Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Sunday, 27 February 2011

Me and Underwear

Apa yang paling memalukan selain bersin tepat sedetik sebelum mencapai orgasme? Dulu, mantan gue pernah ngomong gini: "say, underwear kamu yang bulukan jangan dijemur di luar ya. Memalukan." JLEB. Asem banget deh. Soalnya di kost gue tempat jemurannya di lantai 3 dan sudah bisa dibayangkan pemandangan gedung GKBI yang megah itu harus terhalang dengan puluhan underwear yang berkibar-kibar diterpa angin. Jadi memang memalukan kalau ada underwear yang udah bulukan dan bolong-bolong...hihi.

Sejak saat itu gue jadi hobi beli underwear. Bentar-bentar pasti berburu underwear. Tiap ke Centro pasti ngiderin underwear section. Untung aja merk favorit gue sering diskon. Tapi yaaa, meskipun udah diskon juga harganya masih mencekik dan tangan gue selalu gemeteran setiap kali menyerahkan kartu kredit ke kasir. Tapi tetep enggak ada ruginya karena kalau beli yang murahan, disikat dikit langsung bolong dan karetnya gampang longgar.

Terus, kalau beli underwear gue maunya sepasang, celana dalam dan bra. Kalau diskonnya terpisah, gue ogah beli meskipun gue udah naksir berat dengan modelnya. Dan gue ngotot harus beli sepasang. Teman gue pernah berkomentar "buat apa??? Lagian siapa yang liat juga???" Ih, gak tahu aja dia... heheheh. Lagian kalau pake yang enggak sepasang rasanya ada yang mengganjal buat gue, seperti setengah jiwa gue mati kutu. Doesn't it seem OCD to you? Yeah, whatever hehe.

Begini ya, "kegilaan" gue mengoleksi underwear karena ada alasan tersendiri juga. Coba bayangkan di saat-saat tertentu yang mengharuskan untuk buka baju, misalnya ke dokter, dan daleman pada buluk. Memalukan banget gak sih? Kata Mama dulu "lo tuh kalo pake daleman jangan yang bulukan. Kalo kenapa-kenapa di jalan kan bikin malu kalo orang lihat daleman buluk lo." Nah, ternyata Mama lebih khawatir dengan underwear gue daripada gue-nya. Dan lagi, memberikan keuntungan tersendiri pakai underwear yang bagus dan seksi untuk urusan you know what I mean. Hihihi.

Ps. kenapa gue jadi ngomongin underwear??? Hmm... mungkin ini sebagai penanda bahwa gue harus berburu underwear. Segera.

Friday, 25 February 2011

Indecisive

Mungkin bagi teman-teman dekat gue, gue adalah orang yang paling menyebalkan sedunia kalau tiba waktunya untuk memilih. Dan mungkin gue orang yang paling indecisive di dunia ini. Bawa gue ke food court dan jelas gue akan kebingungan memilih makanan di antara sekian banyak menu yang tersedia, dari berbagai penjual. Makanya, kalau enggak terpaksa harus ngerjain tugas bareng, gue gak bakalan ke food court, selain karena bau asap yang bakalan nempel enggak cuma di baju dan rambut, tapi sampai ke bra juga. Biasanya pilihan gue selalu jatuh pada menu yang itu-itu melulu: Doner Kebab, de Presto, Bakmi Gang Kelinci, atau yang agak jauhan dikit, pesen Bakso Malang.

Sifat gue yang indecisive enggak cuma soal makanan aja tapi, kayaknya, soal segala hal dalam hidup gue. Setiap kali ditanya pilih yang mana soal apa aja, gue pasti jawabnya "terserah". Dengan menjawab "terserah", gue berdalih bahwa apapun yang orang lain pilih maka gue akan dengan senang hati mengikuti. Padahal kenyataannya jawaban gue yang seperti itu justru malah membingungkan orang lain dalam menentukan pilihannya.

