue lebih terkejut lagi ketika dia akhirnya mengambil kelas akting, setelah mengikuti beberapa kelas mechanical engineering.

Q usianya 3 tahun lebih muda dari gue. Untuk remaja seumuran dia, dia termasuk dewasa. Harus gue akui bahwa tidak jarang juga gue minta pendapat atau saran dari dia. Melompat-lompat dari satu jurusan ke jurusan yang lain, awalnya, gue anggap sebagai kelabilan remaja yang sedang mencari jati diri, mencari apa yang ingin dia lakukan dalam hidupnya.

Sebagai teman yang baik, gue mencoba mengingatkan dia akan konsekuensi yang bakal dia terima dengan keputusannya itu. Maksud gue, jurusan mechanical engineering mungkin saja bisa memberikan masa depan yang lebih baik; a stable job with good pay. Lagipula, tujuan kita sekolah selain menimba ilmu jelas adalah untuk cari duit. Sedangkan untuk jurusan akting, well, if you're lucky enough, jelas masa depannya akan lebih baik. Hanya saja, coba bayangkan ada berapa banyak struggling actress-wannabe di luaran sana yang mendatangi satu audisi ke audisi yang lain?

Q tertawa ketika gue berceloteh soal kecemasan gue. Dia bilang, "what happened to the old Rae who, years ago, would say 'go chase your dream, little friend!' I knew about things that you're concerned about and have put some thoughts on it. But you and I know that what I really want to do is acting or directing a movie. Right now I got the chance to learn about acting. So why would I have to skip the opportunity?"

Sepertinya semakin bertambahnya usia, gue semakin terperangkap dengan yang namanya "realita". Mimpi-mimpi gue habis digilas realita. Bahwa realita tidak akan selamanya seindah mimpi, adalah pandangan gue yang sekarang. But thanks to Q yang akhirnya menyadarkan gue bahwa selama ini gue terperangkap dalam zona nyaman yang gue ciptakan ketika menghadapi realita yang jauh berbeda dari mimpi gue. Bahwa ketika mengejar mimpi, kerja keras dan kesungguhan adalah dua hal yang wajib dilakukan, seharusnya menjadi pandangan gue dalam menjalani kehidupan.

Gue yakin bahwa Q akan bersungguh-sungguh dengan pilihannya kali ini. Gue tarik lagi ucapan bahwa ini menyangkut kelabilan remaja, melainkan mengejar mimpi. I just really wish her for the best amd wish her luck.

Friday 28 January 2011

Cokelat Superman

Waktu gue dan Kopi ngobrolin soal jajanan saat masih kecil dulu, gue jadi inget kalau ada satu jajanan favorit gue selain jajanan baso tusuk, es serut dan es tong-tong yang suka mejeng di depan gerbang sekolah.

Yup, bener banget! Cokelat Superman! Ketika diberitahu bahwa cokelat Superman itu masih dijual sampai sekarang, gue langsung kegirangan. Begitu gue cek di warung terdekat, eh iya, ternyata masih ada juga cokelatnya. Meskipun kemasannya sekarang berubah, tapi se-enggaknya gambar Superman-nya masih nangkring di bungkusnya. (Ya iyalah, kalo enggak, bukan cokelat Superman namanya.) Dan...rasanya juga masih sama persis dengan yang dulu. Suer.... gue enggak bohong!

Gue enggak pernah menyangka kalau yang namanya Superman ternyata menjadi salah satu bagian yang penting dalam hidup gue ketika masih kanak-kanak dulu. Bukan hanya film-nya, tapi juga cokelatnya. Hahaha... Tapi cokelat Superman ini mengingatkan gue pada seseorang: Oma. Dulu, setiap kali Oma nyuruh gue beli rokok di warung dekat rumah, pasti uang kembaliannya dikasih ke gue buat beli cokelat Superman. Dulu harganya masih gope-an sebungkus kali ya? Wong permen aja cepe dapat lima bungkus... Lah sekarang, cepe dikasih ke pengamen, yang ada lo malah dilemparin gitar. Hihihi...

Nah, saking seringnya gue disuruh beli rokok ke warung sama Oma, pemiliknya aja ampe tahu betapa besar cinta gue pada cokelat Superman. Maknya gue selalu bersemangat setiap kali Oma nyuruh gue beli rokok karena meskipun duit yang dikasih kadang hanya cukup untuk beli rokok sebungkus, pemilik warungnya, yang berwajah lucu, berkumis dan perutnya buncit, biasanya masih tetep ngasih dua bungkus cokelat Superman ke gue. For free, lho!!! Untuk anak seumuran gue waktu itu, dapat cokelat gratis serasa mendapat emas batangan sekilo =D.

