Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Wednesday, 9 March 2011

Living in Dorm (Part 1)

Waktu ketemuan dengan teman lama hari Minggu kemarin, selain curhat-curhatan, gue berdua juga sempat bernostalgia sedikit waktu dulu masih tinggal di asrama. So, let me tell you the story of me living in a dorm. 

Tahun Pertama

Keputusan Papa untuk mendaftarkan gue di sebuah sekolah Katolik dengan layanan asrama khusus perempuan, jelas menuai protes. Protes yang pertama datang dari Oma, yang jelas karena tidak mau jauh dari cucu tercintanya. Protes yang kedua datang dari Mama, meskipun pada akhirnya Mama setuju dengan keputusan Papa. Protes yang ketiga datang dari seorang suster yang menjadi pembimbing Legio Maria dan Putera-Puteri Altar (PPA) waktu gue SD dulu, dan berhubungan cukup dekat dengan keluarga gue, dengan alasan usia gue masih terlalu muda untuk bisa hdiup jauh dari keluarga. Masih SMP kelas 1, bok!

BTW, gue bisa membayangkan kalau seandainya teman-teman Legio Maria dan PPA gue tahu that I'm gay, pasti bakalan heboh. Bisa gue bayangkan mereka akan bilang "astaga, lo kan dulu rajin ikut Legio Maria dan tiap hari Minggu pasti misdinar di gereja. Kok bisa sih lo jadi lesbi???", dengan suara melengking tertahan ketika menyebutkan kata terakhir, in disbelieve. Hmm... pasti seru!. (Not that I'm waiting for that moment to happen... not in so many years.)

Kembali ke cerita. Dengan didukung Mama, maka keputusan Papa tetap dijalankan dan pada akhirnya gue lulus tes dan diterima juga di asrama. Sekolah akan dimulai dan artinya gue harus segera mengungsi ke asrama.

Asrama yang gue maksudkan di sini adalah sebuah gedung tua, yang dari bentuk dan desain ruangannya, kemungkinan besar adalah bekas rumah sakit di masa penjajahan Belanda dulu. Lantainya tanpa keramik, setiap ruangannya luas dengan jendela kayu, berandanya mirip beranda rumah sakit, kamar mandinya luas dengan bak panjang di tengah dan dengan penerangan yang temaram (benar-benar suasana yang angker ketika kebelet di tengah malam), dan kamar tidurnya terlihat seperti bangsal rumah sakit di mana para pasien terbaring sakit di atas tempat tidur (persis seperti di film-film perang zaman dulu) dengan tempat tidur besi dua tingkat lengkap kelambunya.

The very first month is like living in a hell. I believe I live in one. Sejak hari pertama, selama seminggu penuh, anak-anak baru digembleng oleh para kakak-kakak asrama, in a meanest way as you can imagine. Semua anak baru mendapatkan perlakuan yang semena-mena, yang katanya sebagai bagian dari pengenalan asrama. Meskipun gue tidak mengerti dengan arti "pengenalan" dalam setiap tindakan semena-mena mereka, gue mau gak mau harus melaksanakan perintah, karena sudah seperti itu tradisinya secara turun-temurun, termasuk disuruh cuci piring selama seminggu penuh oleh seorang kakak asrama yang di kemudian hari malah menjadi aliansi gue (I'll tell you about that later on the next part). 

Selama satu minggu masa "pengenalan" (gue lebih suka menyebutnya masa "penindasan"), gue benar-benar enggak tahan. Tiap hari gue homesick, kangen rumah, kangen Oma, pengen pulaaaaaang... dan tiap hari pasti nangis. Selama seminggu penuh itu Mama terus-terusan datang berkunjung, padahal hari berkunjung cuma hari Kamis dari jam 5 sore sampai jam 6 (cuma 1 jam loh!?!?!?!), dan setiap kali Mama hendak pulang, gue pasti menangis meraung-raung gak bolehin Mama pulang; gak boleh pulang atau gue yang ikut Mama pulang. Tapi Mama punya jurus ampuh yang membuat gue akhirnya nyerah; tetap di asrama atau pulang dan gak usah sekolah. DOENG! Mau jadi apa gue kalau gak sekolah??? Mama menang, gue kalah. Telak.

Di bulan kedua gue sudah mulai merasa enjoy, udah punya banyak teman dari berbagai daerah, udah mulai terbiasa dengan kegiatan sehari-harinya, udah terbiasa mandi bareng puluhan perempuan lainnya (half naked... hihihi) dan tidur bareng di ruangan yang supeeeeerr luas. Kegiatan setiap hari anak-anak di asrama itu ya kayak gini:
4 am: Suster kepala asrama udah bunyiin lonceng. Apalagi suster kepala asrama itu kalau jalan kakinya diseret. Jadi sebelum lonceng dibunyikan, suara langkah kaki susternya udah duluan kedengeran karena gue tempat tidurnya di dekat jendela, yang konon katanya it's a spooky window, karena seorang suster Belanda dulu sering melongokkan kepalanya di situ demi mengawasi anak-anak asrama yang tengah tidur (damn creepy!) 
6 am: Ikut misa pagi di Katedral. Enam hari dalam seminggu, Senin-Sabtu, gue ikut misa. Makanya hari Minggu gue ogah ke gereja, hehehe. Pulang gereja langsung sarapan pagi bersama lalu siap-siap berangkat ke sekolah.
1 pm: pulang sekolah, langsung makan siang. Setelah itu kegiatan bebas, entah mau tidur siang atau cuci baju. Tapi gue lebih memilih tidur siang dong. Baju kotor bisa dibawa pulang dan dicuci di rumah, hihihi.
4 - 5 pm: Belajar dengan diawasi suster kepala.
5 - 6 pm: Rekreasi. Bebas mau ngapain. Mau main kek, mau makan pisang goreng kek, terserah.
6 - 7 pm: Belajar lagi.
7 - 8 pm: Makan malam bersama.
8 - 9 pm: Belajar lagi dan lagi. (Tuh gimana gue gak pinter dan jadi langganan 5 besar di sekolah, wong belajar melulu sampai bego sendiri).
9 pm: Doa malam bersama, and then time for bed, sleepy heads!

Semua penghuni wajib mengikuti setiap kegiatan yang sudah ditetapkan dan wajib mematuhi seteiap peraturan yang berlaku. Kegiatan yang padat dan peraturan yang ketat menjadi bagian dari kehidupan gue di asrama. Somehow, dibalik segala sesuatu yang teratur dan peraturan-peratuan yang ketat itu, gue menemukan sebuah kebebasan... Kebebasan menjalani hidup sendiri dan jauh dari keluarga. I feel freedom, ladies! Freedom that later brings me to an adventurous journey (halah, lebay deh gue).

To be continued...

Ps. Nanti gue lanjutin lagi dengan cerita gue tinggal di asrama di tahun kedua dan ketiga, yang tentu saja jauh lebih menyenangkan daripada tahun pertama, hehehe. Kepanjangan soalnya, bok. Dan gue harus gereja sekarang karena hari ini Hari Rabu Abu. Yuk, mare...

3 comments:

nn said...

I've been your friends for years, never you told me about this story lol. cepetan tulis yang kedua yaaa!

Kay Chen said...

waksss...seruuu... can't wait for the sequel. btw, diceritain intrik-intrik percintaannya juga yaa.. ^__^ kalo ada yang agak ehem-ehem lebih bagus lagi. hahahaha ^__^

coffee latte said...

Haha. Dulu waktu gw sma di malang. Ada asramanya juga. Tapi jamnya lebih ketat dari lo. Dan yang lebih menyebalkan...tiap jam 8 malem...doggy-doggy segede bagong dengan gigi runcing plus iler netes-netes udah di lepas di lingkungan sekolah. (¬_¬")
Tapi hebat lo beb, bisa tahan segitu lamanya di asrama. Gw maah, ga betahhh, mending gw NGGAK sekolah daripada tiap hari harus belajar. Yang ada bukannya gw makin pinter, tapi otak gw malah makin korslet kalo di suruh belajar mulu. (˘_˘"). Ayooo lanjutkan ceritanyaaa. :p