Ketika dihadapkan pada banyak pilihan, gue akan kebingungan sendiri. Gue tidak bisa dengan tegas memilih gue mau ini atau mau itu, apalagi jika ada pihak-pihak yang jelas bisa dirugikan dan disakiti karena pilihan gue yang buat. Dengan pikiran yang terus menghantui bahwa gue akan menguntungkan satu pihak dan merugikan serta menyakiti pihak yang lain, maka gue memilih untuk tidak memilih. Dan 'tidak memilih' itu adalah zona nyaman gue setiap kali gue berhadapan dengan pilihan.

Sialnya, dalam hidup itu sudah pasti akan ada banyak pilihan. Bahkan kata orang hidup itu sendiri adalah pilihan. Hidup juga harus ada prioritas dan itu berarti mereka yang hidup harus memilih. Benar-benar neraka buat gue untuk keluar dari zona nyaman dan perasaan bahwa di satu sisi gue harus memiliki prioritas, sementara di sisi lain ada pihak-pihak yang harus dikorbankan, benar-benar menyiksa gue. Rasanya gue gak akan bisa hidup karena perasaan seperti itu ataupun berpura-pura bahwa tidak ada apa-apa sementara nyata sekali bahwa ada yang menjadi korban atas pilihan gue.

Gue tahu bahwa terus-terusan berada di zona nyaman juga tidak akan menyelesaikan masalah. Malah membiarkan masalah itu sendiri menggantung di udara. Dan jelas gue tidak bisa hanya mengikuti pilihan orang lain untuk hidup gue sendiri. Tapi untuk sementara ini gue cuma ingin duduk meringkuk di zona nyaman dan mencoba untuk menentukan pilihan, sampai akhirnya gue merasa bahwa gue sudah siap untuk menanggung rasa bersalah, yang mungkin untuk seumur hidup, akibat pilihan gue itu.

Tuesday, 22 February 2011

Women are not Toys

As I live and breathe, gue masih tidak percaya pada kenyataan bahwa dari zaman Siti Nurbaya sampai zaman perempuan menjadi politician, yang namanya perjodohan itu masih berlangsung. Entah sama laki-laki atau perempuan yang single, perjodohan selalu menjadi momok yang paling mengesalkan dan melelahkan. Kalau yang emang lagi minta dicariin jodoh sih memang enggak masalah. Lah, kalau yang kayak gue? Masalah itu namanya. Masalah BESAR.

Memang sudah menjadi nasib perempuan kayak gue yang bakalan terus-terusan dicomblangin sana-sini kayak kambing. Tapi ya, gue pernah ngobrol sama teman gue, yang jelas serumpun sama gue. Gue tanya ke dia, "kenapa sih orang-orang seneng aja jodoh-jodohin?", dan katanya karena memang itulah yang seharusnya, yang sepantasnya. Sama seperti perempuan pasangannya laki-laki. Ok, I got it.

Lalu gimana dengan mereka (laki-laki) yang memang sedang mencari jodoh? Well, gue bukannya ngomongin soal cari jodoh melalu online dating website, tapi yang gue omongin adalah cara mencari jodoh dengan cara yang tradisional: mendatangi kenalan orang tua yang memiliki anak perempuan satu per satu. Yang gue bayangin adalah seorang anak laki-laki yang masuk ke toko mainan dan hendak memilih salah satu mainan, di antara sekian banyak mainan yang berjejer rapi dan pada akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah mainan yang paling dia sukai.

Sungguh tragis membayangkan bahwa nasib para perempuan seperti nasib para mainan yang menunggu hingga ada seorang anak laki-laki yang datang dan membelinya. Somehow I just want to scream out loud, telling the world that we, women, are not toys!

Friday, 11 February 2011

Lesbian Life: From a Secret to Many Lies

Menjalani hidup sebagai seorang "lesbian in the closet", gue baru menyadari satu hal bahwa gue akan terus menyimpan rahasia mengenai orientasi seksual gue selama gue belum memutuskan untuk coming out, terutama kepada keluarga dan teman-teman dekat lainnya yang memang belum tahu dan (kemungkinan besar) tidak akan pernah tahu. Dan karena gue sendiri tidak berniat untuk coming out, setidaknya kepada orang-orang yang gue rasa tidak akan bisa menerima (gue tahu karena gue cukup dekat dengan mereka), so I'm gonna keep the secret to the grave.

