Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Tuesday 29 March 2011

Miss You, Gran

Jika ditanyakan siapa figur yang paling dekat dengan gue, maka gue akan menjawab bahwa figur yang paling dekat dengan gue adalah Oma. Bagaimana tidak? Satu hari semenjak gue keluar dari rumah sakit sebagai seorang bayi mungil nan imut, gue sudah tinggal di rumah Oma dan dirawat oleh Oma sendiri karena, mau tidak mau, Mama dan Papa sibuk membanting tulang dan mencari nafkah. Jadi tidak heran jika Oma memiliki peran yang sangat penting dalam hidup gue.

Sebagai orang tua-tua yang lahir di zaman dulu sekali dan masih sempat merasakan penderitaan akibat penjajahan, Oma mendidik gue dengan cara ke-Belanda-belandaan yang terkenal dengan peraturan-peraturan yang ketat, seketat spandex (iya, jayus deh lo Rae!) Eh, tapi serius lho. Dulu itu Oma membuat peraturan yang harus selalu gue patuhi. Kalau tidak dipatuhi, dijamin gue pasti akan kena jewer. Misalnya kalau pagi sebelum berangkat sekolah harus sarapan dulu. Sarapan pagi itu biasanya, maksud gue selalu, menunya bubur dan telur rebus dan segelas teh manis. Kadang kalau belum dapat uang belanja dari Mama, menunya hanya bubur dicampur kecap asin dan air putih hangat.

Sepulangnya dari sekolah harus segera ganti baju, cuci kaki dan tangan, lalu makan siang. Selesai makan harus tidur siang. Biasanya gue bandel  dan panjat jendela agar bisa bermain dengan teman-teman. Jika tengah bermain dan tiba-tiba mendengar teriakan Oma yang menggaung di sepanjang lorong, memanggil nama gue, “Raeeeeeeeeeeeeeee,” maka gue akan segera lari terbirit-birit menuju rumah karena itu artinya gue ketahuan kabur. Dan pastinya gue akan menemukan Oma yang sudah berada di depan pintu sambil memegang sapu ijuk. Adegannya berakhir dengan aksi Oma mengejar gue yang berlari mengelilingi rumah, dengan sapu ijuk yang diacung-acungkan. Sekarang kalau diingat-ingat, Oma tidak pernah berhasil memukul gue mungkin karena tidak tega juga atau karena tidak sanggup mengejar gue. Hehehe...

Namun di balik semua peraturan-peraturannya yang super ketat itu, gue sekarang menyadari betapa telatennya Oma dalam membesarkan cucunya yang bandel ini. Gue ingat bahwa Oma harus terjaga semalam suntuk jika gue sakit. Setiap sore sesudah mandi, Oma selalu rajin meminyaki rambut gue dengan minyak nyong nyong. Ya ya ya, gue tahu baunya tidak enak. Tapi hasilnya, sekarang gue memiliki rambut yang lebat, hitam dan lurus, yang pastinya selalu membuat teman-teman gue iri (sekalian pamer deh, hehehe.) Jika gue jatuh dan terluka, dengan sigap Oma menyiapkan obat tradisional andalannya, yaitu bawang merah dan gula pasir yang ditumbuk, kemudian mengoleskannya di luka. Rasanya perih minta ampun sehingga membuat gue menangis meraung-raung dan maunya digendong terus, padahal lukanya hanya sebesar biji semangka. Memalukan ya? Hihihi.

Memasuki SMP hingga kuliah, gue harus tinggal jauh dari Oma. Sebuah hal yang cukup sulit bagi gue sebenarnya. Ketika gue memasuki SMA, Oma terkena serangan stroke yang membuat sebagian tubuhnya lumpuh. Tapi, sekali lagi, yang membuat gue kagum adalah ketabahan dan keteguhan Oma dalam menjalani hidupnya. Oma tidak pernah mau menyerah pada penyakitnya. Itu salah satu pelajaran berharga yang gue dapatkan dari Oma, yaitu untuk tidak pernah menyerah. Pelajaran berharga lainnya mengajarkan untuk selalu rajin berdoa. Gue tahu bahwa Oma selalu mendoakan seluruh keluarganya setiap harinya.

Suatu hari di bulan Januari 2007, gue harus segera kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Hari itu gue memeluk Oma erat-erat sebelum berangkat dan seketika pecahlah tangis Oma. Itu pertama kalinya Oma menangis ketika melihat gue harus kembali ke Jakarta. Hati gue sedih harus meninggalkan Oma selama satu tahun penuh. Ingin rasanya gue membatalkan kepergian gue barang sehari saja jika seandainya gue tahu bahwa itu terakhir kalinya gue melihat Oma. Di bulan Juli Mama mengabarkan bahwa Oma telah pergi untuk selamanya.

Ada rasa sesal bahwa gue tidak sempat membalas budi kepada Oma. Menyesal rasanya gue tidak berada di sisi Oma ketika Oma sakit. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sekarang Oma telah tiada, bahkan setelah hampir 4 tahun sesudah kepergian beliau. Sering gue berandai-andai; andaikan Oma masih hidup, pasti gue bisa membawanya jalan-jalan dengan uang hasil keringat sendiri atau membelikan Oma Alkitab bergambar kesukaannya. Seandainya Oma masih hidup, maka Oma-lah orang pertama dan mungkin satu-satunya dalam keluarga yang akan mendengar gue coming out. Dan masih banyak andai-andai lainnya.

Dulu, jika gue kangen maka gue tinggal menghubungi Oma dan berbicara melalui telepon dan di setiap penghujung tahun gue pasti bisa bertemu Oma lagi. Tapi sekarang tidak lagi bahkan jika gue kangen berat sekalipun. Gue tidak bisa lagi mendengar suara Oma atau bertemu Oma. Tidak ada lagi yang akan mengobati ketika gue jatuh dan terluka. Kini yang bisa gue lakukan hanyalah menuliskan kenangan-kenangan tentang Oma untuk mengobati rasa rindu gue.

Gue tahu gue beruntung karena pernah memiliki seorang Oma yang paling hebat sejagad raya. Dan gue berterima kasih untuk pelajaran-pelajaran berharga dan nasihat-nasihat yang beliau berikan sehingga menjadikan gue seperti gue yang sekarang ini. I miss you, Gran. I do really miss you...

3 comments:

nn said...

Yg waktu lo bareng gw, lo tuh ngigo manggil2 oma lo. ternyata kangen toh :)

Rae said...

Idih gw kapan ngigonya siihh? Kayak Kopi aja lo bilang gw ngigo -.-"

Kay Chen said...

Ngebayangin si Granny yang ngejar-ngejar Rae kecil muter-muter rumah... ^__^ hahahaha... *ketawa sendiri