Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Tuesday 2 April 2013

"Autis"

Dulu sekali aku pernah melontarkan sebuah komentar asal dengan maksud bergurau kepada seorang teman. Ketika itu kami sedang jalan-jalan di sebuah mal di Jakarta. Tepat di depan kami, dari arah berlawanan, lewat sekumpulan mahasiswa, atau mungkin masih siswa SMA jika dilihat dari penampilan dan wajah mereka. Dari sekumpulan itu, ada beberapa anak laki-laki dengan dandanan yang sungguh sangat metroseksual. Saat berpapasan, aku langsung menyikut lengan temanku lalu berbisik, "Tuh, lo masih mau pilih-pilih pacar lagi sementara semakin banyak laki-laki yang sukanya sama laki-laki."

Saat berkata seperti itu, aku sungguh tidak sadar bahwa komentarku itu bisa saja menyinggung perasaan saudara serumpun. Aku malah ikutan tertawa bersama temanku pada waktu itu. Aku ini memang pendiam, tapi kadang ada saatnya dimana mulutku berceplas-ceplos ria tanpa sempat otakku menyaring terlebih dahulu. Bukan sesuatu hal yang kubanggakan. Jelas aku sudah menyinggung perasaan orang lain, juga menjelek-jelekkan sesama, sekaligus melanggar kode etik tali persaudaraan yang senasib sepenanggungan. Maksudku, hello??? You're one of us, Rae.

Di lain waktu, baru aku kena batunya ketika seorang teman pria melontarkan komentar yang hampir sama kepada teman yang lain tepat di depan hidungku. Katanya, "Tuh lihat, sekarang kita punya saingan buat cari pacar." Yang dia maksudkan adalah seorang perempuan yang berpenampilan seperti pria. Bucth kalau bahasa kita. Saat itu muka dan kupingku langsung memerah mendengar komentar temanku, dengan dua alasan: 1) Jelas saja aku tersinggung dengan komentarnya yang asal bunyi itu, dan 2) Tepat ketika itu pandanganku langsung terarah pada perempuan yang dimaksudkan temanku, eh, orangnya malah ternyata sedang memandang ke arahku, atau mungkin saja ke arah kami, dan tersenyum (mana cakep pula, alamak!).

Dua pengalaman tadi menunjukkan bahwa aku seringkali menyinggung perasaan orang lain, sengaja ataupun tidak. Memalukan, ya? Bahkan dulu ketika kata "autis" cukup populer di kalangan pergaulan, aku pernah ikut-ikutan menggunakan istilah "autis" untuk teman-temanku yang tidak bisa lepas dari Blackberry-nya, dengan maksud menyindir. Betapa kejamnya, ya? Tidak pernah terpikirkan olehku bagaimana perasaan seorang ibu yang anaknya penderita autis jika mendengarku menyebut-nyebut "autis", seolah itu hal yang sepele. Lebih kejamnya lagi, salah seorang sepupu dekatku menderita autis, dan aku dengan seenak jidatnya memakai istilah itu untuk iseng belaka.

Image is taken from here.
Hari ini diperingati sebagai Hari Autis Sedunia. Tahu, tidak? Autisme bisa muncul pada 1 dari 88 anak, 1 dari 54 di antaranya laki-laki, dan setiap tahunnya angka penderita autis terus meningkat. Seperti kata Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, hari peringatan ini untuk menyadarkan ketidakprihatinan kita dan menciptakan dukungan bagi para penderita autis.

Maka adalah sangat tidak berperikemanusiaan jika masih saja ada orang-orang yang dengan sembarangan menggunakan istilah "autis". Aku sendiri belajar untuk tidak lagi menggunakan menyebut-nyebut "autis" atau istilah-istilah lainnya. Hey, bukankah perubahan dilakukan dari hal-hal yang kecil, dan itu dimulai dari diri sendiri? Sudah saatnya untuk lebih sadar lingkungan dan sekitarnya. Untuk itu aku mengucapkan Selamat Hari Autis Sedunia.   

No comments: