Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Sunday, 15 December 2013

A Quote

"If you love somebody, you tell them, even if you're scared it will cause problems or burn your life to the ground. Say it loud and go from there."
 Mark Sloan (Grey's Anatomy)

Tuesday, 3 December 2013

The People I Met: Hyun Ji

Rumah yang kuhuni bersama 3 orang lainnya kedatangan penghuni baru minggu lalu. Hyun Ji namanya, berasal dari Korea Selatan, teman dari salah satu housemate-ku. Dalam satu kesempatan, kami berdua sempat mengobrol di dapur ketika sedang menyiapkan makan siang. Hyun Ji, sama seperti aku dan ketiga penghuni lainnya, juga merupakan seorang mahasiswa international. Dia mengambil jurusan Chinese Medicine selama lima tahun dan bulan ini akan segera lulus.

Sebenarnya dia baru saja kembali ke sini dari Korea karena ibunya sedang sakit parah setelah sebelumnya sempat mengikuti internship di Cina. Masalah yang cukup pelik sedang dihadapinya sampai-sampai dia berkata, "It feels like I have no emotion right now. All I do is just pray and pray." Setelah lulus Hyun Ji tidak bisa kembali ke Korea karena jurusan yang diambilnya membuat ia tidak bisa diterima bekerja di negeri asalnya itu. Alasannya simpel saja, karena dia lulusan luar negeri. Jadi satu-satunya jalan yang dia miliki adalah mencoba untuk tetap tinggal dan bekerja di sini. Hal yang sangat tidak mudah juga baginya untuk segera mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang singkat, mengingat visanya tidak lama lagi akan segera berakhir.

Aku paham betul apa yang dirasakan Hyun Ji saat ini karena sebetulnya yang sedang dihadapinya ini merupakan masalah umum bagi jutaan mahasiswa internasional di sini. Banyak dari kami, mahasiswa internasional, yang memilih untuk kuliah di sini demi mengejar status Permanent Resident (PR) yang kemudian bisa berujung pada status Citizenship. Well, termasuk aku salah satunya sih. Namun pemerintah Australia kini membuat hal itu kian sulit dengan regulasi yang berbelit-belit dan berubah-ubah hampir setiap tahun. Hasilnya, banyak juga mahasiswa yang akhirnya memilih untuk kembali pulang ke negeri asalnya setelah lulus. Nah, pilihan terakhir ini jelas bukan pilihan bagi Hyun Ji.

Kami juga membahas mengenai pengalaman sehari-hari dan obrolan kami itu cukup mengingatkanku bahwa apa yang saat ini tengah aku jalani juga dialami oleh ratusan, bahkan ribuan mahasiswa internasional lainnya. Kau tahu? Kuliah sambil harus bekerja sambilan. Pada kenyataannya, rata-rata mahasiswa internasional di sini berasal dari working class family. Biaya kuliah yang cukup tinggi membuat kami harus bekerja sambilan demi membiayai biaya hidup sendiri. Aku pernah menghadiri sebuah fokus grup yang diadakan oleh sebuah lembaga riset akademi dan menghadirkan mahasiswa internasional dari berbagai negara. Dalam diskusi, salah seorang mahasiswa mengakui bahwa terkadang dia harus bekerja lebih banyak dan lebih mengkhawatirkan pekerjaannya dibandingkan tugas kuliahnya.

Sesulit apapun kehidupan yang kami alami di sini, namun pengalaman yang kami peroleh jauh lebih berharga. Dan mungkin bagi sebagian dari kami hal ini layak untuk kami jalani. Ya, banyak dari kami yang mengalami eksploitasi dalam lingkungan kerja dan dibayar dengan upah yang jauh di bawah upah minimun. Banyak dari kami yang tidak bisa jajan karena uang pas-pasan, bahkan harus rela makan satu kali sehari untuk menutupi biaya transportasi. Dan kami harus bisa mempertahankan prestasi belajar dalam sebuah lingkungan akademik yang sama sekali jauh berbeda dari negara asal, belum lagi menghadapi krisis language barrier. Tapi bukankah ada sebuah kutipan yang berkata, "You have to pass through hell to get to heaven."

Seperti penuturan salah seorang mahasiswa internasional yang menceritakan mengenai kisahnya di sebuah majalah katanya,
"I can tell them (international students, red) that whatever happens in life in Australia, you don’t have to give up at one point. You have to keep on going, and keep on striving. I know the life where you don’t have food – I spent  $20 a month only. It’s hard to survive in Australia – it doesn’t mean you have to give up. You just have to keep telling yourself you have to move on and achieve what you wanted when you came here."
And that, I think, applies to all of us, wherever you are and what life you are living... 

Tuesday, 12 November 2013

The People I Met: The Lonely Lady

Minggu sore, di sebuah restoran Indonesia yang terletak tepat di jantung kota, aku duduk di salah satu meja sambil menyantap ketoprak. Iya, begitulah caraku memanjakan diri, dengan membeli makanan di luar sekali-kali. Hal yang amat sangat jarang kulakukan demi menghemat pengeluaran. Namun hari itu aku tiba-tiba saja kepingin makan ketoprak dan memang ketoprak buatan restoran itu yang menurutku paling enak.

Restoran sangat sibuk hari itu. Mungkin juga karena didukung dengan cuacanya yang sangat dingin, membuat orang-orang kelaparan. Bagiku, sekalian mengobati rindu sekaligus menghangatkan diri sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Lagipula Si Ayang bisa bawel seperti nenek-nenek jika aku mendadak hipoglikemi (tidak paham dengan apa itu hipoglikemi? Well, setelah pacaran dengan Si Ayang baru aku sendiri tahu apa itu). Aku sedang menikmati ketoprakku ketika seorang perempuan yang usianya melampaui usia Mama menghampiriku, bertanya apa ia boleh berbagi meja denganku. Aku mengiyakan karena kulihat tak ada lagi meja kosong.

Selang beberapa waktu kami hanya menikmati makanan masing-masing tanpa saling berucap kata. Namun entah siapa yang memulai, percakapan pun akhirnya mengalir di tengah dengungan obrolan orang-orang di sekitar kami. Ia, perempuan asal Indonesia, kini hidup sendirian di sini, tanpa suami dan anak. Suami dan orang tuanya sudah meninggal, anak juga tak punya. Sanak saudara tinggal di berbagai belahan dunia lainnya dan ia sendiri sudah nyaris puluhan tahun tak pernah pulang ke Indonesia. Dalam hati aku merasa sedikit iba. Maksudku, betapa sepinya hidupnya. Di usia tua tapi harus hidup sendirian. Namun kemudian aku sadar bahwa hidup seperti itulah yang sedang kutuju...

Obrolan berlanjut sambil kami menyantap hidangan. Dan betapa herannya aku ketika dengan mudahnya aku meceritakan sepenggal kisah hidupku kepada seorang asing. Ia termasuk seorang yang ramah, membuatku nyaman mengobrol dengannya. Ia banyak bertanya tentangku dan banyak memberiku nasehat serta tips menghadapi cuaca Melbourne. Namun satu perkataannya yang paling kuingat, katanya "Tante bisa lihat kalau kamu termasuk orang yang mau maju dan mau bekerja keras. Jadi apapun itu tujuan dan cita-citamu, pasti bisa kamu raih." Well, entah bagaimana caranya ia bisa melihat hal itu dalam diriku dari sebuah pertemuan dan obrolan singkat. Tapi kuamini saja perkataannya.

Kami akhirnya selesai makan dan memutuskan untuk berdiri demi memberi kesempatan bagi pengunjung lain. Di persimpangan kami berpisah dan ia sempat berkata, "Kapan-kapan kita bertemu lagi ya, Nak."

Ketika aku berjalan ke arah yang kutuju baru aku sadar bahwa kami tak pernah bertukar nama. Mungkin suatu saat nanti...

Monday, 21 October 2013

My Life So Far

Pada akhirnya, setelah memasuki bulan keempat aku berada di sini, cuaca Melbourne kian membaik. Well, enggak tiap hari juga sih, tapi setidaknya tidak sedingin waktu awal aku tiba bulan Juli lalu. Seperti hari ini, misalnya, suhu udara mencapai 32 derajat tadi siang dan itu untuk yang pertama kalinya hari ini aku mandi tanpa menggigil-gigil gila. Tapi namanya Melbourne, yang terkenal dengan kota yang dalam sehari bisa mengalami perubahan cuaca empat musim, tetap saja aku harus selalu mengecek ramalan cuaca sebelum bepergian supaya selalu siap sedia dengan baju hangat.

Mengenai kuliah, mulai akhir bulan ini sudah memasuki akhir semester. Semua kelasku telah selesai, tinggal final assignment sebagai pengganti exam saja yang masih harus kuselesaikan. Makanya jadwalku sudah mulai longgar, makanya bisa ngeblog. (Kode juga nih buat Ayang, aku Selasa, Rabu, Sabtu, dan Minggu free lho, Yang. Hehehe...). Tapi itu hanya sampai minggu depan saja karena segera aku akan mulai bekerja di dua tempat.

Iya, aku memiliki dua pekerjaan sekarang. Yang pertama di sebuah restoran Indonesia di kawasan CBD. Pekerjaan ini sudah kulakukan semenjak sebulan yang lalu. Aku bekerja antara 2-3 hari dengan jumlah waktu 10-15 jam dalam seminggu sebagai waiter/wait staff/floor staff (itu istilah yang digunakan di sini untuk pelayan restoran) di situ. Pekerjaannya merangkap kasir, taking orders, making drinks, cleaning tables, folding cutlery, dan lain-lain, dan masih banyak lagi. Biasanya aku bekerja sendirian melayani pelanggan, sementara ada 2 atau 3 orang yang bekerja di dapur sebagai kitchen hand. Seringnya restoran ramai pengunjung di jam-jamnya orang pada kelaparan, makanya diharuskan untuk bisa bergerak cepat dan harus bisa menyelesaikan dua sampai tiga pekerjaan sekaligus. Multitasking istilah kerennya.

Saat baru mulai bekerja, aku kelimpungan sendiri. Bok ya, seumur-umur belum pernah aku bekerja sebagai pelayan restoran. Tapi lama-kelamaan terbiasa juga dan sudah tahu pekerjaan apa saja yang harus diselesaikan. So far, pengalaman bekerja di situ asyik aja. Staff yang lain juga orang-orangnya pada ramah dan aku bisa makan masakan Indonesia gratis. Jadi aku betah saja bekerja di situ.

Pekerjaan yang kedua di sebuah restoran cepat saji lokal. Bukan, bukan. Bukan di restoran cepat saji yang terkenal di seluruh dunia itu. Tapi di restoran cepat saji yang asal franchise-nya dari sini dan hanya di sini. Lokasi restorannya tepat berada di sebuah mall dekat suburb-ku. Jadi cukup sekali naik bis ke sana. Dan berhubung restorannya baru akan dibuka, maka semua staff akan di-training minggu depan kemudian mulai bekerja di minggu berikutnya.

Menurut seorang temanku yang bekerja di restoran yang sama namun di lokasi yang berbeda, restorannya sungguh sangat sibuk dan semuanya harus serba super cepat. Seringkali staff diminta untuk bekerja overtime, namun tetap dibayar lembur. Jadi aku harus pintar-pintar atur jadwal kalau begitu. Mari kita lihat seperti apa pekerjaan di restoran itu nantinya. 

Wednesday, 16 October 2013

Jailed for Sarcastic Comment on Social Media

Well, thought I could just share this here. Ini video amatir buatanku demi memenuhi tugas kuliah dari salah satu course yang aku ambil semester ini yang bertemakan "social media failure".

 

So, better watch out what we say online. And it goes to all bloggers as well...

