Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Friday, 14 December 2012

The Wedding

"Giliranmu kapan?" Itu pertanyaan yang seharian penuh dilontarkan kepadaku di hari pernikahan adikku.

"Wah, masih lama," jawabku asal saja.

"Keduluan si adik dong." Komentar lain yang turut disembur para undangan.

"Iya nih. Akunya masih belum jelas kapan, makanya kubiarkan saja dia menduluiku. Daripada dia depresi karena kelamaan menungguku. Ha ha ha," balasku, lebih asal lagi.

"Cepat-cepatlah kamu cari. Jangan kelamaan, nanti keburu tua." Komentar yang lain. Tak mau menyerah sepertinya mereka, sampai aku mengenakan baju pengantin. Idih, mau cari di mana? Apa perlu kupasang iklan di sini, begitu?Bunyinya: "Ayo, ayo, yang mau sama aku, mari mendaftar." Mending ada yang daftar ya. Tapi itu namanya sudah usaha, kan? Kalau dapat, ya syukur. Gak dapat, tragis. *kode Nita* Ha ha ha.

Jadi begitulah, pernikahan berlangsung dan aku sukses wara-wiri sehari penuh dengan high heels dan rambut yang terlalu banyak disemprot hair spray. Satu hal yang membuatku sadar saat itu, selain make up-ku yang tebal, adalah sekarang adikku yang satu itu telah memilih jalan hidupnya; berkeluarga. Sebuah keputusan yang kuharap telah dipikirnya baik-baik, mengingat usianya yang masih termasuk cukup muda untuk memulai sebuah keluarga. Sebagai seorang kakak tentu aku mengharapkan yang terbaik bagi keluarga barunya.

Sekarang tersisa aku dan Si Bungsu. Kupikir masih ada waktu yang cukup lama untuk dia juga melangkahiku, mengingat usianya yang terpaut 8 tahun dariku. Masih muda, masih hijau. Eh, tapi siapa tahu setelah pasang iklan lalu ada yang melamar? Ha ha ha!!!

Ah, sudah mulai meracau postingannya. Kuakhiri dulu sampai di sini. Pokoknya aku selalu mendoakan kebahagiaan dan keutuhan keluarga adikku. Dan tentu saja dengan senang hati kubiarkan dia menduluiku. Sudah dulu ya, mumpung sedang berada di luar kota, aku kepingin berburu makanan. Yuk!

Saturday, 10 November 2012

Getting Detach

Dalam sebuah obrolan melalui BBM dengan Nita, temanku, dia memberitahukan satu hal kepadaku, yaitu mengenai 'melepas kemelekatan', yang kuartikan sendiri sebagai 'getting detach'. Aku jadi ingat akan kenangan masa kecilku tentang aku dan si dot. Iya, dot yang diemut-emut itu. Aku benar-benar melekat dengan dot masa kecilku yang warnanya kuning itu sampai-sampai aku tidak akan bisa tidur tanpa mengemutnya. Tanpa dot, aku tidak akan sanggup hidup, dan si dot pun hanya akan tergeletak tak berdaya dan kesepian di dalam kulkas jika tidak kuemut (yang ini hiperbola banget deh). Maka tidak heran jika kami berdua tak terpisahkan sampai aku duduk di kelas 3 SD. Hingga akhirnya di suatu malam, orang tuaku memutuskan bahwa sudah saatnya aku lepas dari dot kuningku itu, dan tanpa berperikedotan mereka membuang si dot kuning di tengah malam nan gelap. Akupun menangis histeris karena kehilangan belahan mulutku (iya, kan diemut dimulut ya) malam itu dan malam-malam selanjutnya.

Kalau bukan karena keputusan orang tuaku untuk membuang si dot kuning, maka mungkin saja sampai aku menginjak usia yang tidak wajar lagi untuk mengemut dot, maka aku tidak akan sanggup melepas kemelekatanku dengan si dot kuning. Meskipun awalnya sangat sulit untuk membiasakan diri tidur tanpa dot kuning kesayanganku itu, tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa hidup tanpa si dot. Sama seperti sekarang, setelah aku tumbuh menjadi dewasa tanpa sadar aku kembali melekatkan diriku dengan berbagai hal. Bahkan ketika kelekatanku itu justru membuatku kerepotan, kelimpungan, atau bahkan mendadak masokis, tapi aku tidak sanggup lepas dari kemelekatan itu. Aku terlalu melekat dan baru aku sadar itu sungguh sangat tidak baik bagi diriku sendiri.

Beruntung aku diingatkan oleh temanku itu bahwa ada hal-hal yang harus aku sendiri lepaskan. Berbeda dengan kisahku dngan si dot kuning yang memaksaku harus melepasnya, kali ini harus datang dari diriku sendiri. Aku sendiri yang harus mengambil keputusan. Tidak ada orang lain yang bisa melepasnya kecuali aku, juga tidak ada orang lain yang bisa memaksaku kecuali datang dari keinginanku sendiri. Mau tidak mau, pokoknya harus lepas. Bagaimanapun caranya, pokoknya harus lepas. Seberapa sulitnya pun, harus lepas. Harus dan harus, kalau aku benar-benar mau membebaskan diriku dari setiap rasa dan pikiran yang menyiksa karena kemelekatan itu.

Pada akhirnya, semasokis apapun aku, kuputuskan untuk perlahan melepas kemelekatanku pada beberapa hal. Awalnya sudah pasti tidaklah mudah. Sama seperti menyembuhkam patah hati. Tidak bisa langsung lepas. Namun trik yang kulakukan adalah perlahan untuk tidak memikirkan hal-hal yang membuatku melekat. Karena seperti magnet berbeda kutub yang saling tarik-menarik, pikiran dan kelekatan itu sungguh sangat erat. Dan sekarang perlahan aku mulai merasa bebas. Meskipun masih meninggalkan secuil sesak di dada, hal itu tidak lagi terlalu menyiksa sampai-sampai aku bisa lupa makan, atau tidur tidak nyenyak.

Setelah melepaskan diri sedikit demi sedikt, aku cukup tercengang dengan keputusan yang sudah kubuat. Karena jika aku masih melekatkan diriku, sudah pasti aku tidak sanggup melakukan apa yang hendak kulakuan. Oleh karenanya aku berterima kasih pada temanku itu atas sarannya. Many, many thanks to you, dear. Sekarang aku bisa fokus untuk menyelesaikan segala pekerjaan yang masih tertunda, serta mempersiapkan diri untuk keberangkatanku yang semakin singkat. Semoga semuanya berjalan lancar.

P.S. Don't I deserve a Kit Kat, Nit? *kode* Hahahaha...

Monday, 29 October 2012

When She's Gone

Here's the thing. Whenever I'm facing a heart-breaking turmoil or a chaotic situation or whenever I'm in a gloomy mood, I'm missing my Granny.

With my brother is getting married, my mom being sick and has been hospitalised, and I'm leaving in less than four months and have been having a constant back pain, it's enough reason for me to miss Granny so, so very much. I miss her so bad that it hurts. I miss her asking me if I had had my meal, or asked me if I prayed. I miss our little conversation over the phone call and she'd have told me to study hard and not taking a cold-shower at night.

Back when she was still alive and healthy, she would take me to the market and bought me things I asked. She was the only person who cared if I had enough underwear to wear, she was the only one who took care of my hair that most of my friends are willing to kill for. She was the one who took care of me when I was wounded. She would put on the medicine and held me close to her, whispering words to ease the pain. I remember the comfort I felt whenever I slept beside her, that I feared no pain because she wouldn't let me get hurt. Or even if I was hurt, I knew she would be there for me.

Now she had gone to a place that I believe is heaven. I lost the one person I love the most. Sometimes I feel weak knowing that she's no longer here to be with me, to prevent me to get hurt, to heal my wounds. Sometimes I would wonder over a star at the night sky; that she's the star, looking down at me. Other time I would lie on my bed, staring blankly at the ceiling and trying to imagine her face or remembering her voice. There are also times when I woke up in the middle of night and was terrified that I've already forgotten her face and voice.

However, deep down I know she's still alive and is looking out for me. And right at this moment, as I'm lying on my bed in the dark and alone, upset, tired, and hurt, and, well, typing this melancholic post, I know that she's right beside me.

It's just her presence and her voice that telling me everything is gonna be alright, is what I need the most...


Sent from my BlackBerry®

Monday, 1 October 2012

Some Things Stay the Same

Seperti malam berganti pagi, bulan pun ikut berganti. Hari ini banyak orang, baik di akun Twitter maupun status BBM, menyambut bulan Oktober. Ada nanti, harap dan asa yang baru.

Aku pun juga demikian. Ada banyak hal baru yang kuperoleh dan kualami, bahkan sesudah bulan berganti untuk yang kedua kalinya. Semuanya serba baru, bahkan kalau boleh dibilang serba asing bagiku. Begini deh. Untuk lebih memperjelas maksudku, aku berikan sebuah perumpamaan, yang menurutku juga tidak benar-benar sebuah perumpamaan. Coba bayangkan kamu adalah seekor beruang yang baru saja bangun dari tidur panjang. Bagaimana rasanya? Linglung? Bingung? Tidak tahu apa-apa?

Seperti itulah kira-kira yang kurasakan sekarang. Rasanya selama ini aku tidur. Hiatus kalau kata orang. Lalu ketika aku bangun, aku disodorkan dengan kenyataan di depan mataku, kenyataan yang baru dan yang terasa asing bagiku. Yang kulakukan pertama kali saat menyadari bahwa kenyataan itu benar-benar terjadi adalah memandang cermin dan bertanya kenapa. Kenapa aku melakukan ini dan itu? Kenapa aku begini dan begitu? Bagaimana ini dan itu bisa terjadi? Aku menanyakan semua pertanyaan yang tak pernah ada habisnya, yang juga tak akan ada yang bisa menjawab. Bahkan sampai aku kepikiran untuk mendatangi psikiater lho. Kali aja semua pertanyaanku bisa dijawab, meski alih-alih aku bisa saja didiagnosa sebagai pasien sakit jiwa.

Hampir satu bulan, atau bahkan lebih, aku menyesuaikan diri dengan hal-hal yang ada di sekelilingku sekarang, terlebih dengan hal baru yang kuperoleh. Yang pada awalnya aku menolak, tapi setidaknya sekarang perlahan aku mulai bisa menerima dan menikmatinya. Meski kadang, sekali dua kali, aku masih juga terheran-heran dan masih juga bertanya-tanya, sih. Tapi kurasa itu hal yang wajar, kan? Kalau sekarang, ketika berdiri di depan cermin, aku tidak lagi bertanya-tanya tapi aku malah berkata: "Hey, sekarang kamu orang yang baru, lho." Iya, beda tipis sama orang gila, ya? Tapi peduli apa? Yang penting aku senang.

Akan tetapi ya, semua hal yang tadinya kurasa asing lama-kelamaan mulai terasa familiar. Entah karena aku yang mulai terbiasa atau karena jauh di bawah alam sadar aku tahu akan hal-hal tersebut. Jadi kupikir meski ada banyak perubahan yang terjadi, beberapa hal dalam hidup tetap saja sama. Dan aku, meski mengalami perubahan karena kejadian yang terjadi belakngan ini, pun masih tetap sama.

P.S. Oh, kecuali rambutku yang sekarang dikeriting. Itu lho, yang kata orang keriting gantung... Yap, akhirnya rambutku sudah cukup panjang untuk dikeriting. Maka terpenuhilah sudah satu keinginanku.

P.S. lagi. Ini aku sebenarnya mau ngomong apa sih? Aku yang berubah tapi tetap sama, atau memang berubah, atau apa coba?

Friday, 7 September 2012

Iman atau Nekat?

Lebaran telah lama usai, menyisakan galau. Iya, galau karena berat badan naik. Padahal aku ini cuma ikut meramaikan, lho. Halah, ini yang Lebaran siapa, yang beratnya naik siapa. Tapi ya, ada yang bilang aku gemukan, ada pula yang bilang aku kurusan. Jadi yang benar itu yang mana sih, ya? Bikin bimbang aja. Mending kutimbang sendiri, deh. Ya, kan? (Terus ini ngapain juga ngomongin berat badan?)

Anyways, enough with galau-galauan. Selama beberapa saat aku tidak gentayangan di sini, aku mengalami banyak kejadian. Juga aku punya kabar gembira sekaligus gila. Jadi begini, tadinya aku sudah siap sedia untuk berangkat ke Perth, kota yang menjadi tempat studiku. Aku sudah menerima Letter of Full Offer dari salah satu universitas di sana, kemudian akupun mengerjakan dokumen yang dibutuhkan untuk pengajuan beasiswa. Namun beberapa hari setelah aku menerima e-mail dari mereka, aku bertemu dengan seorang lulusan dari sebuah universitas di Melbourne. Maka mengobrolah kami berdua selama berjam-jam.