Gue rasa banyak teman-teman lesbian lainnya yang juga membuat keputusan yang sama, yaitu stay in the closet, dengan berbagai macam pertimbangan serta dengan konsekuensi yang harus ditanggung masing-masing. Ketika memutuskan untuk tetap stay in the closet, mungkin untuk sementara ataupun untuk selamanya, salah satu konsekuensi yang harus dijalani adalah "berbohong". Entah itu termasuk white lie atau black lie (emangnya ada ya term yang terakhir itu???), yang jelas mau tidak mau tetap harus berbohong demi menutupi rahasia seumur hidup itu.

Misalnya jika ditanyakan:
"Udah punya pacar belum?" - "Belum", padahal punya tapi perempuan. 
"SMS-an sama siapa sih, kok girang gitu bawaannya? Pacar yaaaaa?" - "Ah, bukan. Cuma temen, kok." Tahunya lagi SMS-an sama potential partner atau malah sama partner
"Pacarnya orang mana? Kerjaannya apa? Cakep nggak? Umurnya berapa? Siapa namanya?" - "Orang Surabaya, karyawan bank, lumayanlah buat dipamerin di arisan, umur 25, namanya Joko." 
Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang cukup berbahaya bahkan bisa sangat mendesak, yang tentunya harus dijawab dengan satu atau dua kebohongan, mulai dari bohong kecil-kecilan hingga bohong besar-besaran.

They say "lies don't need water to grow." Maka dengan sendirinya kebohongan itu akan terus berlanjut dan tumbuh semakin banyak, dari satu kebohongan menuju kebohongan lainnya, seperti lingkaran yang tak pernah putus, hingga akhirnya membuat kita terdesak dan dengan terpaksa harus mengambil sebuah tindakan yang ekstrim. What a tough life we're living for a secret. 

Thursday, 10 February 2011

Mission Glee

Gue pusing setiap kali lihat Bontot pulang pasti bawa tontonan DVD Korea dan kerjaannya nonton drama Korea melulu. Enggak heran kalau semua lagu yang disimpan di FD-nya adalah lagu-lagu Korea. Dan yang lebih parahnya lagi, desktop wallpaper-nya menunjukkan slide show dari foto-foto Lee Jun Ki. Lee Jun Ki, sodara-sodari sekalian... LEE JUN KI!!!

Maka gue memutuskan untuk segera menjalankan "Mission Glee", sekalian gue pengen lihat reaksinya terhadap tokoh Kurt. Well, you know what I mean, right? Caranya adalah gue ngojok-ngojokin dia untuk nonton Glee dan gue kasih semua lagu-lagunya Glee. Hehehe... Dan hasilnya... SUKSES!!! Bontot is officially into Glee, dan keracunan Glee. Buktinya, gue dan dia mengobrol soal Glee selama perjalan pulang saat gue jemput di kost. Yay!

What makes me happier is that he's actually fine with Kurt! Hehehe. Yup, ternyata dia cukup open-minded karena tidak ada komentar miring ketika gue mengenalkannya dengan kata "homoseksual". Dia malah muji-muji kalau suara Kurt itu baguuuuussss. Dengan begitu, maka gue bisa sedikit bernapas lega.

The next day, gue pinjam laptop Bontot untuk online. And guess what I found... accidentally, gue menemukan link-link gay fiction di Bookmark-nya. What a surprise!!! Selama satu menit gue cengo sambil membaca cerita fiksinya (teteuuup penasaran pengen baca... hahaha) dan menit berikutnya, muncul sebuah pertanyaan: is it before or after the Mission Glee??? Jelas pertanyaan itu muncul dalam benak gue berulang-ulang.

Apa yang harus gue lakukan??? Gue jadi bingung sendiri. Akhirnya gue tanya sama Kopi dan katanya mendingan gue diemin aja dulu dan jangan tanya apa-apa ke Bontot. Gue setuju karena gue pikir itu yang terbaik untuk sementara ini. Lagipula usianya masih terlalu muda (bahkan gue saat seumuran dia juga hobinya masih main melulu dan gak terlalu memikirkan soal orientasi seksual gue). Gue juga memutuskan untuk menunggu hingga dia sendiri yang datang dan bilang langsung ke gue, itupun kalau dia memang ternyata seperti yang gue duga. Atau gue hanya menunggu hingga dia datang dan membicarakan masalah kebingungannya atau apapun itu.

