Beberapa sanak saudara keluargaku (dari pihak Mama) merayakan Lebaran. Jadi kami pun mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Sepulangnya dari gereja, kami langsung menuju ke rumah pamanku (adik Mama). Di sana sudah banyak orang yang berkumpul ketika kami tiba. Kami bersalam-salaman, mengobrol, lalu makan. Inilah yang kusuka; Makan! Sasaranku? Ketupat dong pastinya. Dan gulai kambing. Iya, darah tinggi deh. Tapi untung-untungan setahun sekali bisa makan daging kambing kan, ya? He he...
Ngomong-ngomong, anak pamanku ada lima. Semuanya masih kecil-kecil dengan rentang usia yang tidak berbeda jauh. Di sana ada juga sanak saudara istri pamanku yang datang dengan membawa hampir selusin anak kecil, yang entah anaknya siapa saja. Akupun tidak ingat tadi ketika dijelaskan bagaimana hubungan persaudaraanku dengan mereka. Si ini anaknya si anu, kemudian si itu anaknya si ini. Ribet, deh. Selesai makan, aku bermain dengan anaknya yang paling bungsu, sementara para orang tua mengobrol. Untungnya anaknya tidak rewel. Jadi aku enteng saja menemaninya sementara ibunya sibuk melayani tamu.
Sesudahnya kami pamit karena masih harus mengunjungi rumah sepupunya Mama, yang letaknya cukup jauh. Nah, yang ini hubungan saudaranya itu begini: Omaku memiliki seorang adik perempuan semata wayang. Adiknya ini menikah dengan seorang pria Arab dan memiliki 4 orang anak, di mana setiap anak sudah menikah dan mempunyai anak-anak juga, yang juga ada yang sudah menikah dan memiliki anak-anak. Bingung, ya? Sama, aku juga bingung. Pokoknya keluarga besar banget, banget, dan semuanya berkumpul di rumah anak yang tertua. Anak, cucu, cece, cicit, semuanya ada di situ.
Setibanya di sana, kami diajak makan lagi. Menunya? Ketupat lagi. Kambing lagi. Ada daging sapi yang dibikin rendang, sih. Tapi mataku sekali lagi hanya tertuju pada si kambing. Sepertinya ia masih mengembik bahkan setelah dimasak jadi gulai. (Kok jadi horor sih, ya?) Lagipula aku memang tidak terlalu suka rendang. Sepupunya Mama, si anak tertua, juga pintar masak. Gulainya mantap. Kalau tidak ingat sama penyakit, bisa bablas makannya. Lupa sama diet.
Setiap kali bersilaturahmi dengan mereka, adiknya oma selalu mengingatkanku akan oma. Mukanya mirip. Jadi kangen deh sama oma. Di sana, sambil makan kami - aku, adik-adikku, pacarnya si Tengah, dan beberapa sepupuku yang ikutan - meladeni si Ama mengobrol. Kata si Ama, ada pria yang usianya 15 tahun lebih muda darinya, seorang komandan, yang menyukainya. Ama umurnya sudah 66. Katanya, "Eh, mati itu tidak mengenal usia. Maka begitu juga dengan cinta. Mau tua, mau muda kalau sudah cinta, usia tak jadi soal." Aih, si Ama bisa aja. Tapi ya, ajarin kita-kita dong cari berondong. Hihihi... (Ups!)
Oia, kalau tadi di rumah pamanku bocah-bocahnya ada selusin, di rumah sepupunya Mama ini bocahnya ada dua lusin! Aduh, aku pusing tujuh keliling melihat para bocah berlarian sana-sini, teriak-teriak. Inilah kenapa aku tidak suka anak-anak. Mereka bandel, rewel, tidak bisa diam, dan teriakan serta tangisnya bikin kuping pengeng dan kepala cenat-cenut. Tapi yang ribut juga bukan hanya para bocah. Para ibu-ibu yang juga berkumpul tidak kalah ributnya. "Hoi, bahlul!" Begitu canda mereka dalam bahasa Arab, dengan suara nyaring. Ya ampun, makin pusing deh aku. Pokoknya heboh.
Tapi ya, Lebaran heboh begini mungkin sudah menjadi trademark keluarga besarku. Bukan cuma heboh, tapi juga ribut, berisik, penuh canda dan tawa. Dan harus kuakui, kadang aku kangen dengan suasana berkumpul seperti itu...
Di kesempatan ini pula, aku ingin mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1433H bagi teman-teman sekalian yang merayakan. Mohon maaf lahir batin jikalau ada kata-kataku yang menyinggung hati, yang pernah kutorehkan di sini, ya. :)
Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image
Sunday, 19 August 2012
Saturday, 18 August 2012
When I'm Alone
Sungguh, sangat tidak kusarankan untuk membaca novel Haruki Murakami di saat sedang sakit. Setelah menyelesaikan "Sputnik Sweetheart," aku lanjutkan dengan membaca "1Q84." Sebelum "Sputnik Sweetheart" sebetulnya aku sudah membaca "Kafka On the Shore" pemberian Nitz tapi belum kuselesaikan karena kupikir bukunya kecil dan ringan, jadi nanti bisa kuangkut saat hijrah ke negeri seberang. Sementara "1Q84" ini berbentuk hard cover dengan tebal 925 halaman. DOENG!
Karya-karya Haruki Murakami, yang kalau kukutip dari Jeung Wiki, "...is humorous and surreal, focusing on themes of alienation and loneliness." Tuh, makanya kalau dibaca saat sakit bisa bikin tambah sakit. Tapi ya, somehow, aku merasa sangat mengenal karakter-karakter dalam novel-novelnya Murakami. Bahkan mungkin merasa menjadi bagian dari karakter-karakter itu. Kau tahu, karakter yang kesepian, yang keep others at arm's length.