Dari obrolan kami itu, aku mendapatkan gambaran, saran dan rekomendasi mengenai kuliah di Australia. Dia pun menyarankan untuk aku sebaiknya melanjutkan studiku di Melbourne karena banyak pertimbangan yang bisa menguntungkan bagiku jika aku kuliah di sana. Juga pertimbangan mengenai program studi yang bisa kuambil di sana, yaitu program double degrees. Maka aku mempertimbangkan segala pilihan dan konsuekensi, kemudian menanyakan pendapat Mama. Setelah berpikir matang dan sudah pula mendapatkan persetujuan dari Mama, maka akupun setuju (baca: Nekat) untuk ganti haluan.

So, that's it. I dropped the scholarship and the offer from the university, then applied to two universities in Melbourne. Padahal waktu itu aku sendiri belum yakin bisa diterima atau tidak di salah satu universitas tersebut. Aku kembali mengisi aplikasi pendaftaran, bayar uang pendaftaran, dan mengirim semua dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk keperluan pendaftaran. Sesudahnya, aku masih harus menunggu sekitar dua minggu sampai aku memperoleh e-mail bahwa aplikasiku sudah masuk dan akan diproses. Lalu menunggu lagi dan lagi.

Memasuki minggu ketiga aku mendapat kabar dari salah satu universitas bahwa aku diterima. Yay! Segera mereka mengirimkan Letter of Full Offer beserta Letter of Acceptance. Sekarang aku tinggal menunggu kabar dari universitas yang satunya lagi. Dan jika aku diterima juga, maka aku tinggal memilih yang mana yang akan kuambil. Semoga semuanya berjalan lancar, ya.

Nah, jadi itu yang namanya bertindak atas iman yang berdasarkan nekat. Atau malah nekat yang berlandaskan iman. Ya, bukan? Kalau kata salah seorang pendeta, iman dan nekat itu beda-beda tipis. Tapi keduanya sama-sama membuat tindakan kita terlihat gila di mata orang lain. Bahkan sebagai tanda kalau percaya akan diterima, akupun memasang wallpaper pemandangan sungai Yarra di ponselku. Nanti setibanya di Melbourne, yang akan kukunjungi pertama kali sungai Yarra itu. Iya, iya, aneh!

Ah, apapun itu, pokoknya sekarang jelas sudah ke mana tujuanku, ke mana langkahku selanjutnya. Tinggal sekarang bagaimana aku tetap fokus pada tujuanku dan tidak lagi mengerling kanan-kiri. Sudah saatnya menatap ke depan dan berhenti memandang ke belakang. Hidup harus terus berlanjut, kawan. Bukan begitu? Ini sudah menjadi keputusanku dan inilah yang menjadi keinginanku, sehingga apapun yang terjadi aku harus berusaha mati-matian. Seperti pesan kenalanku tadi itu; harus jadi pejuang, harus tough. Hidup itu keras, tapi kita harus lebih keras lagi.

Dan akupun setuju!!!

Sunday, 19 August 2012

Lebaran Heboh

Beberapa sanak saudara keluargaku (dari pihak Mama) merayakan Lebaran. Jadi kami pun mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Sepulangnya dari gereja, kami langsung menuju ke rumah pamanku (adik Mama). Di sana sudah banyak orang yang berkumpul ketika kami tiba. Kami bersalam-salaman, mengobrol, lalu makan. Inilah yang kusuka; Makan! Sasaranku? Ketupat dong pastinya. Dan gulai kambing. Iya, darah tinggi deh. Tapi untung-untungan setahun sekali bisa makan daging kambing kan, ya? He he...

Ngomong-ngomong, anak pamanku ada lima. Semuanya masih kecil-kecil dengan rentang usia yang tidak berbeda jauh. Di sana ada juga sanak saudara istri pamanku yang datang dengan membawa hampir selusin anak kecil, yang entah anaknya siapa saja. Akupun tidak ingat tadi ketika dijelaskan bagaimana hubungan persaudaraanku dengan mereka. Si ini anaknya si anu, kemudian si itu anaknya si ini. Ribet, deh. Selesai makan, aku bermain dengan anaknya yang paling bungsu, sementara para orang tua mengobrol. Untungnya anaknya tidak rewel. Jadi aku enteng saja menemaninya sementara ibunya sibuk melayani tamu.

Sesudahnya kami pamit karena masih harus mengunjungi rumah sepupunya Mama, yang letaknya cukup jauh. Nah, yang ini hubungan saudaranya itu begini: Omaku memiliki seorang adik perempuan semata wayang. Adiknya ini menikah dengan seorang pria Arab dan memiliki 4 orang anak, di mana setiap anak sudah menikah dan mempunyai anak-anak juga, yang juga ada yang sudah menikah dan memiliki anak-anak. Bingung, ya? Sama, aku juga bingung. Pokoknya keluarga besar banget, banget, dan semuanya berkumpul di rumah anak yang tertua. Anak, cucu, cece, cicit, semuanya ada di situ.

Setibanya di sana, kami diajak makan lagi. Menunya? Ketupat lagi. Kambing lagi. Ada daging sapi yang dibikin rendang, sih. Tapi mataku sekali lagi hanya tertuju pada si kambing. Sepertinya ia masih mengembik bahkan setelah dimasak jadi gulai. (Kok jadi horor sih, ya?) Lagipula aku memang tidak terlalu suka rendang. Sepupunya Mama, si anak tertua, juga pintar masak. Gulainya mantap. Kalau tidak ingat sama penyakit, bisa bablas makannya. Lupa sama diet.

Setiap kali bersilaturahmi dengan mereka, adiknya oma selalu mengingatkanku akan oma. Mukanya mirip. Jadi kangen deh sama oma. Di sana, sambil makan kami - aku, adik-adikku, pacarnya si Tengah, dan beberapa sepupuku yang ikutan - meladeni si Ama mengobrol. Kata si Ama, ada pria yang usianya 15 tahun lebih muda darinya, seorang komandan, yang menyukainya. Ama umurnya sudah 66. Katanya, "Eh, mati itu tidak mengenal usia. Maka begitu juga dengan cinta. Mau tua, mau muda kalau sudah cinta, usia tak jadi soal." Aih, si Ama bisa aja. Tapi ya, ajarin kita-kita dong cari berondong. Hihihi... (Ups!)

Oia, kalau tadi di rumah pamanku bocah-bocahnya ada selusin, di rumah sepupunya Mama ini bocahnya ada dua lusin! Aduh, aku pusing tujuh keliling melihat para bocah berlarian sana-sini, teriak-teriak. Inilah kenapa aku tidak suka anak-anak. Mereka bandel, rewel, tidak bisa diam, dan teriakan serta tangisnya bikin kuping pengeng dan kepala cenat-cenut. Tapi yang ribut juga bukan hanya para bocah. Para ibu-ibu yang juga berkumpul tidak kalah ributnya. "Hoi, bahlul!" Begitu canda mereka dalam bahasa Arab, dengan suara nyaring. Ya ampun, makin pusing deh aku. Pokoknya heboh.

Tapi ya, Lebaran heboh begini mungkin sudah menjadi trademark keluarga besarku. Bukan cuma heboh, tapi juga ribut, berisik, penuh canda dan tawa. Dan harus kuakui, kadang aku kangen dengan suasana berkumpul seperti itu...

Di kesempatan ini pula, aku ingin mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1433H bagi teman-teman sekalian yang merayakan. Mohon maaf lahir batin jikalau ada kata-kataku yang menyinggung hati, yang pernah kutorehkan di sini, ya. :)

Saturday, 18 August 2012

When I'm Alone

Sungguh, sangat tidak kusarankan untuk membaca novel Haruki Murakami di saat sedang sakit. Setelah menyelesaikan "Sputnik Sweetheart," aku lanjutkan dengan membaca "1Q84." Sebelum "Sputnik Sweetheart" sebetulnya aku sudah membaca "Kafka On the Shore" pemberian Nitz tapi belum kuselesaikan karena kupikir bukunya kecil dan ringan, jadi nanti bisa kuangkut saat hijrah ke negeri seberang. Sementara "1Q84" ini berbentuk hard cover dengan tebal 925 halaman. DOENG!

Karya-karya Haruki Murakami, yang kalau kukutip dari Jeung Wiki, "...is humorous and surreal, focusing on themes of alienation and loneliness." Tuh, makanya kalau dibaca saat sakit bisa bikin tambah sakit. Tapi ya, somehow, aku merasa sangat mengenal karakter-karakter dalam novel-novelnya Murakami. Bahkan mungkin merasa menjadi bagian dari karakter-karakter itu. Kau tahu, karakter yang kesepian, yang keep others at arm's length.

Alienation dan loneliness.

Seorang temanku dulu pernah bertanya padaku, bagaimana mungkin seseorang bisa sendirian dan tidak kesepian? Jawabku, bisa saja. Benar-benar tidak kesepian? Tanyanya lagi. Pasti mereka juga merasa kesepian, kataku. Lalu ketika mereka kesepian, apa yang mereka lakukan? Jawabku lagi, tidak ada. Apa itu yang kaulakukan dengan kesepianmu? Tidak ada? Tidak juga, kataku sambil menerawang. Yang kulakukan dengan kesepianku adalah berdamai dengannya, kemudian menjalin hubungan baik dengannya. Mengakrabinya malah. Sehingga ketika ia datang, aku menyambutnya dengan senang hati.

Membaca novel Murakami membuatku teringat akan saat-saat di mana aku sendirian, menutup diri dan menjaga jarak dari orang lain. Kubangun tembok setinggi langit yang mengelilingi diriku untuk menghalang agar orang lain tidak mendekat, lalu kupasang tampang tangguh agar tidak dikasihani. Padahal di saat yang sama aku juga merasa kesepian. Semakin tinggi tembok yang kubangun, semakin membuatku terisolasi dengan dunia luar. Menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan sehingga membuatku terlalu lelah untuk merasa kesepian, ternyata tidak memberi efek yang signifikan dalam jangka panjang. Malahan ada suatu waktu di mana aku merasa sangat, sangat kesepian di saat aku sedang kelelahan. Maka pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti menghindari rasa sepi itu. Karena jelas bagiku, semakin kuhindari ia, semakin ia melumpuhkanku.

Ketika S tahu-tahu hadir dalam hidupku, aku sedang dalam keadaan terbiasa dengan kesendirian dan rasa sepi. Lagipula, siapa yang menyangka kalau dia akan muncul, out of blue, di hadapanku, dan menawarkan sebuah hubungan romantisme? Itu artinya jika aku menerima tawarannya, maka aku harus kembali menyesuaikan diriku bahwa kini aku tidak lagi sendirian, dan kembali harus bernegosiasi dengan kesepian yang tadinya sudah menjadi teman akrabku. Maksudku, bagaimana mungkin kau bisa berkata pada teman akrabmu, "Hey, aku punya teman baru. Jadi aku mau jalan dengannya, dan tidak denganmu"?

Beberapa bulan belakangan ini, sejak aku memutuskan untuk bersamanya, kembali aku mulai terbiasa melakukan apa-apa bersamanya. Namun ada saat-saat di mana aku harus sendirian. Saat di mana aku melakukan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengannya, atau saat di mana dia harus melakukan sesuatu dan harus meninggalkanku. Secara fisik tidak bersama, melainkan sendiri. Namun di saat-saat seperti itu aku tidak merasa kesepian. Entah apa aku yang berhasil bernegosiasi dengan sang kesepian itu, ataukah memang ia yang enggan datang karena aku terlalu asyik dengan 'teman baru'-ku. Yang manapun itu, yang jelas aku tidak merasakan sedikitpun rasa sepi.

Aku tahu, bahwa kemungkinan besar ini hanyalah momen sementara dalam hidupku. Hanya sebuah fase singkat dari serangkaian kehidupan. Akan tiba waktunya untuk aku kembali menjadi manusia terisolasi. Aku harus kembali mencari kesepian dan membujukknya agar mau kembali padaku, kembali berteman denganku. Kaupikir kenapa tadinya aku berkali-kali kalut dan mundur ketika S menawarkan hubungan ini?

Lalu lantas bagaimana jika saat itu tiba? Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Cukup aku melakukan apa yang seharusnya nanti kulakukan. Tetapi, sungguh, yang ingin kulakukan saat ini, sekarang ini, hanyalah menikmati waktu di mana aku sedang sendirian (karena dia harus pulang ke kotanya demi memenuhi permintaan maminya), namun aku tidak merasa kesepian. Karena aku tahu, meski kami sedang berjauhan selama beberapa hari tapi kami saling memikirkan satu sama lain.

Dan benar saja. Ketika aku hendak mengakhiri tulisan ini, sebuah pesan masuk ke ponselku darinya. Katanya, "Say, aku kok mikirin kamu, ya?" Aku tersenyum, bahkan tertawa, bukan hanya karena isi pesannya, namun juga karena dia itu tipenya seperti aku, jarang mengekspresikan sesuatu dalam kata-kata.

Selama beberapa saat kami saling mengirimkan pesan singkat dan dari situ aku tahu bahwa sejak tiba di kotanya kemarin malam, dia menginap di rumah sepupunya yang merayakan Lebaran, tidur di kamar bersama 2 sepupunya yang lain, yang masih kecil dan rewel dan tendang sana-tendang sini kalau tidur, dan dalam sehari sudah ada 3 orang yang menanyakan padanya "Kapan kawin?" Lalu aku memberitahunya tentang kegiatanku seharian ini; mengerjakan beberapa dokumen yang tidak bisa ditunda lagi, BBM-an, lalu tidur lagi karena obat yang kuminum menyebabkan kantuk yang sangat, euy. Sesudah itu kami saling mengucapkan selamat tidur.