Ketika Oma udah mulai sakit-sakitan, jadinya Oma berhenti merokok sama sekali. Maka, putuslah hubungan gue dengan cokelat Superman. Setiap kali lewat di depan warung, gue cuma bisa menatap dengan memelas ke arah toples yang isinya cokelat Superman. Si pemilik warung biasanya duduk di depan warung sambil menatap gue dengan tatapan kalau-enggak-beli-rokok-enggak-dapat-cokelat-Superman-gratis. Sampai akhirnya gue pindah ke rumah Mama dan Papa, dan akhirnya Oma meninggal beberapa tahun kemudian, gue enggak pernah lagi jajan cokelat Superman.

Sekarang kalau gue ingat-ingat, di kantin sekolah kan dulu juga jualan tuh cokelat. Kenapa juga gue enggak beli??? Hmm... kayaknya gue emang lebih sreg beli cokelat Superman di warung dekat rumah Oma. Lagian, kalau beli di warung itu, biasanya gue masih dikasih bonus lagi sebungkus. Gimana gue enggak seneng coba, belanja di situ??? Hihihi...

Ps. I miss my grandma :(. Oia, pemilik warungnya juga udah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Wednesday 26 January 2011

Faith or Pride

Di saat-saat tertentu, "faith" dan "pride" bisa jadi sangat membingungkan buat gue. Terkadang gue bingung bahwa ketika gue melakukan sesuatu, apakah gue melakukan itu karena "faith" atau karena "pride"?

When you are given a bigger responsible, it means that you are trusted that you can handle it. I'm happy that I am given a bigger responsible. Only, deep down, I'm freaking out about it.


Gue melihat dua orang teman gue yang berinisiatif untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam hidup mereka dan sekarang mereka berjuang mati-matian dengan tanggung jawab mereka itu. I salute them for doing so.  

Kedua teman gue itu pernah menawarkan untuk ikut ambil bagian bersama mereka, tapi gue menolak. Lebih tepatnya lagi, I got cold feet after I said I'd jump in. (Oh, I can be a coward, too!) Gue bilang sama mereka kalau gue enggak bisa karena terhalang masalah keluarga. The truth is, honestly, I was too afraid of taking a bigger responsible for my life. Sekarang gue diberikan satu kesempatan lagi, and there's no way I'm screwing up this opportunity.

Didn't I say that I'm freaking out? Oh, yes, I did. Tapi gue melihat keberanian dua teman gue dan gue pikir ini mungkin saja menjadi kesempatan terakhir buat gue. Jadi kenapa gue harus takut? Kalau teman-teman gue bisa, kenapa gue enggak? Kalau gue bisa berkoar-koar tentang menjadi orang yang berhasil, lantas kenapa sekarang gue ketakutan? I'm taking the opportunity, ladies!

Nah, di situlah titik di mana "faith" dan "pride" menjadi sangat membingungkan buat gue. Am I doing this because I have faith that I can do it? Or is it just my pride talking out loud that the entire world could hear it?

So, I guess the picture says it all... 

Sunday 23 January 2011

Oh, Crap!

Pagi-pagi gue bangun, sikat gigi, cuci muka, dan langsung menuju garasi. Karena malam harinya papa ingetin gue supaya ngecek air radiator mobil, maka pagi tadi gue pun melaksanakan perintahnya. Masih dengan mengenakan celana pendek dan kaos, rambut digulung dan dengan muka bantal, gue mulai memeriksa air radiator mobil yang diparkir di garasi.

Saat sedang konsentrasi penuh menuangkan air radiator dari botol ke tangki cadangannya sambil berusaha menendang-nendang si Hachiko, anjing peliharaan di rumah, yang kegirangan dan melompat-lompat ke kaki gue, tiba-tiba ada yang menyapa gue dari belakang. Gue berbalik dan mendapatkan seorang perempuan telah berdiri di hadapan gue. Aduh, mimpi apa gue semalam, pagi-pagi udah disamperin perempuan yang cakep, agak andro dengan rambut sebahu dikuncir kuda dan senyum yang manis? (Tenang beib, kamu sama cakepnya dengan dia, kok...hehehehehe).