Alienation dan loneliness.
Seorang temanku dulu pernah bertanya padaku, bagaimana mungkin seseorang bisa sendirian dan tidak kesepian? Jawabku, bisa saja. Benar-benar tidak kesepian? Tanyanya lagi. Pasti mereka juga merasa kesepian, kataku. Lalu ketika mereka kesepian, apa yang mereka lakukan? Jawabku lagi, tidak ada. Apa itu yang kaulakukan dengan kesepianmu? Tidak ada? Tidak juga, kataku sambil menerawang. Yang kulakukan dengan kesepianku adalah berdamai dengannya, kemudian menjalin hubungan baik dengannya. Mengakrabinya malah. Sehingga ketika ia datang, aku menyambutnya dengan senang hati.
Membaca novel Murakami membuatku teringat akan saat-saat di mana aku sendirian, menutup diri dan menjaga jarak dari orang lain. Kubangun tembok setinggi langit yang mengelilingi diriku untuk menghalang agar orang lain tidak mendekat, lalu kupasang tampang tangguh agar tidak dikasihani. Padahal di saat yang sama aku juga merasa kesepian. Semakin tinggi tembok yang kubangun, semakin membuatku terisolasi dengan dunia luar. Menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan sehingga membuatku terlalu lelah untuk merasa kesepian, ternyata tidak memberi efek yang signifikan dalam jangka panjang. Malahan ada suatu waktu di mana aku merasa sangat, sangat kesepian di saat aku sedang kelelahan. Maka pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti menghindari rasa sepi itu. Karena jelas bagiku, semakin kuhindari ia, semakin ia melumpuhkanku.
Ketika S tahu-tahu hadir dalam hidupku, aku sedang dalam keadaan terbiasa dengan kesendirian dan rasa sepi. Lagipula, siapa yang menyangka kalau dia akan muncul, out of blue, di hadapanku, dan menawarkan sebuah hubungan romantisme? Itu artinya jika aku menerima tawarannya, maka aku harus kembali menyesuaikan diriku bahwa kini aku tidak lagi sendirian, dan kembali harus bernegosiasi dengan kesepian yang tadinya sudah menjadi teman akrabku. Maksudku, bagaimana mungkin kau bisa berkata pada teman akrabmu, "Hey, aku punya teman baru. Jadi aku mau jalan dengannya, dan tidak denganmu"?
Beberapa bulan belakangan ini, sejak aku memutuskan untuk bersamanya, kembali aku mulai terbiasa melakukan apa-apa bersamanya. Namun ada saat-saat di mana aku harus sendirian. Saat di mana aku melakukan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengannya, atau saat di mana dia harus melakukan sesuatu dan harus meninggalkanku. Secara fisik tidak bersama, melainkan sendiri. Namun di saat-saat seperti itu aku tidak merasa kesepian. Entah apa aku yang berhasil bernegosiasi dengan sang kesepian itu, ataukah memang ia yang enggan datang karena aku terlalu asyik dengan 'teman baru'-ku. Yang manapun itu, yang jelas aku tidak merasakan sedikitpun rasa sepi.
Aku tahu, bahwa kemungkinan besar ini hanyalah momen sementara dalam hidupku. Hanya sebuah fase singkat dari serangkaian kehidupan. Akan tiba waktunya untuk aku kembali menjadi manusia terisolasi. Aku harus kembali mencari kesepian dan membujukknya agar mau kembali padaku, kembali berteman denganku. Kaupikir kenapa tadinya aku berkali-kali kalut dan mundur ketika S menawarkan hubungan ini?
Lalu lantas bagaimana jika saat itu tiba? Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Cukup aku melakukan apa yang seharusnya nanti kulakukan. Tetapi, sungguh, yang ingin kulakukan saat ini, sekarang ini, hanyalah menikmati waktu di mana aku sedang sendirian (karena dia harus pulang ke kotanya demi memenuhi permintaan maminya), namun aku tidak merasa kesepian. Karena aku tahu, meski kami sedang berjauhan selama beberapa hari tapi kami saling memikirkan satu sama lain.
Dan benar saja. Ketika aku hendak mengakhiri tulisan ini, sebuah pesan masuk ke ponselku darinya. Katanya, "Say, aku kok mikirin kamu, ya?" Aku tersenyum, bahkan tertawa, bukan hanya karena isi pesannya, namun juga karena dia itu tipenya seperti aku, jarang mengekspresikan sesuatu dalam kata-kata.
Selama beberapa saat kami saling mengirimkan pesan singkat dan dari situ aku tahu bahwa sejak tiba di kotanya kemarin malam, dia menginap di rumah sepupunya yang merayakan Lebaran, tidur di kamar bersama 2 sepupunya yang lain, yang masih kecil dan rewel dan tendang sana-tendang sini kalau tidur, dan dalam sehari sudah ada 3 orang yang menanyakan padanya "Kapan kawin?" Lalu aku memberitahunya tentang kegiatanku seharian ini; mengerjakan beberapa dokumen yang tidak bisa ditunda lagi, BBM-an, lalu tidur lagi karena obat yang kuminum menyebabkan kantuk yang sangat, euy. Sesudah itu kami saling mengucapkan selamat tidur.
So, I'm going to sleep now, with the memory that I precious so much of what I have just experienced; me being alone, yet feeling so loved.