Monday, 14 October 2013

My Relationship So Far

Ketika aku harus mengikuti bimbingan konseling beberapa waktu yang lalu (iya, aku sempat struggle juga kok saat harus beradaptasi dengan lingkungan baru di sini), aku tanpa sengaja membicarakan orientasi seksual dengan counsellor yang menangani aku. Dia bertanya apa aku memiliki partner, kujawab iya, di Indonesia. We're doing long distance, kataku. Lalu kami berdiskusi sedikit mengenai hubunganku dengan partner. Sebenarnya aku lupa-lupa ingat apa yang kami diskusikan saat itu, tapi yang jelas si counsellor itu sempat bertanya mengenai komunikasi aku dan partner.

Kalau diingat-ingat lagi sekarang, komunikasi kami berdua memang mengalami sedikit perubahan. Dari yang tadinya bisa setiap hari teleponan dan Line, sekarang hanya bisa sebatas Line chat saja. Teleponan kami lakukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Itu disebabkan karena kesibukan masing-masing. Aku sibuk dengan kuliah sambil part-time, sementara partner sibuk dengan kuliah dan ujian serta kegiatan ekstrakurikuler. Apalagi sekarang ditambah dengan perbedaan waktu yang kian panjang. Yang tadinya hanya berbeda tiga jam saja, sekarang jadi berbeda empat jam karena saat ini Australia menggunakan zona waktu musim panas, atau Daylight Saving Time. Itu artinya di saat aku bangun, si partner masih tidur atau malah baru tidur. Ketika aku hendak makan siang, si partner baru bangun. Saat aku sudah selesai beraktivitas dan bersiap tidur, si partner masih sibuk. Kadang kalau dia lagi libur, bisa menemani aku tidur. Dengan kata lain, nasibnya si partner sering aku tinggal tidur. Hehehe... 

Akan tetapi, kalau dipikir-pikir lagi, komunikasi kita berdua masih terbilang lancar-lancar saja sih. Yang aku maksud di sini adalah kualitas dan bukan kuantitas seberapa banyak kita ngobrol. Ketika ada suatu permasalahan, sebisa mungkin kita berdua membicarakan hal itu. Pernah juga sih sampai gondok-gondokan segala dan berakhir dengan aku meminta untuk tidak komunikasi sama sekali sampai tiga hari. Tapi setelah tiga hari, kita berdua kembali menyelesaikan apapun itu masalahnya yang ada. Ketika ada sesuatu yang tidak aku suka, maka sebisa mungkin aku bilang, begitu juga sebaliknya. Well, so far the way we communicate and understand each other works well for our relationship. And I hope it stays that way. 

Lebih lanjut lagi, jika ditanya kemana ujung-ujungnya hubungan kita berdua ini, maka dengan jujur akan kujawab tidak tahu. Sudah pasti aku memiliki rencana untuk menetap di sini dan itu berarti selamanya bakal long distance. Tapi jika rencana partner untuk kuliah S2 di sini berjalan lancar, artinya ada kemungkinan bisa sama-sama di sini. Namun itu masih beberapa tahun lagi. Aku cukup berharap yang terbaik saja untuk saat ini, sambil menjalani apa yang kami miliki sekarang. Bukan begitu, Yang? 

Btw, malam ini kembali si Ayang aku tinggal tidur lagi. Hehehe... Aku tidur duluan ya, Yang. Love you. 

Monday, 30 September 2013

Just a Random Post

"How do you like Melbourne so far?" Pertanyaan itu hampir selalu yang ditanyakan orang-orang yang mencoba untuk memulai sebuah percakapan denganku. Dan selalu kujawab, "I like it okay, it's just the unpredictable weather that I hate so much." Lalu mereka hanya akan tertawa mendengarnya.

Beneran lho ya, cuacanya itu bener-bener ngeselin banget, banget. One minute it's warm, the next is freezing me to death. Biasanya pagi menjelang siang cuacanya hangat, meski anginnya masih lumayan kencang tapi masih bisa ditolerir oleh tubuhku yang asli buatan negeri tropis. Menjelang sore-sore gitu hingga malam hari, bisa tiba-tiba hujan dan suhunya turun drastis. Kan aku jadinya kecele dengan hanya mengenakan kaos dan jaket atau cardigan yang bahannya tipis. Apalagi kalau aku harus pulang malam. Bisa-bisa aku menggigil seperti kucing kecemplung air dingin. Tapi yasudahlah ya, sudah resiko. Kuakali saja dengan berjalan secepat mungkin sambil menggigil-gigil macam kena gempa lokal.

Anyway, sekarang ini sudah memasuki minggu-minggu terakhir semester. Tugas-tugas kuliah ada beberapa yang sudah selesai, meski masih ada tugas-tugas akhir. Tapi setidaknya tugas yang tersulit sudah lewat, tinggal menggalau menunggu hasilnya. Kemarin aku dan beberapa teman sekelas merayakannya dengan makan bareng di sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Uygur. Aku, seorang berasal dari Cina, seorang lagi dari Kamboja, dan yang terakhir dari Pakistan. Berempat kami memesan 3 hidangan yang ternyata porsinya lumayan besar. Jangan tanya apa nama makanannya karena menunya dalam bahasa Mandarin.


Hidangan yang pertama itu isinya potongan daging ayam, kentang, paprika, tomat, dan semacam gorengan tepung. Bukan gorengan sih, karena tepungnya itu kenyal. Entah apa namanya. Bumbunya itu khas banget sih, tapi mirip masakan khas kampung halamanku. Ada potongan cengkihnya juga. Pokoknya bumbunya berasa banget deh.


Dua hidangan lainnya lagi ada semacam pasta dengan potongan wortel, kacang polong, kentang. Lalu yang terakhir, di piring yang kecil itu, semacam vermicelli (bihun), tapi bihunnya itu kenyal. Lumayan pedas, tapi enak. Jadi, bagi yang ingin jalan-jalan ke Melbourne, pastikan untuk mencoba hidangan khas Uyghur ini yang terletak di sepanjang Russel Street. (Ngomong-ngomong, pada tahu kan Uyghur itu di mana? Tadinya sih aku nggak tahu juga. Hehehe.)

Anyway lagi, sebenarnya aku rencananya mau menulis topik yang lain, tapi malah menulis soal makanan. Pada postingan berikutnya saja kalau begitu. Aku keburu ngantuk, padahal seharian ini aku sudah mengebo. Bahkan semenjak pulang kuliah kemarin sore, aku langsung tidur sampai pagi. Hanya bangun sebentar di jam 12 tengah malam menemani pacar ngobrol, lalu aku kembali tertidur. Lalu tadi siang, selesai mandi dan makan, aku kembali tidur. Benar-benar pembalasan dendam yang apik karena seminggu ini aku kurang tidur. Well, welcome to the uni life!

Monday, 9 September 2013

Guest Post: Si Pacar

Kira-kira sebulan yang lalu aku meminta si pacar untuk menuliskan sesuatu di blog ini. Kataku, "Yang, kamu mau gak nulis guest post di blogku?" Reaksi pertamanya adalah, "Waaaa... kenapa tiba-tiba minta itu???" Hihihi... siyok kan jadinya si pacar.

Sebenarnya permintaan itu aku buat demi memenuhi janjiku untuk mengenalkan si pacar di blog ini. Tapi, tapi dan tapi sekali-kali si pacar dong ah yang cerita. Ya, kan? So, instead of me writing the story, I asked her to do it. Dan inilah hasil tulisan semalam suntuknya untukku, yang masuk di emailku dengan judul file 'Emm'. Serius, itu judulnya lho.

Emm... mungkin pembaca blog setia Rae akan sedikit heran untuk postingan kali ini. manusia ajaib bin freak ini menjebak-jebak aku manusia polos bin ajaib untuk menulis di blognya. Peringatan saja,aku tidak ada bakat dalam bidang tulis menulis. Jadi, jika postingan ini membosankan silakan kalian kirim email protes ke Rae yang saat ini sedang tertawa bahagia melihat aku mengarang indah. Di postingan sebelumnya,tuan rumah blog ini ada menjanjikan cerita mengenai orang spesial yang sekarang bersama dia dan itu aku.
  1. Hal yang mungkin terbesit saat kalian tahu Rae sudah memiliki pacar: Bagaimana bisa Rae punya pacar? *muka bengong
  2. Kok pacarnya mau ya sama Rae? *muka bingung
  3. Bukankah Rae sekarang di negeri antah berantah? Bagaimana bisa bertemu?*muka mikir
  4. Dan pertanyaan lain yang mungkin bisa kalian tanyakan langsung kepada Rae si manusia ajaib bin freak
Pada awalnya aku tidak berniat mengatakan perasaan yang aku punya. Aku merasa lebih baik aku simpan sendiri,menjadi teman yang baik, menjadi pembaca setia blognya. Bayangkan,kami sudah berjanji untuk backpack bersama (walau tidak yakin sih karena bakat kerempongan yang ia punya) dan hal itu mungkin saja rusak jika aku mengatakan isi hati ku. aku juga akan main ke tempatnya, tiket sudah kubeli. Jika aku mengatakan perasaan ku dan membuat suasana menjadi kacau nasib ku di tempatnya bagaimana -_-“. 

Dari sekian banyak hal yang kami obrolkan, ada 1 topik yang membuat aku merasa ‘lebih baik aku bilang perasaan ku saat hari terakhir di tempatnya atau di hari keberangkatannya ke negeri koala’. Aku tidak peduli seandainya ia melakukan penolakan karena dia juga akan pergi jauh,aku hanya ingin dia tahu bahwa ada orang yang jatuh cinta dengannya. *Jika saudara/i berpikir kami banyak membicarakan hal berat, itu salah karena pada aslinya kami lebih banyak membicarakan hal-hal tidak penting yang bisa berlanjut berhari-hari (senyum terselubung).

Dasarnya kami sama-sama gengsi dan selalu denial dengan perasaan masing-masing, kami hanya menebar sinyal, lucunya kami sama-sama menyadari hal itu tetapi tetap diam dan berkata dalam hati ‘oooo seperti itu’. Singkat cerita, aku memutuskan untuk mengungkapkan isi hati ku sebelum aku mengikuti pelatihan di kota dekat kota dimana ia tinggal. Seusai dari pelatihan aku langsung terbang menuju kotanya. 

Kesan pertama saat bertemu adalah “jam karet”. Aku ditelantarkan di bandara selama 1 jam! Jelas aku jadi kesal, dan ia datang dengan tampang tidak berdosa lalu cengar cengir. Selama aku di kota ia tinggal,aku semakin yakin bahwa ia tinggal di kota pelosok. Bagaimana tidak, dari tempatnya tinggal menuju pusat kota berjarak 45km. Aku buka peta untuk melihat letak kota, dan letaknya nyaris paling ujung. Secara kondisi geografis, gunung dimana-mana dan dekat dengan laut tetapi manusia ini masih tidak mau mengakui bahwa ia tinggal di pelosok. (Yang, kapan mau ngaku kalau tinggal di pelosok?)

Rutinitas aku selama bersamanya sederhana:

  1. Alarm bunyi, matiin, kembali tidur
  2. Mandi
  3. Sarapan bersama keluarganya
  4. Melaksanakan misi dari mamanya
  5. Pergi ke tempat wisata (sisipan)
  6. Pulang, bersih-bersih, tidur
Saat pergi ke salah satu mall untuk membeli kebutuhan perkakas rumah,aku mengajaknyamain timezone. respon dia adalah “gak pernah aku main timezone lagi semenjak kuliah *muka ogah-ogahan”. Setelah bermain, “nanti main game itu lagi yuk *muka sumringah kaya nemu koin gope di jalan”. 

Kami juga nyaris melakukan hal alay, melihat sunset tetapi karena tempat tidak memungkinkan kami sepakat untuk membatalkan. Kalau kalian berpikir melihat sunset itu hal romantis, memang romantis tapi kalian akan berpikir berkali-kali jika sudah lihat tempatnya, percayalah. Ah, kami pergi ke sebuah danau yang terletak di salah satu kaki gunung. Kami menikmati keindahan danau tersebut dengan indomie goreng, sepiring pisang goreng, dan kaki yang tidak bisa diam menahan pipis (wc nya tidak tahu dimana hahahaha....)

Ok, ceritanya sampai disini. Cerita lainnya? Biarkan si pemilik blog ini yang melanjutkan
*stop jebak-jebak aku buat nulis (⌐ _⌐)
Nah, jadi itulah dia Si Pacar yang kusebut-sebut. Hehehe... Thank you for writing this, Honey *mwah mwah* ;)

Tuesday, 3 September 2013

Melbourne Photos

Been meaning to post some photos that I took while hanging out around Melbourne, tapi tak kunjung jua dikerjakan. Baru bisa kesampaian sekarang, so here they are. All photos were taken with my smartphone.

Ini lho, Springvale yang kuceritakan di awal minggu aku tiba di sini. Ini salah satu suburb di Melbourne, Victoria, yang banyak penduduk Asia. Suburb lainnya adalah Box Hill, Nunawading dan sederetan suburb lainnya hingga Springvale. Kemudian ada Footscray yang banyak orang Vietnam-nya.

Springvale, Victoria


Springvale, Victoria

Saturday, 31 August 2013

Missing Home

Harusnya sih ya, malam ini aku belajar. Harusnya malam ini aku menelusuri library website dan mencari jurnal-jurnal penelitian demi tugas esaiku yang harus dikumpulkan dua minggu mendatang. Harusnya malam ini aku sudah membuat draft esaiku. Tetapi, oh tetapi, yang kulakukan malahan menelusuri satu per satu blog-blog langgananku dan membaca semua postingan yang telah lama terlewatkan olehku. Membaca setiap kisah yang ditulis oleh sesama blogger yang berada di Indonesia membuatku sadar bahwa betapa aku sangat merindukan kampung halamanku. Betapa juga aku merindukan Indonesia! Dan, oh, kehangatannya. Panasnya, maksudku. Hehehe... (Iya bok, katanya ini sudah memasuki musim semi, tapi buatku dinginnya masih sedingin winter).

Lucu ya, betapa dulunya aku tidak sabar menanti waktu hingga aku bisa hengkang dari kampung halaman dan sekarang malah merindukannya mati-matian. Okelah kalau soal makanan sih, Melbourne terkenal dengan kota yang multikultural sehingga berbagai jenis makanan dari berbagai macam negara itu tersedia di mana-mana, termasuk masakan Indonesia. Tetapi yang kurindukan itu adalah suasananya. Orang-orangnya juga, meski banyak juga orang Indonesia di sini, tapi rasanya tetap saja berbeda.

Lebih lucunya lagi, setelah berada di sini aku malah sering membanggakan Indonesia. Well, setidaknya rasa nasionalismeku itu naik bertingkat-tingkat. Soalnya setiap kali dikira bahwa aku ini orang lokal maka aku dengan bangga menyebutkan bahwa aku orang Indonesia, yang kemudian disusul dengan aku menceritakan apa saja yang terkenal dari Indonesia. Dan ternyata tidak banyak yang aku tahu tentang negaraku itu. Astagnagaularnagaditangga banget nggak sih itu?

Harus kuakui bahwa membutuhkan sebuah perubahan situasi yang benar-benar drastis untuk bisa melihat kembali apa saja yang telah terlewatkan olehku selama berada di Indonesia. Membutuhkan jarak yang terpisah ribuan mil untuk menyadari bahwa betapa aku sangat membutuhkan kedekatan dengan orang-orang yang sangat penting buatku. Dalam kasusku, berada di lingkungan yang sama sekali baru tanpa mengenal satu pun orang lain di sini, well, benar-benar pemicu homesick. Bukannya aku tidak punya teman sih. Aku punya teman, hanya saja belum sampai pada tahap curcol-curcolan ala sahabat.

Namun yang membuat homesick-ku memuncak adalah aku baru saja memiliki keponakan! Iya, adikku yang tengah akhirnya menjadi seorang ayah, dan secara otomatis aku menjadi tante, alias ii. Yang membuatku sedih adalah aku tak bisa menggendong keponakanku itu. Segera saja terlintas bagaimana caranya agar keponakanku itu mengenalku dan menyukaiku nanti saat dia tumbuh. Ngomong-ngomong, bayinya laki-laki, lahir dengan berat 4,5 kg dan panjang 90 cm. Itu sih nggak mungil-mungil amat ya... Dan kata orang-orang, wajahnya mirip dengan wajahku. Hihihi... Tembem, hidungnya pesek. 

Anyway, untuk mengobati rasa kangenku, sering aku menelusuri Youtube dan menonton acara-acara televisi Indonesia. Aku sering menghabiskan waktu menonton Sarah Sechan Show, Indonesia Bagus, Malam Minggu Miko, juga aku jadi sering mendengar lagu-lagu Indonesia yang dulu jarang sekali kulakukan. Bahkan sambil menuliskan ini aku sambil mendengarkan lagu Yogyakarta-nya KLA Project. Sampai streaming video klipnya segala dan berjanji dalam hati bahwa aku akan kembali jalan-jalan ke sana. Harus. Wajib. Suatu saat nanti. Pokoknya mau, apapun kata dunia. Titik. (Apa sih, Rae?!)

Aku juga jadi sering memantengi akun media sosial hanya demi melihat apa saja yang sedang dilakukan teman-temanku di Indonesia sana. Apesnya, mereka malah sering pajang foto makanan yang menggiurkan, yang sanggup membuatku rasanya ingin terbang pulang kembali ke Indonesia. Seandainya aku ini burung...

Oh, how I really, really miss you, home...

Friday, 26 July 2013

Do I like Melbourne?

Minggu ini sudah masuk minggu ketiga aku berada di Melbourne, dan minggu pertama kuliah dimulai. So far, kelasnya lumayan, dosennya asik (mungkin belum ketemu aja sama yang killer - hope not! *knock wood*), kampusnya luas dan tersebar di seputaran CBD. Ada 2 dari 4 mata kuliah yang aku ambil, yang kuliahnya sudah dimulai. 

Excited? Yes. Mulai lagi deh masa-masanya ngebut bikin tugas, atau bergadang hingga larut, belajar demi ujian. Tapi tahu, tidak? Dari keempat mata kuliah yang aku ambil itu, tiga di antaranya tidak ada ujian. Uhuy! Jadi nilainya hanya diambil dari tugas saja. Sementara satu mata kuliah yg ada ujiannya, ujiannya itu tipenya "take-home exam", alias ujiannya dibawa pulang ke rumah, dikerjakan di rumah atau di manapun saja, sendiri atau dikerjakan bersama teman, lalu dikumpulkan seminggu kemudian. Hehehe. 

Lalu pengalaman lainnya? Hmmm... It's just the cold that I can't bear still, and might never will. Ever. Kulit wajah mengelupas? Check. Nosebleed? Langganan (ups, malam ini enggak kok, Yang. Hehehe). Bibir pecah-pecah? Untungnya enggak. Ketemu pengemis? Sering. Iya, di sini ada pengemisnya bok. Gayanya sih ya nggak compang-camping amat, dan ngemisnya juga sok cool gitu. "Excuse me, do you have a change? A dollar?" Waduh, maaf. Eike ini international student, baru datang pula. Dibilang pelit? Biarin! (Don't you know that we, international students, have to pay full fare for public transportation? While the local students pay only half price, and here you're asking for a dollar? Sorry, man!) Jadi pelit aku kalau di sini. And then culture shock? Definitely. Akan aku ceritakan itu nanti, kapan-kapan. Racism? Happened once - yeah, it does still exist - but not to me, thankfully. Cuma sekedar jadi saksi mata. 

Last Saturday, aku jalan bersama seorang teman lama. Dulu sempat satu kampus, tapi dia hijrah ke Australia tahun 2005 dan sekarang sudah menjadi warga negara Australia. Bersama adiknya, yang juga baru mulai kuliah di sini, kami bertiga jalan-jalan ke Springvale. Sebuah suburb yang dipenuhi orang-orang Asia. Kebanyakan China dan Vietnam sih. Shopping center-nya, Springvale Shopping Center, persis kebanyakan pasar di Asia: semrawut. Tapi sih isinya lengkap banget, mulai dari berbagai jenis daging, seafood, ikan, sayuran, dan makanan-makanan asal Cina. Oh, aku menemukan sayur kangkung (harganya 2 dolar seikat). Banyak juga restoran Chinese food dan masakan Vietnam, dan deretan toko-toko yang mirip toko-toko di ITC Mangga Dua dan saudaranya, Glodok. Pokoknya sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah kepala berambut hitam. 

Kemudian kembali aku berpetualang menuju bagian lain dari Victoria. Another suburb. Mooroolbark. Demi job interview. Jauh? Banget. Lumayan sih, karena aku muter-muter dulu, dua kali ganti kereta. Padahal kalau dari suburb di mana aku tinggal, ternyata cukup dua kali ganti bis. Lesson learned lah ya... 

So, do I like Melbourne? Hmmm... I don't know yet. But I precious the experience of coming here and get to meet people from around the world - and by "world" I mean China, Vietnam and India, get to see some new things and do things differently. But maybe I'll grow fonder for this city. 

It's just the homesick that sometimes makes me feel alone...

Saturday, 13 July 2013

Here I am

Hola!!! Hehehe... Yup, akhirnya aku berada di Australia, Melbourne tepatnya. Hampir seminggu sejak aku pertama tiba di sini. Masih ada banyak hal yang harus kupelajari dari tempat ini, termasuk juga beradaptasi dengan lingkungan, orang-orang sekitar serta budayanya. Apalagi adaptasi soal makanannya. Memang susah deh kalau perutnya perut Asia, carinya nasi melulu. Hehehe. 

Anyway, tiba di sini aku benar-benar sendirian. Untuk pengalaman yang pertama kalinya, bisa dibilang nekat juga. Tiba di Bandara Internasional Melbourne, pasang tampang mahasiswa-internasional-yang-sudah-sering-pergi-pulang melewati custom yang katanya super ketat. Setelah antrian panjang yang memakan waktu kurang lebih satu jam, akhirnya aku menghirup udara Melbourne yang dinginnya menusuk hingga tulang (lebay). Lalu aku segera menyusup ke dalam antrian taxi dan 45 menit kemudian aku tiba di alamat yang dituju. Sampai di situ semuanya berjalan lancar. 

Esok harinya, dengan berbekal kenekatan, sepenggal informasi dari sang pemilik rumah dan doa sebelum berangkat, aku menuju stasiun kereta. Untunglah sang pemilik rumah juga hendak berangkat kerja. Maka dia yang mengantarku ke stasiun karena sebetulnya aku harus naik bis sekali untuk ke stasiun kereta. Dari stasiun kereta, katanya, aku harus turun di stasiun Melbourne Central lalu cukup berjalan kaki sedikit menuju kampusku. Ok, gampang kalau begitu, batinku. Tiba di Melbourne Central, dengan hanya mengikuti papan petunjuk arah, aku menuju pintu keluar ke Swanston St. Berhasil! Ingin rasanya aku mengarahkan tinju ke udara saking senangnya (lebay kuadrat). Hahaha... Selanjutnya aku hanya berpatokan pada Map dari ponselku, dan akhirnya aku tiba di kampusku. 

Selesai dengan urusan administrasi dan registrasi beserta tetek-bengek yang diwajibkan pihak universitas bagi setiap mahasiswa internasional, aku kembali menyusuri kawasan sekitaran kampus, yang disebut sebagai City. Kali ini tujuanku adalah supermarket Big W yang terletak di QV Building, hanya demi membeli soket internasional karena, para pembaca, ternyata colokan di sini berbeda. Di sini menggunakan soket tiga mata yang gepeng, sementara semua charger-ku bermata dua. Berhubung aku masih buta arah dan jalan, yang terjadi adalah aku mengelilingi berblok-blok demi mencari supermarket yang ternyata hanya berada tepat di samping kampusku. Ih, Map di ponselku ini malah membawaku jalan-jalan nyaris setengah kawasan CBD. Bayangkan, hanya demi benda sekecil soket dengan harga AUD 9.5 aku mengelilingi CBD dalam keadaan kedinginan. 