Setelah gue membalas sapaan "selamat pagi"-nya, mulailah kita ngobrol sedikit (ternyata dia nanyain alamat yang gue sendiri enggak tahu di mana alamat yang dia cari), sambil kaki gue tetap sibuk menendang-nendang Hachiko supaya menjauh. Maklum, gue geli plus takut sama anjing. Usaha gue menendang-nendang ternyata tidak mempan. Hachi malah semakin ganas meloncat-loncat ke kaki gue karena dikiranya gue malah ngajak bermain. Akhirnya gue melangkah mundur dan terus mundur sambil terus mengobrol. Eh, enggak taunya... tiba-tiba...... kaki kiri gue masuk ke selokan.

Oh, crap! Betapa memalukan sekali. Perempuan yang ada di depan gue sampai kaget terus panik, terus megangin tangan gue, terus ketawa. Aihhhh malu sekaliiiii. Meskipun gue juga ikutan ketawa, tapi rasanya ingin segera menghilang dari situ. Mana kaki kiri gue ampe lecet gitu. Geeezzzz... gue dendam kesumat sama si Hachiko... hikh... Udah gitu, waktu gue cerita sama Kopi, eh, dia malah ketawa ngakak. Tegaaaaaa.... :(

Dan inilah si biang keladinya

Saturday 22 January 2011

Hakuna Matata

Di tengah kesibukan, gue menerima sebuah SMS dari teman yang isinya: "Rae, have you ever in doubt?" What??? Di siang bolong dan teriknya matahari tak tertahankan ini, teman gue malah menagih sesi konsultasi ala "psikolog-pasien" yang dari tahun 2010 belum terlaksanakan??? Duh, Gusti... dosa apa yang telah hamba perbuat? (halah!)

Teman gue ini memang tipe orang yang mudah banget ditebak. Padahal gue orang yang paling enggak bisa menebak. Tapi kalau soal teman gue yang satu ini, ah dengan gampang gue bisa menebak. Gue tahu, maksud pertanyaannya adalah "have I ever in doubt with my partner?" Mudah ditebak, karena beberapa minggu yang lalu teman gue ini heboh banget ceritain soal gebetan barunya, yang akhirnya resmi jadi pacarnya.

Karena ditanyakan pertanyaan seperti itu, akhirnya gue juga jadi ikutan berpikir. Pernah gak ya gue ragu dengan Kopi? Hmmm... sebenarnya yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah: pernahkah gue ragu dengan hubungan yang tengah gue jalani ini?" Faktanya: gue pernah ragu. Maksud gue, gimana enggak ragu? Sudah hubungan jarak jauh, gue-nya selalu sibuk, komunikasi sulit, mau ketemu juga susah. Lantas apa yang bisa diharapkan dari hubungan yang seperti itu? Dan gue pun segera mengetikkan SMS balasan: "yes, I have."

SMS-nya masuk lagi. Kali ini bertanya mengenai apa yang gue lakukan ketika rasa ragu menyerang. Halah, lebay banget kata-katanya. Dan gue berpikir lagi (bayangkan, sodara-sodari, siang bolong yang menyengat gue disuruh mikir-mikir). Gue ingat, ketika gue merasa ragu, yang gue lakukan adalah mengingat-ingat kembali hal-hal menyenangkan bersama partner. Misalnya saat-saat ketika gue dan partner ngobrol soal ini-itu, membahas berbagai macam hal - dari yang ringan sampai yang memeras otak. Atau misalnya saat gue dan partner cuma diam-diam-an di telepon sambil sibuk dengan kerjaan masing-masing. Pokoknya hal-hal kecil tapi terasa menyenangkan ketika dilakukan bersama partner. Seketika, keraguan dan rasa cemas yang gue rasakan pun sirna.

Lalu, bertanya lagi teman gue itu. Katanya, "tapi kan gak jelas mau dibawa ke mana hubungan kalian itu?" Sekali lagi gue memutar otak dan menemukan jawabannya hanya dalam waktu sepersekian detik, mengalahkan rekor Om Google. Kata gue, ngapain dipikirin soal itu??? Mendingan juga jalani aja apa yang ada sekarang. Kalau kebanyakan mikir soal 'nanti mau dibawa ke mana hubungan ini?', 'nanti mau gimana?', 'nanti jadinya kayak apa hubungan ini?', nanti, nanti, nanti... Kebanyakan mikir 'nanti', yang ada malah jadi mellow sendiri karena sudah kepikiran betapa susahnya 'nanti' itu. Ujung-ujungnya, malah tidak bisa menikmati kejadian saat ini bersama partner.

