Setelah sembuh, gue kembali kerja seperti biasanya. Gue boleh aja istirahat di rumah dan waktu seolah berhenti selama hampir satu minggu, tapi ternyata yang namanya kerjaan itu terus bertambah dan bertambah, menumpuk dan menumpuk, menunggu gue sembuh untuk segera diselesaikan. But it was nothing that I can't handle and here I am, getting the pace back.
Satu minggu setelah sembuh, di tengah malam buta sekitar jam 2 dini hari, nyokap mendapat kabar bahwa salah satu ii gue, yang menderita kanker payudara, sudah sekarat. Jadilah gue, nyokap, kuku, dan 2 adik gue langsung menuju ke rumah sakit.
Setibanya di RS, ternyata semua keluarga sudah berkumpul, kecuali salah satu kakak ii gue yang sedang dalam perjalanan. Ii gue benar-benar terlihat jauh lebih parah dari sebelum-sebelumnya. She was dying dengan napas yang tersendat-sendat dan tubuh yang sudah sedingin es. Ii sempat menatap semua orang yang hadir satu per satu, sebelum kemudian menutup matanya. Begitu kakaknya tiba, tutup oksigen di hidungnya dicopot dan akhirnya ii gue menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kalinya.
Actually, it was terrifying to see such thing. I mean, melihat bagaimana seseorang mendekati ajalnya. Seriously, sampai sekarang gue masih terbayang-bayang dan membuat gue jadi ketakutan sendiri. Tapi begitulah yang namanya kehidupan pasti akan tiba akhirnya. Tuhan yang memberi, maka Tuhan yang mengambil. Hanya saja gue masih belum bisa membayangkan kalau gue yang mengalaminya. Aduh, belum sanggup...
Anyway, semua orang merasa terpukul dengan kepergian ii gue. Semua orang merasa sedih sekaligus tidak percaya kalau ii gue harus pergi begitu cepat di usia yang masih sangat muda, 45 tahun. Apalagi ii gue baru menikah setahun yang lalu dan belum lama merasakan kebahagian dan menikmati kehidupan yang bisa dibilang berlebihan secara finansial. Dan yang paling menyedihkan adalah ii gue menjadi satu-satunya harapan untuk kedua orang tuanya.
Semua orang merasa kehilangan; orang tuanya kehilangan seorang anak yang berbakti, saudara-saudaranya kehilangan adik/kakak, keponakan-keponakannya kehilangan ii. Gue sendiri merasa kehilangan seorang ii yang pandai mendongeng. Tapi itulah kenyataan yang harus diterima semua orang... kehilangan.
Sayangnya, tidak semuanya bisa menerima kenyataan, tetapi malah menyalahkan suaminya sebagai penyebab kematian. It is sad membayangkan ii gue baru meninggal dan sekarang saudara-saudaranya udah pada berantem dengan suaminya. Padahal itu bukan salah siapa-siapa. Yang namanya ajal pasti tetap akan datang.
Terkadang memang lebih mudah menyalahkan orang lain atau menyalahkan sesuatu daripada menerima kenyataan, saat apa yang terjadi justru di luar ekspektasi, di luar rencana. Ketika segala sesuatu berjalan tidak sesuai keinginan, lebih mudah menyalahkan orang lain atau sesuatu daripada mengintrospeksi diri dengan bercermin pada hasil yang diperoleh.
Yang terjadi pada keluarga ii gue hanyalah satu contoh yang memang agak sedikit ekstrim. Tapi yang ingin gue bilang di sini adalah seperti itulah manusia, yang lebih senang mencari alasan dan selalu melakukan yang termudah saat kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Memang tidak semua orang yang seperti itu, tapi tidak sedikit juga orang yang seperti itu.
Melihat apa yang terjadi dengan keluarga ii gue, gue mikir, kenapa kok ya bisa gitu? Kenapa orang lebih mudah menyalahkan orang lain atau menyalahkan sesuatu? Berapa ratus kali pun gue berpikir, tetap gak ada jawabnya. Mungkin karena memang udah dari sananya seperti itu.
Seperti yang pernah gue bilang, menghadapi dan menerima kenyataan memang tidak pernah mudah bagi setiap orang. Ada yang sanggup tapi ada juga yang tidak sanggup dan memilih untuk melakukan hal yang termudah, yaitu menyalahkan. And it's such a shame mengetahui bahwa gue termasuk orang yang lebih senang menyalahkan... always blame it on the rain.
2 comments:
Turut berduka, Rae.
Thanks :)
Post a Comment