Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Thursday, 31 March 2011

Something Missing


Selama beberapa tahun sebelumnya, anggota keluarga gue terpencar di mana-mana. Gue di daerah ini, bokap di daerah itu, nyokap di daerah sana, kedua adik gue di daerah situ. Semuanya mencar dan hidup terpisah karena tuntutan kerjaan bagi bokap dan nyokap gue serta tuntutan sekolah untuk gue dan adik-adik gue. Baru bisa ngumpul saat liburan Natal dan Tahun Baru aja, yang artinya cuma sekali dalam setahun.

Sekarang semuanya sudah kembali ke rumah. Bokap baru saja pensiun dini dan kembali pulang, gue udah selesai kuliah dan kerja dan akhirnya dipanggil pulang, adik gue yang pertama juga udah selesai kuliah dan pulang lagi, sementara si bontot juga meskipun nge-kost di daerah yang dekat dengan sekolahnya tapi masih bisa pulang saat weekend. Jadinya sekarang lengkap sudah penghuni rumah di sini.

Keluarga gue mungkin bukanlah sebuah keluarga yang sempurna. Mungkin orang lain melihat keluarga gue sebagai sebuah keluarga yang patut diteladani dan yang mungkin saja bisa membuat iri orang lain dengan banyak hal yang dimiliki oleh keluarga gue. Mungkin seperti itu dikarenakan juga sosok bokap dan nyokap gue yang banyak dikenal orang dengan reputasi yang cukup baik.

Bagi orang lain, mereka menginginkan sebuah keluarga yang seperti keluarga gue. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau, bukan? Namun pada dasarnya, keluarga gue juga sama seperti keluarga yang lain. Keluarga gue juga memiliki permasalahannya sendiri yang mungkin akan mengejutkan orang-orang yang mengira bahwa keluarga gue adalah sebuah keluarga yang sempunra. Tapi dibalik ketidaksempurnaan keluarga gue, sebisa mungkin anggotanya menghabiskan waktu bersama di setiap kesempatan.

Itu yang gue pikirkan beberapa tahun sebelumnya saat gue masih berada di perantauan. Dan itu yang membuat gue selalu tidak sabar menunggu Natal dan Tahun Baru tiba. Tapi nampaknya ada yang berubah selama hampir satu tahun belakangan ini. Gue merasa ada sesuatu yang hilang...

Sekolah Bontot diliburkan karena masa UAN, jadinya dia pulang ke rumah selama 2 minggu ini. Artinya, gue harus berbagi kamar dengan dia. Minggu pertama liburan sudah lewat dan memasuki minggu kedua, Bontot udah teriak bosan. Entah bosan karena keadaan rumah atau karena kurangnya hiburan di kota gue yang agak terpencil ini. Tapi gue rasa karena kedua alasan tersebut.

Bertahun-tahun yang lalu gue juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Bontot. Saat hari-hari pertama tiba di rumah, rasanya exciting banget sekaligus bisa melepas rindu dengan anggota keluarga yang lain. Tapi lama kelamaan mulai merasa bosan dan bahkan kangen dengan kamar kost gue yang meskipun mungil tapi terasa nyaman. Seolah-olah gue memiliki dua rumah; rumah keluarga gue dan kamar kost gue.

Saat Bontot berteriak bosan, gue seperti tersadarkan bahwa gue juga belakangan ini mulai merasa bosan di rumah. Sama seperti Bontot, alasan gue juga bisa jadi karena keadaan rumah dan kurangnya hiburan. Kalau dulu gue masih bisa kembali ke rumah kedua gue, tapi tidak dengan sekarang. Dan meskipun gue dikelilingi oleh keluarga gue, gue tetap masih merasa ada sesuatu yang hilang... sesuatu yang sulit dijelaskan.

Nut dan Kopi pernah bilang itu karena gue masih beradaptasi dengan lingkungan dan karena gue belum tinggal bareng keluarga. Katanya nanti juga perasaan itu akan hilang dengan sendirinya dan gue akan bisa menikmati kehidupan yang dekat dengan keluarga gue. Well, gue berharap mereka benar. Semoga ini hanya perasaan sesaat yang tidak perlu gue khawatirkan, yang nantinya akan hilang dengan sendirinya. Semoga saja...

Tuesday, 29 March 2011

Miss You, Gran

Jika ditanyakan siapa figur yang paling dekat dengan gue, maka gue akan menjawab bahwa figur yang paling dekat dengan gue adalah Oma. Bagaimana tidak? Satu hari semenjak gue keluar dari rumah sakit sebagai seorang bayi mungil nan imut, gue sudah tinggal di rumah Oma dan dirawat oleh Oma sendiri karena, mau tidak mau, Mama dan Papa sibuk membanting tulang dan mencari nafkah. Jadi tidak heran jika Oma memiliki peran yang sangat penting dalam hidup gue.

Sebagai orang tua-tua yang lahir di zaman dulu sekali dan masih sempat merasakan penderitaan akibat penjajahan, Oma mendidik gue dengan cara ke-Belanda-belandaan yang terkenal dengan peraturan-peraturan yang ketat, seketat spandex (iya, jayus deh lo Rae!) Eh, tapi serius lho. Dulu itu Oma membuat peraturan yang harus selalu gue patuhi. Kalau tidak dipatuhi, dijamin gue pasti akan kena jewer. Misalnya kalau pagi sebelum berangkat sekolah harus sarapan dulu. Sarapan pagi itu biasanya, maksud gue selalu, menunya bubur dan telur rebus dan segelas teh manis. Kadang kalau belum dapat uang belanja dari Mama, menunya hanya bubur dicampur kecap asin dan air putih hangat.

Sepulangnya dari sekolah harus segera ganti baju, cuci kaki dan tangan, lalu makan siang. Selesai makan harus tidur siang. Biasanya gue bandel  dan panjat jendela agar bisa bermain dengan teman-teman. Jika tengah bermain dan tiba-tiba mendengar teriakan Oma yang menggaung di sepanjang lorong, memanggil nama gue, “Raeeeeeeeeeeeeeee,” maka gue akan segera lari terbirit-birit menuju rumah karena itu artinya gue ketahuan kabur. Dan pastinya gue akan menemukan Oma yang sudah berada di depan pintu sambil memegang sapu ijuk. Adegannya berakhir dengan aksi Oma mengejar gue yang berlari mengelilingi rumah, dengan sapu ijuk yang diacung-acungkan. Sekarang kalau diingat-ingat, Oma tidak pernah berhasil memukul gue mungkin karena tidak tega juga atau karena tidak sanggup mengejar gue. Hehehe...

Namun di balik semua peraturan-peraturannya yang super ketat itu, gue sekarang menyadari betapa telatennya Oma dalam membesarkan cucunya yang bandel ini. Gue ingat bahwa Oma harus terjaga semalam suntuk jika gue sakit. Setiap sore sesudah mandi, Oma selalu rajin meminyaki rambut gue dengan minyak nyong nyong. Ya ya ya, gue tahu baunya tidak enak. Tapi hasilnya, sekarang gue memiliki rambut yang lebat, hitam dan lurus, yang pastinya selalu membuat teman-teman gue iri (sekalian pamer deh, hehehe.) Jika gue jatuh dan terluka, dengan sigap Oma menyiapkan obat tradisional andalannya, yaitu bawang merah dan gula pasir yang ditumbuk, kemudian mengoleskannya di luka. Rasanya perih minta ampun sehingga membuat gue menangis meraung-raung dan maunya digendong terus, padahal lukanya hanya sebesar biji semangka. Memalukan ya? Hihihi.

