Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Friday 22 April 2011

Lesbian Life: Behind the Anonymity

Kata orang, selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Ketika gue memutuskan untuk melangkah keluar dari lemari dan bertemu secara maya dengan para lesbian yang lain, ada satu hal yang gue pelajari yaitu mengenai masalah identitas.

Saat pertama kali memasuki dunia lesbian dan berkenalan dengan beberapa teman lesbian lainnya, hampir semuanya menggunakan "alias", a.k.a. "identitas palsu". I was like, hmmm okay is it the rule of this world? I always play by the rule meskipun waktu itu gue belum paham betul apa maksudnya.

Seiring berjalannya waktu dan gue juga mulai mendengar dari beberapa teman atau membaca beberapa artikel di Sepoci Kopi mengenai betapa pentingnya untuk menjaga identitas asli, gue pun mulai paham mengapa banyak lesbian yang mati-matian menyembunyikan identitas aslinya.

Sempat gue bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada orang yang bisa setega itu untuk mencelakai temannya? Pada hakekatnya, hubungan antara sesama anggota dari sebuah kelompok minoritas seharusnya jauh lebih erat. Tapi yang terjadi pada komunitas lesbian adalah saling sikut, saling mencelakai, saling menusuk satu sama lain.

Is it part of the rule? I guess not.

Ketika akhirnya gue mengalami sendiri sebuah pengalaman buruk yang mungkin pernah terjadi pada beberapa lesbian lainnya, gue jadi semakin paham betul alasan di balik anonymity. Gue tahu bagaimana rasanya menjadi korban dan gue rasa gue tidak akan pernah sanggup melakukan hal yang sama, yang dilakukan terhadap gue, kepada orang lain.

Memang melelahkan harus menggunakan identitas lain saat berinteraksi dengan orang lain. Ada rasa tidak nyaman (pada awalnya) ketika harus menyamarkan identitas yang sebenarnya. Ada kebingungan yang membikin kepala mumet ketika harus memutar otak menciptakan sebuah identitas baru, apalagi ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan standar saat berkenalan; "kamu anak mana?", "umur berapa?", "tinggal di mana?", "kerjanya di mana?", dan bla bla bla. Iya, bingung mau jawab apa???

Tapi segala sesuatunya juga memiliki sisi baik. Look at the bright sight. Using an alias and hiding behind the anonymity brings a little advantage for me. Gue bisa dengan leluasa menuliskan segala sesuatu yang mengganggu pikiran gue, menuliskan perasaan gue, atau menuliskan tentang kejadian yang gue alami tanpa harus khawatir dikenali orang yang ternyata gue kenal. Well, was-was sih sebenarnya tetap ada. Jadi yang menjadi keuntungan utama di sini adalah rasa bebas untuk mengungkapkan segala sesuatunya, meskipun harus tetap berhati-hati.

Sebagai lesbian, identitas asli itu lebih dari sekedar "ah, yang penting keluarga gue udah tahu kalau gue lesbian, so nothing to worry about." As a matter of fact, it is more than that, apalagi bagi lesbian yang masih "in the closet". Gue sudah pernah menjadi korban dan gue tahu gimana rasanya. Rasanya tuh gak enak banget... jadi tidak nyaman.

Setidaknya setiap orang seyogyanya memperlakukan orang lain sebagaimana dia ingin diperlakukan oleh orang lain, kan? Jika ingin dihormati dan dihargai orang lain, maka sudah sepantasnya menghormati dan menghargai orang lain.

Sudah sepantasnya juga masing-masing individu berusaha untuk menciptakan rasa aman dan saling melindungi terhadap satu sama lain. Kalau masih terus-terusan ada korban, jangan heran kalau gue menjadi lesbian yang "lesbianphobic". So sad...

Ps. Happy Good Friday!

3 comments:

Anonymous said...

The books that help you the most are those which make you think the most.

ef_el said...

Simply dan jujur, gue suka tulisan loe, bagus untuk jadi bahan review setiap orang !!!

Rae said...

@ef: makasiiiiiihhhh ;D