So, I'm going to sleep now, with the memory that I precious so much of what I have just experienced; me being alone, yet feeling so loved.

Tuesday, 14 August 2012

K.O. (Lagi dan lagi)

Entah apa yang terjadi dengan tubuhku. Sistem imun di dalam tubuhku sepertinya diporak-porandakan entah oleh apa. Sedikit-sedikit sakit. Seperti pagi tadi, aku bangun dan merasakan tubuhku hangat, kepalaku kleyengan, hidungku sakit, dan tenggorokanku meradang disertai batuk yang menyakitkan. Alhasil seharian ini aku harus terbaring di tempat tidur.

Pagi aku sarapan, minum obat, lalu disuruh tidur lagi sama Mama. Siangnya juga begitu. Makan-minum obat-tidur. Aku bangun karena S meneleponku. Dan ketika mendengar suaraku yang serak-tapi-tidak-seksi, dia pun panik.

"Lho, kamu sakit, Say? Kok bisa? Tapi kemarin kamu nggak apa-apa, kan? Kamu kok nggak bilang-bilang? Aduh, jangan-jangan karena kencan yang sampai malam itu lagi. Ya ampun, aku lupa kamu kan nggak boleh masuk angin. Aduh.., aku ke sana sekarang, ya?"

Tuh, kan. Begitu deh dia kalau sedang panik. Kuiyakan saja apa katanya. Kebetulan juga aku memang mau memintanya datang karena pamanku, yang jago masak itu, membuat tahu kecap yang digemarinya sejak pertama kali mencoba. Dia menanyakan apa aku mau dibawakan bubur ayam. Tapi berhubung lokasi rumahku cukup jauh, aku menolak. Buburnya keburu dingin nanti.

Aku terbangun ketika dia masuk ke kamarku. Dan entah dianya yang bisa membangkitkan sisi cengeng dari diriku, atau memang akunya mewekan kalau sedang sakit, aku malah menangis begitu melihat dia. Ya ampun, malu-maluin banget, ya? Oh, atau mungkin aku suka dengan pribadinya yang keibuan saat merawatku waktu sakit. Makanya cengeng supaya dimanjain, dipeluk dan dicium. Hihihi... Tapi sumpah lho, tidak pernah terbayangkan aku bisa secengeng ini. Rae? Cengeng? Sebentar lagi kiamat mungkin. Atau coba perhatikan, jangan-jangan matahari sudah mulai terbit dari barat dan terbenam di timur.

Etapi, tangisku kemudian berubah menjadi tawa karena melihat wajah panik dan rasa bersalahnya. Tidak tega melihat dia menyalahkan dirinya, kujelaskan saja kalau aku sendiri yang salah. Sudah tahu tidak dibolehkan lagi mandi malam, eh, kemarin malam aku mandi jam 9. Memang sih, yang waktu kencan itu kami duduk di ruangan tebuka dan beratapkan langit dengan angin laut yang bertiup ke arah kami, dan kami di sana sampai malam. Tapi ini karena juga aku mungkin kelelahan.

Luas kamarku mungkin 4x4 atau 5x5 (tidak pernah kuukur!), yang berisikan tempat tidur queen size, sebuah lemari baju, meja rias dengan tumpukan buku yang cukup tinggi di atasnya, meja belajar yang juga penuh tumpukan buku, dan sebuah kursi. Di sini, di kamarku ini, dia menyuapiku bubur, menemaniku ngobrol, membacakan beberapa halaman buku "Sputnik Sweetheart," (dan aku hampir menangis lagi ketika dia membacakan bagian Sumire yang 'ditolak' Miu) menggosokkan minyak gosok di badanku, lalu memberiku obat. Kemudian dia mandi, berganti pakaian, makan, dan menemaniku sambil mengerjakan pekerjaannya.

Malam ini dia menginap. Padahal jarak dari rumahku ke rumahnya cukup jauh. Jadi dia harus bangun pagi-pagi sekali besok, ke rumahnya dulu, baru ke kantor. Demi pacar yang sedang sakit dan demi tahu kecap buatan pamanku katanya. Idih, masa aku saingan sama tahu, sih? Tapi mengingt dia bakal menemaniku tidur, membuatku senyum-senyum sendiri. Meski nanti tidak ada adegan ciuman mesra karena aku sedang sakit. Tapi tak mengapa lah ya. He he he...

Yuk ah, tidur dulu, ya.

Monday, 13 August 2012

Kencan Akhir Pekan

Jumat pukul 7 aku tiba di rumah S. Dia masih di kantor, maka kukirimkan pesan singkat ke ponselnya mengabari kalau aku ada di rumahnya. Balasan darinya juga singkat; "Iya, Say. Bosku sedang rese." Jadi aku tahu dia masih lama di kantor dan aku masih punya waktu sebentar untuk menyiapkan makan malam.

Kubuatkan dia tempe goreng tepung dan tahu goreng karena beberapa hari yang lalu katanya dia kepengin makan tempe tahu. Tempenya kuiris tipis-tipis supaya garing seperti kesukaannya. Kemudian kutumis kangkung. Dia lebih suka tumisan kangkung yang sederhana, hanya bawang putih dan garam. Tuh, lagi-lagi aku pegang-pegang bawang. Lalu untuk sambal, ada sambal terasi yang kubawa dari rumah. Secara aku paling malas membuat sambal. Eh, bukan malas tapi tidak tahu. He he...

Masak-masak beres, aku pun mandi supaya nanti begitu pacar pulang, aku sudah rapi jali nan wangi. Tepat ketika aku selesai berpakaian, kudengar suara mobilnya di depan lalu beberapa saat kemudian bunyi pintu pagar dibuka. Aku bergegas menyambutnya di depan pintu, tak lupa memasang senyum manis semanis gula-gula. Kubuka pintu rumah, dan mendapati wajah kusutnya yang membuat senyumku berubah jadi cekikikan. Duh, kesiannya yang habis diresein bos.

"Ih, kamu. Pacar sedang kesal, kok malah diketawain?"

"Habis, tampangmu itu lho. Kayak anak kecil yang permennya diambil orang."

Kuajak dia makan malam dulu. Sambil makan, seperti biasanya kami mengobrol ini-itu. Inilah yang kusuka, kami berdua sepertinya selalu memiliki bahan pembicaraan. Mau yang ceritanya serius dan kadang kami terlibat dalam diskusi yang super serius, yang membuat kening mengkerut, sampai obrolan ngarol-ngidul. Eh, yang kumaksud dengan diskusi serius itu benar-benar diskusi loh, ya. Bukan menggosip. Tapi mendiskusikan gosip. Haha... enggak deng.

Malam itu, pembicaraan kami mengenai tokoh Sumire di dalam bukunya Haruki Murakami yang berjudul "Sputnik Sweetheart," yang dia berikan padaku beberapa waktu lalu. Iya, kami juga sering membicarakan buku-buku yang kami baca. Meski dia tidak se-avid aku dalam hal membaca, tapi untuk buku-buku tertentu dia baca. Dan kebetulan buku ini dia lebih dulu baca dariku. Soalnya tadinya aku stuck dengan "The Enchantress" karangan Michael Scott, yang sudah sebulan lebih belum selesai kubaca. Tapi akhirnya aku menyerah dengan buku itu, kuparkir dulu, lalu mulai membaca Sputnik Sweetheart. Karena aku belum selesai membacanya, adalah haram hukumnya baginya untuk menceritakan terlalu banyak. Spoiler dong nanti jadinya. Nggak seru.

Selesai makan, belum sempat kuangkat piring ke wastafel, dia bilang "Pesan pizza yuk, Say." Ya ampun, baru juga makan, sudah pengin makan pizza lagi. Selera makannya memang besar, dan dia makannya lebih banyak dari aku. Menjelang datang bulan, aku bisa meladeni selera makannya. Tapi aku baru selesai datang bulan, yang biasanya membuat aku tidak kepengin makan. Dan yang lebih mengherankan lagi, meski makannya banyak badannya ya segitu-segitu aja. Ih, bikin ngiri. Kalau aku makan sebanyak dia, badanku bisa sebesar rumah di kawasan Pondok Indah sana. Kubilang padanya, di perutnya jangan-jangan ada naga yang ikut memakan semua makanan yang dimakannya. Bukan cacing lagi! Hihihi... Tapi berhubung sudah malam, jajanan yang bisa diperolehnya hanya martabak telor yang masih jualan di depan kompleks. Kali itu, kurelakan semua bagian kulit renyah untuknya, secara aku masih kenyang. Padahal biasanya kami berebutan sih.

Paginya dia bangun dan bersiap ke kantor. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya berhubung sebentar lagi libur. Mami memintanya untuk pulang karena salah satu sepupunya merayakan Lebaran. Dia mengecup keningku sebelum berangkat karena aku masih enggan turun dari tempat tidur. Sejam kemudian baru aku bangun dan mendapati ada roti bakar dan segelas teh manis. Aku makan, lalu karena tidak tahu harus ngapain, selesai makan aku beres-beres rumah saja. Kumasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, dan sambil menunggu pakaian selesai dicuci, aku menyapu, mengepel, mengelap perabot yang untungnya tidak banyak, kemudian menyetrika beberapa potong bajunya dan bajuku juga.

Sudah selesai semuanya, pakaian juga sudah kujemur, aku selonjoran di sofa. Capek, bok. Aku menyalakan TV dan menonton "Got to Dance UK" sambil menyambangi dunia maya. Menjelang sore, dia pulang dan mengajakku kencan. Aku sedang mandi ketika dia tiba, dan tahu-tahunya sudah ikutan menyelinap di kamar mandi. Eh, lho lho, apa-apaan ini? Biar cepat, katanya. Idih, alesan banget deh ah.

Mandi dan berdandan ternyata memakan waktu hampir sejam. Biasanya aku tidak mau repot-repot mem-blow rambut, apalagi make-up. Tapi berhubung ini kencan spesial, meski dadakan, mau tidak mau aku dandan. Lagipula, sepertinya aku sedang mood dandan juga. Pakaian yang kukenakan juga bukan gaya standar; kaos, celana jins, sandal teplek. Untuk kencan kali itu, aku mengenakan baju terusan hitam yang kukenakan saat ke pernikahan sepupuku, karena memang cuma baju itu yang ada di rumahnya dan untungnya sudah diambilnya dari 5àsec. Sementara dia juga mengenakan baju yang hampir sama.

Kami disambut pemandangan matahari terbenam ketika tiba di kafe yang menjadi tempat kencan kami. Kami diantar pelayan ke meja yang sudah dipesannya sebelumnya. Dalam hatiku, niat sekali dia. Jangan-jangan ada hal serius yang ingin dibicarakannya. Namun sampai ketika pelayan mengantarkan sajian dessert, tidak ada tanda-tandanya dia bakal memulai pembicaraan. Akhirnya kutanyakan saja. Tahu tidak, jawabnya apa? Begini jawabnya, dengan wajah yang dibuatnya serius, "Sebenarnya, aku ingin mengajakmu kawin lari." Halah, aku diisengin! Kulempari dia dengan serbet dan membuatnya tertawa terbahak-bahak, sampai dilihatin orang-orang di meja samping.

Sudah cukup lama kami duduk di meja itu. Es krimku juga sudah tandas. Tapi sepertinya dia belum mau beranjak. Sebaliknya, dia kembali memanggil pelayan dan memesan sebotol anggur. Aku menaikkan alisku. Sebotol? Untuk berdua? Melihat reaksiku, dia terkekeh. Tidak mungkin kami minum sebotol. Aku tidak pandai minum. Satu sesapan saja sudah bisa membuat wajah dan leherku merah seperti udang rebus. Begitu juga dia, meski tidak memberi efek merah-semerah-udang-rebus sepertiku. Baru aku ngeh, kenapa tadi dia menolak membawa mobil dan memilih menggunakan taksi. Ternyata, eh ternyata.

"Eh, jangan-jangan kamu memang niat mengajakku kawin lari nih," bisikku.

Lagi-lagi dia tertawa sambil memegang perutnya. Enggak kok. Cuma ingin mengajakmu kencan romantis saja, katanya. Sekali-kali, katanya lagi. Aku masih tidak percaya. Akhirnya dia menyerah dan mengatakan alasan yang sebenarnya.

"Aku cuma senang berada di sini. Ada kamu juga. Kita berdua. Itu saja, kok."

Nah, lho. Ucapannya memberi efek yang jauh lebih dahsyat dari anggur yang kuminum. Sekejap aku merasakan panas menjalar ke wajah, dan aku tidak bisa membayangkan semerah apa kelihatannya wajahku. Untung saja matahari sudah sepenuhnya terbenam dan satu-satunya cahaya berasal dari lilin kecil di atas meja yang memancarkan sinar redup. Tuh, kan. Aku jadi kikuk sendiri. Aku cuma bisa senyum malu-malu. Malu-malu kucing. Kena deh aku.