Memasuki SMP hingga kuliah, gue harus tinggal jauh dari Oma. Sebuah hal yang cukup sulit bagi gue sebenarnya. Ketika gue memasuki SMA, Oma terkena serangan stroke yang membuat sebagian tubuhnya lumpuh. Tapi, sekali lagi, yang membuat gue kagum adalah ketabahan dan keteguhan Oma dalam menjalani hidupnya. Oma tidak pernah mau menyerah pada penyakitnya. Itu salah satu pelajaran berharga yang gue dapatkan dari Oma, yaitu untuk tidak pernah menyerah. Pelajaran berharga lainnya mengajarkan untuk selalu rajin berdoa. Gue tahu bahwa Oma selalu mendoakan seluruh keluarganya setiap harinya.

Suatu hari di bulan Januari 2007, gue harus segera kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Hari itu gue memeluk Oma erat-erat sebelum berangkat dan seketika pecahlah tangis Oma. Itu pertama kalinya Oma menangis ketika melihat gue harus kembali ke Jakarta. Hati gue sedih harus meninggalkan Oma selama satu tahun penuh. Ingin rasanya gue membatalkan kepergian gue barang sehari saja jika seandainya gue tahu bahwa itu terakhir kalinya gue melihat Oma. Di bulan Juli Mama mengabarkan bahwa Oma telah pergi untuk selamanya.

Ada rasa sesal bahwa gue tidak sempat membalas budi kepada Oma. Menyesal rasanya gue tidak berada di sisi Oma ketika Oma sakit. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sekarang Oma telah tiada, bahkan setelah hampir 4 tahun sesudah kepergian beliau. Sering gue berandai-andai; andaikan Oma masih hidup, pasti gue bisa membawanya jalan-jalan dengan uang hasil keringat sendiri atau membelikan Oma Alkitab bergambar kesukaannya. Seandainya Oma masih hidup, maka Oma-lah orang pertama dan mungkin satu-satunya dalam keluarga yang akan mendengar gue coming out. Dan masih banyak andai-andai lainnya.

Dulu, jika gue kangen maka gue tinggal menghubungi Oma dan berbicara melalui telepon dan di setiap penghujung tahun gue pasti bisa bertemu Oma lagi. Tapi sekarang tidak lagi bahkan jika gue kangen berat sekalipun. Gue tidak bisa lagi mendengar suara Oma atau bertemu Oma. Tidak ada lagi yang akan mengobati ketika gue jatuh dan terluka. Kini yang bisa gue lakukan hanyalah menuliskan kenangan-kenangan tentang Oma untuk mengobati rasa rindu gue.

Gue tahu gue beruntung karena pernah memiliki seorang Oma yang paling hebat sejagad raya. Dan gue berterima kasih untuk pelajaran-pelajaran berharga dan nasihat-nasihat yang beliau berikan sehingga menjadikan gue seperti gue yang sekarang ini. I miss you, Gran. I do really miss you...

Sunday, 27 March 2011

Magic Words


Out of spontaneous, gue akan selalu menjawab "I'm fine" jika ditanya apa kabar oleh seseorang, yang biasanya kenalan yang udah lama enggak ketemu. Sebuah jawaban yang singkat, padat dan jelas, dan sudah tentu cukup menggambarkan situasi gue saat itu.

Seperti yang gue bilang tadi, secara spontan gue akan bilang kalau gue baik-baik saja, bahkan jika sebenarnya gue sedang tidak baik-baik saja entah itu karena gue sedang merasa tidak enak badan atau karena sedang dirundung banyak masalah. Mungkin, setelah gue pikir-pikir kembali, spontanitas gue itu muncul karena gue tidak ingin berbasa-basi karena dapat dipastikan obrolan singkat yang pada dasarnya hanya untuk basa-basi bisa berubah menjadi obrolan yang panjang jika gue bilang gue sedang tidak baik-baik saja.

Alasan lainnya kalau lagi PMS adalah karena jawaban "I'm fine" bisa saja diartikan "mind your own business, dude" atau "gue enggak mau urusan gue dikorek-korek sama lo." So, I sticked with "I'm fine" ketika gue melayat saat om gue meninggal, bahkan ketika saudara-saudara gue menatap pipi gue yang masih sedikit lebam dengan wajah yang penuh rasa ingin tahu. Yah, setidaknya pipi gue tidak lagi terlihat seperti bokong gajah.

Hari ini gue menghabiskan waktu seharian dengan saudara-saudara gue yang jarang ketemuan dan bahkan yang seumur-umur belum pernah ketemu sama sekali. Maklum, bokap gue lahir dalam sebuah keluarga besar yang terdiri dari 7 bersaudara. Jadi bisa dibayangkan betapa banyaknya sepupu yang gue miliki, belum lagi ditambah beberapa di antara mereka ada yang sudah menikah dan memiliki anak. Rela gak rela, gue harus rela dipanggil "ii" sama mereka, padahal kan umur gue masih muda... ih asyem. (Bayangan gue, yang namanya "ii" itu sejenis ahjuma-ahjuma umur 40-50 dengan rambut yang disasak tinggi. Dan setelah gue pikir-pikir, gue gak sudiiiiiiiiiii. Belum. Belum saatnya gue bersasak. Jangan sampai gue bersasak kalau perlu...)

Semua orang datang berkumpul di rumah duka dan suasana seketika berubah menjadi acara kumpul keluarga. Semuanya melewati malam dengan penuh canda dan tawa. Ada yang mulai berkaraoke ria, berdansa, ada juga yang menonton sambil bersorak-sorai memberikan semangat. Sementara gue juga menghabiskan waktu bersama sepupu-sepupu gue dari segala jenis usia dengan bermain kartu. Benar-benar tidak terlihat seperti sedang dalam suasana berkabung, hehehe.

Untuk sesaat gue terbawa suasana dan melupakan masalah gue. Gue seperti berada dalam pengaruh mantra kata-kata "I'm fine" yang beberapa kali gue ucapkan ketika ditanya oleh saudara gue malam itu. Gue merasa hidup gue baik-baik saja dan gue tidak memiliki masalah sama sekali. Rasanya seperti gue terbebas dari masalah... seperti gue bersemangat kembali dan gue merasa yakin bahwa gue pasti bisa mendapatkan jalan keluar yang terbaik.

Now that I'm thinking about that, mungkin gue harus terus mengatakan dua kata ajaib itu kepada diri gue sendiri untuk bisa membantu gue melewati masalah setelah gue kembali lagi pada kenyataan. Mungkin yang gue butuhkan tidak hanya menyebutkan mantra tersebut berulang-ulang, tapi juga ikut berpura-pura bahwa gue sebenarnya baik-baik saja. Ya, mungkin gue cukup melakukan kedua hal tersebut sampai akhirnya keadaan benar-benar telah berubah menjadi lebih baik.

Well, at least for now I feel... okay... even when things are not okay. And I'm ready to finally do something to make things better. I just hope the magic works its best...