Karya-karya Haruki Murakami, yang kalau kukutip dari Jeung Wiki, "...is humorous and surreal, focusing on themes of alienation and loneliness." Tuh, makanya kalau dibaca saat sakit bisa bikin tambah sakit. Tapi ya, somehow, aku merasa sangat mengenal karakter-karakter dalam novel-novelnya Murakami. Bahkan mungkin merasa menjadi bagian dari karakter-karakter itu. Kau tahu, karakter yang kesepian, yang keep others at arm's length.
Alienation dan loneliness.
Seorang temanku dulu pernah bertanya padaku, bagaimana mungkin seseorang bisa sendirian dan tidak kesepian? Jawabku, bisa saja. Benar-benar tidak kesepian? Tanyanya lagi. Pasti mereka juga merasa kesepian, kataku. Lalu ketika mereka kesepian, apa yang mereka lakukan? Jawabku lagi, tidak ada. Apa itu yang kaulakukan dengan kesepianmu? Tidak ada? Tidak juga, kataku sambil menerawang. Yang kulakukan dengan kesepianku adalah berdamai dengannya, kemudian menjalin hubungan baik dengannya. Mengakrabinya malah. Sehingga ketika ia datang, aku menyambutnya dengan senang hati.
Membaca novel Murakami membuatku teringat akan saat-saat di mana aku sendirian, menutup diri dan menjaga jarak dari orang lain. Kubangun tembok setinggi langit yang mengelilingi diriku untuk menghalang agar orang lain tidak mendekat, lalu kupasang tampang tangguh agar tidak dikasihani. Padahal di saat yang sama aku juga merasa kesepian. Semakin tinggi tembok yang kubangun, semakin membuatku terisolasi dengan dunia luar. Menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan sehingga membuatku terlalu lelah untuk merasa kesepian, ternyata tidak memberi efek yang signifikan dalam jangka panjang. Malahan ada suatu waktu di mana aku merasa sangat, sangat kesepian di saat aku sedang kelelahan. Maka pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti menghindari rasa sepi itu. Karena jelas bagiku, semakin kuhindari ia, semakin ia melumpuhkanku.
Ketika S tahu-tahu hadir dalam hidupku, aku sedang dalam keadaan terbiasa dengan kesendirian dan rasa sepi. Lagipula, siapa yang menyangka kalau dia akan muncul, out of blue, di hadapanku, dan menawarkan sebuah hubungan romantisme? Itu artinya jika aku menerima tawarannya, maka aku harus kembali menyesuaikan diriku bahwa kini aku tidak lagi sendirian, dan kembali harus bernegosiasi dengan kesepian yang tadinya sudah menjadi teman akrabku. Maksudku, bagaimana mungkin kau bisa berkata pada teman akrabmu, "Hey, aku punya teman baru. Jadi aku mau jalan dengannya, dan tidak denganmu"?
Beberapa bulan belakangan ini, sejak aku memutuskan untuk bersamanya, kembali aku mulai terbiasa melakukan apa-apa bersamanya. Namun ada saat-saat di mana aku harus sendirian. Saat di mana aku melakukan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengannya, atau saat di mana dia harus melakukan sesuatu dan harus meninggalkanku. Secara fisik tidak bersama, melainkan sendiri. Namun di saat-saat seperti itu aku tidak merasa kesepian. Entah apa aku yang berhasil bernegosiasi dengan sang kesepian itu, ataukah memang ia yang enggan datang karena aku terlalu asyik dengan 'teman baru'-ku. Yang manapun itu, yang jelas aku tidak merasakan sedikitpun rasa sepi.
Aku tahu, bahwa kemungkinan besar ini hanyalah momen sementara dalam hidupku. Hanya sebuah fase singkat dari serangkaian kehidupan. Akan tiba waktunya untuk aku kembali menjadi manusia terisolasi. Aku harus kembali mencari kesepian dan membujukknya agar mau kembali padaku, kembali berteman denganku. Kaupikir kenapa tadinya aku berkali-kali kalut dan mundur ketika S menawarkan hubungan ini?
Lalu lantas bagaimana jika saat itu tiba? Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Cukup aku melakukan apa yang seharusnya nanti kulakukan. Tetapi, sungguh, yang ingin kulakukan saat ini, sekarang ini, hanyalah menikmati waktu di mana aku sedang sendirian (karena dia harus pulang ke kotanya demi memenuhi permintaan maminya), namun aku tidak merasa kesepian. Karena aku tahu, meski kami sedang berjauhan selama beberapa hari tapi kami saling memikirkan satu sama lain.
Dan benar saja. Ketika aku hendak mengakhiri tulisan ini, sebuah pesan masuk ke ponselku darinya. Katanya, "Say, aku kok mikirin kamu, ya?" Aku tersenyum, bahkan tertawa, bukan hanya karena isi pesannya, namun juga karena dia itu tipenya seperti aku, jarang mengekspresikan sesuatu dalam kata-kata.
Selama beberapa saat kami saling mengirimkan pesan singkat dan dari situ aku tahu bahwa sejak tiba di kotanya kemarin malam, dia menginap di rumah sepupunya yang merayakan Lebaran, tidur di kamar bersama 2 sepupunya yang lain, yang masih kecil dan rewel dan tendang sana-tendang sini kalau tidur, dan dalam sehari sudah ada 3 orang yang menanyakan padanya "Kapan kawin?" Lalu aku memberitahunya tentang kegiatanku seharian ini; mengerjakan beberapa dokumen yang tidak bisa ditunda lagi, BBM-an, lalu tidur lagi karena obat yang kuminum menyebabkan kantuk yang sangat, euy. Sesudah itu kami saling mengucapkan selamat tidur.
So, I'm going to sleep now, with the memory that I precious so much of what I have just experienced; me being alone, yet feeling so loved.
Tuesday, 14 August 2012
K.O. (Lagi dan lagi)
Entah apa yang terjadi dengan tubuhku. Sistem imun di dalam tubuhku sepertinya diporak-porandakan entah oleh apa. Sedikit-sedikit sakit. Seperti pagi tadi, aku bangun dan merasakan tubuhku hangat, kepalaku kleyengan, hidungku sakit, dan tenggorokanku meradang disertai batuk yang menyakitkan. Alhasil seharian ini aku harus terbaring di tempat tidur.
Pagi aku sarapan, minum obat, lalu disuruh tidur lagi sama Mama. Siangnya juga begitu. Makan-minum obat-tidur. Aku bangun karena S meneleponku. Dan ketika mendengar suaraku yang serak-tapi-tidak-seksi, dia pun panik.
"Lho, kamu sakit, Say? Kok bisa? Tapi kemarin kamu nggak apa-apa, kan? Kamu kok nggak bilang-bilang? Aduh, jangan-jangan karena kencan yang sampai malam itu lagi. Ya ampun, aku lupa kamu kan nggak boleh masuk angin. Aduh.., aku ke sana sekarang, ya?"
Tuh, kan. Begitu deh dia kalau sedang panik. Kuiyakan saja apa katanya. Kebetulan juga aku memang mau memintanya datang karena pamanku, yang jago masak itu, membuat tahu kecap yang digemarinya sejak pertama kali mencoba. Dia menanyakan apa aku mau dibawakan bubur ayam. Tapi berhubung lokasi rumahku cukup jauh, aku menolak. Buburnya keburu dingin nanti.
Aku terbangun ketika dia masuk ke kamarku. Dan entah dianya yang bisa membangkitkan sisi cengeng dari diriku, atau memang akunya mewekan kalau sedang sakit, aku malah menangis begitu melihat dia. Ya ampun, malu-maluin banget, ya? Oh, atau mungkin aku suka dengan pribadinya yang keibuan saat merawatku waktu sakit. Makanya cengeng supaya dimanjain, dipeluk dan dicium. Hihihi... Tapi sumpah lho, tidak pernah terbayangkan aku bisa secengeng ini. Rae? Cengeng? Sebentar lagi kiamat mungkin. Atau coba perhatikan, jangan-jangan matahari sudah mulai terbit dari barat dan terbenam di timur.
Etapi, tangisku kemudian berubah menjadi tawa karena melihat wajah panik dan rasa bersalahnya. Tidak tega melihat dia menyalahkan dirinya, kujelaskan saja kalau aku sendiri yang salah. Sudah tahu tidak dibolehkan lagi mandi malam, eh, kemarin malam aku mandi jam 9. Memang sih, yang waktu kencan itu kami duduk di ruangan tebuka dan beratapkan langit dengan angin laut yang bertiup ke arah kami, dan kami di sana sampai malam. Tapi ini karena juga aku mungkin kelelahan.
Luas kamarku mungkin 4x4 atau 5x5 (tidak pernah kuukur!), yang berisikan tempat tidur queen size, sebuah lemari baju, meja rias dengan tumpukan buku yang cukup tinggi di atasnya, meja belajar yang juga penuh tumpukan buku, dan sebuah kursi. Di sini, di kamarku ini, dia menyuapiku bubur, menemaniku ngobrol, membacakan beberapa halaman buku "Sputnik Sweetheart," (dan aku hampir menangis lagi ketika dia membacakan bagian Sumire yang 'ditolak' Miu) menggosokkan minyak gosok di badanku, lalu memberiku obat. Kemudian dia mandi, berganti pakaian, makan, dan menemaniku sambil mengerjakan pekerjaannya.
Malam ini dia menginap. Padahal jarak dari rumahku ke rumahnya cukup jauh. Jadi dia harus bangun pagi-pagi sekali besok, ke rumahnya dulu, baru ke kantor. Demi pacar yang sedang sakit dan demi tahu kecap buatan pamanku katanya. Idih, masa aku saingan sama tahu, sih? Tapi mengingt dia bakal menemaniku tidur, membuatku senyum-senyum sendiri. Meski nanti tidak ada adegan ciuman mesra karena aku sedang sakit. Tapi tak mengapa lah ya. He he he...
Yuk ah, tidur dulu, ya.
Pagi aku sarapan, minum obat, lalu disuruh tidur lagi sama Mama. Siangnya juga begitu. Makan-minum obat-tidur. Aku bangun karena S meneleponku. Dan ketika mendengar suaraku yang serak-tapi-tidak-seksi, dia pun panik.
"Lho, kamu sakit, Say? Kok bisa? Tapi kemarin kamu nggak apa-apa, kan? Kamu kok nggak bilang-bilang? Aduh, jangan-jangan karena kencan yang sampai malam itu lagi. Ya ampun, aku lupa kamu kan nggak boleh masuk angin. Aduh.., aku ke sana sekarang, ya?"
Tuh, kan. Begitu deh dia kalau sedang panik. Kuiyakan saja apa katanya. Kebetulan juga aku memang mau memintanya datang karena pamanku, yang jago masak itu, membuat tahu kecap yang digemarinya sejak pertama kali mencoba. Dia menanyakan apa aku mau dibawakan bubur ayam. Tapi berhubung lokasi rumahku cukup jauh, aku menolak. Buburnya keburu dingin nanti.
Aku terbangun ketika dia masuk ke kamarku. Dan entah dianya yang bisa membangkitkan sisi cengeng dari diriku, atau memang akunya mewekan kalau sedang sakit, aku malah menangis begitu melihat dia. Ya ampun, malu-maluin banget, ya? Oh, atau mungkin aku suka dengan pribadinya yang keibuan saat merawatku waktu sakit. Makanya cengeng supaya dimanjain, dipeluk dan dicium. Hihihi... Tapi sumpah lho, tidak pernah terbayangkan aku bisa secengeng ini. Rae? Cengeng? Sebentar lagi kiamat mungkin. Atau coba perhatikan, jangan-jangan matahari sudah mulai terbit dari barat dan terbenam di timur.
Etapi, tangisku kemudian berubah menjadi tawa karena melihat wajah panik dan rasa bersalahnya. Tidak tega melihat dia menyalahkan dirinya, kujelaskan saja kalau aku sendiri yang salah. Sudah tahu tidak dibolehkan lagi mandi malam, eh, kemarin malam aku mandi jam 9. Memang sih, yang waktu kencan itu kami duduk di ruangan tebuka dan beratapkan langit dengan angin laut yang bertiup ke arah kami, dan kami di sana sampai malam. Tapi ini karena juga aku mungkin kelelahan.
Luas kamarku mungkin 4x4 atau 5x5 (tidak pernah kuukur!), yang berisikan tempat tidur queen size, sebuah lemari baju, meja rias dengan tumpukan buku yang cukup tinggi di atasnya, meja belajar yang juga penuh tumpukan buku, dan sebuah kursi. Di sini, di kamarku ini, dia menyuapiku bubur, menemaniku ngobrol, membacakan beberapa halaman buku "Sputnik Sweetheart," (dan aku hampir menangis lagi ketika dia membacakan bagian Sumire yang 'ditolak' Miu) menggosokkan minyak gosok di badanku, lalu memberiku obat. Kemudian dia mandi, berganti pakaian, makan, dan menemaniku sambil mengerjakan pekerjaannya.
Malam ini dia menginap. Padahal jarak dari rumahku ke rumahnya cukup jauh. Jadi dia harus bangun pagi-pagi sekali besok, ke rumahnya dulu, baru ke kantor. Demi pacar yang sedang sakit dan demi tahu kecap buatan pamanku katanya. Idih, masa aku saingan sama tahu, sih? Tapi mengingt dia bakal menemaniku tidur, membuatku senyum-senyum sendiri. Meski nanti tidak ada adegan ciuman mesra karena aku sedang sakit. Tapi tak mengapa lah ya. He he he...
Yuk ah, tidur dulu, ya.
Monday, 13 August 2012
Kencan Akhir Pekan
Jumat pukul 7 aku tiba di rumah S. Dia masih di kantor, maka kukirimkan pesan singkat ke ponselnya mengabari kalau aku ada di rumahnya. Balasan darinya juga singkat; "Iya, Say. Bosku sedang rese." Jadi aku tahu dia masih lama di kantor dan aku masih punya waktu sebentar untuk menyiapkan makan malam.
Kubuatkan dia tempe goreng tepung dan tahu goreng karena beberapa hari yang lalu katanya dia kepengin makan tempe tahu. Tempenya kuiris tipis-tipis supaya garing seperti kesukaannya. Kemudian kutumis kangkung. Dia lebih suka tumisan kangkung yang sederhana, hanya bawang putih dan garam. Tuh, lagi-lagi aku pegang-pegang bawang. Lalu untuk sambal, ada sambal terasi yang kubawa dari rumah. Secara aku paling malas membuat sambal. Eh, bukan malas tapi tidak tahu. He he...
Masak-masak beres, aku pun mandi supaya nanti begitu pacar pulang, aku sudah rapi jali nan wangi. Tepat ketika aku selesai berpakaian, kudengar suara mobilnya di depan lalu beberapa saat kemudian bunyi pintu pagar dibuka. Aku bergegas menyambutnya di depan pintu, tak lupa memasang senyum manis semanis gula-gula. Kubuka pintu rumah, dan mendapati wajah kusutnya yang membuat senyumku berubah jadi cekikikan. Duh, kesiannya yang habis diresein bos.
"Ih, kamu. Pacar sedang kesal, kok malah diketawain?"
"Habis, tampangmu itu lho. Kayak anak kecil yang permennya diambil orang."
Kuajak dia makan malam dulu. Sambil makan, seperti biasanya kami mengobrol ini-itu. Inilah yang kusuka, kami berdua sepertinya selalu memiliki bahan pembicaraan. Mau yang ceritanya serius dan kadang kami terlibat dalam diskusi yang super serius, yang membuat kening mengkerut, sampai obrolan ngarol-ngidul. Eh, yang kumaksud dengan diskusi serius itu benar-benar diskusi loh, ya. Bukan menggosip. Tapi mendiskusikan gosip. Haha... enggak deng.
Malam itu, pembicaraan kami mengenai tokoh Sumire di dalam bukunya Haruki Murakami yang berjudul "Sputnik Sweetheart," yang dia berikan padaku beberapa waktu lalu. Iya, kami juga sering membicarakan buku-buku yang kami baca. Meski dia tidak se-avid aku dalam hal membaca, tapi untuk buku-buku tertentu dia baca. Dan kebetulan buku ini dia lebih dulu baca dariku. Soalnya tadinya aku stuck dengan "The Enchantress" karangan Michael Scott, yang sudah sebulan lebih belum selesai kubaca. Tapi akhirnya aku menyerah dengan buku itu, kuparkir dulu, lalu mulai membaca Sputnik Sweetheart. Karena aku belum selesai membacanya, adalah haram hukumnya baginya untuk menceritakan terlalu banyak. Spoiler dong nanti jadinya. Nggak seru.
Selesai makan, belum sempat kuangkat piring ke wastafel, dia bilang "Pesan pizza yuk, Say." Ya ampun, baru juga makan, sudah pengin makan pizza lagi. Selera makannya memang besar, dan dia makannya lebih banyak dari aku. Menjelang datang bulan, aku bisa meladeni selera makannya. Tapi aku baru selesai datang bulan, yang biasanya membuat aku tidak kepengin makan. Dan yang lebih mengherankan lagi, meski makannya banyak badannya ya segitu-segitu aja. Ih, bikin ngiri. Kalau aku makan sebanyak dia, badanku bisa sebesar rumah di kawasan Pondok Indah sana. Kubilang padanya, di perutnya jangan-jangan ada naga yang ikut memakan semua makanan yang dimakannya. Bukan cacing lagi! Hihihi... Tapi berhubung sudah malam, jajanan yang bisa diperolehnya hanya martabak telor yang masih jualan di depan kompleks. Kali itu, kurelakan semua bagian kulit renyah untuknya, secara aku masih kenyang. Padahal biasanya kami berebutan sih.
Paginya dia bangun dan bersiap ke kantor. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya berhubung sebentar lagi libur. Mami memintanya untuk pulang karena salah satu sepupunya merayakan Lebaran. Dia mengecup keningku sebelum berangkat karena aku masih enggan turun dari tempat tidur. Sejam kemudian baru aku bangun dan mendapati ada roti bakar dan segelas teh manis. Aku makan, lalu karena tidak tahu harus ngapain, selesai makan aku beres-beres rumah saja. Kumasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, dan sambil menunggu pakaian selesai dicuci, aku menyapu, mengepel, mengelap perabot yang untungnya tidak banyak, kemudian menyetrika beberapa potong bajunya dan bajuku juga.
Sudah selesai semuanya, pakaian juga sudah kujemur, aku selonjoran di sofa. Capek, bok. Aku menyalakan TV dan menonton "Got to Dance UK" sambil menyambangi dunia maya. Menjelang sore, dia pulang dan mengajakku kencan. Aku sedang mandi ketika dia tiba, dan tahu-tahunya sudah ikutan menyelinap di kamar mandi. Eh, lho lho, apa-apaan ini? Biar cepat, katanya. Idih, alesan banget deh ah.
Mandi dan berdandan ternyata memakan waktu hampir sejam. Biasanya aku tidak mau repot-repot mem-blow rambut, apalagi make-up. Tapi berhubung ini kencan spesial, meski dadakan, mau tidak mau aku dandan. Lagipula, sepertinya aku sedang mood dandan juga. Pakaian yang kukenakan juga bukan gaya standar; kaos, celana jins, sandal teplek. Untuk kencan kali itu, aku mengenakan baju terusan hitam yang kukenakan saat ke pernikahan sepupuku, karena memang cuma baju itu yang ada di rumahnya dan untungnya sudah diambilnya dari 5àsec. Sementara dia juga mengenakan baju yang hampir sama.
Kami disambut pemandangan matahari terbenam ketika tiba di kafe yang menjadi tempat kencan kami. Kami diantar pelayan ke meja yang sudah dipesannya sebelumnya. Dalam hatiku, niat sekali dia. Jangan-jangan ada hal serius yang ingin dibicarakannya. Namun sampai ketika pelayan mengantarkan sajian dessert, tidak ada tanda-tandanya dia bakal memulai pembicaraan. Akhirnya kutanyakan saja. Tahu tidak, jawabnya apa? Begini jawabnya, dengan wajah yang dibuatnya serius, "Sebenarnya, aku ingin mengajakmu kawin lari." Halah, aku diisengin! Kulempari dia dengan serbet dan membuatnya tertawa terbahak-bahak, sampai dilihatin orang-orang di meja samping.
Sudah cukup lama kami duduk di meja itu. Es krimku juga sudah tandas. Tapi sepertinya dia belum mau beranjak. Sebaliknya, dia kembali memanggil pelayan dan memesan sebotol anggur. Aku menaikkan alisku. Sebotol? Untuk berdua? Melihat reaksiku, dia terkekeh. Tidak mungkin kami minum sebotol. Aku tidak pandai minum. Satu sesapan saja sudah bisa membuat wajah dan leherku merah seperti udang rebus. Begitu juga dia, meski tidak memberi efek merah-semerah-udang-rebus sepertiku. Baru aku ngeh, kenapa tadi dia menolak membawa mobil dan memilih menggunakan taksi. Ternyata, eh ternyata.
"Eh, jangan-jangan kamu memang niat mengajakku kawin lari nih," bisikku.
Lagi-lagi dia tertawa sambil memegang perutnya. Enggak kok. Cuma ingin mengajakmu kencan romantis saja, katanya. Sekali-kali, katanya lagi. Aku masih tidak percaya. Akhirnya dia menyerah dan mengatakan alasan yang sebenarnya.
"Aku cuma senang berada di sini. Ada kamu juga. Kita berdua. Itu saja, kok."
Nah, lho. Ucapannya memberi efek yang jauh lebih dahsyat dari anggur yang kuminum. Sekejap aku merasakan panas menjalar ke wajah, dan aku tidak bisa membayangkan semerah apa kelihatannya wajahku. Untung saja matahari sudah sepenuhnya terbenam dan satu-satunya cahaya berasal dari lilin kecil di atas meja yang memancarkan sinar redup. Tuh, kan. Aku jadi kikuk sendiri. Aku cuma bisa senyum malu-malu. Malu-malu kucing. Kena deh aku.