Masalahnya adalah gimana gue bisa meyakinkan dia bahwa gue adalah orang yang tepat untuk diajak ngobrol ketika dia butuh. Jelas gue yang duluan comming out ke dia sama sekali tidak termasuk dalam solusi pemecahan masalah, bok. Tapi itu mungkin itu masih masalah nanti. Yang perlu gue lakukan adalah memerhatikan gelagat-gelagatnya mulai saat ini. Dan apapun yang terjadi nanti, he's still my little brother and I'm lucky to have him.

What's your size?!

Tahu apa yang menjadi bahan obrolan bagi para perempuan yang berada di kamar mandi dan half naked?

Boobs. (Yup, you read it right).

Semalam gue menghadiri pesta nikahan salah seorang teman asrama. Gue juga jadi bisa ikutan reunian dengan teman-teman yang lain. Teman gue terlihat cantik dan suaminya mirip Nishikido Ryo (iya loh!!!) Pesta berlangsung meriah dan makanannya juga enak. Di akhir acara, tahu-tahu gue ketemu dengan salah satu teman yang dulu sering membuat gue sebal kalau ngomongin boobs. Benar-benar merusak suasana.

Dulu waktu tinggal di asrama, kegiatan mandi memang dilakukan barengan. Bayangin saja, ada puluhan perempuan yang harus segera siap-siap sebelum mengikuti misa, sarapan, lalu berangkat ke sekolah. Jelas harus pada mandi masal deh biar keburu.

Dan ada seorang teman gue yang seangkatan, yang dengan bangganya memamerkan boobs-nya yang, untuk seumuran anak SMP, ukuran cup-nya D (ups). Enggak, gue enggak pernah ngiri soal ukurannya yang besar itu, apalagi ngiler. Hihihi... Ehem, seriusan, buat gue itu sangat mengerikan ketimbang bikin ngiler (hehehe).

Gue sih gak peduli mau ukurannya apa, tapi yang paling gue gak tahan itu kalau boobs gue dikata-katain super imuuuuutttt sama dia. Asem banget.

Temen yang boobs-nya gede: Eh, eh, boobs gue sama boobs-nya Rae gedean mana?
Temen yang tak berperikemonyetan: Ya punya lo lah.
Temen yang boobs-nya gede: Hahahaha... iya dong.
Temen yang benar-benar baik hati: Punya lo mah kegedean. Gak wajar untuk yang seumuran kita.
Rae yang polos dan sedang terpojokkan: Hahahahaha... embeeeeerrrrrr....

Sejak saat itu, gue ogah mandi kalau ada dia dan selama bertahun-tahun berikutnya, kenangan itu membuat gue minder. Dan apesnya lagi, waktu ketemu gue di pesta nikahan semalam, yang dia tanya duluan adalah "berapa ukuran cup lo sekarang? Kayaknya cuma nambah satu ukuran dari waktu SMP deh." Ih, minta ditampar bolak-balik deh.

Tapi sih ya, gue gak marah. Malah gue maklum aja kalau dulu nilainya di sekolah sering anjlok. Lha wong isi otaknya pada pindah semua ke boobs sih. Kejam deh gue. Hihihi... Lagian, gue udah puas dengan ukuran boobs gue. Enggak gede, enggak kecil. Hehehe :p

Beiiiib, inget ya, ukuran gue B, in case kalau mau beliin gue bra. Hihihihi....

Tuesday, 8 February 2011

Busted

What could be more fun than bust a couple in action at public place? And I tell you, it's crazy fuuuuuunnnnnnnnnn... hihihi...

Ceritanya internet di rumah gue gak bisa konek-konek, sampai-sampai gue bete, kesel, sebel, pengen banting-banting modem. Then came to my mind, jangan-jangan karena tagihan udah membledug. Akhirnya gue segera tancap gas ke ATM. Dan benar saja, tagihan udah membledug kayak kodok yang menggelembung.