Sunday, 20 March 2011

Crying

Last night I cried. Maksud gue benar-benar menangis. Rasanya sudah lama banget gue enggak nangis sampai gemeteran seperti semalam. Terakhir kali gue nangis kayak gitu waktu pemakaman Oma, sebelum petinya ditutup. Membayangkan bahwa itu terakhir kalinya gue melihat wajah Oma membuat gue menangis sejadi-jadinya.

Gue rebahan di tempat tidur dalam kegelapan. Deru suara AC samar-samar terdengar mengiringi setiap pikiran gue. Obat penenang yang diberikan dokter benar-benar tidak memberikan manfaatnya untuk menenangkan gue. Memang mata gue jadi ngantuk dan pengen nutup tapi pikiran gue berputar terus seperti mesin yang terus bergerak selama 24 jam non stop. I've been losing sleep. 

Gue kepikiran dengan masalah yang sedang gue hadapi, kepikiran apa yang harus gue lakukan, gimana jalan keluarnya, dan masih banyak lagi. Semakin dipikirin, semakin gue ketakutan. Rasa penyesalan karena gue kurang hati-hati terus menghantui gue. Kekecewaan yang gue berikan untuk bokap nyokap sangat menyiksa gue. The feeling of being abandoned hurts me so bad. I feel like... an outcast. And being hurt by a significant one, just added some more pain. Plus sakit fisik yang gue alami, apalagi mengingat pipi gue yang lagi kayak bokong gajah. Pada akhirnya gue menangis, perlahan awalnya hingga akhirnya gue nangis gemeteran.

I hated it so much. Gue tidak suka berada dalam posisi yang lemah, berada dalam posisi yang disudutkan. Feels like I'm powerless and I hate it. Rasanya gue seperti kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih, untuk menghadapi masalah. Gue tidak suka dengan situasi yang seperti ini dan gue tidak suka menangis. Tapi semua perasaan yang gue rasakan; rasa takut, penyesalan, sedih, kecewa, putus asa, marah, semuanya benar-benar menyesakkan dada, yang pada akhirnya tumpah menjadi sebuah tangisan.

Rasanya masih sulit untuk bisa menerima kenyataan kali ini meskipun gue tahu, cepat atau lambat, gue tetap harus mengambil langkah pertama, yaitu menghadapi kenyataan. Setelah menumpahkan semua perasaan yang menyesakkan dada, gue merasa sedikit lega dan akhirnya bisa tidur lelap untuk pertama kalinya. Tapi gue tahu masalah masih belum selesai dan gue harus menghadapinya.

Saturday, 19 March 2011

Sial Pangkat Sepuluh

Dear blog,

Gue sedang ketiban sial. Sial pangkat sepuluh. Apa yang bisa lebih sial daripada kena jambret di pagi hari? Gue dijambret di depan bank, waktu turun dari mobil. Gue diserempet dua jambret yang naik motor, duit di tangan gue raib dan helm salah satu jambret kena muka gue. Rasanya seperti ditinju Mike Tyson dan sekarang pipi gue yang memang udah chubby, jadi tambah bengkak seperti bokong gajah dan membuat mata kanan gue semakin sipit. Gue jadi kehilangan kecantikan deh dan bahkan gue ogah melihat wajah gue di cermin karena gue terlihat seperti... gajah bengkak! Asyem banget kan, blog?!

Gue nginap di rumah sakit semalam dan keluar tadi pagi. Langsung ke tukang urut langganan, nenek-nenek usia 76 tahun tapi masih sehat walafiat dan rokoknya juga yang tagline-nya "pria punya selera". Neneknya tua-tua keladi, alias tua-tua kekuatannya masih menakjubkan. Gue diurut seluruh badan dan sakitnya minta ampun sampai gue pengen pipis di celana. Selama tiga hari ke depan gue masih harus terus diurut. Hmm... sepertinya gue harus bawa pispot kalau mau urut.

Seluruh badan gue rasanya sakit seperti habis dilindes gajah (kebetulan bokongnya lagi ada di pipi gue.) Menggerakkan tangan sedikit aja rasanya seluruh badan gue mau remuk. Ngetik curcol ini dengan penuh perjuangan. Sekarang gue tahu gimana rasanya tidak memiliki tangan.

Badan sakit tapi pikiran terus berjalan. Bahkan obat penenang yang diberikan dokter tidak mampu menenangkan pikiran gue. Yang terus-terusan muncul di pikiran gue: nanti duitnya mau gue ganti pake apa????? Gue sumpahin si jambret cegukan 10 tahun, dan yang helmnya menghantam wajah gue, cegukan 20 tahun. Sekarang gue cuma bisa bengong di rumah sambil ngeliatin Bontot main The Sims.

I am beyond PMS, blog. Gue sedang berada dalam situasi bad mood yang terparah yang pernah gue alami, and this is gonna take me down for days. Hhhhhhhh... Dan sepertinya gue mengalami geger pipi yang parah sampai-sampai gue bicara dengan blog.

Wednesday, 16 March 2011

Dad, sometimes you are so... unpredictable

Gue membaca sebuah tulisan yang menarik, yang di-posting oleh seorang bloger yang blognya gue subscribe. Tulisannya tentang bokapnya yang nge-add dia di Facebook dan membuat dia, as I quote, "weirded out". Ya iyalah, rasanya memang agak aneh kalau ada orang tua di friend list FB.

Nah, blogernya nyeritain gimana anehnya ketika dia menerima friend request dari bokapnya, padahal mereka juga setiap hari ketemu dan hubungan mereka di dunia nyata juga cukup dekat. Lantas gimana rasanya "berteman" dengan bokapnya di dunia maya? Well, ternyata bokapnya orangnya cukup "cool". Good for him.

Membaca tulisan si bloger, gue jadi berpikir soal hubungan Papa dengan ketiga anaknya. Papa pernah meminta Bontot untuk membuatkan account FB. FB-nya udah jadi dan gue menerima friend request dari Papa (atau Bontot, karena dia yang bikin account-nya.) Gue ingat sebelum gue klik "Accept", gue sempat melihat-lihat kembali postingan di wall gue. Takut ada yang aneh-aneh, hihihi. Udah selesai bersih-bersih, gue "terima" permintaan teman Papa. And now there he is on my friend list. (Anyway, gue ngomongin FB asli lho ya.) Begitu juga dengan dua adik gue, di friend list mereka ada Papa.

Hubungan Papa dengan anak-anaknya bisa dikatakan "kurang dekat". Gue pernah ceritain soal itu di sebuah artikel Sepoci Kopi. Gue males ceritain lagi deh, heheh. Sekarang, setelah kembali tinggal di bawah satu atap, interaksi gue dengan Papa hanya sekedar urusan kerjaan... no deep and emotional conversation. Kesannya Papa selalu sibuk sendiri dengan urusannya sendiri. Dan hubungan di dunia maya juga gak ada bedanya. Sama sekali tidak ada interaksi melalui FB. Jadi, mau di dunia nyata maupun dunia maya, hubungan Papa dengan anak-anaknya tidak dekat.

Pernah sekali Papa bertanya siapa teman-temannya di FB nya Bontot. Dan itu mengindikasikan bahwa kemungkinan besar Papa tidak hanya membuka profil FB Bontot, tapi juga profil gue dan adik gue yang satu lagi. Tapi ya, banyakan manusia-manusia yang enggak gue kenal juga sih di FB gue itu. So, no problemo. But still... no interaction. The point is, tidak ada satu pun dari ketiga anaknya yang dekat dengan Papa.