Kalau gue, mendingan jalani apa yang tengah dijalani saat ini, karena itu yang paling penting. Hadapi dulu apa yang di depan mata. Bukan berarti masa depan itu tidak penting. Membuat rencana itu kudu dilakukan. Soal terlaksana atau tidak, itu urusan belakangan. Yang poenting di sini kan usahanya. Daripada ngotot mikirin musti gimana, sedangkan kejadian lima menit berikutnya aja tidak bisa kita tebak, yang ada malah stress sendiri. Akhirnya ngambek-ngambek sama partner. Hehehe...

Kalau kata Timon & Pumbaa di The Lion King, "hakuna matata", yang artinya: "there are no worries" atau gue lebih suka yang ini: "don't worry, be happy" :). So, just let life flows its path ;)

Friday 21 January 2011

LGBT Around the World

Pernah nggak, mikir kalau hidup sebagai lesbian, gay, biseksual, atau transeksual di luar negeri itu akan jauh lebih mudah - dengan berbagai alasan: masyarakatnya lebih terbuka dan lebih gay friendlyWell, gue sih pernah mikir begitu, tadinya, sebelum akhirnya gue menemukan blog-blog yang ditulis oleh blogger LGBT di arena blogsphere, all around the world.

Ternyata dari tulisan-tulisan di blog mereka, gue jadi tahu bahwa hidup kaum LGBT di luaran sana ENGGAK jauh beda dengan di Indonesia. Diskriminasi masih tetap ada. Gay-haters juga enggak kalah banyak dengan di Indonesia. Bahkan gay-bashing lebih dulu muncul di dunia barat sana dan kasusnya jauh, jauh, lebih parah. Dan... LGBT di luaran sana juga sama susahnya nyari pacar, kok. Hihihi...

Note BLOGSPHERE.

Anyway, gue sedang tidak ingin membahas mengenai hak-hak kaum LGBT dan lain sebagainya karena migren gue sedang kumat (oh, I really want to bang my head -.-"). Gue cuma pingin bilang kalau, ternyata, banyak LGBT di luaran sana yang juga merupakan blogger yang punya kemampuan untuk menulis. Maksud gue, enggak cuma sekedar nulis tentang kehidupan sehari-hari, tapi mereka bisa mengangkat sebuah topik dan menjadi sebuah santapan yang sedap untuk mata dan pikiran gue.

Dari hasil gue keliling blogsphere di segala penjuru dunia, dan itu belum semua blog yang gue baca (bisa semaput), gue menemukan banyak blog-blog yang menarik, yang sampai sekarang masih gue ikuti. Ada blog seorang single gay yang sekarang tinggal di Sydney, Australia. Ada juga blog dari seorang "married gay" - baru nyadar kalau dia gay setelah menikah dan memutuskan untuk coming out. Ada blognya beberapa lesbian - single or married.

Yang paling menarik, gue juga menemukan blog-blog yang ditulis oleh para transeksual - "tranny women: laki-laki yang menjadi perempuan" dan "tranny men: perempuan yang menjadi laki-laki". Bahkan gue menemukan sebuah blog "tranny woman" yang akhirnya kembali lagi menjadi laki-laki dan memutuskan untuk menutup blognya. Tadinya gue sama sekali gak ngerti kenapa mereka mau menjadi transeksual. Tapi setelah gue baca blog mereka, baru deh gue ngerti. Interesting, huh?

Setiap blog memiliki ciri khasnya masing-masing sesuai karakter penulisnya (LGBT, red). Dan yang lebih mengagumkan sekaligus menyenangkan adalah mau mereka lesbian, gay, biseksual, atau transeksual, yang jelas otaknya berisi dan termasuk tough people. Pokoknya gue suka dengan gaya menulis mereka, topik yang mereka sajikan, ide-ide pintar yang mereka kemukakan (meskipun enggak selamanya gue setuju dengan ide-ide mereka itu), atau hanya sekedar kisah-kisah mereka mengenai hal-hal yang sederhana, tapi mereka mampu menemukan makna dari kisahnya. Intinya, tulisan mereka itu membangun, menyadarkan dan menginspirasi.