Pukul 11 kami pulang, lalu bersiap tidur. Malam itu kami tidur sambil berpelukan. Aku kembali mengingat kencan tadi. And to tell you truth, I was in cloud nine that night.

Wednesday, 8 August 2012

Musim Sakit

Genap sudah tiga hari si pacar mengeluhkan sakit kepala. Semenjak aku pulang dari rumahnya hari Minggu yang lalu, dia bilang kepalanya sakit ketika kutelepon dia untuk mengabarkan kalau aku sudah tiba di rumah. Dan sejak itu dia mengeluh kepalanya cenat-cenut setiap kali aku menghubunginya atau dia yang menghubungiku.

Setahuku, dia termasuk orang yang jarang sekali sakit kepala. Tidak seperti aku, sebentar-sebentar sakit kepala. Kotak obatku isinya kalau bukan obat sakit kepala, ya obat migren (sama aja ya itu?) juga obat maag. Jadinya aku khawatir juga, karena untuk ukuran orang yang jarang sakit kepala, sakit selama tiga hari berturut-turut itu patut ditindaklanjuti. Maka tadi karena bertepatan ada urusan yang harus kuselesaikan di daerah dekat rumahnya, aku menyempatkan diri menjenguknya. Dan betapa kesalnya aku karena mendapati dia sedang berjibaku dengan kertas-kertas yang bertaburan angka. Padahal tadi itu dia sengaja izin pulang cepat karena sakit kepalanya sudah tak tertahankan. Eh, ini kok di rumah malah kerja.

"Katanya sakit kepala, kok kerja?" omelku.

"Aduh, say. Kamu memang seksi kalau omel-omel begini. Tapi ini kepalaku sedang cenat-cenut," rayunya.

"Ya gimana nggak cenat-cenut, yang dipelototin angka melulu."

"Maunya kupelototin kamu, tapi kamunya jauh," katanya membela diri. "Nah, sekarang kamu udah di sini, sakit kepalaku sudah berkurang."

Halah! Kalau sudah begini, aku malah tidak jadi ngomel-ngomel lagi deh.

Melihat aku yang tidak jadi marah, langsung saja dia membujukku membuatkannya nasi goreng untuk makan malam. Mana tega kubiarkan dia keluar sendiri malam-malam beli makanan dengan keadaan kepala yang sakit? Jadi kubuatkan dia nasi goreng. Dan karena dia tidak suka dengan bumbu instan untuk nasi goreng yang dijual di supermarket-supermarket itu, aku harus membuat sendiri bumbunya. Padahal aku paling tidak suka memegang bawang karena baunya bakal menempel di jariku selama berhari-hari. Kubuatkan juga telur ceplok yang kuningnya setengah matang seperti kesukaannya (itu juga seleraku), dan menemaninya makan.

Selesai makan, aku menyiapkan obatnya dan memastikan obatnya diminum, lalu pamit pulang. Setibanya di rumah, eh, ternyata Mama juga sedang sakit. Aku ke apotik dan membeli Sanmol, Amoxan dan jarum suntik insulin. Sekembalinya dari apotik, kutemani Mama makan. Sudah beres semuanya, aku mandi. Sekarang gantian aku yang sepertinya meriang dan kepala cenat-cenut. Ah, apes amat ini ceritanya.

Sedang musim-musimnya orang jatuh sakit kali, ya? Perubahan cuaca belakangan ini cukup ekstrim. Seminggu yang lalu, hampir setiap hari turun hujan disertai angin kencang. Minggu ini malah panas terik. Untung saja si pacar sering mengingatkanku untuk meminum vitamin yang dibelikannya untukku. Jadi setelah menenggak sebutir, aku bersiap tidur. Semoga sakitku tidak berlanjut.

Tuesday, 7 August 2012

Jangan Ganggu Banci!

Dari dulu aku paling tidak mau mencampuri urusan orang. Aku tidak suka. Aku tidak ingin terlibat dengan masalah orang lain, apalagi kalau ternyata keterlibatanku sampai memperkeruh keadaan. Amit-amit jabang babon. Aku paling anti dengan hal-hal yang seperti itu. Pokoknya urusanmu bukan urusanku, dan aku tidak mau tahu urusanmu. Begitu.

Begini ya, aku tidak mau mencampuri urusan orang lain karena urusanku juga masih banyak dan tak kunjung selesai kuurusi. Urusanku sendiri juga sudah membuatku pusing seribu keliling. Mana sempat aku mengurusi urusan orang lain? Dikata sombong? Egois? Individualis? Anti-sosial? Terlalu cuek, kalau kata Mama. Beda-beda tipis lah ya. Biar deh. Daripada aku dijuluki tukang campur urusan orang. Apa peduliku? Tidak ada. 

Tapi ya, ada alasan mengapa aku bersikap seperti itu. Simpel saja; kalau aku tidak mau tahu dengan urusan orang, maka aku pun tidak mau orang lain mau tahu dengan urusanku. Aku tidak suka. Sejalan, kan? Karena sesungguhnya, orang yang mau tahu urusan orang lain itu hanya karena mereka ingin sekedar mau tahu saja. Membantu juga tidak, kok. Menggosip, iya! Ditambah dengan bumbu-bumbu hasil racikan lidah bercabang dua, amboi enaknya. Apalagi jika ditemani kue dan secangkir kopi di sore hari, maka tiada yang lebih membahagiakan selain membicarakan kehidupan orang lain.

Apa enaknya sih, ngomongin orang? Apa untungnya mengedarkan cerita-cerita miring yang keberadaannya belum tentu benar? Di mana letak kesenangan saat melihat orang yang diomongin menderita dan malu? Bagiku, tidak ada enaknya, tidak ada untungnya, tidak ada senangnya jika melakukan itu.

Cuek aja, Rae. Iya, aku memang cuek-cuek saja. Tapi sampai sejauh mana batas yang bisa kutolerir? Sudah tentu ada batasnya, dong. Jangan karena aku melakukan A, lalu ceritanya sampai pada yang kulakukan adalah Z. Hey, mau ngomongin orang juga jangan cuma pakai mulut aja. Otak juga dipakai, dong. Atau otaknya dipakai, tapi kadar mengira-ngiranya jauh lebih banyak daripada fakta yang ada. Aduh, demi Papa Smurf yang kerjaannya ngasih quests, cari kerjaan sana!

Versi lainnya, orang mau tahu karena mau sok prihatin. Man, paling keki kalau ketemu yang seperti ini! Versi ini jauh bikin lebih pusing. Pastinya menyarankanku (tanpa kuminta!) melakukan ini dan itu yang menurut mereka adalah yang terbaik dan sudah sepantas dan selayaknya kulakukan demi kebaikan semua orang. Oh well, semua orang, kecuali AKU. Plis deh, aku tahu apa yang kulakukan karena menurutku itulah yang paling tepat dengan keadaanku.

Namun susahnya ya, orang kalau sudah berbicara sama seperti mobil yang remnya blong. Halah! Kalau sudah begitu, yang bisa kulakukan hanyalah menyanyikan "Jangan Ganggu Banci!"

Ps. Aku bukan banci!

Thursday, 2 August 2012

To-do List

Tidak terasa bulan sudah berganti. Sudah bulan Agustus. Sudah dua minggu lebih puasa berjalan bagi yang menjalankannya. Dan aku, di sini, masih juga sibuk dengan urusan kuliah ini. Tidak sesibuk itu sih, cuma ternyata masih banyak yang harus kukerjakan setelah aku merasa ada banyak hal yang telah kuselesaikan.

Kemarin aku sudah menerima Letter of Full Offer dari pihak universitas yang dikirimkan ke email-ku melalui agen internasional resmi. Itu artinya aku sudah bisa melakukan pembayaran tuition fee sejumlah yang ditentukan untuk kemudian mendapatkan Confirmation of Enrollment (CoE). Namun sebelum membayar, aku masih harus memasukkan permohonan beasiswa yang batasnya tanggal 17 Agustus. Lumayan kan, bisa mendapatkan sedikit potongan untuk tuition fee setiap semester, selama masa studi.

Setelah membayar (semoga permohonan beasiswaku disetujui!) dan memperoleh CoE, aku masih harus menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk permohonan visa pelajar untukku dan visa pengunjung untuk Mama yang katanya ingin ikut mengantarku, termasuk juga medical check-up di rumah sakit yang ditunjuk langsung oleh kedutaan di kota terdekat. Sementara itu aku masih harus tetap mencari tempat tinggal, juga mem-booking tiket pesawat.

Jika semuanya sudah beres-res-res, tinggal aku perlu belanja-belenji baju musim dingin. Secara beli di sini sudah pasti lebih murah. Ya, kan? Bukannya perhitungan atau pelit, tapi ini ceritanya tinggal di negeri dolar, yang apa-apa jika dirupiahkan harganya melangit. Lalu hal terakhir yang harus kulakukan adalah mengajari Mama menyetir, karena biasanya aku yang mengantar dia ke mana-mana. Kemudian mengajarinya menggunakan internet, cara mengirimkan email, melakukan panggilan video di Skype, dan hal lainnya yang berbau teknologi semacam itu.

Nah, jadi itulah yang masih harus kukerjakan, dan kukerjakan sendiri karena hanya aku yang paham. Mama tahunya beres. Sudah barang tentu aku tidak mau merepotkannya karena cukuplah ia berkorban dan merelakan anak perempuan satu-satunya pergi jauh darinya, untuk yang ke sekian kalinya. Tidak perlu lagi kupusingkan dengan segala pengurusan yang belibet ini. Lagipula, aku sendiri pusing jika harus menerjemahkan satu per satu segala dokumen yang dikirimkan kepadaku, yang berbahasa Inggris.

Sengaja kutuliskan ini di sini supaya aku bisa masuk ke sini dan melihat kembali apa saja yang harus kukerjakan. Kalau yang lain menggunakan notes atau post-it, maka aku menggunakan blog. Dan menulis ini, mengurangi kecemasanku karena dalam pikiranku waktu semakin mepet, sementara yang harus diselesaikan masih banyak. Membuatku jadi gelagapan sendiri jika memikirkannya. Baru setelah diuraikan seperti ini, rasanya sedikit lega.

Jadi saatnya mengerjakan satu per satu, langkah demi langkah. Dan untuk sekarang, yaitu tidur! Eh, maksudku beasiswa....

Thursday, 26 July 2012

Preferred Flatmate

"Mbak Rae, hasil tes IELTS-nya sudah ada. Boleh langsung diambil di kantor ya, mbak." Begitu isi SMS yang kuterima Jumat kemarin. O ow, jeritku dalam hati. Pastinya aku cemas dengan hasilnya karena aku merasa tidak mengerjakannya dengan baik. Secara aku keburu jiper ketika melihat si bule bermata sayu yang menjadi pengawas tes.

Di bagian Listening aku kehilangan konsentrasi sehingga melewati beberapa pertanyaan. Sementara di bagian Writing aku terlalu lama mengerjakan sub-bagian kedua, sehingga sub-bagian pertama kukerjakan dengan terburu-buru dan kemungkinan besar tidak mencapai seratus lima puluh kata. Dan di bagian Speaking, aku tergagap! Banyak bengongnya daripada bicaranya karena si bule seperti sedang menginterogasiku. Blank-lah sudah otakku dalam seketika. Dia menanyaiku pertanyaan, aku menjawab dengan satu dua kata, lalu dia lanjut ke pertanyaan berikutnya. Aku tidak sempat bercas-cis-cus. Ampun deh! Yang kurasa bisa kukerjakan dengan baik hanya di bagian Reading saja.

Hari Senin siang aku ke kantor penyelenggara tes, dan ternyata, eh ternyata, hasilku memenuhi syarat dari pihak universitas! Dengan overall band score pas dengan nilai yang diwajibkan, yaitu 6.5. Oh, betapa girangnya aku! Lebih mengherankan lagi, justru nilai Speaking-ku yang paling tinggi. Dengan hasil itu maka aku tidak perlu lagi mengikuti kursus Bahasa Inggris di sana yang harganya selangit jika dirupiahkan. Lumayan kan, menghemat biaya. Hasilnya pun segera di-submit dan sekarang aku tinggal menunggu surat Conditional Offer-ku diganti dengan Full Offer dari universitas yang bersangkutan. 

Sementara menunggu, aku coba-coba mencari akomodasi. Browsing dan googling kujabani demi mencari sebuah kamar sesederhana mungkin dengan harga sewa tidak melebihi AUD100 per minggu, ditambah biaya utilities (gas, laundri, listrik, internet, dll) antara AUD30-40. Itupun dengan biaya sewa kurang lebih AUD400 sebulan, artinya aku harus menghemat biaya makan, make-up, baju, dll dll. Sekalian diet deh tuh. Untung saja kudengar kabar bahwa untuk mahasiswa internasional diberikan potongan harga jika ingin menggunakan transportasi publik, bahkan ada yang gratis, asalkan menunjukkan kartu mahasiswa. Haleluya!

Aku masuk dari satu website ke website lainnya, dan akhirnya nyasar ke website EasyRoomate. Iseng saja kuisi aplikasi dan melakukan pencarian di situs tersebut. Dan lihatlah apa yang kutemukan!

Klik pada gambar untuk lebih jelas.

Iya, aku agak sedikit norak ketika mengklik kotak isian "Preferred Orientation" itu. Secara kalau cari kamar kost di Indonesia, kan tidak ditanyai sama tante kost-nya kamu mau tinggal serumah dengan gay, lesbian atau biseksual. Ya, kan? Kan?

Lantas pilihan mana yang kupilih? Tentu saja aku memilih "Doesn't Matter." Aku tidak peduli dengan orientasi teman serumahku. Lagipula, tidak mungkinkan ketika di sana nanti lalu aku memperkenalkan diri "Hai, aku Rae dan aku lesbian." Aku tidak kepikiran untuk keluar dari lemari. Belum. Pokoknya sekarang fokusnya pengurusan dokumen, visa dan cari kamar. Yang murah!

Dan pencarian pun masih berlanjut...

Monday, 23 July 2012

Cerita Minggu

Sudah beberapa waktu lamanya aku tidak menghabiskan waktu luangku bersama kedua adikku. Biasanya di hari Minggu, kami bertiga, ditambah pacarnya si Tengah, jalan-jalan atau nonton bareng di bioskop. Tapi semenjak masalah pelik yang datang menimpa, kami tidak pernah lagi menikmati hari Minggu bersama. Namun hari ini, akhirnya kami memliki kesempatan jalan-jalan bersama, meski hanya sebentar.

Setelah mengantar Mama ke bandara, kami berempat memutuskan untuk jalan-jalan ke mal. Kami makan siang, kemudian menemani si Tengah menindik telinganya, lalu ke Naughty dan memilihkannya anting. Aneh, ya? Tidak satupun telingaku ditindik. Dipaksa pun aku tak mau. Dan ini adikku malah memiliki dua tindikan di kedua telinganya. Ketika kutanya kenapa ditindik, jawabnya supaya mirip Lee Min Ho. Halah, memangnya Min Ho telinganya ditindik? Si Bungsu pun menyeletuk, "Si Koko mah gara-garanya pacarnya dilirik cowok lain, yang dandanannya mirip Lee Min Ho. Makanya jadi ikutan pengin tindik." Ada-ada saja.

Beres dengan urusan tindik-menindik dan telinga, pacarnya si Tengah mengajak foto bareng. Kamipun menyetujui usulnya. Maka kami berempat bergegas ke sebuah arena bermain yang menyediakan photo box. Beberapa klik di layar, dan kamipun siap berpose, mulai dari pose jaim sampai dengan pose tergila, dengan berbagai latar yang tersedia. Aku jadi kangen dengan teman se-gengku. Dulu, jika baru saja dari salon dan potong rambut, kami selalu foto bersama di photo box untuk mengabadikan momen hari pertama memiliki model rambut baru, juga dengan alasan karena rambut jadi terlihat lebih indah karena baru saja ditata sedemikian rupa, sehingga membuat kami terlihat lebih cantik. Iya, narsis memang.

Sesudah foto berempat, si Tengah foto berdua bersama pacarnya sambil mengenakan topi Angry Bird yang dibelinya sebelumnya. Anak muda kalau pacaran, ya begitu tuh. He he... sok tua deh aku ini. Dengan waktu kurang dari 5 menit, fotonya pun jadi. Kami jadi terkikik-kikik sendiri melihat hasilnya. Lalu si Bungsu memelas minta diajakin main Timezone. Mau tidak mau, kami semua ikutan bermain. Bergantian kami bermain Time Crisis dan Nascar.

Puas bermain, dan isi voucher-nya habis, aku mengajak mereka pulang. Kakiku sudah mulai pegal dan aku mengantuk. Entah karena umurku atau karena aku menghabiskan hidupku di mal sewaktu kuliah dulu, aku jadi tidak tahan berlama-lama berada di dalam mal. Apalagi jalan-jalan mengelilinginya di saat sedang ramai pengunjung. Biasanya kalau ke mal, aku lebih suka menongkrongi kafe dan berlama-lama di sana, atau nonton bioskop.

Ketika hendak pulang, aku minta diantarkan ke rumah S karena hampir sepanjang akhir pekan ini aku tidak bersamanya. Hanya kemarin malam aku mampir sebentar di rumahnya sebelum menghadiri resepsi pernikahan sepupuku untuk mengambil parfumku yang ketinggalan. Ke pesta itu harus wangi. Ya, kan? Melihatku turun dari mobil dengan baju terusan berwarna hitam selutut, sepatu hak tinggi, dengan rambut yang dikeriting rol (itu namanya keriting apaan sih?) dan make-up komplit, dia menyolek lenganku dan berkata, "Hey, Seksi. Godain aku dong." Ha ha ha! Dan sebelum aku pergi, dia sempat menyematkan sebuah cincin di jariku. Bukan, bukan. Itu bukan cincin pertunangan. Hanya supaya matching dengan kalungku, begitu katanya. Makanya tadi aku minta diantar ke sini untuk mengembalikan cincinnya, dan pada akhirnya dia memintaku menginap.

Jadi tadi aku menemaninya makan malam sambil kuceritakan tentang pesta pernikahan sepupuku kemarin, juga tentang kegilaan kami berempat tadi. Mendengar itu, dia mengajakku foto bareng di photo box. Kupikir dia tidak akan mau melakukan hal-hal seperti itu, lho. Tapi mengetahui bahwa dia juga kepengin, apalagi sampai mengajakku, membuat aku tergelak. Setelah aku selesai bercerita, gantian dia yang menceritakan apa saja yang dilakukannya sepanjang akhir pekan ini, seperti yang sudah bisa kutebak, yaitu bersih-bersih dan baca buku.

Menjelang tidur, dia memintaku menambahkan lagu-lagu Korea yang minggu lalu kuselundupkan di ponselnya. Tuh, strategiku berhasil. Hahay! Dan sekarang diapun sudah pulas. Pacaran dengannya, mataku jadi sering terpejam di bawah jam sepuluh malam. Kecuali di saat-saat tertentu, seperti ketika kepalaku sedang penuh-penuhnya, atau di saat aku sedang ingin menulis, meski sebenarnya yang kutulis juga tidak penting-penting amat. Hanya berupa randon posting dan curcol tak jelas. Mungkin ini efek sampingnya saat ponselku sudah dibekali lengkap oleh aplikasi untuk menulis blog, mulai dari Blogger sampai Tumblr. Bahkan Wordpress juga ada, padahal aku tidak memiliki blog di domain yang satu itu.

Baiklah, ini sudah kelewat random deh. Jadi kututup saja dengan dengan sebuah kutipan yang kuambil dari salah satu fanfiction pilihanku. Sepertinya pernah kukutip di sini, tapi tidak lengkap. Dan kutipan ini kupilih berdasarkan pada kejadian yang kualami hari ini; momen bersama adik-adikku, juga kebersamaanku dengan S.
"Life and love are not about the moments you plan out, because rarely anything goes according to plan, right? Life is a collection of the small things; the quiet moments when you gaze at the stars, or when you share a delicious cup of coffee with good friends, or when you get a surprise visit from somebody special, however brief the visit might be.

Enjoy those moments... soak them up... store them away. Because
those are the moments that make the best memories, and those are the memories that will keep us warm on
cold nights when we are all old and gray."

Tuesday, 17 July 2012

Minggat

Aku minggat. Tidak, tidak. Aku bukannya coming out pada keluargaku lalu diusir dari rumah. Yang kumaksud dengan "minggat" adalah aku menginap di rumah S. Minggat, karena seharusnya aku berada di sini hanya pada akhir pekan saja dan bukannya di hari kerja. Penyebabnya? Karena sebuah kejadian yang terjadi, yang membuatku kesal, sedih dan sakit hati yang terjadi di rumah.

Tidak pernah terbayangkan bahwa aku akan melakukan hal ini. Kau tau, minggat seperti ini. Aku bahkan bukan tipe orang yang bisa secara impulsif melakukan sesuatu di luar akal sehatku. Namun ketika kejadian yang menyakitkan itu terjadi, tahu-tahunya aku sudah berada di rumah S. Jadi kukirimkan pesan singkat kepadanya, mengatakan bahwa aku ada di rumahnya.

Mendengarkan lagu-lagu Joshua Radin selama perjalanan menuju rumah S tidak cukup membantu. Buktinya aku malah menangis seperti orang yang patah hati di kamar mandi. Selama beberapa saat aku menangis sampai kudengar ketukan di pintu. Dia masuk sebelum aku sempat menjawabnya. Baiklah, ini bukan adegan yang pernah kubayangkan bakal kualami; menangis di kamar mandi, di bawah pancuran, dan dipergoki pacar. Enggak keren dan menunjukkan betapa cengengnya aku. Not to mention that I was naked. And this time, I was literally naked.

Melihat reaksiku, dia meraih handukku yang digantung di balik pintu, menarikku keluar dari pancuran, membungkus tubuhku dengan handuk, lalu memelukku. Dan itu malah membuat tangisku semakin menjadi-jadi. Tuh kan, dasar cengeng. Manja deh. Tapi dia memelukku sampai tangisku reda, lalu entah bagaimana caranya tahu-tahu dia juga sudah ikutan mandi. Benar-benar kesempatan dalam kesempitan.

Selesai mandi, dia mengeringkan tubuhku dengan handuk, memakaikanku baju dan menyisir rambutku yang masih basah. "Nah, sudah cakep. Sekarang kamu mau donat?" Pertanyaannya itu membuatku menatapnya dengan mata mengerjap. Donat? Seriusan? Aku baru saja menangis selama sejam lebih, dan sekarang dia menawariku donat? "Aku mampir beli selusin Alcapone tadi..."

"Alcapone?" Dia mengangguk. "Selusin?" Angguk lagi. Kali ini ledaklah tawaku. Baiklah, sedikit gula mungkin bisa mengusir rasa sedihku. Lagipula, melihat bahwa dia ingat dengan pilihan rasa kesukaanku membuat hatiku sedikit berbunga. Iya, iya, banyak berbunga, deh.

Benar saja, ternyata ada sebuah kotak JCo di atas meja. Semuanya Alcapone. Dia menarikku duduk di sofa, meraih remote lalu menyalakan DVD. Tidak bisa dipercaya, kan? Baru beberapa saat yang lalu aku menangis bombay sampai hidungku mampet dan mataku terasa bengkak, dan sekarang kami makan donat sambil melanjutkan menonton episode Grey's Anatomy yang sedang kami ikuti.

Malamnya kami berbaring di tempat tidur, dalam diam, hanya menatap langit-langit kamar. Lampu sudah dimatikannya sejak tadi karena aku mengeluhkan sakit kepala dan menolak minum obat. Berbaring dalam gelap adalah cara yang cukup ampuh yang kutemukan untuk sedikit meredakan sakit kepalaku. Maklum saja, itu memang penyakit andalanku. Jadi tidak perlu heran jika aku menemukan cara meredakannya tanpa harus minum obat.

Beberapa saat lamanya kami berbaring, namun aku tahu dia sedang menungguku bicara. Maksudku, jika pacarmu tiba-tiba muncul di rumahmu, menangis lalu tertawa lalu makan donat sambil menonton Grey's Anatomy, kau pasti ingin tahu apa yang terjadi. Ya, kan? Kepalaku masih berdenyut ketika akhirnya aku bicara. Kuceritakan padanya apa yang terjadi, dan dia mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa. Bahkan ketika aku selesai bercerita, dia tidak mengatakan satu kata pun. Aku tahu, dia juga tahu, bahwa tidak ada yang perlu dikomentari mengenai ceritaku tadi. Yang dilakukannya justru meraihku ke dalam dekapannya, menyusupkan gelitik ketabahan dalam diriku.

Ketika pagi hari aku terbangun karena alarm di ponselku berbunyi sejam lebih awal, aku menemukan bungkusan obat dan segelas air putih di meja samping tempat tidur. Kuminum obatnya karena kepalaku masih terasa sakit. Kuselipkan tubuhku di antara guling, kembali ke dalam pelukannya, samar menghirup aroma sabun dan sampo. Lalu aku kembali tidur.

Sesaat sebelum S berangkat ke kantor, aku meminta diantarnya pulang. Dia tergelak. "Minggat kok pakai minta pulang segala, Say?" godanya. Aku menyipitkan mata, yang memang sudah sipit, dan dia mengiyakan masih sambil tertawa. Maka di sinilah aku, di mobil, di sampingnya yang sedang menyetir, mengantarku kembali pulang di jam makan siangnya.

Bisa-bisanya aku minggat. Meh...

Sunday, 15 July 2012

I am Grateful

Hujan mengguyur deras di luar, membuat kami berdua dengan senang hati memilih untuk tinggal di rumah saja. Kami meringkuk di sofa dan aku mendekapkan tubuhku erat padanya karena udara yang dingin. Dia membaca buku, sementara aku membalas BBM sambil mengutak-atik iTunes. Aku harus meng-update beberapa aplikasi di ponselnya karena dia paling malas mengurusi segala sesuatu seperti itu. Sungguh, aku ini seperti sekretarisnya. "Itulah mengapa sebabnya aku punya kamu. He he he. Lagipula, kamu yang mengunduh mereka di ponselku, say," katanya. Tapi tak mengapa, karena itu artinya aku punya kesempatan menyusupkan lagu-lagu Korea. Lihat saja nanti siapa yang pada akhirnya akan tertawa. Ha ha!

Sambil menunggu unduhan aplikasi, aku mengecek email. Ada email dari Caty yang isinya berupa "ancaman" kalau aku bakal dijitaknya sampai pitak jika aku mempermainkan S. (Tenang saja, Caty. Aku tidak main-main. Lagian, aku tidak ingin kepalaku pitak.) Juga dia mengatakan kalau aku beruntung memiliki S. Kuingat-ingat, sudah ada 4 orang yang mengatakan kalau aku ini beruntung, dan salah satunya temanku yang sedang kubalas BBM-nya. Q juga berkata seperti itu ketika kuceritakan padanya saat kami chatting.

Kurasa mereka benar. Aku beruntung. Tidak hanya karena memiliki S, tapi juga karena banyak hal lainnya. Dan aku bersyukur untuk itu. Salah satunya karena aku memiliki teman-teman baik dan dekat. Aku tidak memiliki banyak teman. Aku mengenal banyak orang, iya. Tapi tidak sebegitu kenalnya hingga aku bisa berbicara lebih dari sapaan formal dengan mereka. Namun dengan teman-teman dekatku, kami bisa saling berbicara dengan terus terang. Bahkan kadang aku merasa aku terlalu straightforward dan membuat mereka tersinggung atau malah kesal. Tetapi bagiku, itu merupakan tanda bahwa mereka telah menjadi bagian yang penting dalam hidupku. Sebagai gantinya, aku tidak keberatan jika mereka melakukan hal yang sama terhadapku. Jika memang aku salah, maka mereka akan terang-terangan mengatakan aku salah. Termasuk juga mengingatkanku akan apa yang kumiliki saat ini yang sudah seharusnya kusyukuri.

Itu semua kemudian mengingatkanku juga akan segala sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupanku. Segala kesulitan, halangan dan rintangan, adalah sesuatu yang membuatku menjadi yang seperti sekarang ini. Jika tidak pernah aku mengalami semuanya itu, maka akupun tidak akan bertemu dan mengenal mereka yang saat ini memegang peran penting dalam hidupku, termasuk S. Aku lebih suka menyebut mereka orang-orang hebat, karena mereka memang hebat, dan karena melalui merekalah aku belajar banyak hal. Juga aku tidak akan pernah mengalami hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kukira ada, bahkan yang kusangkal selama ini. Dan pada akhirnya, semuanya berujung pada sebuah kesimpulan bahwa di tengah-tengah kekacauan dan hiruk-pikuk kehidupan, pasti ada sesuatu yang layak dan patut untuk disyukuri, sekecil apapun itu.

Aku melirik S yang masih asyik membaca buku. Aku tidak heran jika dia begitu asyik membaca karena akupun demikian saat membacanya. Menyadari aku sedang menatapnya, dia pun mengangkat wajahnya dan balas menatapku dengan tatapan penuh tanya. Aku memberinya sebuah senyum, lalu menggerakkan bibirku, mengucapkan I love you. Dia nampak terkejut. Belum terbiasa mendengarku mengucapkan kalimat itu rupanya. Hehe... Namun hanya sesaat dia terlihat kaget, dan kemudian membalas ucapanku sambil mendaratkan sebuah kecupan di bibirku. Maka aku pun tahu bahwa aku akan selalu mensyukuri dan mengingat saat-saat seperti itu.

Saturday, 14 July 2012

In or Out

Life is about taking risks. Bukankah begitu kata orang? Dan aku setuju, kalau kau menanyakan pendapatku. Itulah sebabnya kukatakan bahwa aku ingin mencoba bungee jumping kepada S saat kami sedang duduk santai di sofa sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kuis untuk mengetahui apakah kamu seorang pengambil resiko atau sebaliknya, di sebuah majalah. Dan bungee jumping adalah jawabanku untuk pertanyaan "hal baru apa yang ingin kamu lakukan dalam hidupmu?"

Berbeda dengan jawabanku, S memilih untuk tidak melakukan apapun. Baginya, hal-hal baru lebih merupakan beban daripada tantangan. Dia merasa lebih tenang jika segala sesuatunya berada dalam keadaan stabil dan tidak berubah-ubah, meski dalam beberapa hal lainnya, mau tidak mau dia harus menerima perubahan karena dunia akan tetap berubah dengan atau tanpa persetujuannya. Aku mengerti kenapa dia seperti itu, terutama dalam hal pekerjaannya. Apa yang diperolehnya sekarang adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Itu yang membuatnya tidak ingin mengambil resiko, apalagi mencoba hal baru. Jadi aku memaklumi saja saat suatu ketika dia mengoceh ini-itu mengenai pekerjaannya atau mengenai bosnya. Yang kulakukan adalah bertanya padanya apa dia mau mencari pekerjaan baru, dan dia akan menjawab tidak, dan aku akan berkata, deal with it, baby, sambil tersenyum simpati. Lalu dia hanya akan mendesah pasrah.

Tidak hanya dalam hal pekerjaan saja, tetapi pada banyak hal lain dalam kehidupannya juga seperti itu. Misalnya, dia lebih memilih makan di restoran yang sama dan memesan menu yang sama setiap kali. Ketika kuajak dia makan di restoran lain yang juga menyediakan jenis masakan yang sama, namun belum pernah kami datangi, dia menolak. Alasannya mungkin bisa saja karena kenyamanan atau karena pelayanan restoran itu. Aku juga biasanya seperti itu. Ketika merasa nyaman dengan suatu tempat, aku akan terus mendatanginya. Meski, tentu saja, aku tidak keberatan untuk mencoba tempat baru. Tapi mengenal S, kemungkinan terbesar alasannya adalah karena dia malas menyesuaikan seleranya di restoran yang baru dan menghabiskan waktu menelurusuri satu per satu makanan di daftar menu.

Ketika insiden aku yang membeo saat dia menyatakan perasaannya, yang seharusnya menjadi momen intim dan indah bagi kami berdua tapi malah akhirnya jadi pemicu perang dingin, segalanya jadi terbalik. Aku sekarang berada di posisi S, dan S berada di posisiku. Aku lebih memilih untuk merasa aman, untuk melindungi diriku dari rasa sakit, dan menjaga jarak pada batas-batas tertentu agar aku tidak terlalu bergantung padanya, tidak mengikat diriku terlalu erat padanya, tidak melekat padanya. Alasannya? Simpel saja, karena agar nanti ketika waktunya kami harus berpisah, rasanya tidak akan terlalu menyakitkan, baik bagiku maupun bagi dia. Sementara S, dia tahu resikonya namun dia memutuskan untuk melangkah, bahkan sejak awal ketika dia memberanikan dirinya mendekatiku, dengan taruhan aku ini lesbian atau bukan. Lihat, dia bahkan sudah melompat, ber-bungee jumping, dan aku masih berdiri di atas, menimbang-nimbang apakah harus melompat atau tidak. I got chickened out because I want to save my ass, I mean my heart from getting hurt.

Maka malam ketika kami kembali dari kencan spesial yang kubuat untuknya sebagai usaha perdamaian dan menunjukkan niatku bahwa aku benar-benar ingin menjalani apapun yang akan kami jalani bersamanya, aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Kutelanjangi diriku - tidak secara harafiah - dan secara gamblang mengatakan semuanya kepadanya. Semua yang menjadi alasan kenapa aku membeo. Semuanya.

Dan inilah yang dia katakan padaku; masih ada waktu 6 bulan, kurang lebih, sebelum tugasku berakhir, bukan? Aku mengangguk. Dan selama ini kita menikmati saat-saat bersama. Angguk lagi. Meski kadang ada adu pendapat, tapi kita justru malah lebih menikmatinya, betul? Angguk, angguk. Ingin kutambahkan kalau aku juga sangat menikmati waktu sesudahnya. Well, kau tahu maksudku... Dan apapun nanti yang akan terjadi, atau seberapa sakitnya luka yang akan dirasakan, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa bersamamu, walau sesingkat apapun. Angguk. Karena aku pernah melewatkannya dan aku menyesalinya. Angguk, meski aku kurang paham dengan maksudnya. Pernah melewatkan? Akan kutanyakan padanya nanti. Jadi aku ingin melanjutkan apa yang kita miliki sekarang ini. Angguk, angguk, angguk. Gimana dengan kamu? Are you in or out?

Kali ini aku tidak membeo. Sudah cukup urusanku dengan si beo. Hanya membawa petaka saja. Kali ini, mengikuti saran temanku, show some gestures, kutatap dia dengan penuh keyakinan dan kukatakn I love you untuk yang pertama kalinya dan untuk yang kesekian kalinya di antara ciuman kami. I am so in.

Malam itu kami pun bercinta seperti tiada hari esok.

Thursday, 12 July 2012

The Right One

Temanku baru saja putus dengan pacarnya. He wasn't the right one, begitu jawabnya ketika kutanya alasan kenapa dia mengakhiri hubungan mereka. Dia temanku dan aku mengenalnya dengan baik dan aku tahu dia akan baik-baik saja meski sedang patah hati. Tidak akan butuh waktu lama sampai dia menemukan pengganti.

Aku menoleh ke sebelah kanan monitor, dimana ada kotak chat dengan temanku yang lain. Kalau yang satu curhat menenai putus cinta, yang satu ini curhat kapan dia bisa menemukan si "Mr. Right".

Kenapa sih, banyak orang terobsesi untuk menemukan "the right one"? Temannya temanku bahkan pernah berkata bahwa dia harus pacaran sesering mungkin untuk memperbesar kemungkinan menemukan pendamping yang paling tepat untuknya. Percayalah, aku sedang tidak men-judge. Aku hanya ingin tahu saja. Maksudku, kalau setiap orang yang pacaran lalu merasa pacarnya bukanlah orang yang tepat, bukan belahan jiwanya, lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan, kasihan amat yang diputusin. Bagaimana kalau mereka ternyata bukanlah orang yang tepat bagi siapapun? (Aku tahu, ini pikiran paling ngaco. Jadi tidak usah diambil pusing.)

Sekarang coba bayangkan kalau aku juga seperti itu. Mencari orang yang paling tepat untukku. Kemungkinan besar aku tidak akan menemukannya. Maksudku begini, berapa banyak lesbian yang bisa kutemui dalam sebulan? ZERO. NULL. Ini saja kalau bukan S yang mengambil inisiatif lebih dulu, aku tidak akan pernah tahu kalau dia lesbian, apalagi menjadi pacarku. See? I don't even have gaydar on me!

Kembali ke pertanyaanku tadi. Akan kuperjelas pertanyaanku: Sepenting itukah menemukan "the right one"? Berapa banyak kali harus pacaran dengan orang yang salah sebelum akhirnya menemukan yang tepat?

Kupalingkan wajah ke arah S yang sedang asyik membaca buku, lalu kusenggol kakinya. Dia hanya menyahutku dengan "hmmm"-nya yang khas tanpa mengangkat wajahnya dari buku. Kutanyakan saja pendapatnya tentang perihal tadi. Nah, kali ini aku mendapatkan perhatiannya sepenuhnya.

"The right one?" tanyanya, dan aku mengangguk. Aku benar-benar ingin tahu jawabannya. Dan inilah jawabnya.

Whoever the person you're in love with, he/she is the right one. Otherwise, you wouldn't fall in love in the first place."

Jackpot!


Pikirku benar juga apa yang dikatakannya. Kalau dari awal sudah merasa salah, ya tidak bakal jatuh cinta. Iya, kan? Kurasa ya.

Karena merasa telah memperoleh jawaban yang sangat memuaskan, kuberi dia kecupan di pipi. Tapi ternyata di sinilah kekacauan mulai terjadi. S meletakkan bukunya di atas meja, memutar tubuhnya hingga menghadapku. Wajahnya tampak serius.

"Aku cinta kamu, itu artinya kamu orang yang tepat untukku. The right one, kalau mengikuti istilahmu." Pengakuannya membuat hatiku melonjak. "Pertanyaannya," lanjutnya. Kali ini aku was-was. "Apa kamu juga seperti itu terhadapku?"

Aku melongo. Aku bengong. Aku membuka dan menutup mulutku seperti ikan mas koki. Tidak mengatakan "ya" ataupun "tidak." Aku hanya menatapnya, tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutnya. Selama beberapa saat dia menungguku mengatakan sesuatu, tapi mulutku tidak bisa berbicara di saat ia seharusnya berkata-kata. Dan malam itu dia memunggungiku saat tidur. Pintar sekali kamu, Rae.

Esok harinya dia mogok bicara. Bahkan ketika aku pamit pulang pun dia tidak mengatakan apa-apa. Baiklah, dia sedang emosi. Sedang sewot, kalau kata temanku. Jadi kubiarkan dia tenang dulu. Uh, setidaknya itulah yang kukira. Namun ternyata diamku, lagi-lagi, malah memperburuk keadaan. Setelah disadarkan, baru aku mengambil tindakan.