Seperti yang gue bilang di judul di atas, Papa itu memang terkadang unpredictable. Maksudnya, kadang dia bersikap dingin tapi kadang juga sikapnya bersahabat, misalnya dengan melontarkan lelucon saat sedang kumpul keluarga. Seperti kejadian beberapa hari yang lalu, malam itu gue sedang duduk di kursi sambil menghadap laptop. Papa tiba-tiba datang dengan membawa sebuah botol kecil yang ternyata isinya vitamin rambut. Papa bilang, "Ci, coba pakai ini deh." Terus Papa langsung netesin vitaminnya ke rambut gue. Di situ ada adik gue yang tengah, dan Papa juga melakukan hal yang sama ke dia.

Cukup mengejutkan bukan? Papa yang biasanya sibuk sendiri, tiba-tiba peduli dengan rambut gue dan adik gue. Ketika gue melihat Papa meneteskan vitamin rambutnya di kepala adik gue, gue melihat sebuah pemandangan yang... apa ya kata yang tepat? Sebuah pemandangan yang... janggal. Yep, "janggal" adalah kata yang tepat.

Beda banget dengan Mama yang rasanya selalu bisa menunjukkan rasa sayangnya melalui tindakan nyata, seperti misalnya mencium pipi gue dan adik-adik gue. Kadang juga di malam hari di saat gue seperti sedang tidur lelap, Mama suka membelai kepala gue. Sementara Papa, yah, palingan hanya di saat-saat tertentu saja, seperti misalnya saat memberikan ucapan selamat ulang tahun, anak-anaknya biasanya memberikan salemat sambil mencium kedua pipinya. Makanya gue bilang janggal karena jarang banget, enggak pernah malah, Papa bisa tiba-tiba peduli dengan rambut anak-anaknya, padahal biasanya juga Papa kelihatan tidak peduli.

Tapi ya, though it looked awkward, it was kind of sweet, actually :). Somehow it shows that he cares for us and the most important thing is that he loves us. We love you too, Dad :). I must admit that it's easier to write it here than to say it directly to him. Besides, there are certain things that is easy to feel but harder to say, right?

I am sure that Dad feels the same. He loves us, only he never had the courage to say it. It'll be awkward, anyway, for the four of us. So, I'd prefer him to stay unpredictable because it's a precious moment for me as it rarely happen when he actually act on what he feels toward us. 

Tuesday, 15 March 2011

The First Step

Setelah bertemu minggu yang lalu, gue masih kepikiran soal teman gue, yang gue tulis di postingan "That is okay to be not okay". All right, it seems that I have to give names to all my friends who I'd write about here in my blog. This one I name her Ruth (of course it's fictitious.)

Gue sempet ngobrol sebentar dengan Ruth di telepon. Apparently, things aren't getting better yet for her, dan sekarang gue jadi semakin kepikiran. Yang membuat gue semakin terkejut adalah bahwa tidak ada satu pun dari teman-teman dekatnya yang lain, yang tahu mengenai masalah-masalahnya. Seems like she's hiding it from them. 

Kenyataan bahwa Ruth menyembunyikan masalahnya dari teman-teman dekatnya jelas membuat gue semakin khawatir. Hanya menjadi pendengar untuk dia jelas tidak cukup. Buat gue, gue harus melakukan sesuatu untuk membantu dia. Masalahnya, gue gak tahu gimana caranya atau apa yang harus gue lakukan.

Gue mencoba memberi saran dengan meminta dia supaya meceritakan masalahnya kepada salah satu temannya. Siapa tahu di antara mereka ada yang bisa membantu. Tapi dia menolak dengan alasan bahwa mereka tidak akan bisa mengerti. (I think I'm lucky that I have some really good close friends.) Lagipula, katanya, tidaklah mudah untuk menceritakan kembali apa yang sudah dia cerita ke gue sebelumnya. Rasanya menyakitkan kalau harus kembali mengingat semua masalahnya. Dan yang tersulit adalah harus mengakui bahwa hidupnya tengah berantakan... segala sesuatu tidak seperti yang dia harapkan... everything turned to the wrong way and it's hard to accept. 

Perkataannya membuat gue berpikir bahwa setiap orang pasti akan sulit menerima kenyataan jika segala sesuatu tidak berjalan sesuai harapan. Setiap orang tidak akan bisa menerima hal-hal yang tidak diharapkan yang justru terjadi. Everyone is in denial... and it'll come to a phase where they're desperately thinking that everything will never turn to their ways.

I know she's not okay... I am not okay... and that is okay. Tapi akan tiba suatu keadaan di mana penghiburan terasa hambar. Cepat atau lambat akan tiba saatnya untuk menghadapi semua masalah. Dan langkah pertama yang harus ditempuh adalah menerima kenyataan, menerima bahwa keadaan kita tak selamanya akan baik-baik saja. The thing is, the first step is always the hardest thing to do. Untuk seseorang dengan ego dan ambisi yang besar, akan terasa semakin sulit untuk menerima dan akan selamanya berada dalam posisi denial.

Gue seperti diingatkan bahwa untuk bisa melanjutkan kehidupan, gue harus mengambil langkah pertama. Bukankah ribuan langkah selalu dimulai dengan langkah pertama? The say, "deal with the world the way it is, not the way you wish it was." Mungkin dengan begitu akan bisa lebih mudah untuk mengambil langkah pertama... dan segala sesuatu akan lebih mudah dihadapi. Well, I hope this quote works its magic...

Sunday, 13 March 2011

Fears

Untuk yang ketiga kalinya gue mengunjungi om gue, kakak ipar Papa, di rumah sakit. Sejak masuk rumah sakit minggu lalu hingga saat ini, om gue belum sadar dan masih dirawat di ruang ICU. Di usianya yang ke-71, om gue harus terbaring lemas di rumah sakit dan tidak sadarkan diri dan dari suara nafasnya terdengar seperti ia mengerang kesakitan.

Setiap kali datang berkunjung, gue selalu kepikiran that it could be me lying on the bed, maybe in 50 years ahead. Dan seketika ada rasa takut yang menjalari tubuh gue. Iya, gue takut bahwa gue akan seperti itu suatu hari nanti. Feeling the pain and dying... Unimaginable. It was until I had a dream the other night. Di mimpi itu gue menderita sakit parah dan divonis bahwa hidup gue tak akan lama lagi. Di mimpi gue ada Mama dan gue bisa melihat betapa sedihnya Mama. How does it feel to lose a child? Gue juga bisa merasakan ketakutan gue sendiri. I was dying... in pain... and scared. Thanks God it was only a nightmare.

Barusan gue melayat ke rumah duka karena ada teman gerejanya Mama yang meninggal. Dan sama seperti ketika gue melihat om gue terbaring lemah tak berdaya, gue juga berpikir that one day it could be me lying there, not breathing, entah besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau bertahun-tahun kemudian. How many people will come to see me for the last time? To say their last goodbyes? Will my friends be there? Will my family cry? Sekali lagi gue merasa ketakutan membayangkan jika hal itu terjadi.