Selesai bayar tagihan, gue balik ke rumah. Saat mau keluar dari parkiran, gue yang tadinya udah mundurin mobil dan berencana muter balik, malah tiba-tiba memilih untuk lewat parkiran di samping gedung. Ada sebuah taman di samping gedung bank tempat gue ke ATM. Tapi tamannya gelap banget dan banyak pohonnya. Gue rasa yang doyan nangkring di situ enggak cuma pasangan yang doyan PDA dalam gelap, tapi juga hantu.

Entah kenapa naluri gue kepengen aja gitu lewat parkiran yang ada di antara gedung dan taman itu. Jadi dengan santainya gue nyetir mobil ke arah situ. Tahu-tahunya, begitu gue belok, lampu mobil gue langsung menyorot dua makhluk yang menurut penglihatan sekilas gue, tengah bermesraan. Makhluk yang satu sedang duduk membelakangi gue dan tubuhnya agak condong ke makhluk yang duduk di sampingnya. Dan kedua makhluk itu berjenis kelamin..... PEREMPUAN!!!

Wuih... bayangin betapa kagetnya gue melihat mereka berdua. Seperti adegan slow motion gue lewat di depan mereka sambil ngelihatin mereka yang nampak kaget dan salah tingkah. Astaganagaularnagaditangga... Gue antara terperangah, kaget, takjub, dan exciting... hihihi.

Saat di perjalanan pulang, gue langsung mikir, "ah, kali mereka cuma teman dan lagi ngobrol aja." Tapi terus gue mikir lagi, "kalo temenan, ngapain juga ngobrol gelap-gelapan????????????" Iya kaaannnn???????????? Jadi???????????? Mereka itu???????????? Are you thinking what I'm thinking???????????? Iya kan???????????? Bener kaaaannn????????????

Dan gue pun jadi girang sendiri. Horeeeeeeeeee.... gue ternyata enggak sendirian di kota besar yang terpencil ini... Hahahahahaha.... Booyah!!!

Beibyyyyyyy, mau dong PDA gelap-gelapan... hihihi.

Saturday, 5 February 2011

When I feel worse

Saat melakukan hal yang buruk, maka gue merasa sangat buruk. Juga ketika melakukan hal yang bodoh, maka gue merasa menjadi manusia yang paling bodoh.

Pengennya marah, tapi merasa tidak pantas untuk marah. Lagian, mau marah kepada siapa? Pengennya nangis, tapi air mata gak bisa keluar. Sedang mengalami musim kemarau, rupanya, dan kekeringan melanda.

Perasaan bingung, kesal, cemas, takut, campur aduk menjadi satu dan ini merupakan saat-saat yang terburuk yang pernah gue alami. This is when I feel worse about myself. Feels like I'm floating in the water, only for some reason, I'm getting down and down into the water, drowning. And this will getting me down for days and it's not going to be okay.

Kalau sudah begini, bawaan pengen mengunci diri di kamar kayak orang bego. Menarik diri dari semua orang dan tidak berinteraksi sama sekali. Pengennya menyendiri atau kabur sejauh-jauhnya, kalau perlu, sekalian masuk goa. Ah, mending juga tidur...

Thursday, 3 February 2011

Happy Lunar New Year


Gue baru ngeh semalam kalau ternyata pohon natal di rumah gue masih terpajang di sudut ruang tengah di rumah gue. Aih, padahal kan ini udah bulan Februari juga. Natal udah lewat sebulan yang lalu tapi pohonnya masih nangkring meskipun beberapa hiasan, termasuk lampu, udah dicopot. Gue bilang ke nyokap udah waktunya turunin tuh pohon dan disimpan lagi di dalam kardus, tapi kata Mama, "ah gak apa-apa lagi, kan mau Imlek." Malahan Mama nambahin pernak-pernik Imlek di pohon natal dengan penuh semangat.