Tujuan terakhirku adalah Commonwealth Bank. Ini penting sekali demi kelangsungan hidupku selama berada di sini. Jadi kembali lagi aku berkeliling mencari kantor cabang terdekat. Dan sekali lagi aku dibuatnya memutari jalan terjauh padahal kantor cabang terdekat berada tepat di samping gedung perpustakaan yang tadi kumasuki. Doeng banget ga sih? Hehehe. Semua urusan untuk hari itu beres sudah. Hati lega. Apesnya, syalku ketinggalan di sana. Erk! Yasudah, relakanlah. 

Hampir seminggu dan aku sudah mulai terbiasa dengan transportasi umum di sini. Sudah lumayan tahu rute-rutenya, walau baru seputaran tempat tinggal dan kampus. Apalagi setelah bertemu teman lamaku yang sudah lebih dulu tinggal di sini, K, aku jadi tahu sedikit mengenai apa saja yang ada di Melbourne. 

Hari ini tidak banyak yang sudah kulakukan, selain bangun tidur, nge-Line pacar (eh iya, sekarang aku punya pacar. Hehehe... Ceritanya nanti yaaa...), makan, mandi, tidur, bangun lagi. Sempat job-searching juga sih. Tapi berhubung TFN-ku belum ada, tidak banyak yang bisa kulakukan. Dan kabar buruknya, charger laptopku ketinggalan di rumah, di Indonesia. Garuk-garuk dinding deh. Itulah sebabnya mengapa aku tidak bisa meng-update blog setibanya di sini. 

Dengan berada di sini, artinya satu mimpiku terwujud. Namun bukan berarti perjuanganku berakhir sampai sini. Malah bisa jadi itu baru awalnya saja. Dan salah satunya adalah menghadapi homesick. Hehehe... Kangen berat sama rumah nih. Tapi untunglah sudah sedikit terobati setelah ngobrol melalui Skype dengan orang rumah. Jeleknya, mereka malah pamer kalau mereka makan bakpao. Aaaa, tega!!! Hikh... Bakal tidur sambil bermimpi bakpao nih (lebay kubik).

Monday, 3 June 2013

The Two Freaks

Beginilah hakikatnya ketika dua manusia-aneh-bin-ajaib-namun-nyata ini bertemu, hal-hal yang diobrolkan adalah hal-hal yang tak masuk akal. Dan namanya manusia-aneh-bin-ajaib-namun-nyata, obrolan yang sama bisa berlangsung berhari-hari.

Scene 1

Freak 1: "Gue kalo mau tidur palingan cuma pake kaos oblong atau tank top sama underwear. Enak gitu tidurnya. Leluasa."
Freak 2: "Dan memudahkan."
Freak 1&2: "Hahahahahahaha..." *ngakak penuh arti*

Scene 2

Freak 2: "Etapi kan baiknya kalo tidur itu gak pake daleman supaya itunya bisa napas. Jadi cuma pake celana luar aja."
Freak 1: "Ih, gak aneh apa, rasanya?"
Freak 2: "Enggaklah. Kan gue suka pake celana yang emang udah ada dalemannya gitu. Gue beli celana merk ******."
Freak 1: *tidak lagi menyimak omongan si Freak 2 dan tidak berani membayangkan bentuk celana yang dimaksud*
Freak 2: "Celananya enak dipakai... bla bla bla... ble ble ble..." *masih nyerocos aja*
Freak 1: "Kenapa ga sekalian tidurnya bugil aja? Kan bule-bule doyan tuh tidur bugil. Gak aneh apa rasanya? Apa mereka yang aneh?"
Freak 2: "Waaaaaaa... berarti gue aneh dong..."
Freak 1: "Waaaaaaa... emang lo suka tidur bugil?"
Freak 2: "Suka... Apalagi kalo di rumah gak ada orang, gue suka jalan-jalan di dalam rumah ga pake baju..."
Freak 1: "OMIGOD! Ternyata lo nudist. Huahahahahahahaha..."
Freak 2: "Ih, emang lo gak pernah gitu tidur bugil?"
Freak 1: "Ya pernah sih, tapi gak sampe jalan-jalan dalam rumah bugil gitu dan cuma di saat-saat tertentu aja." *senyum penuh arti*
Freak 2: "Tapi kan tidur bugil itu enak... Asik juga kali kalo di dalam rumah mondar-mandir gak pake baju."
Freak 1: "Ya iyalah! Memudahkan juga..."
Freak 1&2: "Ahahahahahahauhuhuhuhuhuahahahahaha..."

Kemudian berakhirlah obrolan malam itu dengan menyisakan imajinasi yang enggak-enggak, yang bikin susah tidur. Nyehehehehehe...

Sunday, 26 May 2013

I Want To Travel the World

Muluk? Mungkin. Amat sangat muluk malah kedengarannya. Mimpi di siang bolong kali lo, Rae. Eh, tapi hari Minggu, siang bolong begini, biasanya aku memang senang menghabiskan waktu mengunci diri di kamar sambil bermimpi.

Bisa menjelajah dunia mungkin bukan cuma sekedar mimpi. Bagiku itu merupakan sebuah keinginan yang sudah ada sejak pertama kali aku berkenalan dengan internet saat masih remaja. Kala itu, untuk pertama kalinya aku bisa bertemu, berkenalan dan berbicara dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia lain. Jadi ceritanya itu masih zaman-zamannya doyan chatting melalui messenger gitu deh. Tiap hari sepulang sekolah aku pasti mampir ke warnet dulu. Waktu itu harga per jamnya masih amit-amit mahalnya, sembilan ribu rupiah per jam dong. Ngomong-ngomong ya, dari chatting itu aku kemudian kenal Quinnie Beanie, dan kami masih bersahabat sampai sekarang.

Ketika itu mataku seolah terbuka bahwa dunia ini begitu luas. Muncullah perlahan keinginan untuk melihat dunia di luar sana. Maka aku semakin keranjingan chatting (yang sebenarnya berakibat buruk pada nilai di sekolahku sekali waktu dan membuatku rela tidak jajan agar uangnya bisa kupakai untuk ke warnet). Aku mulai browsing sana-sini demi memuaskan rasa penasaranku akan seperti apa dunia di luar sana, di luar kota tempat aku lahir dan tumbuh. Sebelumnya pengetahuanku hanya sebatas pada film-film dan lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi idola. Namun tetap saja beda rasanya saat aku berinteraksi langsung dengan seseorang yang berada nyaris setengah globe dari tempatku duduk saat itu.

Semakin banyak yang kubaca, atau semakin sering aku berinteraksi dengan lebih banyak orang, semakin aku penasaran. Lama-lama rasa penasaranku itu semakin tak terbendung (lebay) sampai akhirnya suatu saat aku berkeinginan untuk bisa melihat dunia di luar sana secara langsung. Bagaimana caranya, aku masih belum tahu ketika itu. Boro-boro ke luar negeri. Saat itu aku bahkan belum pernah merasakan naik pesawat terbang. Hehe... Pokoknya keinginanku itu sangat besar, sampai-sampai aku selalu menyisipkannya dalam doaku setiap malam. Mustahil atau tidak, akan terwujud atau tidak, segila apa kedengarannya, aku tidak peduli. Yang penting aku berdoa.

Keinginanku itu pertama kalinya terwujud ketika aku bisa kuliah di Jakarta. Maksudku, Jakarta itu juga termasuk 'dunia di luar tempat kelahiranku', kan? (maksa deh). Setidaknya, saat Jakarta telah dipenuhi gedung-gedung bertingkat dengan sejarah macet yang tak pernah habisnya, kota tempat aku lahir dan tumbuh masih sunyi senyap dan bahkan perkembangannya masih jauh tertinggal, hingga saat ini, dari kota-kota sekitarnya (blame the local government, maybe?). Rasanya kok ya aku tinggal di pelosok Indonesia manaaa gitu ya... Enggak kok. Sekarang sudah lumayan ramai dan sudah mulai macet-macet juga, apalagi di daerah sekitaran pusat hiburan dan perbelanjaan. Banyak perusahaan franchise terkenal, baik lokal maupun asing, yang sudah masuk ke sini, meski belum lengkap (Starbucks, please!!!).

Tinggal di Jakarta semakin membuka mataku dan membuat keinginanku untuk bisa menjelajah dunia semakin menjadi-jadi, walau tidak membuatku terobsesi juga sih. Yang jelas cukup membuatku ingin menjelajah lebih jauuuuuh lagi. Apalagi saat aku melihat sebuah tagline National Geographic "Get Lost" yang dulu pernah ada, yang menampilkan tayangan orang-orang yang berpetualang ke berbagai pelosok dunia. Nah, aku ingin seperti itu. Hehe...

Namun keinginanku hanya kusimpan dalam hati sambil terus kudoakan. Mungkin suatu saat nanti... semoga bisa terwujud. First thing first, conquer Australia, Rae! (kian lebay).

Friday, 24 May 2013

A Quick, Random Post

AC di kamar Mama baru dibenerin. Jadi tadi sok-sokan gitu aku main di kamarnya. Sambil guling-guling di tempat tidur, sambil ngobrol sama Mama. Beberapa saat kemudian aku mulai merasa ada yang aneh dengan hidungku. Aku mulai sulit bernapas, hidungku sakit. Lalu disusul dengan mampet, dan akhirnya bengek. Iya, hidungku memang bengekan kalau kena yang dingin-dingin. Ditahan-tahanin sampai pakai selimut segala, tetap saja aku masih kedinginan. Suhunya mau dinaikin, eh sama Mama nggak boleh. Mama mana bisa tidur kalau nggak dingin. Maka aku pun kembali ke kamarku. Kata Mama, "Ini gimana kamu di sana nanti? Dinginnya amit-amit lho." Aduh, Mamaaaaa, jangan bikin tambah bengek dong. 

Pindah ke kamar sendiri, hidungku masih tetap bengek dan mampet. Tak selang berapa lama, aku mulai bersin-bersin. Hachiuuu, hachiuuu! Aih, penyakitku kumat. Kalau sudah begini, enaknya diurut nih. Eh, kebetulan keponakanku datang sambil membawa botol minyak gosok di tangan. Ini pasti diutus Mama untuk menggosokkan minyak di punggung dan dadaku, yang kebetulan pegal-pegal belakangan ini. Mama memang paling mengerti anaknya deh. I love you, Mama!

Ngomong-ngomong, keponakanku ini pintar urutnya. Pintar gitu ngurut bagian yang sakit. Awalnya sih, geli-geli gitu. Aku ini orangnya gelian. Dicolek sedikit saja, pasti reaksinya lebay. Terus lama-kelamaan, eh kok ya mulai terasa sakitnya... Apalagi di bagian yang urat-uratnya sudah semrawutan. Sakit banget, banget! Tapi enak sih (masokis akut). Kalau ditanya mau lagi, pasti mau!

Selesai diurut, aku kembali ke kamar Mama, ambil charger yang ketinggalan. Lagi-lagi Mama berkomentar, "Terus nanti di sana siapa yang gosokin minyak? Siapa yang urut?" Aih, Mama, nanti aku cari pacar bule di sana deh. Hehehe... asal ngomong nih. 

Yasudah, sekian dulu entri kali ini. Sebenarnya kepingin nulis yang lain. Tapi ini udah keburu ngantuk dan malas mikir yang berat-berat. Ya begini ini nih hasilnya kalau sedang ingin menulis sesuatu tetapi mata tak sanggup membuka lagi. Yowes, markitdur... mari kita tidur. Have a nice dream.

P.S. Harap maklum jika ada typo... ini nulisnya sambil ngantuk dan mata 5 watt. Lagi melek aja suka typo kok ya. Dilarang protes! Hehehe...

Sunday, 19 May 2013

Hajar bleh!

Hari Minggu. Besok sudah Senin aja lagi, ya? Huhuhu... Niatnya pengin ngebo seharian. Tapi alarm keburu nyala jam 7 pagi tadi. Lupa matiin semalam. Doh! Ngolet-ngolet, baring-baring bengong sambil ngumpulin jiwa, eh, ketiduran lagi dong. Eh, sempat balas BBM teman dulu ding, sebelum ngebo lagi. Sekitar jam 9-an BBM bunyi-bunyi lagi. Terpaksa bangun deh. Terus langsung ingat ada acara di rumah saudara. Jadinya melek dong. Bukan karena excited, tapi lebih karena maleeuusss. Malasnya itu karena pasti nanti pulangnya malam banget deh.

BBM masih trang-tring-trang-tring. Setelah meraba-raba sana-sini, akhirnya kutemukan ia di bawah bantal (ada gitu, manusia tidur dengan BB-nya di bawah bantal???). Ternyata yang BBM itu temanku. Yang lain lagi. Seems like I have to put a name on each friend I'm talking about. Apa perlu sekalian bikin page "Cast of Characters" tersendiri, ya? Hmm... patut dipertimbangkan. Dan kemungkinan akan dikerjakan. Kalau lagi gak malas. Mulainya dari temanku ini deh. Kuberi nama Gibs, tapi kupanggil tante karena usianya jauh di atasku. Introducing-nya nanti aja deh.
Gibs: Gimana tuh, jadi dong berangkat?
Rae: Tanteee... Padahal udah dari kemarin-kemarin mikir mau BBM. Iya, jadi sih sepertinya. Nothing to lose. Hajar bleh!
Gibs: Hahaha... Waaaahhh...
Rae: Enggak sih. Banyak yang to lose sih. Tapi, gotta get the hell out of this comfort zone lah ya. Angkat kaki lah. Capcus!
Gibs: Iyaaa... mumpung masih muda. Kalo tante jadi kamu, dah cabut. Enggak pake mikir-mikir.
Rae: Iya sih. 4 tahun lagi gue berkepala 3.
Gibs: Masih lamaaaaa...
Rae: Eh, tutup mata, buka mata, gak terasa udah 4 tahun lewat lho.
Gibs: Iya sih... Makanya kamu cabut aja udah. Jangan melewatkan kesempatan. Ntar kayak tante, dulu banyak banget kesempatan yang terlewatkan. Jadi kamu jangan sampai gituuu... Usia muda enggak balik lagi. Hahaha...
Mungkin ini feeling antar sesama teman kali, ya? Semalam baru juga posting mengenai ketetapan pergi ke Australia, pagi ini sudah ditanyai. Apa jangan-jangan tante baca blog ini, ya? Tapi nggak mungkin. Wong kukasih tahu aja enggak kok (ini nanya sendiri, jawab sendiri).

Begitulah... Penyakit galau-gundah gulana-lalu-mendadak-chicken out-dan-overworried suka tiba-tiba muncul setelah segala-galanya beres dan siap. Tinggal hengkang. Plan setelah tiba di sana, sudah pasti kupunya. Sejak beberapa waktu lalu aku sudah men-google informasi-informasi terkait kehidupan di Melbourne dan kehidupan para international students di sana. Lalu informasi terkait imigrasi, dll, dll. Tapi justru dengan memikirkan seluruh rencanaku itu, malah bikin aku rada senewen. Jadi cemas berlebihan dan negative thinking. Hukh...
Gibs: Itu sih normal, Rae. Lagipula, over thinking dan over worried itu wajar. Jadinya ngebayangin yang tidak-tidak, padahal belum tentu terjadi. Tante udah mengalami banyak hal. Sweet and bitter. 
Rae: Sweet-nya dikecap terus, bitter-nya dilepehin, ya? 
Gibs: Bitter-nya ditelan dooonggg. Kalo enggak, kapan kamu pahamnyaaaa???
Aih, kalau si tante sudah berbicara mengenai pengalaman begini, aku mingkem aja deh. Yang namanya pengalaman memang tidak bisa bohong. Maka kesimpulannya, selagi ada kesempatan, hajar bleh!

Ps. Aaaahhh... I need to start thinking about all good things!

Another Blabbering Post

Seharian ini di jalanan. Macet, sumpek, panas (padahal AC di mobil), sampai nyaris budeg dengerin lagu galau di Delta FM. Enak sih, tapi galau! Pulang-pulang langsung masuk ke kamar, nyalain lampu, nyalain laptop, balas BBM dan pesan Whatsapp karena BB keburu koit di tengah jalan dan power bank lagi diinfus di rumah, terus browsing. Eh, keasyikan baca blog tetangga sebelah padahal tadinya mau mandi. Pesan Whatsapp masuk, dari @haloazza, nanya udah selesai mandinya apa belum. Gimana selesai, mandi aja belum. Hehehe...

Mandi, lalu selesai mandi lanjut baca blog lagi sambil BBM-an dan Whatsapp-an, tak lupa pula malakin Yoyo keripik Maicih dan Karuhun, yang ternyata dia malakin temannya buat dapetin keripiknya. Capedeee... Ngomong-ngomong ya, kesian banget deh dia, apes melulu setelah kenal aku. Padahal baru kenal juga, apesnya keseringan. Terus seminggu ini ngobrolin obrolan yang tidak jelas. Padahal tadinya aku konsultasi masalah mengenai susah tidur. Sinting berdua deh jadinya.

Lanjut baca-baca blog lagi, Mama tiba-tiba buka pintu kamar. "Lho, kamu udah selesai mandi?" Ya sudah dong, Mamaaa... Memangnya aku bertapa di dalam kamar mandi apa? "Terus siapa itu di kamar mandi? Tadi Mama denger ada suara gayung nyiduk air." Nah lhoooo... siapa hayo? Padahal cuma berdua doang di rumah. Ngek...

Bongkar-bongkar tas ransel yang selalu kubawa kemana-mana, eh iya, tiket, visa dan paspor sudah beres. Tinggal packing, lalu set to go. Kemudian hening sejenak... OH MY GAWD!!! THIS IS REALLY HAPPENING!!! Jadi terbayang kembali ekspresi sedih Mama saat melihat print-out tiket di tanganku. Hikh... Aih, bakalan galau-galau mellow deh malam ini.

Gee!!!!!!
Tiba-tiba perut lapar. Begini nih, menjelang PMS. Padahal datang bulannya juga baru tanggal 4 bulan depan. PMS berkelanjutan sepertinya. Ngubrek-ngubrek lemari es, ada cokelat dari Nita. Tapi udah malam ah. Ntar ndut lagi. Ngomong-ngomong, Nita lagi tidak bisa diajak bercanda nih. Hikh... Semoga semuanya lancar, dear. Ngubrek-ngubrek lemari makan di dapur, ada sebungkus Chitato. Yasudah, nyemil Chitato deh. Sama aja sama cokelat bukan itu, Rae?

Apa lagi, ya? Oya, my bestie Quinnie Beanie lagi galau (masih zaman gitu, Rae, pakai kata 'galau'?) iman. Ah, ya sutralah... Nanti-nanti saja kuladeni curcolannya.

Sunday, 5 May 2013

Destiny

"Destiny has two ways of crushing us... by refusing our wishes... and by fulfilling them." –Henri Frederic Amiel

Kutemukan sepenggal kutipan di atas dalam serial Revenge yang sedang kuikuti sekarang ini. Entah pada episode keberapa dari season kedua. Hanya sekilas pandang kubaca kutipan itu, namun cukup untuk menangkap perhatianku.

Kamu percaya dengan yang namanya takdir? Seorang mentor bimbingan rohani pernah berkata kepadaku, tidak ada yang namanya takdir karena hidup itu penuh dengan pilihan. Apapun yang terjadi sekarang ini ataupun nanti itu adalah karena pilihanmu. Aku lupa apa tepatnya yang sedang kami bahas saat itu. Kala itu aku tidak mengatakan apapun meski dalam hati aku agak sedikit keberatan. Mungkin karena sewaktu kecil Oma sering berkata kepadaku bahwa jalan hidup setiap manusia telah tertulis sejak ia lahir ke dunia. Mungkin pemikiran itu yang tertanam dalam kepalaku, lalu kemudian menjelma menjadi satu dari banyak kenanganku akan Oma.

Sebut saja aku ini konservatif, tapi aku memang percaya dengan yang namanya takdir. Pendapatku berkata bahwa takdir itu sesuatu yang mau tidak mau harus kita terima, harus kita jalani. Tidak ada pilihan lain karena memang sudah seharusnya seperti itu. Sudah semestinya terjadi. Aku ditakdirkan menjadi anak dari kedua orang tuaku. Aku tidak diberi hak ekslusif oleh Tuhan untuk memilih siapa orang tuaku. Tidak satupun manusia bisa. Takdir bagiku juga adalah sesuatu yang pasti, sepasti kematian manusia. Karena kematian itu merupakan bagian dari hidup setiap insan, bahwa kita semua akan kembali berpulang. Seperti itulah aku menggambarkan takdir.

Manusia mana yang tidak memiliki sebuah keinginan, atau harapan, cita-cita, hasrat, atau apapun itu? Aku, yang sering dikata manusia kaku seperti gagang sapu yang berdiri tegak di sudut ruangan, bahkan memiliki kesemuanya itu. Ya, apapun itu yang diingini layaknya oleh manusia lainnya. Lantas setiap keinginan, harap dan asaku itu merupakan bagian dalam takdirku? Pasti tidak semuanya. Maka di sinilah aku kemudian memilih, dalam ketidaktahuanku akan takdirku, jalan hidupku, untuk tetap mengejar apapun itu yang menjadi tujuanku, atau tidak.

Aku seringkali memilih untuk mengejarnya, meski sering tidak berhasil. Bukan karena aku kurang berusaha tapi mungkin saja karena itu bukan menjadi bagianku. Mungkin saja itu menjadi bagian dari orang lain. Seperti kata Mama, kalau sudah rezeki tidak bakal lari kemana. Mau dikejar sampai matipun, kalau bukan rezekimu, tidak bakalan diperoleh. Bukannya yang kukejar itu rezeki, amit-amit jodoh. Itu hanya contoh saja.

Ketika keinginanku untuk melanjutkan kuliah sepertinya bisa tercapai di tahun ini, aku merasa itu merupakan bagian takdirku. Dari situ kemudian akan berlanjut pada jalan hidupku yang selanjutnya. Namun aku juga selalu ingat bahwa ada keinginanku yang memang sesuai dengan takdirku, itu artinya ada keinginan-keinginanku yang lain yang tidak sejalan dengan takdirku. Sebesar apapun keinginanku, sekuat apapun aku berusaha. Karena itu bukan untukku. Jelas aku tidak bisa memiliki segalanya.

Karena, sekali lagi, destiny has two ways of crushing us; by refusing our wishes and by fulfilling them. Yang manapun itu, hanya bisa kujalani saja.

Wednesday, 1 May 2013

Miss Little J

Satu helai, dua, tiga... lima. Lima helai rambut putih kutemukan, terselip di antara ribuan rambut hitam, eh, cokelat kemerah-merahan ding, di kepalaku. Di usiaku yang baru menginjak 26 di hari ini, lima helai rambut putih itu cukup banyak lho. Itu yang berhasil kudapati saat sedang menyisir rambut di depan sebuah cermin seukuran setengah badan. Tapi kali ini aku tidak akan mengoceh soal uban. Biarlah mereka hinggap di kepalaku. Tunggu saja nanti ketika sudah waktunya aku cat rambut lagi. Pasti mereka hilang tanpa bekas.

Anyway, hari ini ulang tahunku lho. Iya, udah ngomong ya tadi. Hehehe... Malam harinya, aku menerima sebuah voice note di BB-ku. Dari seorang teman, sebut saja namanya Miss Little J. Setelah kuunduh dan kumainkan ternyata voice note itu berisi sebuah lagu Happy Birthday To You, dimainkan dengan gitar akustik olehnya. Aih, gimana aku nggak terharu coba? 