Hari Jumat kemarin, setelah bertahun-tahun kemudian, kota kelahiran gue untuk yang kedua kalinya heboh karena isu tsunami. Kali ini karena imbas dari tsunami Jepang (my pray for people in Japan.) Bisa diabayangkan betapa paniknya orang-orang. Semuanya ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri beserta keluarganya ke dataran yang lebih tinggi. Setiap orang berusaha menghubungi kerabat atau sanak saudaranya untuk segera mengungsi atau sekedar mencari tahu kabar dari mereka. Kepanikan melanda dan menjangkiti setiap orang, jalanan macet parah dan ada tim SAR di mana-mana, yang justru menurut gue malah menambah kepanikan dan ketakutan.

Gue dan keluarga tentu juga ketakutan. Untungnya rumah gue berada di daerah yang cukup tinggi. Masalahnya adalah Bontot sendirian dan kost-nya hanya berjarak beberapa meter dari pesisir pantai. Jelas gue jadi semakin ketakutan. Takut dia kenapa-kenapa. Jadi hari itu, begitu mendapat kabar dari seorang kerabat, gue langsung menuju kost Bontot. Syukurlah bahwa semuanya ternyata baik-baik saja. Even now, people are making fun of it.

What I'm telling here is that everyone has fears... fear of pain, fear of dying, fear of losing a significant one, fear of leaving someone, or even fear of being alone. Somehow, no matter how much fear we endure, we'll have to face it. Just face it and maybe it'll get better in time... Well, who knows what future holds after all?

Saturday, 12 March 2011

Living in Dorm (Part 3)

Yup, here's the third and last part of my story living in dorm. 

Tahun Ketiga

Tahun ketiga artinya gue memasuki kelas 3 SMP. This time I got back to the dorm as a low profile dweller. Heheh... Lagipula, gue udah puas berhura-hura di tahun kedua, and it didn't really fit me. You know... being a bad girl and a rebel. It just didn't feel right :).

Reputasi yang gue peroleh di tahun kedua masih tetap menempel meskipun gue tidak lagi mejabat sebagai ketua, karena biasanya anak kelas 3 tidak lagi menjabat sebagai petinggi karena harus fokus dengan ujian akhir. Tapi gue tetap menjaga aliansi gue dengan para (troubled) senior, just in case something happen. Dengan begitu, gue masih tetap ditakuti oleh adik-adik kelas, apalagi oleh para junior yang baru masuk. Makanya gue menjadi andalan mereka untuk minta perlindungan.

Tahun ketiga menjadi tahun yang penting buat gue, bukan hanya karena gue harus mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir tapi juga karena di tahun ini gue mulai menyadari sesuatu. I begin to feel that there's something different with me. Dan karena gue tidak lagi sibuk dengan urusan mencari ketenaran dan messing around, serta sibuk dengan tugas sebagai ketua, gue jadi punya sedikit waktu untuk memikirkan: why do I have crush on girls??? Bukan hanya tertarik dengan satu perempuan, si senior dengan tatapan sadis, tapi dengan dua perempuan. Satunya lagi adalah penghuni baru, anak SMP, yang pendiam dan pemalu banget dsehingga menjadi bual-bualan anak kelas 2 yang, seperti gue dulu, sok keren dan sok jago. She was under my protection and ever since no one dare to touch her.

Satu-satunya hiburan di asrama yaitu musik. Gue tumbuh bersama lagu-lagunya Britney Spears, M2M, Backstreet Boys, Boyzone, Shania Twain, yang diputar di walkman yang harus disembunyikan dari suster kepala karena memang dilarang membawa alat elektronik. That time, I was crazy about Britney and even dreaming about dating her, while the other girls were crazy and dreaming about dating Nick Carter or Ronan Keating. Saat itulah gue sadar bahwa ada yang salah dengan diri gue.

Waktu itu gue masih terlalu polos untuk mengerti apa yang sebenarnya gue rasakan, meskipun semakin hari gue merasa semakin tertarik dengan si senior dan adik kelas gue. Mungkin kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaan gue saat itu adalah: bingung. Iya, gue bingung. Kok bisa gitu sih? Dan di tengah kebingungan, I found out that I sometime staring at the other girls in the bath. And I mean stare "stare". Pervert banget gak sih? Hihihi. Well, I was just exploring *ngeyel* =P.

Ketika itu gue masih belum memasuki tahap di mana gue ketakutan karena gue sendiri masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi dengan diri gue. Masa itu baru terjadi ketika gue kuliah. Makanya dibilang gue telat meletek. Asem. Saat itu gue cuma menikmati aja kebingungan gue itu, sementara gue jadi semakin dekat dengan senior bertatapan sadis itu karena sebuah pertanyaan bodoh yang gue lontarkan: "nipple apaan sih?" Maklum, vocab Bahasa Inggris gue dulu itu cuma sebatas 'yes' dan 'no'. Now that I'm thinking about it, why the hell did she talk about nipple with other girls in bedroom??? Hmmm...

All in all, I didn't put so much thought on my confusion karena pikiran gue seringkali teralihkan dengan ujian akhir serta beberapa kejadian yang menggemparkan seluruh penghuni asrama.

Di pertengahan tahun, ada seorang penghuni yang sering sakit-sakitan, sering pingsan juga. Pernah sekali dia pingsan di depan kamar mandi dan untungnya gue lagi berdiri tepat di belakang dia. Akhirnya teman gue itu meninggal dunia. Tentu saja seluruh penghuni dibuat geger karenanya. Malam hari tidak ada seorang pun yang berani tidur sendirian. Semua maunya tidur berdua atau tempat tidurnya didempetin. Mana ditambah lagi katanya tempat tidurnya teman gue itu spooky. Sejak saat itu gak ada lagi yang berani ke kamar mandi sendirian.

Kejadian lainnya yang bisa gue ingat dengan jelas, yang terjadi tiga hari setelah kematian teman gue itu adalah "nangis masal". Waktu itu, tiba-tiba beberapa penghuni nangis saat lagi jam belajar. Enggak tahu kenapa mereka nangis, tapi kejadiannya tiba-tiba aja gitu. Tahu-tahu sebagian penghuni yang lain jadi ikutan nangis. Nah lho, apa pula yang terjadi ini? Konon katanya itu ulah salah seorang penghuni asrama yang berasal dari daerah yang terkenal dengan ilmu perdukunannya (look how stereotype people can be), yang katanya memang lagi ada masalah dengan suster kepala. Cukup menghebohkan sehingga melibatkan doa bersama dengan para suster di biara.

Tahun ketiga merupakan tahun terakhir gue di asrama. Well, sebenarnya bagi seluruh penghuni juga karena di akhir tahun ajaran pihak yayasan memutuskan untuk melakukan pemugaran. Makanya semuanya diusir dulu, hihihi. Lagian itu bagunan memang gak layak tinggal juga. Semuanya serba angker di dalam sana.

Di akhir tahun gue lulus ujian. Hari itu juga gue langsung packing barang-barang dan meninggalkan asrama dengan banyak kenangan yang kalau gue ingat-ingat sekarang, bisa membuat senyum-senyum geli. Di sana gue bisa bertemu banyak teman sekaligus musuh juga. Di sana gue menemukan "my first crush" dan jelas menjadi tempat dimana gue menyadari awal dari orientasi seksual gue.