Uh, do I sound racist? Pardon me. Gue cuma pengen bilang kalau kita, sebagai kaum LGBT di Indonesia dan sebagai bloger, mungkin bisa bercermin pada tulisan-tulisan mereka. FYI, gue juga mengikuti beberapa blog dari bloger-bloger Indonesia yang serumpun sama gue dan gue suka tulisan-tulisan mereka. Dari mereka-mereka itu gue belajar dan belajar untuk menjadi seorang lesbian, bloger, dan yang lebih penting lagi, menjadi manusia yang lebih baik.

Go LGBT! Go blogging!

Tuesday 18 January 2011

Lesbian Life: Unmarried

Jika kamu cukup beruntung, maka seisi jagad raya tidak akan menentang ketika kamu memutuskan untuk hidup melajang, sebagai lesbian, dan tidak menikah (dengan laki-laki). Bayangkan, betapa menyenangkan, bukan? Melegakan, pastinya. Dan kamu tidak perlu merasa terbebani lagi dengan kewajiban sebagai anak, yaitu: berkeluarga.

Ok, jadi masalah selesai? Hmm... Tentu saja belum. Sekarang bayangkan masa depan kalian yang nantinya akan hidup seorang diri. Beruntung jika kamu akhirnya menemukan partner dan bisa living together. Tapi sebelum kamu menemukan partner, maka kamu akan hidup sendirian.

'Sendirian' bukan berarti benar-benar sendirian dan sebatang kara. Gue yakin, meskipun tanpa partner, kamu pasti masih memiliki keluarga dan sahabat. Hanya saja, apa mau terus-terusan bergantung pada mereka? Selalu menerima uluran tangan mereka karena kamu satu-satunya anggota keluarga yang tidak menikah? Aduh, jangan sampai menjadi perawan-tua-yang-patut-dikasihani. Okay, ladies? :)

Ketika kamu mengambil keputusan untuk tidak menikah, kamu juga sebaiknya memikirkan akan seperti apa nanti kehidupanmu. Bukan melulu mikirin kapan dapat pacar, melulu cari pacar di sana-sini. Bukan pula melulu mencerca orang-orang yang sudah menjadikan kita sebagai kaum yang terpinggirkan. Atau melulu memikirkan betapa tertindasnya orang-orang seperti kita ini.

Daripada mempermasalahkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu menjadi masalah, mendingan mulai sekarang tetapkan tujuan hidupmu. Bekerja keraslah demi cita-citamu dan pastikan bahwa nanti, ketika saatnya tiba kamu harus benar-benar sendirian, kamu sudah menjadi seorang perempuan yang mandiri dan mapan.

Bukan berarti kamu tidak perlu peduli dengan keadaan teman-teman yang lain. Hanya saja, dengan menjadi seorang perempuan yang mandiri dan mapan setelah mengambil keputusan untuk hidup sendirian, secara tidak langsung kamu sudah 'memerangi' mereka yang selalu beranggapan bahwa kaum lesbian itu hanyalah orang-orang yang tidak berguna, yang patut dikasihani. Agree? :D

Ps. Menulis part 2 ini rasanya kok jauh lebih mudah ya? Hihihi....

Monday 17 January 2011

Lesbian Life: Get Married

Sebelumnya, ini merupakan lanjutan dari postingan gue yang sebelumnya: Old and Alone. Di postingan itu gue sempat menyebut mengenai gay people, atau dalam artian yang lebih khusus lagi yaitu lesbians, yang memiliki dua pilihan: get married or unmarried.

Ketika akhirnya kamu bisa coming out kepada diri sendiri, tidak lagi berada dalam keadaan denial dengan orientasi seksual, maka fase selanjutnya, saya kira, adalah menghadapi pilihan untuk menikah atau tidak menikah. Dan kali ini gue akan membahas mengenai pilihan yang pertama, dan yang tersulit.

Get married. Ada banyak lesbian yang menikah di seluruh jagad raya ini, tanpa melihat labelnya; femme, andro, atau bahkan butch. Dan ada banyak juga alasan kenapa lesbian memutuskan untuk menikah. Sudah pernah gue singgung sebelumnya mengenai satu atau dua alsannya: [1] companionship, [2] to fit in the society. 

Dua alasan yang pertama memiliki keterkaitan satu sama lain. Lesbian juga tetaplah manusia yang membutuhkan pendamping. Makanya ada beberapa yang akhirnya memutuskan untuk menikah (dengan laki-laki) karena mereka membutuhkan pendamping hidup yang bisa disetujui dan diterima oleh masyarakat pada umumnya dan keluarga secara khusus.

(Perlu diingat, gue tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa semua lesbian merasa tidak diterima masyarakat, penakut, dan lain sebagainya.) Di samping dua alasan itu, gue rasa masih ada puluhan atau bahkan ratusan alasan lainnya lagi (iya, gue emang ratu lebay). Misalnya karena desakan orang tua, permintaan salah satu orang tua yang tengah sakit-sakitan, dengan scene yang mengharu-biru ketika meminta anaknya untuk segera menikah, dan masih banyak lagi.

Apapun alasannya, akhirnya mampu membuat sang lesbian memutuskan untuk menikah. Lantas bagaimana kehidupan sang lesbian setelah menikah? Pada dasarnya, keputusan untuk menikah jelas tidak bisa merubah orientasi, yang tadinya lesbian terus jadi staright. Terus gimana dong?


Well, menurut pengamatan ada yang bilang merasa tidak bahagia, ada yang merasa biasa saja dan terus menjalani kehidupan pernikahannya, ada juga yang akhirnya bercerai, dan ada pula yang......berselingkuh dengan perempuan lain. Ups... I know, it's such a provocation. Hehehe...

Kalau mau ngomongin soal 'seharusnya' dan yang 'tidak seharusnya', pasti enggak bakal ketemu titik akhirnya. Akan ada banyak sekali pendapat yang mengatakan ini-itu: kalau pada akhirnya memutuskan untuk menikah, seharusnya ya setia pada pasangan dan tidak seharusnya berselingkuh dengan perempuan lain. Itu salah satu pendapat yang gue yakin akan keluar dari mulut orang-orang.

Semuanya, menurut gue, kembali lagi pada diri lesbian itu sendiri. Apapun keputusan yang dia ambil setelah menikah, menurut gue lagi, pasti dia tahu apa konsekuensinya. Pada intinya, semua orang pasti akan tetap menilai begini dan begitu. Tak perlu khawatir, tak perlu cemas dengan pendapat orang. Lakukanlah yang terbaik demi kebahagiaanmu.

Sunday 16 January 2011

Mendulang Intan

Gue diberitahu bahwa mencari seorang sahabat itu layaknya seperti mendulang intan dari pasir. Terkadang di antara pasir, tak ada satu pun intan yang ditemukan. Terkadang juga kita akan menemukan intan palsu yang ternyata hanyalah kaca yang justru melukai kita.

Seperti itu juga ketika kita mencari seorang sahabat, entah di dunia nyata maupun di dunia maya. Sebenarnya gue cukup beruntung karena selama ini gue belum pernah menemukan intan palsu yang ternyata hanyalah kaca yang hanya bisa melukai. Selama ini gue bisa, meskipun tidak selalu, menemukan teman atau sahabat dengan hubungan yang cukup dekat. Dan gue bersyukur untuk itu.

Sebagai gay, harus gue akui bahwa gaydar gue sama sekali tidak berfungsi. Soak melulu. Gaydar gue cuma berfungsi saat melihat butch yang keren, cakep, imut, dan...berondong. Hihihi. Tapi kalau soal friendar (oh, I made it up myself hehehe...), tidak pernah soak, on terus selama 24 jam. Pokoknya tokcer, deh (halah!).

Sebenarnya untuk melatih friendar itu enggak sulit, kok. Cukup gunakan satu siung bawang putih, setengah sendok garam, merica bubuk, dan penyedap masakan... Enggak deng hehehe. Maksud gue, cukup gunakan feeling. Iya, selama ini gue cuma memercayai feeling gue dan dari situ gue bisa merasakan adanya sebuah "klik" ketika gue mengobrol dengan seseorang, biasanya orang yang baru gue kenal. Dan selama ini, cara gue itu ternyata manjur.

Sayangnya, gue terlalu terbuai dengan keberhasilan feeling gue yang selama ini, nampaknya, selalu tepat. Ditambah dengan sifat gue yang mudah percaya dengan orang lain, membuat gue sendiri lupa diri dan munurunkan tingkat kewaspadaan gue dan menjadi sangat tidak berhati-hati. Sampai akhirnya gue kena batunya. Yup, pada akhirnya gue menemukan "sang intan palsu".