Pukul 11 kami pulang, lalu bersiap tidur. Malam itu kami tidur sambil berpelukan. Aku kembali mengingat kencan tadi. And to tell you truth, I was in cloud nine that night.
Kubuatkan dia tempe goreng tepung dan tahu goreng karena beberapa hari yang lalu katanya dia kepengin makan tempe tahu. Tempenya kuiris tipis-tipis supaya garing seperti kesukaannya. Kemudian kutumis kangkung. Dia lebih suka tumisan kangkung yang sederhana, hanya bawang putih dan garam. Tuh, lagi-lagi aku pegang-pegang bawang. Lalu untuk sambal, ada sambal terasi yang kubawa dari rumah. Secara aku paling malas membuat sambal. Eh, bukan malas tapi tidak tahu. He he...
Masak-masak beres, aku pun mandi supaya nanti begitu pacar pulang, aku sudah rapi jali nan wangi. Tepat ketika aku selesai berpakaian, kudengar suara mobilnya di depan lalu beberapa saat kemudian bunyi pintu pagar dibuka. Aku bergegas menyambutnya di depan pintu, tak lupa memasang senyum manis semanis gula-gula. Kubuka pintu rumah, dan mendapati wajah kusutnya yang membuat senyumku berubah jadi cekikikan. Duh, kesiannya yang habis diresein bos.
"Ih, kamu. Pacar sedang kesal, kok malah diketawain?"
"Habis, tampangmu itu lho. Kayak anak kecil yang permennya diambil orang."
Kuajak dia makan malam dulu. Sambil makan, seperti biasanya kami mengobrol ini-itu. Inilah yang kusuka, kami berdua sepertinya selalu memiliki bahan pembicaraan. Mau yang ceritanya serius dan kadang kami terlibat dalam diskusi yang super serius, yang membuat kening mengkerut, sampai obrolan ngarol-ngidul. Eh, yang kumaksud dengan diskusi serius itu benar-benar diskusi loh, ya. Bukan menggosip. Tapi mendiskusikan gosip. Haha... enggak deng.
Malam itu, pembicaraan kami mengenai tokoh Sumire di dalam bukunya Haruki Murakami yang berjudul "Sputnik Sweetheart," yang dia berikan padaku beberapa waktu lalu. Iya, kami juga sering membicarakan buku-buku yang kami baca. Meski dia tidak se-avid aku dalam hal membaca, tapi untuk buku-buku tertentu dia baca. Dan kebetulan buku ini dia lebih dulu baca dariku. Soalnya tadinya aku stuck dengan "The Enchantress" karangan Michael Scott, yang sudah sebulan lebih belum selesai kubaca. Tapi akhirnya aku menyerah dengan buku itu, kuparkir dulu, lalu mulai membaca Sputnik Sweetheart. Karena aku belum selesai membacanya, adalah haram hukumnya baginya untuk menceritakan terlalu banyak. Spoiler dong nanti jadinya. Nggak seru.
Selesai makan, belum sempat kuangkat piring ke wastafel, dia bilang "Pesan pizza yuk, Say." Ya ampun, baru juga makan, sudah pengin makan pizza lagi. Selera makannya memang besar, dan dia makannya lebih banyak dari aku. Menjelang datang bulan, aku bisa meladeni selera makannya. Tapi aku baru selesai datang bulan, yang biasanya membuat aku tidak kepengin makan. Dan yang lebih mengherankan lagi, meski makannya banyak badannya ya segitu-segitu aja. Ih, bikin ngiri. Kalau aku makan sebanyak dia, badanku bisa sebesar rumah di kawasan Pondok Indah sana. Kubilang padanya, di perutnya jangan-jangan ada naga yang ikut memakan semua makanan yang dimakannya. Bukan cacing lagi! Hihihi... Tapi berhubung sudah malam, jajanan yang bisa diperolehnya hanya martabak telor yang masih jualan di depan kompleks. Kali itu, kurelakan semua bagian kulit renyah untuknya, secara aku masih kenyang. Padahal biasanya kami berebutan sih.
Paginya dia bangun dan bersiap ke kantor. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya berhubung sebentar lagi libur. Mami memintanya untuk pulang karena salah satu sepupunya merayakan Lebaran. Dia mengecup keningku sebelum berangkat karena aku masih enggan turun dari tempat tidur. Sejam kemudian baru aku bangun dan mendapati ada roti bakar dan segelas teh manis. Aku makan, lalu karena tidak tahu harus ngapain, selesai makan aku beres-beres rumah saja. Kumasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, dan sambil menunggu pakaian selesai dicuci, aku menyapu, mengepel, mengelap perabot yang untungnya tidak banyak, kemudian menyetrika beberapa potong bajunya dan bajuku juga.
Sudah selesai semuanya, pakaian juga sudah kujemur, aku selonjoran di sofa. Capek, bok. Aku menyalakan TV dan menonton "Got to Dance UK" sambil menyambangi dunia maya. Menjelang sore, dia pulang dan mengajakku kencan. Aku sedang mandi ketika dia tiba, dan tahu-tahunya sudah ikutan menyelinap di kamar mandi. Eh, lho lho, apa-apaan ini? Biar cepat, katanya. Idih, alesan banget deh ah.