Last but not least, asrama memberikan gue sebuah pelajaran untuk bisa bertahan hidup dalam kesendirian. Gue bisa jadi lebih mandiri dan belajar banyak mengenai tanggung jawab terhadap banyak hal, terutama terhadap kepercayaan yang diberikan oleh orang tua. Itu sebabnya kenekatan gue untuk terus merantau bahkan ke tempat yang semakin jauh dari rumah justru malah disetujui. Dan karena tinggal di asrama, gue jadi memiliki sebuah kenangan masa muda yang indah :).

The End.


Ps. I decided to just write a proper story. Artinya, kisah-kisah yang gue tulis hanyalah kisah yang menurut gue layak untuk dipublikasikan demi menjaga privasi orang-orang yang terlibat dalam cerita gue. So, no cerita "ehem-ehem". Hihihi... ;)

Friday, 11 March 2011

Living in Dorm (Part 2)

Sorry for the late post. Maklum, (sok) sibuk :p. So, here's the second part of the story.

Oia, sebelum lanjut, gue mau ngasih tahu kalau di asrama itu terbagi atas 2 kelompok: yang pertama kelompok anak-anak SMA dan yang kedua kelompok anak-anak SMP. Jumlah anak SMA saat itu jauh lebih banyak, baik itu yang baru masuk maupun yang udah senior. Sementara anak-anak SMP merupakan angkatan pertama waktu itu dan jumlahnya hanya sekitaran 15 orang. Gak heran kan kalau ditindas dengan ganas.

Tahun Kedua

Tahun kedua gue di asrama merupakan tahun kebesaran gue. I ruled that place, hihihi. Memasuki tahun ajaran baru, jelas ada anak-anak baru lagi yang masuk, baik itu SMP atau SMA. Ketika saatnya kembali ke asrama, gue tibanya telat. Ternyata mulai tahun kedua ini, kamar anak-anak SMP dan SMA dipisah karena jumlah anak SMP bertambah menjadi sekitar 25-30 orang. Karena gue datangnya telat, gue kehabisan tempat tidur. Asem banget deh. Masa sih tempat tidurnya kurang??? Untungnya masih ada tempat tidur yang kosong di kamar anak-anak SMA. Nah, ternyata kesialan gue malam itu berbuah keberuntungan nantinya buat gue.

Dengan jumlah yang semakin banyak, maka suster kepala memutuskan bahwa harus ada ketua dan wakil ketua untuk kelompok SMP karena sebelumnya ketua asrama bertanggung jawab untuk seluruh penghuni. Gue bilang tadi kalau tahun kedua ini merupakan tahun kebesaran gue. Well, gue dipilih menjadi ketua asrama untuk kelompok SMP dan teman gue yang berasal dari SD yang dengan gue menjadi wakilnya. Dengan jabatan ketua asrama di tangan gue, maka mulailah gue membangun kerajaan sendiri (lebaaaayyyy).

Kesialan gue tidak mendapat tempat tidur di kamar SMP kini mulai berganti menjadi sebuah keuntungan buat gue. Karena gue tidurnya bareng anak-anak SMA, gue jadi bisa temenan dekat dengan beberapa anak SMA yang baru maupun yang senior.

I figured bahwa hidup di asrama itu sama seperti hidup di hutan dengan hukum rimbanya, yaitu siapa yang kuat dialah yang bertahan hidup. Kayak kalau tiap musim hujan, asrama pasti banjir. Lagi tidur tahu-tahu sandal-sandal sudah mengapung di air yang sudah setinggi pergelangan kaki orang dewasa. Jadilah para penghuni harus mengungsi ke biara yang letaknya agak sedikit lebih tinggi sambil membawa kasur, bantal dan selimut. Tuh, gimana gak harus tahan banting kalau begitu?

Ketika seorang senior yang terkenal dengan tatapan sadisnya, yang dulu nyuruh-nyuruh gue cuci piring selama satu minggu penuh, beberapa kali minjem duit ke gue, gue melihat ada sebuah peluang untuk mulai membentuk aliansi. Kali ini gue gak mau ditindas begitu aja. Jadi pinjam duit boleh aja. Ganti gak diganti, gak masalah, tapi harus menjadi "pelindung" buat gue. (Ada kebiasaan bahwa seorang senior pasti mempunyai "adik angkat" di sana.) Later on, I found out that I had a crush on her. Sejak saat itu gue mulai merajut aliansi satu per satu dengan para senior. Kata teman gue ya, gue kalau jadi politikus pasti bakalan sukses karirnya hahaha. 

Jabatan ketua ada di tangan gue dan menjalin aliansi dengan beberapa senior jelas mengukuhkan posisi gue (sombong deh hihihi). Ditambah lagi dengan rasa bebas yang gue peroleh, well... you imagine good girl gone bad. And I mean pretty bad. Seperti kata Avril Lavigne,
"All my life I've been good, but now, whoa, I'm thinking what the hell
All I want is to mess around and I don't really care"
Yaaaay...!!!

I am now a bad, bad girl, ladies. Bayangin ya, secara tidak langsung gue membuat musuh bebuyutan gue dari awal masuk asrama hengkang. Karena dia cengeng banget, dikit-dikit nangis, dikit-dikit mewek, gue gatel-gatel kalau dekat-dekat dia. Dan ternyata banyak yang gak suka karena dia cengeng. Setelah gue melakukan konfrontasi, ternyata banyak yang mendukung dan akhirnya dia hengkang karena gak tahan. Yes, I can be mean, too. Hehehe.

Reputasi gue sebagai "bad girl" semakin dikukuhkan with having a cat fight, yang melibatkan tampar-tamparan, cakar-cakaran dan baku pukul, dengan salah satu penghuni satu angkatan dengan gue karena dia nyolot banget sama gue. Dan yang membuat gue jadi semakin terkenal adalah karena perkelahian sengit gue dengan seorang penghuni baru, anak SMA.

Waktu itu giliran meja gue cuci piring. Ada beberapa orang teman gue di meja itu, baik yang SMP maupun yang SMA. Dan ada juga salah satu senior yang terkenal paling judes serta pengikut setianya. Gue kebagian tugas membilas piring yang udah selesai disabunin, sementara si pengikut setia tugasnya membilas gelas. Kurang ajarnya, kerannya dipakai sendiri buat dia membilas gelas padahal tumpukan piring gue ada banyak banget. Gue tegur supaya gantian sama gue pakai kerannya, eh, dia malah cari gara-gara. Gue ambil satu gelas yang udah dibilas dan lempar ke loyang yang isinya air sabun. Airnya nyiprat ke baju dia. Dia balas siram gue pakai air, gue balas juga siram dia. Akhirnya malah siram-siraman dan terakhir gue siram dia pakai air sabun cuci. Mana dia badannya bongsor, jauh lebih besar dari gue. Ibaratnya kayak Daud vs Goliat. Gue udah siap-siap kalau dia membalas, tahu-tahunya dia diam terus nangis. Gue bengong... semua yang ada di dapur ikutan bengong... Tiba-tiba si senior judes ketawa ngakak. Badan doang gede, tapi cengeng. Sejak saat itu dia dendam kesumat sama gue, apalagi karena seniornya cuma diam aja. Ya iyalah, dia temenan sama senior yang tatapannya sadis, yang jelas-jelas adalah aliansi gue gitu lho. Yes, I won. Hihihi.