Kalau kamu belum menentukan pilihanmu, lebih baik akhiri saja hubungan ini. Lebih cepat, lebih baik.

Itu katanya ketika aku menelepon dia untuk meminta maaf dan menjelaskan kenapa aku bengong seperti beo malam itu. Ya ampun, begini nih repotnya pacaran sama yang lebih tua. Gak neko-neko.

Namun harus kuakui bahwa perkataannya itu membuatku sadar. Aku sadar bahwa aku memiliki sesuatu yang berharga. Aku memiliki seseorang yang tahan mendengar kicauanku tentang pikiran-pikiran teraneh yang tak bisa kaubayangkan, yang bersedia menggosokkan minyak gosok di punggungku sebelum tidur (oh ya, aku baru bisa tidur setelah digosoki minyak gosok), yang memberiku kecupan selamat malam dan selamat pagi, yang membuat dadaku sesak oleh bahagia saat dia menatapku, yang membuatku memasang senyum I-just-got-laid yang membuatku terlihat bodoh tapi aku tidak peduli.

Dan di antara segala ketidakpastian, aku tahu pasti bahwa aku tidak ingin kehilangan dia. Aku sudah menetapkan pilihanku sejak awal. Yang harus kulakukan sekarang adalah meyakinkannya bahwa - seperti aku baginya, dia bagiku juga orang yang tepat. The right one.


Ps. Maaf, aku sedang mellow, dan malam ini hujan lebat. Kelebayanku sedang berada pada titik tertinggi, dan aku perlu meredakan kecemasanku. So yeah...

Friday, 6 July 2012

Blogger yang Tidak Pandai Menulis

Itupun kalau aku layak disebut blogger. Sepertinya aku lebih merupakan tukang curcol di dunia maya. Semacan dedemit yang gentayangan di dunia per-blog-an dan senang curhat.

Lantas kenapa aku menyebut diriku seperti itu? Jadi begini ceritanya. Aku sedang panik. Panik sepanik-paniknya. Aku panik karena kedapatan ternyata aku tidak bisa menulis! Padahal sebentar lagi aku akan mengikuti tes IELTS.

Begini, lho. Dalam tes IELTS terdapat empat bagian, yaitu Listening, Reading, Writing, dan Speaking. Awalnya kupikir aku akan kesulitan di bagian Listening, karena aku sering terpukau dengan aksen British yang digunakan sehingga lupa menjawab soal. Atau bagian Reading, karena aku sering mengantuk saat mebaca artikelnya. Eh, ternyata malahan aku bengong saat mengerjakan bagian menulis ini.

Ada dua sub-bagian untuk Writing, yang pertama adalah menjelaskan data yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau diagram, dan yang kedua adalah menuliskan opini atas sebuah pernyataan. Dan di kedua sub-bagian itu aku sama sekali kesulitan. Sulitnya adalah aku bingung harus memulai dari mana, dan seringnya ide-ideku tidak memiliki draft yang beraturan karena aku terpaku pada waktu pengerjaan soal dan pada aturan agar tidak menggunakan kata-kata yang sama berulang-ulang.

Tuh, kan? Gimana aku tidak panik kalau begini? Saking paniknya aku sampai menelpon S selesai les tadi, lalu mulai nyeloteh yang tidak karuan. Menyadari ada yang tidak beres, dia memintaku mampir ke rumahnya. Saat aku tiba, mami sudah tidur. Jadi kami mengobrol di ruang tengah. Di sana aku baru bisa menjelaskan kepanikanku dengan lebih jelas. Namun yang dia lakukan hanyalah tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Itu benar-benar membuatku kesal. Aku sedang panik dan dia menertawaiku.

Bukannya menjelaskan apa yang lucu, dia malah bangkit berdiri, masuk ke kamarnya, lalu keluar lagi sambil membawa sebuah buku di tangannya. Akupun bengong ketika dia menyerahkan buku itu. Di tanganku kini ada sebuah buku yang berjudul "Sputnik Sweetheart" karya Haruki Murakami. Mataku langsung melotot dan aku melonjak kegirangan. Itu buku yang sudah lama kucari!

"Nah, udah gak panik lagi, kan?" katanya. Aku memandanginya dengan penuh ucapan terima kasih dan dia membalasnya dengan tersenyum manis.

"Terima kasih," kataku akhirnya.

"Kamu pasti bisa mengerjakan tes dengan baik," hiburnya, sambil mengelus kepalaku. Aih, aku merasa seperti anak kecil kalau sudah diperlakukannya seperti ini. Tapi aku suka... (memang dasar anak kecil.)

Setelah beberapa saat, aku pamit pulang. Dan sekarang, setelah tiba di rumah, aku malah dilema antara membaca buku pemberiannya, lanjut latihan, atau malah ngeblog. Ujung-ujungnya, kalian tahu sendiri, kan? Kini panikku mulai kumat lagi. Duh, memang dasarnya aku tukang panik! Jadi malam ini aku akan tidur dalam kepanikan.

Ps. Ketika kukatakan "melonjak kegirangan," yang kumaksud adalah menggoyang-goyangkan tangan dan kepalaku tanpa bersuara, karena takut mami bangun.

Wednesday, 4 July 2012

Perawan Tua

Wajah maminya terlihat berseri saat mendapatiku berdiri di depan pintu rumah. Aku membalas dengan senyum yang tak kalah sumringah dan mami mengajakku masuk. Rasanya lucu karena aku diperlakukan seperti tamu. Padahal aku punya kunci rumahnya, lho. Sambil menunggu mami siap-siap, aku duduk manis di sofa. Kemarin aku janji mengajaknya jalan-jalan hari itu. Katanya bosan di rumah sendirian karena S harus bekerja. Kebetulan aku memiliki beberapa jam waktu luang sebelum mulai les, jadi kuajak mami jalan sebelum nanti kembali pulang ke kotanya. Ketika mami akhirnya siap, kami langsung menuju mal terdekat.

Di mal aku menemaninya belanja beberapa barang keperluan hariannya, juga keperluan S. Selesai belanja, aku membawa mami ke restoran favoritku untuk makan siang, yang juga akhirnya menjadi tempat kencan favorit aku dan S. Di sana kami mengobrol tentang banyak hal, termasuk mengenai S. Awalnya aku sedikit kikuk membicarakan S dengan maminya. Aku tidak ingin terlalu banyak memberikan komentar. Tapi kemudian kuanggap saja maminya berbicara padaku seperti berbicara pada teman anaknya. Ngerti kan maksudku? Enggak, ya? Yasudah. Aku juga tidak mengerti.

Dan tentu saja, dari sekian banyak hal yang dibicarakan tentang S, terselip pembicaraan mengenai S yang sampai saat ini belum ada tanda-tandanya bakal menikah. Setelah beberapa waktu bersama S, aku tahu kalau maminya masih suka mengingatkan dia mengenai usianya yang sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga, meski menurut S tidak sesering dulu. Katanya, Mami sudah di ambang menyerah, tapi belum karena orang-orang sering bertanya padanya kapan anaknya menikah.

Aku melayangkan senyum pengertian, seolah aku mengerti. Tapi aku tak kuasa menahan mulut, dan tanpa kusadari aku berujar, Mungkin dia lebih senang hidup sendirian dan bebas, ai. Oh, terkutuk mulutku. Dan mami merespon ucapanku dengan menjelaskan bahwa meski tidak ingin memaksa, tapi ia hanya tidak ingin anak perempuannya hidup sendiri dan kesepian di masa tuanya. Ia tidak akan selamanya hidup di dunia dan ketika saat itu tiba, saat ia harus pergi, maka S akan sendirian. Lalu siapa yang mengurusnya di saat dia tua nanti? Siapa yang akan menemaninya?

Kali ini aku mengerti perasaan mami. Maksudku, orangtua mana yang tidak bakalan memikirkan anak-anaknya? Dan setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, bukan? Meski sebenarnya bagiku, kadang yang mereka anggap terbaik belum tentu seperti itu bagi anak-anak. Untungnya kali ini aku berhasil menahan mulutku, dan yang kulakukan hanya mengangguk-angguk kecil.

Mungkin ini salahku, karena keadaan keluarga yang sulit membuat dia tumbuh menjadi perempuan yang terlalu mandiri, lanjutnya lagi. Nah, ini baru mengejutkan buatku. Aku memang tahu cerita mengenai riwayat kehidupan keluarga mereka. Tapi mami yang menyalahkan dirinya dengan apa yang terjadi pada anaknya sekarang? Ini sungguh di luar dugaan. Aku jadi kehilangan kata-kata. Ingin kuhibur, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tiba-tiba aku memikirkan Mama. Dalam hati aku bertanya, akankah Mama juga nantinya berpikir seperti ini? Menyalahkan dirinya karena aku tidak menikah? Atau menyalahkan keadaan yang pernah terjadi, yang membuatku tidak ingin menikah?

"Bagaimana dengan kamu?" tanya mami, membuyarkan lamunanku.

"Eh? Aku? Uhmm, belum kepikirian, ai," kataku.

"Ah, kamu sama saja dengan S. Kalian berdua bisa tua bersama kalau begitu. Si perawan-perawan tua." Aku hanya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan mami. Seandainya mami tahu, ya...

Kami melanjutkan makan, lalu aku memesan es krim sebagai makanan penutup. Es krim kami tiba bersamaan dengan S yang baru saja pulang dari kantor. Kami janjian bertemu di sana karena dia yang akan mengantar maminya pulang. Kutanya apakah dia ingin makan, tapi dia menolak. Katanya dia kepingin makan tahu tempe yang dimasak maminya di rumah, lalu menyicip es krimku. Setelah selesai, kami keluar dari restoran karena sudah waktunya aku les. Maminya minta ditemani ke toilet dan sambil kami menunggu, kuceritakan kepada S obrolanku dengan mami.

Perawan tua yang tidak perawan tentunya, komentar S, menanggapi ceritaku. Dan mami bilang kita berdua boleh tua bersama. Kamipun tergelak. Dan masih tergelak ketika mami kembali, membuatnya menatap kami penuh heran.

"Ya, ya, ya. Kalian berdua memang cocok. Sama-sama aneh," kata mami, lalu ngeloyor pergi dan kami mengikutinya dari belakang sambil terkikik.

Mami, mami...

Sunday, 1 July 2012

Never Give Up Hope

Kali ini aku memilih tinggal di rumah dan bersantai. Aku tidak bertemu S dan maminya hari ini agar mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Lagipula masih ada setumpukan buku yang harus segera ku-khatam, dan aku masih harus kembali me-review bahan untuk tes nanti.

Well, rencananya sih begitu. Tapi ujung-ujungnya malah aku asyik menonton TV, lalu pada akhirnya ngeblog sambil mengunduh lagu-lagu Korea. Oh, ini salah satu misiku; mengojok-ngojokin S dengan lagu Korea yang ajib-ajib dan unyu-unyu. Jangan melulu mendengarkan Il Divo dan lagu-lagu lainnya yang populer di zaman manusia masih menulis di atas batu. Jadi aku harus menyiapkan persediaan lagu-laguku dan tinggal menunggu saat yang tepat untuk kuselundupkan mereka di ponselnya. Kalau perlu, akan kuselundupkan juga video klip para artis-artis nan bening itu, yang usianya mencapai satu dekade lebih muda darinya. (Nah, sekarang coba bayangkan aku yang sedang tersenyum ala Lucifer.)

Baiklah, mari kembali ke tujuan awal aku menulis postingan ini. Jadi tadi aku makan siang sambil menonton acara "Got to Dance UK," yang digawangi Adam Garcia, Kimberly Wyatt (pasti kenal dong ya?) dan Ashley Banjo. Di saat ada waktu luang, aku selalu menyempatkan diri menonton acara itu, jika sedang tayang di TV. Ingin rasanya bisa jago menari, ya? Tapi mau bagaimana lagi, tubuhku kaku seperti batu. Hanya jari saja yang lincah jika diketuk-ketukkan di atas tombol-tombol keyboard komputer. Anyway, yang menarik adalah saat audisi yang tadi kutonton, ada sebuah grup tari yang terdiri atas beberapa anak penderita down syndrome.

Ketika awal melihat mereka diwawancarai oleh pembawa acara Davina McCall, aku ragu bahwa mereka bisa menunjukkan sebuah tarian apik, apalagi diloloskan juri masuk ke dalam shortlist. Namun yang membuatku merasa seperti seperti ditampar bolak-balik adalah ternyata tarian mereka lumayan. Mulai dari teknik menari sampai koreagrafi yang ditampilkan, melebihi ekpektasiku. Dan yang paling menggugah adalah ketiga juri juga memberikan bintang emas, sebagai tanda mereka lolos masuk ke shortlist.

Kupetik sebuah pelajaran dari adegan sepanjang satu setengah menit itu, yaitu untuk tidak pernah berhenti berharap. Jika dibandingkan dengan peserta lainnya, yang jelas-jelas bisa lebih baik dari mereka, adalah mustahil mereka bisa lolos. Tapi harapan untuk bisa terus menarilah yang membuat mereka tidak menyerah, bahkan ketika orang-orang meragukan kemampuan mereka.