Kurang lebih setahun yang lalu kami berkenalan karena blog ini. Tuh, gimana aku nggak cinta sama blog ini? Si Ayang Blog sudah mempertemukanku dengan orang-orang yang layak kusebut sebagai teman, ya termasuk temanku yang satu ini. Jadi ceritanya J sudah mengikuti blogku selama beberapa bulan sebelum akhirnya mem-follow-ku di Twitter. Dari situlah kami mulai mengobrol, lalu sampai akhirnya dia lulus seleksi dan memperoleh PIN BBM-ku. Hahaha... lebay nian aku ini.

Gifts from Miss Little J

Tahun lalu dia memberiku hadiah buku dan gantungan kunci. Tahun ini dia mengirimiku voice note yang tadi kuceritakan. Aku juga sempat memberinya beberapa buku sebagai hadiah ulang tahun. Dari tukar-tukaran hadiah sampai obrolan yang ngalor ngidul hingga yang serius, sudah kami jalani. Karena usianya 4 tahun lebih muda dariku (4 apa 3 sih, J?), kadang dia suka meminta saran maupun pendapatku mengenai masalahnya. Seperti itulah kami berinteraksi, meski sekarang dia sedang berada jauh di negeri Tirai Bambu sana.

Harapanku, apalagi di ulang tahunku ini, adalah agar pertemanan ini kian erat. Juga dengan teman, sobat, dan sahabatku yang lainnya. Dan untuk kamu, J, I wish you all the best, too. Live your life to the fullest. You are young and have a long, long life ahead. Do what you need to do and have all the best in the world. Thank you, for everything. You know what I mean. *wink wink*

P.S. Maaf ya, baru kesampaian menulis postingan ini. Hehehe...

Friday, 19 April 2013

Will I ever be married?

"Say, udah punya pacar belum?"

Begitu isi pesan di BBM yang dikirim sejam sebelum kubuka. Saat itu aku baru saja selesai mengajari keponakanku Bahasa Inggris, dan hendak merebahkan diri di tempat tidur.

Aku sempat mengerutkan kening ketika membaca pesannya. Dikirimi pesan oleh seorang teman yang dulu pernah sama-sama berlangganan di gym dan barengan mengikuti kelas aerobic, tidak terlalu dekat, hanya saja kami bergereja di gereja yang sama, tentu membuatku terheran-heran. Perasaanku mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan permainan comblang-mencomblang ala mak comblang.

Dugaanku ternyata benar. Ketika kubalas pesannya dengan satu kata singkat, "Belum", disertai dengan emoticon tertawa, dia pun melanjutkan siasatnya dengan bertanya apa aku mau dikenalkan dengan seorang temannya. Langusng menolak, tentu saja aku tidak enak. Jadi aku berbasa-basi sedikit dengan bertanya mengenai pria yang hendak dicomblanginya. Oh, baiklah! Aku memang sedikit penasaran, makanya berbasa-basi. Sedikit, lho ya. Catat. Lagipula, aku yang hendak dicomblangi, jadi aku wajib tahu dong. Ngeles.

Nah, dari situ aku tahu bahwa pria yang hendak dikenalkannya padaku itu ternyata teman dekatnya, bahkan, kata dia, sudah seperti keluarga baginya, dan berusia 30-an. Kalau sudah begini ceritanya, pria itu bukan lagi cari pacar, tapi cari calon pendamping hidup selamanya. Haduh, haduh. Untungnya, kali ini aku punya jurus jitu menghindari pencomblangan ini. Kubilang saja kalau tidak lama lagi aku bakal pindah dari sini. Dia bertanya mau ke mana dan untuk apa, maka kuberikan dia penjelasan singkat.

"Yaaaaaa, telat dong gue," katanya setelah kujelaskan. Yah, mau gimana lagi. Enggak jodoh artinya. Lagipula tidak bisa kubayangkan jika sampai harus melalui kembali ajang jodoh-jodohan seperti ini, seperti yang dulu pernah terjadi dan membuatku hampir menikah. Masih ingat, kan, kisahku itu?

Aku jadi ingat, ketika banyak teman-temanku curhat sampai berbusa-busa betapa mereka sangat menantikan hari bahagia itu, aku malah tidak pernah sekalipun memikirkan tentang hal itu. Terlintas dalam pikiranku pun saja tidak. Atau ketika seorang teman dekatku berkata bahwa dia tidak bisa hidup sendirian, dalam benakku aku membatin bahwa kemungkinan besar aku akan menghabiskan sisa hidupku sendirian.

Terlepas dari orientasiku, pernah aku berkata, "Marriage is not my thing." Saat itu aku ditanya oleh seorang sahabatku, "Will you ever be married?", dan begitulah jawabku. Itu dulu. Jauh sebelum aku meletek.

Waktu itu aku berpikir, sampai sekarang juga masih, bagaimana mau menikah, wong mengurus diri sendiri saja tidak becus. Mama masih harus selalu mengingatkanku tentang ini dan itu. Gimana bisa mengurus pasangan dan anak? Mendidik anak tidaklah mudah. Membesarkan anak itu mahal. Belum lagi mengenai kemapanan dalam hal materi. Kalaupun menikah, tentu aku tidak mau hanya bergantung dari penghasilan pasangan. Dan masih banyak hal lainnya yang menjadi pertimbanganku.

Konsekuensinya, selama aku masih berpikir tidak siap padahal menurut orang lain aku sudah cukup umur, adalah selalu ditanyai kapan menikah, atau bahkan terus-terusan dicomblangi. Malah yang terparah itu dikatai nanti keburu tua. Pusing dong, ya? Lama-lama juga biasa kok. Lama-lama bisa cuek. Kadang-kadang bosan juga sih menghadapi pertanyaan dan orang-orang yang kelewat mau ikut campur. Aku ini masih manusia yang memiliki rasa, bukan manusia yang berlagak batu.

Tapi aku lebih memilih mengambil sisi positifnya saja. Kalau ada orang-orang yang seperti itu, kuanggap mereka peduli terhadapku. Kalau hendak dicomblangi, kuanggap itu karena aku memiliki nilai lebih sehingga mereka menominasikanku kepada kenalan, sahabat, ataupun saudara mereka. Sedikit narsis itu tidak mengapa, daripada pusing sendiri.

Dan lagi, aku tidak ingin jika suatu saat aku memang harus menikah, itu hanya karena aku ingin membahagiakan semua orang, seperti pemikiranku pada saat kejadian dulu itu. Atau agar supaya orang-orang berhenti bertanya. Karena yang menjalani hidupku adalah aku sendiri. Bukan orang lain. Kalaupun akhirnya aku menikah, itu artinya aku sudah memikirkan segalanya masak-masak, ratusan kali, sambil mengelilingi lapangan sepak bola ribuan kali.

Tidak mau hal seperti ini kujadikan beban juga. Beban lain, yang entah itu kujadikan beban maupun karena kewajiban, sudah cukup banyak. Aku tidak mau menambah-nambah beban lagi. Menuh-menuhin isi kepala kalau terlalu dipikirkan. Apalagi sekarang ritme tidurku sudah mulai pulih, aku emoh merusaknya dengan pikiran-pikiran yang kurang penting.

Jadi kalau ditanya "will I ever be married?", jawabnya mungkin ya, mungkin tidak. Maksudku, siapa yang tahu kedepannya. Buktinya dulu aku pernah hampir menikah. Jadi sampai sebelum saat itu tiba (lagi), kujalani saja hidupku yang sekarang. Sambil menikmatinya tentu saja.

Saturday, 13 April 2013

Brother's birthday and then swimming

Hari ini ulang tahun adikku, Si Tengah. Kami merayakannya dengan makan siang sederhana; mie goreng, sambal merah dan tak ketinggalan telur rebus yang kulitnya diberi pewarna merah, sebagai tanda umur panjang, sehat selalu dan bahagia. Setidaknya itu yang kukira arti dari kehadiran telur merah setiap kali ada yang ulang tahun di rumah kami. Red is always a happy color, isn't it?

Selesai makan siang, aku menyelesaikan beberapa pekerjaan, lalu sorenya aku kembali berenang. Kali ini otot-ototku sudah lumayan terbiasa. Dibandingkan kemarin, sekalinya berenang satu putaran sudah membuatku ngos-ngosan. Kali ini aku bisa melakukan beberapa putaran tanpa henti di kolam yang panjangnya 25 meter. Dimulai dengan gaya bebas, dan ketika mulai kelelahan, aku menggunakan gaya dada. Itu lho, gaya yang mirip kodok berenang, makanya orang-orang menamainya gaya kodok. Tapi ya, di samping namanya yang lucu, aku lebih suka berenang dengan gaya itu. Orang boleh berkata itu gaya yang terlalu santai, tapi kenyataannya cukup melelahkan juga. Apalagi jika dilakukan tanpa henti. Aku suka dengan gaya itu karena tidak hanya menggunakan otot dada dan punggung, tapi juga otot kaki, paha dan pinggul pun ikut bergerak. Nah, merata, adil dan makmur bagi tubuh, kan?

Baiklah, jujur saja aku tengah penasaran mampus dengan gaya butterfly stroke. Bagiku itu gaya yang paling sulit. Sejak pertama kali belajar berenang saat masih kecil dulu, aku tidak pernah berhasil memeragakan gaya itu. Kalaupun berhasil kulakukan dalam sekali atau dua kali kecipak, boro-boro tubuhku bergerak maju, yang terjadi adalah aku terlihat seperti kupu-kupu patah sayap. Saking tidak pernah berhasil, aku sampai membuat lelucon yang mana itu bukan cuma gaya kupu-kupu, tapi juga gaya duyung. Coba deh perhatikan, kedua kaki harus digerakkan bersamaan. Benar-benar terlihat seperti duyung, kan?

Sore kian menjelang, kolam renang berangsur ramai. Rupanya hari ini adalah hari anak-anak les renang. Jadilah aku harus rela berbagi kolam dengan bocah-bocah. Beberapa kali aku harus berhenti di tengah putaran karena mereka berenang menuju ke arahku. Aku cukup melihat kepala mungil mereka yang timbul tenggelam, yang bergerak meluncur ke jalur aku berenang.

Suatu kali, saat sedang beristirahat di pinggir kolam, seorang anak perempuan menghampiriku.

"Kak," panggilnya. Aku, yang kaget ada yang memanggil, hanya menatapnya bingung dengan masih mengenakan kacamata renang. "Nama kakak siapa?"

Nah lho, ngapain juga ini anak nanya-nanya, ngajak kenalan pula. "Rae." Tetap kujawab meski makin bingung.

"Kakak belajar berenang umur berapa?" tanyanya lagi, seolah tidak memerhatikan kebingungan di wajahku.

"Eh... waktu masih kecil, dek." Sejujurnya aku lupa kapan. Hehehe.

"Tapi umur berapa?" Masih maksa dong si bocah.

"Kakak beneran lupa. Kayaknya seumuran kamu dulu deh."

"5 tahun?" Percaya deh, aku ini bukan penggemar yang namanya anak kecil. Tapi ketika si bocah mengajukan pertanyaan itu dengan suara khas anak kecil yang cempreng, mau tidak mau aku tertawa kecil. Tapi ada yang aneh dari anak ini. Setelah kulepas kacamata renang dan kuperhatikan dengan saksama, mata si anak kecil ini kok ya berpindah-pindah antara menatap wajahku dan dadaku. Entah dia mau membedakan dadaku dengan dadanya yang masih belum menunjukkan pertumbuhan, ataukah dia... ya, kalian tahu? Atau bisa jadi dia kepingin punya dada seperti dadaku? Yaaa, dadaku sih biasa-biasa saja ukurannya. Malah oleh teman asramaku dulu sering diolok-olok. Kecil, katanya. Tapi setidaknya aku masih punya dada. Ya, kan? (Ini kenapa malah jadi ngomongin dada coba?). Aih, gara-gara si bocah nih. Sabar, ya, nak. Nanti juga dadamu muncul seiring usiamu bertambah. Lho?!