Gak sampai di situ aja. This time I turned into a rebel. Yep, dimentori oleh para senior yang doyan cabut dari asrama dan manjat pagar, gue jadi ikut-ikutan kabur. Waktu itu gue memimpin sekelompok anak SMP untuk kabur dari asrama demi menonton... Kuch Kuch Hota Hai, di bioskop. Yeah yeah, I know it's lame. Tapi itu udah keren banget waktu zaman gue dulu, hahaha. Ternyata ketahuan sama suster kepala dan gue serta teman-teman yang lain dihukum cabut rumput di halaman asrama selama satu minggu. Sampai sekarang gue gak tahu siapa yang lapor. Damn...

The second year ended with so much glorious for me. Gue masuk 3 besar di sekolah dan tugas-tugas gue sebagai ketua terlaksana dengan baik. And I got respect from all (troubled) seniors. Awesome, yes.

To be continued...

Ps. Lagi jam kerja soalnya... hihihi.

Wednesday, 9 March 2011

Living in Dorm (Part 1)

Waktu ketemuan dengan teman lama hari Minggu kemarin, selain curhat-curhatan, gue berdua juga sempat bernostalgia sedikit waktu dulu masih tinggal di asrama. So, let me tell you the story of me living in a dorm. 

Tahun Pertama

Keputusan Papa untuk mendaftarkan gue di sebuah sekolah Katolik dengan layanan asrama khusus perempuan, jelas menuai protes. Protes yang pertama datang dari Oma, yang jelas karena tidak mau jauh dari cucu tercintanya. Protes yang kedua datang dari Mama, meskipun pada akhirnya Mama setuju dengan keputusan Papa. Protes yang ketiga datang dari seorang suster yang menjadi pembimbing Legio Maria dan Putera-Puteri Altar (PPA) waktu gue SD dulu, dan berhubungan cukup dekat dengan keluarga gue, dengan alasan usia gue masih terlalu muda untuk bisa hdiup jauh dari keluarga. Masih SMP kelas 1, bok!

BTW, gue bisa membayangkan kalau seandainya teman-teman Legio Maria dan PPA gue tahu that I'm gay, pasti bakalan heboh. Bisa gue bayangkan mereka akan bilang "astaga, lo kan dulu rajin ikut Legio Maria dan tiap hari Minggu pasti misdinar di gereja. Kok bisa sih lo jadi lesbi???", dengan suara melengking tertahan ketika menyebutkan kata terakhir, in disbelieve. Hmm... pasti seru!. (Not that I'm waiting for that moment to happen... not in so many years.)

Kembali ke cerita. Dengan didukung Mama, maka keputusan Papa tetap dijalankan dan pada akhirnya gue lulus tes dan diterima juga di asrama. Sekolah akan dimulai dan artinya gue harus segera mengungsi ke asrama.

Asrama yang gue maksudkan di sini adalah sebuah gedung tua, yang dari bentuk dan desain ruangannya, kemungkinan besar adalah bekas rumah sakit di masa penjajahan Belanda dulu. Lantainya tanpa keramik, setiap ruangannya luas dengan jendela kayu, berandanya mirip beranda rumah sakit, kamar mandinya luas dengan bak panjang di tengah dan dengan penerangan yang temaram (benar-benar suasana yang angker ketika kebelet di tengah malam), dan kamar tidurnya terlihat seperti bangsal rumah sakit di mana para pasien terbaring sakit di atas tempat tidur (persis seperti di film-film perang zaman dulu) dengan tempat tidur besi dua tingkat lengkap kelambunya.

The very first month is like living in a hell. I believe I live in one. Sejak hari pertama, selama seminggu penuh, anak-anak baru digembleng oleh para kakak-kakak asrama, in a meanest way as you can imagine. Semua anak baru mendapatkan perlakuan yang semena-mena, yang katanya sebagai bagian dari pengenalan asrama. Meskipun gue tidak mengerti dengan arti "pengenalan" dalam setiap tindakan semena-mena mereka, gue mau gak mau harus melaksanakan perintah, karena sudah seperti itu tradisinya secara turun-temurun, termasuk disuruh cuci piring selama seminggu penuh oleh seorang kakak asrama yang di kemudian hari malah menjadi aliansi gue (I'll tell you about that later on the next part). 

Selama satu minggu masa "pengenalan" (gue lebih suka menyebutnya masa "penindasan"), gue benar-benar enggak tahan. Tiap hari gue homesick, kangen rumah, kangen Oma, pengen pulaaaaaang... dan tiap hari pasti nangis. Selama seminggu penuh itu Mama terus-terusan datang berkunjung, padahal hari berkunjung cuma hari Kamis dari jam 5 sore sampai jam 6 (cuma 1 jam loh!?!?!?!), dan setiap kali Mama hendak pulang, gue pasti menangis meraung-raung gak bolehin Mama pulang; gak boleh pulang atau gue yang ikut Mama pulang. Tapi Mama punya jurus ampuh yang membuat gue akhirnya nyerah; tetap di asrama atau pulang dan gak usah sekolah. DOENG! Mau jadi apa gue kalau gak sekolah??? Mama menang, gue kalah. Telak.

Di bulan kedua gue sudah mulai merasa enjoy, udah punya banyak teman dari berbagai daerah, udah mulai terbiasa dengan kegiatan sehari-harinya, udah terbiasa mandi bareng puluhan perempuan lainnya (half naked... hihihi) dan tidur bareng di ruangan yang supeeeeerr luas. Kegiatan setiap hari anak-anak di asrama itu ya kayak gini:
4 am: Suster kepala asrama udah bunyiin lonceng. Apalagi suster kepala asrama itu kalau jalan kakinya diseret. Jadi sebelum lonceng dibunyikan, suara langkah kaki susternya udah duluan kedengeran karena gue tempat tidurnya di dekat jendela, yang konon katanya it's a spooky window, karena seorang suster Belanda dulu sering melongokkan kepalanya di situ demi mengawasi anak-anak asrama yang tengah tidur (damn creepy!) 
6 am: Ikut misa pagi di Katedral. Enam hari dalam seminggu, Senin-Sabtu, gue ikut misa. Makanya hari Minggu gue ogah ke gereja, hehehe. Pulang gereja langsung sarapan pagi bersama lalu siap-siap berangkat ke sekolah.
1 pm: pulang sekolah, langsung makan siang. Setelah itu kegiatan bebas, entah mau tidur siang atau cuci baju. Tapi gue lebih memilih tidur siang dong. Baju kotor bisa dibawa pulang dan dicuci di rumah, hihihi.
4 - 5 pm: Belajar dengan diawasi suster kepala.
5 - 6 pm: Rekreasi. Bebas mau ngapain. Mau main kek, mau makan pisang goreng kek, terserah.
6 - 7 pm: Belajar lagi.
7 - 8 pm: Makan malam bersama.
8 - 9 pm: Belajar lagi dan lagi. (Tuh gimana gue gak pinter dan jadi langganan 5 besar di sekolah, wong belajar melulu sampai bego sendiri).
9 pm: Doa malam bersama, and then time for bed, sleepy heads!

Semua penghuni wajib mengikuti setiap kegiatan yang sudah ditetapkan dan wajib mematuhi seteiap peraturan yang berlaku. Kegiatan yang padat dan peraturan yang ketat menjadi bagian dari kehidupan gue di asrama. Somehow, dibalik segala sesuatu yang teratur dan peraturan-peratuan yang ketat itu, gue menemukan sebuah kebebasan... Kebebasan menjalani hidup sendiri dan jauh dari keluarga. I feel freedom, ladies! Freedom that later brings me to an adventurous journey (halah, lebay deh gue).

