Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Friday 25 February 2011

Indecisive

Mungkin bagi teman-teman dekat gue, gue adalah orang yang paling menyebalkan sedunia kalau tiba waktunya untuk memilih. Dan mungkin gue orang yang paling indecisive di dunia ini. Bawa gue ke food court dan jelas gue akan kebingungan memilih makanan di antara sekian banyak menu yang tersedia, dari berbagai penjual. Makanya, kalau enggak terpaksa harus ngerjain tugas bareng, gue gak bakalan ke food court, selain karena bau asap yang bakalan nempel enggak cuma di baju dan rambut, tapi sampai ke bra juga. Biasanya pilihan gue selalu jatuh pada menu yang itu-itu melulu: Doner Kebab, de Presto, Bakmi Gang Kelinci, atau yang agak jauhan dikit, pesen Bakso Malang.

Sifat gue yang indecisive enggak cuma soal makanan aja tapi, kayaknya, soal segala hal dalam hidup gue. Setiap kali ditanya pilih yang mana soal apa aja, gue pasti jawabnya "terserah". Dengan menjawab "terserah", gue berdalih bahwa apapun yang orang lain pilih maka gue akan dengan senang hati mengikuti. Padahal kenyataannya jawaban gue yang seperti itu justru malah membingungkan orang lain dalam menentukan pilihannya.

Ketika dihadapkan pada banyak pilihan, gue akan kebingungan sendiri. Gue tidak bisa dengan tegas memilih gue mau ini atau mau itu, apalagi jika ada pihak-pihak yang jelas bisa dirugikan dan disakiti karena pilihan gue yang buat. Dengan pikiran yang terus menghantui bahwa gue akan menguntungkan satu pihak dan merugikan serta menyakiti pihak yang lain, maka gue memilih untuk tidak memilih. Dan 'tidak memilih' itu adalah zona nyaman gue setiap kali gue berhadapan dengan pilihan.

Sialnya, dalam hidup itu sudah pasti akan ada banyak pilihan. Bahkan kata orang hidup itu sendiri adalah pilihan. Hidup juga harus ada prioritas dan itu berarti mereka yang hidup harus memilih. Benar-benar neraka buat gue untuk keluar dari zona nyaman dan perasaan bahwa di satu sisi gue harus memiliki prioritas, sementara di sisi lain ada pihak-pihak yang harus dikorbankan, benar-benar menyiksa gue. Rasanya gue gak akan bisa hidup karena perasaan seperti itu ataupun berpura-pura bahwa tidak ada apa-apa sementara nyata sekali bahwa ada yang menjadi korban atas pilihan gue.

Gue tahu bahwa terus-terusan berada di zona nyaman juga tidak akan menyelesaikan masalah. Malah membiarkan masalah itu sendiri menggantung di udara. Dan jelas gue tidak bisa hanya mengikuti pilihan orang lain untuk hidup gue sendiri. Tapi untuk sementara ini gue cuma ingin duduk meringkuk di zona nyaman dan mencoba untuk menentukan pilihan, sampai akhirnya gue merasa bahwa gue sudah siap untuk menanggung rasa bersalah, yang mungkin untuk seumur hidup, akibat pilihan gue itu.

1 comment:

Chossy said...

Tidak memilih itu juga sebuah pilihan, tetapi lebih baik memilih dan berani tegas dalam menentukan pilihan. sesulit apapun itu. :)