Aku membayangkan betapa sulitnya mereka harus melatih gerakan-gerakannya, dan entah berapa kali mereka harus melakukannya karena gerakannya tidak sempurna saat latihan. Dan betapa melelahkan... Namun mereka terus berusaha karena ada harapan. Jika ada yang berkata bahwa harapan adalah sesuatu yang membuat seseorang tetap hidup, maka aku setuju. Apa gunanya hidup jika tiada lagi harapan?

Ah, Rae. Kamu berkata seperti itu karena sekarang hidupmu penuh dengan pengharapan. Hidupmu terlihat mudah. Kamu mendapatkan apa yang kauinginkan.

Siapa sih yang tidak pernah mengalami kegagalan? Semua orang pasti pernah, termasuk juga aku. Entah itu kegagalan dalam meraih impian, kegagalan dalam hubungan percintaan, atau kegagalan-kegagalan lainnya. Namun ketika mengalami kegagalan ada yang langsung patah semangat, tapi juga ada yang bisa langsung bangkit kembali. Seberapa banyak proporsi antar keduanya, aku kurang tahu pasti. Yang jelas, yang selalu menjadi contoh adalah mereka yang bisa bangkit kembali, bukan?

Hidupku sekarang mungkin terlihat mudah di mata orang-orang. Tapi bukannya hidup itu tidak selamanya sulit, juga tidak bakal selalu mudah? Itu artinya kehidupanku sebelum ini adalah sulit. Tak perlu aku ceritakan secara detail mengenai pergumulanku, yang sebenarnya masih terus berlanjut hingga saat ini. Bedanya, kini aku bisa menghadapi segala sesuatu dengan lebih lapang. Harus kuakui, menerima masalah dengan tangan terbuka menjauhkanku dari depresi. Dan berdoa, itu juga perlu.

Kini aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Namun harus diingat juga bahwa aku pernah mengalami kehilangan. Bukankah ada kutipan yang berkata bahwa saat kita kehilangan sesuatu, maka nantinya kita bisa memperoleh sesuatu yang lebih besar? Menangisi kehilangan terus-menerus bisa membuat seseorang lupa untuk kembali berharap.

Kalau boleh jujur, aku sendiri pernah kehilangan pengharapan. Seolah aku dihadapi pada jalan buntu kemanapun aku melangkah. Dan yang lebih jujur lagi, aku pernah lelah berharap karena terlalu sering dikecewakan oleh harapan itu sendiri. Sepertinya pernah kuceritakan mengenai itu di blog ini. Akan tetapi hidup memiliki caranya sendiri bagi setiap manusia. Selama masih bernafas, maka roda kehidupan masih terus berputar.

Untuk menjaga agar harapan tetap realistis itu juga penting. Akan tetapi untuk berhenti berharap adalah sesuatu yang mustahil. Mengingat kelompok tari tadi... mereka saja, yang memiliki keterbatasan, berani untuk bertindak dan berharap. Apalagi lagi kita - aku dan kamu? Seperti kata seorang sahabatku, "Hope is what I go to sleep with every night, and what I wake up for every morning." Dan aku tidak bisa tidak lebih setuju dari itu.

Kuncinya adalah menerima, melanjutkan hidup dan jangan pernah berhenti berharap, apalagi menyerah. Itu yang selalu kuingatkan pada diriku sendiri, manakala aku sedang berada di titik terendah kehidupanku.

Si Mami

Akhirnya maminya S tiba juga. Pagi tadi, setelah *ehem ehem* kilat (yang sepertinya karena adu argumen kemarin malam), kami buru-buru mandi lalu berkendara ke bandara. Dan benar saja, ketika kami tiba ternyata pesawat yang ditumpangi maminya sudah mendarat, dan maminya sudah menuggu beberapa saat di sana. Aku, yang merasa tidak enak karena terlambat, berkali-kali minta maaf. Aduh, masa iya, kesan pertama bertemu mertua adalah aku orang yang tidak tepat waktu? Apalagi jika mengingat alasan kami terlambat...

Anyway, dari bandara aku mengantar mereka ke sebuah restoran yang menyediakan menu-menu sarapan untuk kami sarapan sekaligus hampir makan siang. Di sana, sambil menunggu pesanan, kami mengobrol santai. Lebih tepatnya sih, maminya menanyaiku ini dan itu, layaknya sedang mengintoregasi. Seperti fit and proper test gitu deh. Hehehe... enggak deng. Aku berlebihan.

Selesai makan, kami kembali pulang. Namun baru beberapa saat tiba di rumah, maminya bersikeras minta diajak jalan-jalan. S melarang karena maminya baru saja menempuh perjalanan panjang dan seharusnya istirahat. Tapi katanya, "Mami ini jauh-jauh datang ke sini, masa cuma berdiam diri di rumah? Mami masih kuat lho." Dengan itu, maka berakhirlah sudah rundingan, dengan hasil aku memihak maminya dan S mengernyitkan alisnya kepadaku, menyadari mulai terciptanya aliansi antara aku dan maminya. Kubalas dia dengan cengiran selebar cengir kuda.

Jadilah maminya kubawa jalan-jalan ke sebuah tempat wisata yang pernah aku dan S datangi. Sepanjang perjalanan maminya terus mengobrol, menanyaiku tentang kotaku, dan terutama ingin tahu banyak mengenai tempat wisata yang kami kunjungi. Pokoknya jika dibukukan, obrolan kami seharian ini bisa lulus syarat penerbitan novel.

Menjelang sore, S mengajak kami pulang dengan alasan aku masih harus menyetir pulang ke rumahku, yang letaknya cukup jauh dari rumah S. Iya, malam ini tidak ada acara inap-inapan karena ada maminya S. Di perjalanan pulang, S menyetir, maminya duduk di kursi penumpang dan tertidur, sementara aku duduk di kursi belakang. Berkali-kali S menatapku dari spion mobil dan kami saling beradu pandang. Seolah kami bisa berbicara melalui tatapan, aku tahu dia meminta maaf karena celotehan maminya yang tiada henti. Meski S selalu ikutan nimbrung dalam obrolan dan canda kami, tapi pada dasarnya aku lebih banyak berbicara. Aku memberinya senyum pengertian. Lagipula, aku menikmati obrolan dengan maminya tadi.

Aku sudah hampir menoleh ke arah jendela di samping ketika kulihat dia masih menatapku, sambil sesekali mengalihkan tatapannya ke jalan di depan. Lagi-lagi dia meminta maaf melalui tatapannya itu, dan kali ini aku tahu apa maksudnya. Dia meminta maaf atas kejadian kemarin malam. Padahal semalam kami sudah saling minta maaf, begitu juga tadi pagi. Namun melalui tatapan ternyata rasanya lebih menyentuh dan lebih tulus. Jadi ingat dengan kalimat "If looks can kill..." Melihat tatapannya, aku hanya menggelengkan kepala, seperti berkata, Lupakan saja. Lagipula pertengkaran itu tidak sepenuhnya salahnya. Aku juga salah.

Sisa perjalanan kuhabiskan dengan menyelesaikan buku yang sedang kubaca. Lalu setelah tiba di rumah S, aku segera pamit pulang. Dan sekarang, lagi-lagi, aku masih belum bisa tidur. Padahal tubuhku sudah berteriak minta diistirahatkan. Tapi apa daya, mataku belum mau menyerah. Entah karena dua gelas kopi hitam yang tadi kuminum, ditambah seperempat gelas kopi milik S, atau karena aku tidak berceloteh mengenai pikiran-pikiranku kepada S, seperti yang biasa kulakukan.

Semalam, setelah selesai menulis blog, aku bisa langsung tidur. Semoga malam ini juga begitu. Semoga menulis di sini, di tengah malam buta, bisa menjadi obat tidur untukku. Jika S bisa tidur setelah kuninabobokan dengan celotehanku, maka aku bisa tidur setelah berceloteh di sini. Makanya, kupikir blog ini seharusnya kunamakan "Celotehan Rae."

Ah, baiklah. Aku sudah mulai ngawur. Sebaiknya aku akhiri di sini lalu bersiap tidur.

Selamat malam, maksudku pagi, dunia.

Saturday, 30 June 2012

Midnight Rambling

It's less than an hour before midnight and I'm still wide awake. Despite my eyes are weary and by now I'm having severe headache, I still couldn't fall asleep. If this is what people call insomnia, then I might have it right now.

S has already been asleep. Usually I would just ramble on her about everything before we go to sleep, that she told me it has become a ritual for us when I'm having sleepover. Me rambling is more like I'm singing lullaby to her. But lately she had to stay up late at night doing paperwork these past few days, so I didn't want her to listen to any more thoughts that came into my mind when she got more time to rest.

By the way, earlier this evening we had a little argument over something that - when I think about it now - was silly. Apparently, we have different perception on certain things, which is quite normal, right? And difference doesn't really do any good when you are worn out, or when you are having PMS. It wasn't a big deal actually, though she really got into my nerve when she said the things she had said to me. I wasn't the saint either, because I said something terrible to her. (And people wonder why do I prefer to be silent most of the time, really.)

However, we finally came to an understanding and we made up and she got back to her paperwork, while I continued doing the task exercise on the IELTS book that she bought me.

Well then I guess it was the first fight we had.

It wasn't an ugly argument, yet I have to keep in mind that other people, including S, have different point of view about things before we get into each other's throat (figuratively). And knowing S and her story of the past, I, of all people, should have better understanding when it comes to her disagree about my doings that involves her in personal.

So, maybe what's happened earlier has been keeping me awake. Or maybe I am just worried about the next week test. Whatever it is, I should probably go to bed. And S's mother is coming to town and we'll have to pick her up in the morning.

Oh yes, I'm having a big day tomorrow then. Crossing my fingers that things will go well!

Sunday, 24 June 2012

Mimpi

Pernah tidak, mengalami mimpi buruk? Yang karena buruknya, lalu membuat mimpi itu seolah nyata? Dan bahkan menghantuimu sampai-sampai kamu tidak lagi berani tidur?

Bagiku, mimpi dikejar manusia yang jahat, seperti psikopat, itu jauh lebih horor dibandingkan mimpi dikejar setan. Dan sialnya, aku lebih sering bermimpi dikejar psikopat. Bukannya aku sering bermimpi saat tidur juga... hanya saat-saat tertentu sepertinya.

Hari kedua di rumah sakit, malamnya aku bermimpi. Buruk. Jauh lebih buruk dari mimpi dikejar psikopat, yang sepertinya kini kunobatkan menjadi mimpi terburuk abad ini. Aku bermimpi ketahuan lesbian oleh Mama. Tuh kan, buruk banget kan? Bahkan S sampai harus membangunkanku karena katanya aku mengigau yang tidak-tidak. Esoknya aku tidak berani tidur siang sendirian karena takut bermimpi lagi. Mengingat reaksi Mama di mimpiku masih membuat bulu kudukku meremang.

Kuceritakan mimpiku pada seorang teman. Setelah beberapa saat mengobrol, aku lantas sadar ada satu kecemasanku yang cukup mengganggu, meski seringnya tidak kuacuhkan. Dan kemudian kecemasan itu bisa saja memengaruhi alam bawah sadar dan membuatku bermimpi... atau setidaknya itu yang kupikir. Lalu kata temanku itu, katanya sebaiknya coba aku ceritakan pada S. Mengikuti sarannya, malam itu kuceritakan semuanya kepada S. Mulai dari tentang mimpiku, kecemasanku, sampai pikiran-pikiranku yang tidak mungkin kukatakan pada orang lain, apalagi dituliskan di sini. Yang S lakukan setelah aku selesai bercerita yaitu memelukku erat. Dia tidak mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja, melainkan berkata, "Aku ada di sini."

Malam itu kami tidur dempet-dempetan di tempat tidur pasien. Aku tidur nyenyak. Begitu nyenyaknya sampai aku memimpikan Santana mendadak berubah menjadi seorang heroine yang memiliki ilmu sihir. Lalu mimpiku beralih dari dunia sihir ke pertarungan hi-tech ala Transformers. Ketika kuceritakan mimpiku itu kepada S di pagi harinya, katanya aku terlalu banyak membaca buku dan fanfiction Brittana. Ya, kuhabiskan hari-hariku di rumah sakit dengan membaca buku seri "The Infernal Devices," yang mengisahkan tentang dunia sihir, juga membaca fanfiction dari Blackberry. Tapi aku bahkan tidak menonton Transformers! Well, tidak setelah Megan Fox diganti. Namun setidaknya aku tidak bermimpi yang horor malam itu.

Jangan tanya apa mimpiku di malam selanjutnya, karena sampai tadi malam akupun masih bermimpi. Ini kejadian yang cukup aneh bagiku. Tidak pernah aku mengalami mimpi di malam berturut-turut seperti sekarang ini. Tidak juga aku merupakan seorang yang penakut. Tapi mimpi-mimpiku yang semakin hari kian aneh ini mulai membuatku takut. Mungkinkah karena aku sedang sakit? Entahlah... Lihat saja apa aku akan bermimpi lagi malam ini.

Semoga tidak.