To be continued...

Ps. Nanti gue lanjutin lagi dengan cerita gue tinggal di asrama di tahun kedua dan ketiga, yang tentu saja jauh lebih menyenangkan daripada tahun pertama, hehehe. Kepanjangan soalnya, bok. Dan gue harus gereja sekarang karena hari ini Hari Rabu Abu. Yuk, mare...

Monday, 7 March 2011

That is okay to be not okay

Hari ini gue makan malam bareng seorang teman asrama gue. Ini pertama kalinya gue dan dia bisa keluar dan jalan-jalan bareng setelah sekian lama. Even after I'm home for good, masih tetap susah buat ketemuan. Dan waktu nikahan teman gue yang satu lagi, yang jadi ajang pamer boobs itu, dia ternyata berhalangan untuk hadir.

Selesai antar bontot ke kost, gue langsung jemput teman gue di rumahnya. Kebetulan ada nyokapnya jadi gue sekalian salaman dan ngobrol sebentar sama nyokapnya. Dulu ya, nyokapnya sering banget kirimin makanan buat dia, yang ujung-ujungnya dibagi buat gengnya kita. Pokoknya sejahtera banget deh kalau dia udah dapat kiriman, hehehe.

I must say I was pretty excited to finally meet her, karena memang udah lama banget, banget, banget enggak ketemuan. Mungkin terakhir ketemuan itu waktu dia lulus SMA dan pindah dari asrama. Beberapa tahun yang lalu sempat ada acara reunian, tapi gue-nya yang berhalangan hadir karena kuliahnya gue di Jakarta. Jadi begitu tiba di rumahnya, langsung aja heboh, cipika-cipiki, peluk sana peluk sini.

Kita berdua langsung menuju ke sebuah restoran di pinggir pantai dan teman gue bersikeras duduk di ruangan terbuka padahal angin lagi kenceng-kencengnya. Jadi gue kenyang sama steak sekaligus kembung kebanyakan makan angin. Di sana gue berdua banyak ngobrol, catching things up. Well, sebenarnya sih dia yang up date-in gue soal apa yang sudah dia alami di tahun-tahun belakangan, sementara gue (lagi-lagi) lebih banyak mendengarkan.

Teman gue itu mulai curhat mengenai masalah-masalahnya, yang ternyata seabrek-abrek. Gue aja sampe tercengang-cengang waktu dengerin cerita dia. Mulai dari masalah keluarga, pekerjaan, masalah dengan beberapa temannya. Bahkan soal dia yang yang merasa underpressure karena bokapnya pengen dia segera menikah, sementara dianya udah nyerah buat nyari-nyari. Dulu pernah pacaran 8 tahun dengan si A, tapi putus. Pernah juga pacaran 2 tahun dengan si B, putus juga. Pacaran dengan si C 2 bulan, putus lagi. And at the age of 26, dia menyerah. Katanya, "siapa aja yang datang ke gue, itu yang gue terima."

Sepanjang perjalanan pulang, gue jadi kepikiran dengan teman gue itu. I know she's not okay. I'm pretty much sure of it. Somehow, gue juga mengalami hal yang sama. I know I'm not okay. Hanya bedanya gue enggak tahu alasannya. Mungkin karena sebagian dari diri gue menolak untuk mengakui bahwa "I'm not okay". Entahlah...

Sebelum pulang gue bilang ke dia, "that is okay," untuk sekedar menghibur karena gue tahu dia merasa buruk dengan keadaannya yang disebabkan oleh masalah-masalahnya. Dan mungkin itu juga bisa menghibur diri gue sendiri that that is okay to be not okay. So all I have to do is just accept it... right?

Thursday, 3 March 2011

Where is the love?

Everyone wants love and to be loved, itu sudah pasti. And for sure everyone is finding love. Salah seorang teman gue selalu bertanya "kenapa ya kok gue kayaknya susah banget menemukan cinta?", dan semakin lama gue semakin kehabisan jawaban.

Sejak pertama kali gue kenal dia, dia sudah menjomblo bahkan hingga saat ini. Rasanya sudah bertahun-tahun sejak dia putus dengan pacarnya, yang memilih teman dekatnya sendiri (ouch!) Ever since, she falls from one man to another, only they don't feel the same to her. I can't help but feel pity for her. Gue sendiri juga bingung kenapa laki-laki yang disukainya malah enggak bisa membalas perasaannya. Padahal teman gue itu orangnya supel, easily make a friend with anybody, penampilannya selalu modis, karirnya bagus, pintar masak, rajin bersih-bersih. Pokoknya tipe istri yang ideal deh.

Jadi sekarang dia desperately pengen punya pacar dan jam biologisnya juga terus berdetak tanpa pernah soak batrenya. Ada beberapa cowok yang naksir tapi tidak pernah sesuai dengan tipe pacar yang dia inginkan. Gue juga jadi berpikir apa karena teman gue itu yang terlalu pemilih atau standarnya ketinggian, atau memang belum saatnya dapat jodoh? Well, I don't know.

Hari ini gue menghadiri pemakaman seorang kerabat keluarga yang masih ada ikatan famili karena masih satu marga dengan Mama. Di sana gue ketemu seorang kakek, yang dari gue kecil gue udah tahu kalau itu mantannya Oma gue dulu. Mereka berdua itu sama-sama cinta pertama. Jadi selesai pemakaman (yang dimakamkan itu adalah kakak perempuan sang kakek), gue, Mama dan si kakek sekalian ziarah ke makam Oma, karena kebetulan kuburannya berdekatan.

Itu pertama kalinya beliau ziarah ke makam Oma. Di sana kakek mulai bercerita tentang kisahnya dulu dengan Oma sambil sesekali merenung menatap batu nisan. Meskipun tidak jodoh, tapi cintanya tak pernah padam untuk Oma. Makanya dulu waktu Oma masih hidup, tiap kali beliau pulang ke Indonesia pasti selalu datang mengunjungi Oma. Bahkan sekarang pun, setelah Oma meninggal, pasti selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah.

Semua kelurga sang kakek, mulai dari saudara-saudara kandungnya, istrinya, anak-anaknya, keponakan-keponakannya, cucu-cucunya, tahu kalau Oma gue itu adalah cinta pertamanya. Jadi mereka maklum kalau beliau sayang sama Oma. Mereka juga udah tahu kalau sang kakek tiba-tiba menghilang, pasti ada di rumah gue.

Kata orang, itu namanya cinta sampai mati sekalipun tidak bersatu. Kata beliau, "tidak mengapa kalaupun tidak bisa bersatu di dunia fana, pasti nanti bisa bersatu di dunia lain." Maybe it's called the real love. Mama bilang kalau Oma itu beruntung karena ada seseorang yang mencintainya bahkan setelah lama meninggal.

Well, I guess mom's right. There are some (lucky) people like Granny, while some other are still finding, just like my friend. I can't help but smile, thinking that I had such a lovely granny who was loved not only by the man but many other people. 

I believe that we all will find the real love, eventually. Sooner or later, it'll come to you, either you're finding it or you just wait for it to come. There's love everywhere, anyway.