"Alexa, gaya kupu-kupu!" teriak sang pelatih dari atas kolam sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. Seketika itu juga aku melihat tubuh mungilnya meluncur ke tengah kolam dan memeragakan gaya kupu-kupu yang cukup sempurna untuk ukuran anak kecil. Oalah! Aku kalah sama anak kecil dong. Manyun.

Aku kembali melanjutkan rally-ku. Namun kali ini aku berkali-kali harus berhenti di tengah putaran karena sekelompok pria yang usianya sebaya, bukannya berenang, eh, malah main lempar koin ke tengah kolam, lalu mereka adu cepat mengambil koin di dasar kolam. Kesalnya aku. Hoi, aku ini datang untuk berenang, tauk! Mestinya, kolam bagi yang niatnya berenang dan kolam bagi yang niatnya hanya untuk bermain itu dipisah. Bagi yang niatnya hanya untuk main lempar koin, kolamnya tidak perlu diisi air. Percuma. Toh, mereka enggak berenang. Cuma kecipak-kecipuk berlarian. Buang-buang air.

Setelah 2 jam berenang dan jari-jari tanganku mulai keriput, aku akhirnya cukup puas. Sekarang tubuhku agak nyeri. Apalagi di bagian paha dan pinggul. Tapi nyeri-nyeri enak. Masokis banget deh ya. Hehehe... Enggak deng. Maksudku, nyeri tapi badan terasa segar, otot lentur jadinya.

Ada benarnya kata Quinnie ketika dia mengusulkan agar aku kembali berolah raga untuk mengatasi masalah susah tidur yang sebelumnya pernah kukeluhkan. Dia juga memberiku beberapa referensi video work out untuk kulakukan sendiri di rumah. Sudah kulihat, dan nanti akan kucoba. Yang berminat, boleh cari melalui Youtube dengan kata kunci: Blogilates. Her videos are good, seperti kata Quinnie.

Dan, oh, aku juga mendadak tertarik dengan kelas zumba di gym yang dulu menjadi langgananku. Q memberitahuku, it's a lot of dancing. Kita coba lihat nanti, apa aku sanggup bertahan untuk sekali percobaan di kelas itu.

Friday, 12 April 2013

Dulu dan Sekarang

Nyaris seluruh badanku nyeri. Sesorean tadi aku menghabiskan waktu dengan berenang. Rupanya seluruh otot-ototku terkejut ketika dipaksa melakukan gerakan renang yang telah sekian lama tidak kulakukan. Setelah beberapa putaran selama satu jam, aku pulang, mandi, lalu bergelung di tempat tidur sambil menonton Game of Thrones.

Aku baru saja menyelesaikan season 1 ketika seorang teman lama memanggilku di Path dan meng-updateku dengan kabar terbarunya yang agak sedikit kurang baik. Lalu dia mengirimiku sebuah foto yang diambil beberapa tahun yang lalu. Ada aku, dia dan seorang teman lagi di foto itu. Kami berpose di lobi sebuah mal di Jakarta. Saat itu adalah kali pertama kami bertemu.

Katanya, "I miss those old moments."
"Gee, I look so young on this picture." Aku memerhatikan foto itu. Kami tersenyum, saling berangkulan saat difoto.
"We were. Younger, happier..."
"Innocent, naive... Oh, dan waktu itu gue belum pernah merasakan mabuk sekalipun. Never had an orgasm, too. Hahaha..."
"Hehehe. Itu sih elo. Lucu, ya, gimana sekarang kita berubah."

Aku termenung menatap deretan kata-kata temanku di layar ponsel. Sekali lagi aku memandang foto yang dikiriminya dan aku menyetujuinya dalam hati. Hanya dalam waktu kurang lebih 5 tahun sejak foto itu diambil dan segalanya telah berubah, termasuk kami. Senyum kami terlihat inosen, bahagia, seolah-olah tiada beban. Hidup saat itu terasa lebih mudah, masa depan terlihat cerah.

Lalu semuanya mulai berubah. Ketika itu aku mulai mencoba menyesap minuman berakohol. Aku ingat pertama kalinya mereka mengajakku makan malam di sebuah restoran di kawasan Kemang. Itu pertama kalinya aku minum bir. I had 2 bottles of Corona! Selesai makan malam, mereka membawaku ke sebuah lounge tidak jauh dari situ. Kami berlima ketika itu dan memesan sebotol sparkling white wine. Namanya masih pemula, jadi kepingin coba semuanya. Kulihat segelas minuman berwarna merah yang diantar seorang pelayan untuk tamu di meja lainnya, dan akupun pesan itu. Strawberry Martini. Seorang temanku memesan satu sloki Tequila, dan akupun sempat mencuri sesapan.

Hasilnya? Saat itu juga aku langsung dibopong ke toilet dan memuntahkan semua isi perutku di kloset. Bikin kerjaan banget buat cleaning service deh. Hihihi. Sepanjang jalan pulang juga aku muntah. Bubur ayam, yang katanya lumayan menolong orang yang tengah teler, ternyata tidak banyak membantuku. Makan satu sendok dan aku kembali muntah. Tiba di kost, aku dipapah sampai ke kamarku di lantai 3. Terakhir yang kuingat, paginya aku bangun dengan sakit kepala yang luar biasa sakitnya, mulutku terasa pahit, dan rasanya aku seperti orang linglung. Aku kemudian dijuluki Mr. Toto. Itu pengalaman pertama dan terakhir kalinya.

Kemudian tahun berikutnya aku meletek. Hehehe...

"Masih ingat juga yang kita main ke Put Put Golf?" katanya lagi.
"Iya."
"Rasanya bahagia banget, ya? Kita main, taruhan, terus ketawa-ketiwi sepanjang permainan."
"It was one happy moment, indeed."

Lalu kami melanjutkan makan malam di Y&Y Cafe sambil terus menertawakan permainan tadi siang. Sambil makan, sambil berfoto ria. Dia dan keluarganya, dan aku. Segalanya terasa utuh saat itu.

"Sedih rasanya lihat foto-foto yang dulu-dulu. Gue masih enggak percaya semuanya udah berubah sekarang. Kayaknya semuanya seperti dirampas dari tangan gue."

Kali itu aku tidak tahu harus menjawab apa. Setelah tahu ceritanya akan kehidupannya belakangan ini, aku hanya bisa mengiyakan perkataannya. Aku jadi berpikir bahwa memang sudah seperti itu yang namanya kehidupan. Akrab dengan yang namanya perubahan selama ia masih berputar. Dan hidup juga mengubah manusianya. Bukan begitu? Setidaknya itu yang kulihat terjadi pada diri temanku.

"Gue capek, Rae."
"I know..."
"I'm not happy. I just want this to be over."
"It will." 

Setengah jam kemudian kami masih mengobrol dan pada akhirnya aku berhasil membujuknya untuk tidur.

"May the happiness awaits us ahead," hiburku.
"Hopefully."

Kami mengakhiri pembicaraan. Aku mematikan ponsel dan sepertinya malam ini aku akan tidur dengan perasaan gloomy, sambil tak lupa memanjatkan doa agar temanku tetap kuat.

Tuesday, 2 April 2013

"Autis"

Dulu sekali aku pernah melontarkan sebuah komentar asal dengan maksud bergurau kepada seorang teman. Ketika itu kami sedang jalan-jalan di sebuah mal di Jakarta. Tepat di depan kami, dari arah berlawanan, lewat sekumpulan mahasiswa, atau mungkin masih siswa SMA jika dilihat dari penampilan dan wajah mereka. Dari sekumpulan itu, ada beberapa anak laki-laki dengan dandanan yang sungguh sangat metroseksual. Saat berpapasan, aku langsung menyikut lengan temanku lalu berbisik, "Tuh, lo masih mau pilih-pilih pacar lagi sementara semakin banyak laki-laki yang sukanya sama laki-laki."

Saat berkata seperti itu, aku sungguh tidak sadar bahwa komentarku itu bisa saja menyinggung perasaan saudara serumpun. Aku malah ikutan tertawa bersama temanku pada waktu itu. Aku ini memang pendiam, tapi kadang ada saatnya dimana mulutku berceplas-ceplos ria tanpa sempat otakku menyaring terlebih dahulu. Bukan sesuatu hal yang kubanggakan. Jelas aku sudah menyinggung perasaan orang lain, juga menjelek-jelekkan sesama, sekaligus melanggar kode etik tali persaudaraan yang senasib sepenanggungan. Maksudku, hello??? You're one of us, Rae.

Di lain waktu, baru aku kena batunya ketika seorang teman pria melontarkan komentar yang hampir sama kepada teman yang lain tepat di depan hidungku. Katanya, "Tuh lihat, sekarang kita punya saingan buat cari pacar." Yang dia maksudkan adalah seorang perempuan yang berpenampilan seperti pria. Bucth kalau bahasa kita. Saat itu muka dan kupingku langsung memerah mendengar komentar temanku, dengan dua alasan: 1) Jelas saja aku tersinggung dengan komentarnya yang asal bunyi itu, dan 2) Tepat ketika itu pandanganku langsung terarah pada perempuan yang dimaksudkan temanku, eh, orangnya malah ternyata sedang memandang ke arahku, atau mungkin saja ke arah kami, dan tersenyum (mana cakep pula, alamak!).

Dua pengalaman tadi menunjukkan bahwa aku seringkali menyinggung perasaan orang lain, sengaja ataupun tidak. Memalukan, ya? Bahkan dulu ketika kata "autis" cukup populer di kalangan pergaulan, aku pernah ikut-ikutan menggunakan istilah "autis" untuk teman-temanku yang tidak bisa lepas dari Blackberry-nya, dengan maksud menyindir. Betapa kejamnya, ya? Tidak pernah terpikirkan olehku bagaimana perasaan seorang ibu yang anaknya penderita autis jika mendengarku menyebut-nyebut "autis", seolah itu hal yang sepele. Lebih kejamnya lagi, salah seorang sepupu dekatku menderita autis, dan aku dengan seenak jidatnya memakai istilah itu untuk iseng belaka.

Image is taken from here.
Hari ini diperingati sebagai Hari Autis Sedunia. Tahu, tidak? Autisme bisa muncul pada 1 dari 88 anak, 1 dari 54 di antaranya laki-laki, dan setiap tahunnya angka penderita autis terus meningkat. Seperti kata Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, hari peringatan ini untuk menyadarkan ketidakprihatinan kita dan menciptakan dukungan bagi para penderita autis.

Maka adalah sangat tidak berperikemanusiaan jika masih saja ada orang-orang yang dengan sembarangan menggunakan istilah "autis". Aku sendiri belajar untuk tidak lagi menggunakan menyebut-nyebut "autis" atau istilah-istilah lainnya. Hey, bukankah perubahan dilakukan dari hal-hal yang kecil, dan itu dimulai dari diri sendiri? Sudah saatnya untuk lebih sadar lingkungan dan sekitarnya. Untuk itu aku mengucapkan Selamat Hari Autis Sedunia.   

Monday, 1 April 2013

Kebiasaan Melirik

Rupanya potinganku yang sebelumnya tidak perlu berlanjut pada bagian 2. Tidak ada sekuelnya. Syukurlah. Terima kasih untuk Ole, yang sudah berbagi pengetahuan mengenai masalah sleep deprivation. Meski harus kuakui saat membaca email-emailnya, aku sedikit ketakutan. Coba bayangkan kalau kamu membaca kata-kata seperti "insomnia", "sleep paralyze", "sleeping pill", bahkan "muka jadi tampak tua", aku yakin pasti kamu bakalan berusaha untuk bisa tidur. Nah, itulah yang terjadi padaku. Jadi mau tidak mau aku mencari cara agar bisa tidur nyenyak. Salah satunya dengan ilmu bengong sambil mendengarkan lagu-lagu Jason Mraz (oh, album terbarunya itu recommended banget deh), saat hendak tidur.