Shocked. Itu reaksi awal gue. Lalu kemudian gue kesal. Untungnya, akal sehat gue masih membuat gue tetap waras dan memutuskan untuk tidak meladeni "sang intan palsu". Syukurlah gue mengalami "bencana" itu karena dengan begitu gue baru bisa sadar bahwa gue seharusnya lebih berhati-hati.

Jadi, mohon maaf sebesar-besarnya kalau gue terkesan 'dingin' dan 'terlalu berhati-hati' ketika diajak berkenalan. Mulai sekarang gue cuma ingin lebih memperketat kewaspadaan gue. (Iya, gue tahu gue lebay...) But I tell you, don't you just give up yet. Show me some efforts that you do want to befriend me :).

Friday 14 January 2011

(I Don't Wanna) Be The Best

Tahu bagaimana rasanya ketika semua orang menganggap kamu hebat sehingga mereka selalu mengharapkan yang terbaik dari kamu? Tahu bagaimana rasanya ketika semua orang menganggapmu sebagai pribadi yang serba bisa, sehingga mereka selalu memintamu untuk melakukan sesuatu, yang sebenarnya di luar kemampuanmu?

Ya, saya tahu jawabannya: tertekan.

People can be so high expecting, even if they're your family. Kamu bahkan tidak pernah merasa hebat ataupun serba bisa, tapi orang-orang hanya melihat apa yang mereka lihat. Ketika mereka melihat kamu melakukan sesuatu yang brilian, mereka menganggapmu hebat. Ketika mereka melihat kamu bisa melakukan segala hal, mereka menganggapmu serba bisa. Dan mereka pun selalu berharap kamu melakukan yang terbaik, tanpa melihat bahwa kamu juga memiliki kelemahan. They say: "hey, she's a wonder woman!"

Kamu tahu, apa jadinya ketika kamu gagal memenuhi ekspektasi mereka? Ya, mereka akan merasa sangat kecewa. Bahkan sebagian dari mereka, dengan kejam, akan menyisihkanmu dari komunitas mereka tanpa memberimu kesempatan untuk memperbaiki. Mereka akan mencelamu sesuka hati, seolah lupa bahwa kamu pernah melakukan hal-hal yang hebat untuk mereka. Parahnya lagi, kamu dianggap telah mengkhianati ekspektasi mereka karena kamu telah gagal.

Tanpa kamu sadari, kamulah yang membuat orang-orang memiliki ekspektasi yang tinggi terhadapmu. Kamu hanya ingin melakukan yang terbaik tanpa menginginkan penghargaan. Namun sebaliknya, kamu justru dianggap sebagai yang terbaik, dengan satu sayarat: kamu harus selalu melakukan yang terbaik.

Unfortunately, I am one of the wonder women. Or should I say I was, since I have failed to meet the people's expectation: to be the best. And the shittiest part of it is that I don't wanna be the best, yet I just can't help it. And my pride is so damn high that I don't even want to ask for help. 

Tuesday 11 January 2011

Old and Alone


Sejak kemarin pagi, keadaan di rumah lagi kacau balau. Mama tiba-tiba sakit dan harus dibawa ke rumah sakit dan harus di-rawat inap. Well, untung sekarang keadaannya sudah mendingan. 

Gue kebagian tugas jaga malam, yang artinya gue gak boleh sampai ketiduran. Takutnya Mama butuh sesuatu atau lagi drop dan gue malah ketiduran. Jadi gue bawa bekal novel Moribito-nya Kopi yang belum dibaca hingga saat ini, laptop dan modem (yang pulsanya baru masuk), dan martabak telor.

Sekarang Mama udah tidur pulas, kamar juga jadi sepi. Gue sambil bengong nonton TV yang volumenya di-kecilin dan gue pun jadi teringat kembali percakapan gue sama Mama tadi. Katanya ke gue, "tuh, kamu lihat sendiri kan, Mama umurnya sudah setengah abad, sudah sakit-sakitan juga. Jadi, mulai sekarang kamu sudah harus belajar mandiri. Apa jadinya nanti kalau kamu sudah menikah dan punya anak kalau kamu tidak mmengetahui sedikit pun mengenai bisnis? Atau walaupun kamu tidak menikah, artinya kamu harus bisa hidup mapan karena kamu nantinya akan hidup sendirian."