Well, pohon natalnya memang tidak bisa dibilang sebagai pohon natal yang meriah, tapi menjadi sebuah simbol bagi keluarga gue, apalagi setelah ditambahi ornamen Imlek. Unik sih sebenarnya, melihat ada dua perpaduan di situ: pohon natal dan ornamen Imlek. Untuk Imlek dan acara sembahyang dilakukan keluarga gue sebagai sebuah tradisi untuk menghormati orang tua, dalam hal ini Oma, Opa dan para buyut. Jadi, untung buat gue dan adik-adik gue karena bisa dapat angpao dobel, Natal dan Imlek. Hihihi... Mantab deh! Semoga dapatnya banyaaaakkkkkk...

Happy Lunar New Year!!!


Take a Bow

Oh, how about a round of applause?
Yeah, standing ovation? Ooh, oh yeah
Yeah y-yeah yeah

You look so dumb right now
Standing outside my house
Trying to apologize
You're so ugly when you cry
Please, just cut it out

Don't tell me you're sorry 'cause you're not
And baby when I know you?re only sorry you got caught

But you put on quite a show, really had me going
But now it's time to go, curtain's finally closing
That was quite a show, very entertaining
But it's over now
(But it's over now)
Go on and take a bow

Grab your clothes and get gone
You better hurry up before the sprinklers come on
Talkin' 'bout, "Girl, I love you," "You're the one"
This just looks like a rerun
Please, what else is on?

Don?t tell me you're sorry 'cause you're not
And baby when I know you?re only sorry you got caught

But you put on quite a show, really had me going
But now it's time to go, curtain's finally closing
That was quite a show, very entertaining
But it's over now
(But it's over now)
Go on and take a bow

Oh, and the award for the best liar goes to you
(Goes to you)
For making me believe that you could be faithful to me
Let's hear your speech out

How about a round of applause?
A standing ovation?

But you put on quite a show, really had me going
Now it's time to go, curtain's finally closing
That was quite a show, very entertaining
But it's over now
(But it's over now)
Go on and take a bow
But it's over now


Ps. Kinda into this song ever since I listened to it on Glee :)

Wednesday, 2 February 2011

Get married or be a nun

Tahu gak kalau di Meksiko, usia 15 merupakan hal yang sangat penting bagi seorang gadis? (Well, thanks to BBC Knowledge untuk pengetahuan yang satu itu.) Pasalnya, ketika seorang gadis menginjak usia 15 tahun, artinya dia menjadi dewasa. Mungkin sama seperti di Indonesia ktika seorang anak menginjak usia 17 tahun dan menerima kado berupa sebuah KTP (I know, it's sucks).

Ketika seorang gadis di Meksiko menginjak usia 15 tahun, yang dirayakan secara besar-besaran, bukan hanya dia menjadi seorang perempuan dewasa, tetapi juga dia dihadapkan pada dua pilihan untuk menentukan arah hidupnya. Pilihannya adalah [1] menikah dan memiliki keluarga, atau [2] tidak menikah dan menjadi biarawati. Menarik, bukan?

Melihat hal itu membuat gue tergelitik dan mulai mempertanyakan apakah seorang gadis yang baru berusia 15 tahun sanggup untuk memilih? Maksud gue, hey, 15 tahun adalah usia yang sangat muda bagi seorang gadis untuk memutuskan apakah dia akan menikah atau hidup sebagai biarawati. Juga di usia seperti itu, gue yakin bahwa 80% dari keputusan sang gadis adalah merupakan keputusan dari orang tuanya.

Jika gue berada dalam posisi itu, di usia 15 tahun, maka rasanya akan seperti gue sedang berada di tengah jalan dan berhadapan dengan sebuah persimpangan; ambil jalur kiri atau jalur kanan, sementara ujung dari kedua jalur itu sama sekali tak terlihat. Bagaimana keadaan jalan di kedua jalur itu juga sama sekali tidak diketahui. Jadi, bagaimana mungkin seorang gadis yang baru berusia 15 tahun dihadapkan pada dua pilihan hidup yang seperti itu?

Mungkin akan terlihat seperti gue menyamaratakan semua gadis-gadis di Meksiko. Gue tahu bahwa ada sebagian yang sudah bisa menentukan apa yang dia inginkan di usia 15 tahun. Dan yang paling penting adalah gue bukannya mempertanyakan atau mencela adat istiadat di Meksiko. Ini hanya menyangkut rasa ingin tahu gue saja. So, don't get me wrong, okay?