Masalah tidur sudah teratasi, tapi lalu kemudian aku tetap saja masih kepingin ngoceh-ngoceh, cuap-cuap tidak jelas di sini. Kalau soal ini, sepertinya tidak ada obatnya, ya? Ngomong-ngomong ya, aku punya radar yang bisa mendeteksi yang cantik-cantik dan manis-manis dalam radius jarak pandang mata. Eh, aku bukan mata keranjang, lho. Bukan pula lesbian predator yang meng-eye sexed setiap perempuan. Duh, amit-amit. Aku masih punya harga diri dan aku menjunjung tinggi martabat perempuan, dan menolak mentah-mentah lirikan yang bersifat menelanjangi (only on certain occasion with a certain person, then I guess I won't mind. Ups! Hehehe). Tapi kalau cuma sekedar melirik, boleh kan??? Itu namanya lesbianawi, maksudku manusiawi, teman.

Nah, susahnya radarku ini seringkali berfungsi di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Seperti di hari Sabtu kemarin, aku menghadiri misa Sabtu Suci, atau Malam Paskah, di gereja, lalu radarku tiba-tiba berdengung. Tentu saja ketika aku menajamkan mata dan melihat sekeliling, tepat di sebalah kanan depan berdiri seorang perempuan berwajah manis, berambut panjang hitam lurus, mengenakan dress kasual. Aduh, aku mulai tidak konsentrasi dengan prosesi misa dan malah mencuri-curi pandang. Ini mataku melakukan keinginannya sendiri, melirik-lirik, tanpa bisa kuhentikan. Namun berhubung aku masih ingat di mana aku sedang berada, dengan satu tarikan nafas aku kembali memegang kontrol atas mataku. Untuk sementara aku menang.

Apesnya, keadaan sedang tidak bersahabat dan malah menantang mataku. Saat hendak komuni, aku yang duduk di belakang jelas sempat melihatnya berjalan menuju tempat duduknya. Mataku benar-benar menatapnya. Ah, mataku ini memang sering mengkhianati aku. Selama beberapa detik aku memandangnya sampai Mama menyikut lenganku, lalu berbisik, "Eh, itu kan temanmu." Aih, nyaris saja jantungku mau copot rasanya. Apa kata dunia kalau Mama memergokiku sedang melirik perempuan coba? Mampuslah aku kalau begitu ceritanya. Lalu kata Mama itu temanku? Tunggu dulu, kok aku tidak tahu sih, ya? Aku hanya setengah mengangguk, setengah menggeleng menjawab pertanyaan Mama. Gelagapan.

Kata Mama lagi, perempuan yang kulirik itu teman sekolahku dulu saat masih TK. Sejujurnya, aku tidak ingat. Aku hanya merasa wajahnya familiar karena aku tahu dulu sekali aku pernah melihatnya di gereja yang sama. Dan aku masih ingat betul dengan auranya itu; aura gadis manis kalau kataku. Ih, pantas saja radarku langsung berbunyi. Hihihi.

Iya, iya, cukup sudah lirik-liriknya. Lain kali enggak lagi, deh. Tapi tidak janji sih. Hehehe. Sudah, ah. Semakin meracau ini postingannya.

Oya, Happy Easter! May your basket be full of blessings!    

Friday, 29 March 2013

When I Can't Sleep

I need to rant. Or rambling. Or monologue-ing (wait, is that even a word?). Or whatever. I need the sleep, so I need this and I'm going to do it. Rather than talking out loud to myself inside my room, it's probably would seem more sane to just pour it up on here. I mean, what's the use of online blog, anyway? Right? Okay. So, this post might be just like any other post about messy, crumbled thought that I have. Don't tell me I didn't warn you.

Okay, then. You chose to stay and keep reading (thank you, by the way). Oh, and before we move on, here's another warning: whatever side-effects you're having after reading this, I am not responsible to that. It's all on you. Still staying? Good. So, how about I start on talking about life being funny, as always? Or, maybe, that life plays a fool out of you? Like, seriously, you realize it, right? Well, I certainly do realize it. Yes, life is, indeed, playing a fool out of me right now. I have my reason, of course. I am never accusing something or someone without a reason, logically or not.

Remember that people say that when you're least expecting something, it comes? Yes, that's what happened to me. Just as when I believed I was facing a dead-end, suddenly, BAM!, here comes the way to break the wall so I can move forward. Just like the light at the end of the tunnel. I mean, after awhile of being hopeless and less expecting that something would come in to my way, this is kind of frustrating and tiring. Hey, I'm human, okay? It doesn't mean that I'm complaining or something. Believe me, I have found way to be graceful everyday to keep being alive and nothing like cutting-wrist would happen. (Please, take a note: I am NOT suicidal).

Now that the wall is broken, I am given chances to make things happen. All I have to do is only choose what I want. Really, it should be an easy thing to do, right? But becoming me, no, it's not. Guess this all has to do with me being in my comfort zone for too long that I don't dare taking choices. I was once told that life is about making choices and not destiny. Wherever or whatever you are now is the result of what you chose before. Oh, if only it's as easy as answering multiple-choices question. That is why sometimes having no options is way better than having to make a choice, or so I think.

But then again, I have to choose and, amazingly, I did. I just wish that this will start making things happen. And with that, I am now going to try to get some sleep. And, oh, it's Friday already. The Good Friday. So, behave and be good.

Goodnight and rest well. (Yes, I'm saying that for myself).

Friday, 15 March 2013

9 Years

 

I can't believe it's been 9 years of friendship. But who's counting, anyway? Long distance friendship lebih tepatnya, dan belum pernah sekalipun kami bertemu secara langsung. Skype, iya. Tapi tetap saja rasanya berbeda. Maka tidaklah heran jika kami berhasrat untuk saling bertemu suatu saat nanti. Saat di mana mimpi kami terwujud. Tidak muluk-muluk. Cukup saja kami meraih apa yang kami cita-citakan. Tidak ada salahnya bercita-cita dan bermimpi, kan? Bahkan di negeri komunis pun manusianya memiliki cita-cita dan mimpi.

One day, my dear friend. One day... Hang in there!

Tuesday, 12 March 2013

3 dan 200

3 itu pertanda usia blog ini, sedangkan 200 menunjukkan jumlah postingan dalam blog ini. Itu artinya sudah 3 tahun lamanya aku wara-wiri, gentayangan di dunia penulisan blog, (aku lebih suka menyebutnya "blogsphere", biar lebih keren), dan sudah menghasilkan 200 postingan yang isinya nyaris semuanya curcol dan ocehan isi kepalaku yang kusut seperti benang.

Sepertinya ini kali pertama aku merayakan ulang tahun blog. Sebelum-sebelumnya aku selalu lupa. Sama juga dengan peringatan 3 tahun kali ini, aku hampir lupa. Tapi untungnya, sih, enggak, karena kebetulan juga bertepatan dengan jumlah postingan kali ini yang cantik. Tadinya aku berencana untuk mengadakan sebuah kuis berhadiah buku trilogi The Hunger Games sebagai perayaan ulang tahun ini. Namun karena satu dan lain hal (baca: sibuk), terpaksa aku tunda dulu. Atau dengan kata lain, aku kelupaan sampai akhirnya hari ini tiba. Hehehe...

Seorang pembaca pernah berkata bahwa untuk ukuran blog yang baru berusia 3 tahun, jumlah postingannya termasuk cukup banyak. Ups, itu artinya aku tukang curcol dong, ya? Anyway, blog ini bagiku tidak hanya sekedar wadah untuk curhat, tapi lebih dari itu. Bagiku, blog ini seperti rumah. Setiap saat aku bisa datang dan menuliskan apa saja, atau melakukan apa saja. Kapan pun aku kepingin, aku bisa mengubah-ubah susunan layout maupun desainnya layaknya seperti mendekor ulang sebuah rumah. Hanya di sini aku bisa menuangkan segala isi kepala. Hanya di sini aku bisa menjadi "aku", meski masih menggunakan nama alias. Kalau soal itu, aku masih belum berani terang-terangan. Namanya juga masih in the closet

Bagiku, blog ini seperti sahabat sejati. Selalu ada di saat aku membutuhkan. Bahkan, ketika aku sedang bosan dan enggan menulis, dia tetap menungguku dengan setia. Bagiku juga, blog ini adalah pendengar yang tidak bawel. Apapun itu, aku bebas mengatakan segala sesuatu tanpa ada protes darinya. Mau aku mengoceh panjang lebar pun dia tetap akan diam. Kombinasi kesemuanya itu membuat blog ini, seandainya manusia, bakal kupacari.

Sebetulnya, awal aku mengenal blog sudah lebih dari tiga tahun yang lalu. Tapi baru benar-benar niat menulis sejak Maret 2010. Itu pun setelah berkenalan dengan dunia tulis-menulis dari majalah online yang ramai pengunjungnya itu. Kalau tidak dari situ, kemungkinan besar blog ini tidak ada. Sembari menulis di sana, aku juga jadi kepingin membuat blog pribadi. Maka jadilah blog ini. Lalu kenapa aku memilih nama Secret on Screen? Tidak ada alasan khusus. Aku hanya suka dengan ritme bunyinya ketika diucapkan.

Katanya, orang yang menulis blog itu, mereka senang dibaca. Tidak hanya tulisannya, namun juga pribadinya. Padahal, menurutku, menulis blog itu adalah hal yang lebih suka dilakukan oleh orang introvert. Seperti aku ini. Awalnya aku tidak berpikir bahwa akan ada orang yang membaca tulisan-tulisanku di sini. Maksudku, siapa juga yang rela menghabiskan waktu hanya dengan membaca segala curhatan tidak jelas ini. Tapi entahlah, mungkin sebagian kecil diriku memang ingin "dibaca" oleh orang lain.

Setelah 3 tahun menaungi blog ini, aku cukup terkejut ketika ada orang yang mengatakan bahwa mereka menyukai blogku ini dan selalu mengikutinya. Ada yang katanya pernah menongkrongi blogku dari pagi sampai malam saat sedang sakit. Ada pula yang mengaku membaca semua isi tulisan dari awal. Ada juga yang katanya menemukan blogku ini dari Oom Google, lalu mulai mengikutinya. Lalu pernah juga ada yang mengaku katanya jadi ikutan terpacu untuk lanjut kuliah S2 karena membaca aku yang menggebu-gebu kepingin kuliah lagi. Mengetahui itu semua tentu membuatku senang. Ternyata sedikit banyak blogku ini tidak hanya memberikan kepuasan bagi diriku sendiri, namun juga memberi manfaat bagi orang lain. Jadi memang ada sedikit kemungkinan aku senang "dibaca" melalui tulisanku.

Bagi kalian, yang tanpa sengaja akhirnya terdampar di sini, aku ucapkan terima kasih karena sudah terdampar. Eh, maksudku terima kasih karena sudah rela meluangkan waktu demi membaca blog ini, yang sebagian isinya sulit dicerna. Bukan karena kalian yang tak pandai, tapi karena aku sendiri yang biasanya kebingungan dengan apa yang hendak kutulis. Maklum, isi kepalaku ini amburadul, maka begitu juga isi blog ini. Sekali lagi, di kesempatan ini, aku mengucapkan terima kasihku untuk kalian.

Namanya menulis pasti kadang muncul rasa malas. Apalagi jika sedang dilanda writer's block. Meski ada saja kejadian yang bisa dituliskan tapi sepertinya otak dan jari tidak sinkron. Malah pernah terlintas untuk berhenti menulis dan menutup blog ini. Tapi, ya, dipikir-pikir sayang juga. Jadilah aku tetap memilih untuk terus mendiami blog ini. Semacam dedemit yang enggan pergi. Semoga saja blog ini akan tetap ada sampai tahun-tahun selanjutnya. Dan biarlah blog ini menjadi pendamping yang senantiasa mengiringi kehidupanku. Suatu saat nanti, di tahun-tahun yang akan datang, aku pasti akan membuka kembali blog ini dari awal, dan mengenang semua yang pernah kutulis.

Ya, suatu saat nanti...