Wait... Apa maksud Mama dengan kalimat terakhirnya? Beberapa waktu yang lalu gue sempat bercanda menyampaikan keinginan gue untuk tidak menikah. Dan Papa juga sempat menasehati gue untuk lebih baik berkeluarga. Tapi mendengar kalimat terakhir dari pidato Mama cukup membuat gue terkejut. Apa maksudnya gue boleh untuk tidak menikah? Dan gue pun senang sekali. Hahay!

Tapi sekarang gue malah jadi kepikiran. Berarti kalau gue enggak menikah, gue bakalan hidup sendirian sampai tua, kecuali kalau cita-cita tinggal bareng Kopi itu terwujud (amin!). It scares me a little. Ok, I'm lying. It scares the hell out of me. It means that I'll live and die alone and the next morning's headline news says "An old lady was found dead in the bedroom." Aih, serem banget deh.

Now that I come to think about this, gue merasa menemukan salah satu alasan kenapa ada lesbian yang memutuskan untuk menikah dan memiliki sebuah keluarga (hetero). Yep, mungkin beberapa dari kita takut untuk hidup tidak menikah, menjadi tua, sendirian, dan kesepian, hingga pada akhirnya memutuskan untuk menikah.

Menikah (dengan laki-laki), bagi sebagian lesbian yang mengarungi hidup di negara seperti Indonesia yang tercinta ini, mungkin saja demi mencari seorang pasangan hidup yang bisa diterima masyarakat. You know, it's all about companionship and to fit in the society. Bahkan bagi sebagian kelompok masyarakat, keluarga adalah segalanya.

Buat gue sendiri, meskipun ada sedikit ketakutan seandainya nanti gue bakal hidup sendiri, belum terpikirkan kemungkinan mana yang akan gue ambil: married or unmarried. Sementara gue juga nampaknya memiliki phobia dengan yang namanya pernikahan dan berkeluarga. Apapun keputusan gue, gue yakin (dan berharap) keluarga gue akan selalu ada buat gue. Well, at least I have Kopi for now. Hehehe...

Baiklah, semakin larut gue jadi semakin merancau dan pikiran mulai enggak jelas. Time to go back to Moribito!

Saturday 1 January 2011

Drink and Drunk

Dua hari yang lalu, gue dan sekeluarga memutuskan untuk makan malam bareng di restorannya teman Papa. Begitu tiba di tempat tujuan, ternyata restorannya penuh banget sama pengunjung yang kelaparan sekaligus nonton bareng Final Piala AFF.

Setelah menuggu cukup lama, akhirnya dapat meja. Langsung order, and guess what? Makanan juga pada banyak sudah sold out. Gah -.-" Terpaksa cuma pesan sirloin steak  - medium cooked, karena tenderloin steak pada sold out.

Selesai makan, ngobrol bareng dengan temannya Papa sambil ditraktir bir. Pas banget deh dengan udara yang malam itu cukup dingin dan ditambah lagi kita duduknya di area restoran yang terbuka dengan pemandangan laut. Pesan satu pitcher bir dan lima gelas. Ternyata adik gue yang bontot juga kebagian jatah. Hahaha. Kata Papa, "ayo, kamu harus minum birnya", dan Mama menambahkan "iya, kamu kan laki-laki, jadi harus bisa minum bir."

Hueeeee??? What the??? Jadi kalau laki gak bisa minum, banci dong??? Hahahahaha. Akhirnya karena mengaku sebagai anak laki-laki yang paling bungsu, adik gue nyicip sedikit bir yang dituang di gelasnya. Tapi rupanya dia minum cukup banyak untuk ukuran pemula, karena beberapa menit kemudian dia mulai merasa gerah. Katanya ke gue, "Cie, kok panas sih? Panasnya dari dada sampe ke kuping." Ahahahaha, kamu harus sering-sering gaul sama kakakmu ini ya, dek :p.

Pada akhirnya, belum habis pitcher yang pertama, adik gue itu sudah menundukkan kepalanya di atas meja. Hihihi...padahal minumnya juga cuma seteguk dua teguk :p. Setelah pitcher yang ketiga, segelas martini buat gue (dibagi berdua sama Papa), tiga piring kentang goreng, dan sepiring chicken crispy, Mama ngajak pulang. Puaaassss deh minumnya sampai kebelet pipis melulu. Hihihi.

Ps. Happy New Year, everyone!!!! Cheers!!! ^.^