I had a really bad day! Jadi, maaf saja kalau postingan kali ini akan sangat panjang. I need to release my anger! So, kalau mau terus membaca, ya silahkan. Kalau tidak, ya tidak apa-apa hehehe.
Hari ini, sesuai titah Bu Sinta, saya pergi menjemput anaknya di bandara. Saya bangun agak kesiangan pagi ini karena semalam begadang chatting bareng Kopi sama Anak Roti (halo, girls!)
Saya dibangunkan adik saya karena Papa sudah kelaparan dan ingin makan Bubur Manado. Jadilah saya bangun, cuci muka, sikat gigi dan ganti baju. Setelah semuanya siap, kami berangkat ke restoran langganan kami yang khusus menjual Bubur Manado. FYI, sepiring Bubur Manado di restoran itu bisa mencapai Rp 15.000. Padahal kalau di kampung halaman saya, sepiring Bubur Manado hanya sekitar Rp 3.500. Sadis yah?
Selesai makan kami langsung kembali ke rumah. Pak Samin ternyata sudah nangkring di depan rumah dengan mobil kantor begitu saya tiba. Jadi saya langsung buru-buru mandi dan siap-siap. Saya membuka lemari pakaian, mengambil kaos hitam yang letaknya paling atas dan celana pendek berwarna cokelat tua. Langsung saya kenakan tanpa pikir panjang. Toh, dari bandara kami akan langsung jalan-jalan. Lagian ini kan termasuk acara santai. Jadi masa bodoh dengan dandanan.
Masalah pertama muncul. Kaos yang saya kenakan, iya kaos hitam itu, ternyata kaos SepociKopi yang saya pesan! Ah, masa bodoh. Tidak bakalan ada yang tahu ini. Saya juga sedang buru-buru. Jadi dengan cueknya saya memilih untuk tidak mengganti kaos.Dan ini pertama kalinya saya mengenakan kaos itu.
Setelah beres semuanya, saya dan Pak Samin langsung tancap gas ke bandara. Begitu saya tiba di bandara sudah terdengar pengumuman bahwa pesawat yang datang dari Jakarta baru saja mendarat. Ah, saya aman. Tapi di sinilah muncul masalah kedua. Saya celingak-celinguk, tengok kiri tengok kanan. Loh, anaknya Bu Sinta yang mana yah? Kan saya belum pernah melihat tampang anaknya itu. Gawat gawat gawat! Untung Pak Samin datang.
"Pak, saya nggak tahu anaknya Bu Sinta yang mana." Kata saya panik sambil menjulurkan leher berusaha mencari wajah yang mirip bu Sinta.
"Bu Rae tidak tahu anaknya Bu Sinta, di?" Pak Samin balik bertanya dengan logat Makassarnya. "Jadi bagaimana ki ini?
Lah, bagaimana Pak Samin ini. Kok malah balik nanya sih? Manggil saya "bu" lagi. Memangnya tampang saya tampang ibu-ibu apa?
"Wah, Pak, saya belum pernah ketemu anaknya Bu Sinta. Mana saya tahu." Masa musti teriak-teriak sih?
"Saya baru satu kali ketemu anaknya. Mungkin saya masih ingat wajahnya."
Hah? Dari tadi kek ngomong. Pak Samin bikin orang panik saja!
"Nah, itu anaknya, Bu."
Saya menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Samin. Seorang pria muda sedang berjalan ke arah pintu keluar sambil menarik koper di belakangnya. Hmmm, wajahnya sih memang mirip Bu Sinta. Dan meskipun saya ini penyuka perempuan, saya masih bisa bilang mana pria yang ganteng dan mana yang biasa-biasa saja. Nah, anaknya Bu Sinta ini termasuk yang ganteng. Tapi dia tidak sendiri. Ternyata dia datang bersama adik perempuannya. Yah, sebagai lesbian normal, saya bilang adiknya cantik juga. Tipe-tipe perempuan ABG yang bisa memunculkan sifat pedofil (hihihi saya sedang jail.)
Sayang, wajah yang ganteng dibarengi dengan sifat yang menyebalkan. Sedangkan adiknya, wajah boleh cantik, tapi (sumpah!) pecicilan banget! Awalnya saya cuekin saja. Tapi lama-lama saya benar-benar dongkol!
Si bungsu merengek ingin langsung ke Trans Studio. Ya sudah kami semua mengalah. Dari bandara Pak Samin langsung mengantar kami ke Trans Studio. Muncul masalah ketiga. Saat akan membayar tiket masuk kami saling menunggu. Si sulung akhirnya angkat suara sambil menatap saya.
"Ayo bayar. Memangnya Mama nggak ngasih lo duit?"
Lah, memangnya saya anaknya, dikasih duit?
"Bayar pake duit lo dulu deh. Nanti minta ganti ke Mama. Gue belum sempat ke ATM."
Gila! Saya ini cuma dimintai tolong menemani bukannya menjadi babysitter kalian! Sialan. Lagian ya, kalau ngomongnya baik-baik saya masih bisa terima. Ini ngomongnya saja sudah bikin saya pengen lempar dia dengan sandal. Terpaksa saya merogoh dompet dan meluarkan tiga lembar uang seratus ribu rupiah. Habisnya HTM ke Trans Studio itu Rp 100.000/orang. Sudah begitu, setiap kali naik wahana masih harus bayar lagi. Jadi HTM Rp 100.000 itu bukan tiket terusan seperti di Dufan. Dompet saya benar-benar terkuras. Untung kemarin sempat ambil uang di ATM.
Setelah puas keliling-keliling Trans Studio, lagi-lagi si bungsu merengek minta makan. Saya masih berbaik hati membawa mereka ke sebuah restoran yang cukup terkenal. Masalah keempat muncul. Lagi-lagi saya yang disuruh bayar. Dasar manusia kikir! Masa buat makan saja tidak punya uang? Tahu begini, saya bawa saja mereka makan di emperan jalan. Dengan terpaksa saya mengeluarkan kartu kredit (untung bisa bayar pakai kartu kredit!) Habisnya uang tunai di dompet saya tinggal Rp 25.000! Dasar tukang peras!
Begini ya, saya ini bukan orang yang suka perhitungan. Tapi kalau sama jenis manusia yang seperti sih, satu perak pun saya perhitungan! Huh, biarain semoga habis makan sakit perut! Aduh Gusti, maafkan saya. Tapi dua manusia ini benar-benar bikin saya dongkol. Saya benar-benar kapok!
Pulang-pulang saya diajak ke kondangan teman kantor Papa. Ah, Papa saya lagi nggak mood ke pesta. Mendingan di rumah, nulis blog sambil mendengarkan lagu. Lumayan menenangkan hati.