Setelah masih tetap bingung dengan pertanyaan gue yang tadi, lalu muncul lagi sebuah pertanyaan baru: what if she's gay? Well, apakah gay marriage di Meksiko itu dilegalkan? Dan gue pun beralih ke Om Google dan ternyata gay marriage di Mexico City, lebih tepatnya di kota Coahuila, dilegalkan. Maka beruntunglah para gadis-gadis di Meksiko sana. Dan beruntung juga bahwa Indonesia tidak menganut adat istiadat yang seperti itu. Not that I know of. Kalau ternyata ada, tolong beritahu gue ya. Coba seandainya di Indonesia juga seperti itu, bahwa seorang gadis yang berusia 15 tahun, dan gay, harus memilih salah satu. Duh, I can't be a nun. Hihihi...

Tuesday, 1 February 2011

I'm Chinese, so what?

Dulu, sering ada yang ngajak kenalan di FB yang asli. (Begini nih, nasib seorang gay in the closet. Semuanya ada "asli" dan "palsu"-nya.) Pertanyaan seputar ASL juga selalu ditanyakan, sampai-sampai gue bosan sendiri nanggepinnya. Sekarang gue benar-benar nyesel kebanyakan ikutan game di FB yang mengharuskan pemainnya memiliki banyak teman. Akhirnya jadi banyak banget orang yang enggak gue kenal dari friend list FB gue itu.

Last time I checked, ada 929 orang di friend list gue, dan hanya sekitar 200-300 orang yang benar-benar gue kenal di real-life, meskipun enggak semuanya juga yang kenal dekat. Sisanya, adalah orang-orang yang ketemu di game Texas Hold 'em Poker, Yoville, Mafia Wars, dan beberapa game lainnya, dan ada beberapa yang akhirnya jadi real-life friends. Sisa dari itu semua, sama sekali enggak gue kenal. Dan mereka lah yang sering ngajak kenalan.

Gue enggak keberatan kalau ada yang ngajak kenalan. Tapi kalau setiap ngajak kenalan trus nanya "jadi lo Cina, ya?" Ih, gue paling sebel kalo ada yang ngomong gitu. I mean, helloooooo??? So what, gitu lho??? Lihat aja mata gue dan gak perlu sampai harus ditanyain kali. Gue juga paling anti dengan pertanyaan seperti itu. Plis deh, hari gini masih zaman ya nanya-nanya gitu? Lagian ya, terakhir gue cek ke Mama, gue ini lahirnya di Indoensia dan lagu Indonesia Raya tengah berkumandang di saluran RRI di hari ketika gue dilahirkan di bumi pertiwi ini.

I don't even know Chinese languange, for God's sake! Pengetahuan gue soal Bahasa Mandarin hanya seputar: wo ai ni, wo pu ce tau, wo ce tau, wo pu yau dan xie xie. Udah itu doang. Iya, gue cuma dapat matanya doang. Makanya gue paling sebel kalau ada yang ngomong "lo Cina". Dan yang paling membuat gue kesal kalau dipanggil "amoy" sama abang-abang jail yang suka nongkrong di parkiran.

Dengan mata gue yang sipit seperti ini, gue enggak pernah milih-milih dalam berteman dan gue gak suka kalau ada yang membedakan gue dengan warga pribumi. Gue juga enggak suka kalau ada orang yang sama seperti gue, yang selalu meng-eksklusif-kan dirinya. Gue juga cintanya sama Indonesia kok. Meskipun memang, mata enggak bisa disembunyiin kecuali kalau gue operasi untuk memperbesar mata, yang gue yakin bakal membuat gue terlihat seperti alien. Jadi gue lebih senang menempatkan diri gue sebagai "Indonesian Chinese" dibandingkan dengan "keturunan Tionghoa", apalagi "orang Cina", karena itu terdengar seperti "Orde Baru" sekali, sedangkan kita hidup sudah di zaman Demokrasi.