Mandi dan berdandan ternyata memakan waktu hampir sejam. Biasanya aku tidak mau repot-repot mem-blow rambut, apalagi make-up. Tapi berhubung ini kencan spesial, meski dadakan, mau tidak mau aku dandan. Lagipula, sepertinya aku sedang mood dandan juga. Pakaian yang kukenakan juga bukan gaya standar; kaos, celana jins, sandal teplek. Untuk kencan kali itu, aku mengenakan baju terusan hitam yang kukenakan saat ke pernikahan sepupuku, karena memang cuma baju itu yang ada di rumahnya dan untungnya sudah diambilnya dari 5àsec. Sementara dia juga mengenakan baju yang hampir sama.
Kami disambut pemandangan matahari terbenam ketika tiba di kafe yang menjadi tempat kencan kami. Kami diantar pelayan ke meja yang sudah dipesannya sebelumnya. Dalam hatiku, niat sekali dia. Jangan-jangan ada hal serius yang ingin dibicarakannya. Namun sampai ketika pelayan mengantarkan sajian dessert, tidak ada tanda-tandanya dia bakal memulai pembicaraan. Akhirnya kutanyakan saja. Tahu tidak, jawabnya apa? Begini jawabnya, dengan wajah yang dibuatnya serius, "Sebenarnya, aku ingin mengajakmu kawin lari." Halah, aku diisengin! Kulempari dia dengan serbet dan membuatnya tertawa terbahak-bahak, sampai dilihatin orang-orang di meja samping.
Sudah cukup lama kami duduk di meja itu. Es krimku juga sudah tandas. Tapi sepertinya dia belum mau beranjak. Sebaliknya, dia kembali memanggil pelayan dan memesan sebotol anggur. Aku menaikkan alisku. Sebotol? Untuk berdua? Melihat reaksiku, dia terkekeh. Tidak mungkin kami minum sebotol. Aku tidak pandai minum. Satu sesapan saja sudah bisa membuat wajah dan leherku merah seperti udang rebus. Begitu juga dia, meski tidak memberi efek merah-semerah-udang-rebus sepertiku. Baru aku ngeh, kenapa tadi dia menolak membawa mobil dan memilih menggunakan taksi. Ternyata, eh ternyata.
"Eh, jangan-jangan kamu memang niat mengajakku kawin lari nih," bisikku.
Lagi-lagi dia tertawa sambil memegang perutnya. Enggak kok. Cuma ingin mengajakmu kencan romantis saja, katanya. Sekali-kali, katanya lagi. Aku masih tidak percaya. Akhirnya dia menyerah dan mengatakan alasan yang sebenarnya.
"Aku cuma senang berada di sini. Ada kamu juga. Kita berdua. Itu saja, kok."
Nah, lho. Ucapannya memberi efek yang jauh lebih dahsyat dari anggur yang kuminum. Sekejap aku merasakan panas menjalar ke wajah, dan aku tidak bisa membayangkan semerah apa kelihatannya wajahku. Untung saja matahari sudah sepenuhnya terbenam dan satu-satunya cahaya berasal dari lilin kecil di atas meja yang memancarkan sinar redup. Tuh, kan. Aku jadi kikuk sendiri. Aku cuma bisa senyum malu-malu. Malu-malu kucing. Kena deh aku.
Pukul 11 kami pulang, lalu bersiap tidur. Malam itu kami tidur sambil berpelukan. Aku kembali mengingat kencan tadi. And to tell you truth, I was in cloud nine that night.
Wednesday, 8 August 2012
Musim Sakit
Genap sudah tiga hari si pacar mengeluhkan sakit kepala. Semenjak aku pulang dari rumahnya hari Minggu yang lalu, dia bilang kepalanya sakit ketika kutelepon dia untuk mengabarkan kalau aku sudah tiba di rumah. Dan sejak itu dia mengeluh kepalanya cenat-cenut setiap kali aku menghubunginya atau dia yang menghubungiku.
Setahuku, dia termasuk orang yang jarang sekali sakit kepala. Tidak seperti aku, sebentar-sebentar sakit kepala. Kotak obatku isinya kalau bukan obat sakit kepala, ya obat migren (sama aja ya itu?) juga obat maag. Jadinya aku khawatir juga, karena untuk ukuran orang yang jarang sakit kepala, sakit selama tiga hari berturut-turut itu patut ditindaklanjuti. Maka tadi karena bertepatan ada urusan yang harus kuselesaikan di daerah dekat rumahnya, aku menyempatkan diri menjenguknya. Dan betapa kesalnya aku karena mendapati dia sedang berjibaku dengan kertas-kertas yang bertaburan angka. Padahal tadi itu dia sengaja izin pulang cepat karena sakit kepalanya sudah tak tertahankan. Eh, ini kok di rumah malah kerja.
"Katanya sakit kepala, kok kerja?" omelku.
"Aduh, say. Kamu memang seksi kalau omel-omel begini. Tapi ini kepalaku sedang cenat-cenut," rayunya.
"Ya gimana nggak cenat-cenut, yang dipelototin angka melulu."
"Maunya kupelototin kamu, tapi kamunya jauh," katanya membela diri. "Nah, sekarang kamu udah di sini, sakit kepalaku sudah berkurang."
Halah! Kalau sudah begini, aku malah tidak jadi ngomel-ngomel lagi deh.
Melihat aku yang tidak jadi marah, langsung saja dia membujukku membuatkannya nasi goreng untuk makan malam. Mana tega kubiarkan dia keluar sendiri malam-malam beli makanan dengan keadaan kepala yang sakit? Jadi kubuatkan dia nasi goreng. Dan karena dia tidak suka dengan bumbu instan untuk nasi goreng yang dijual di supermarket-supermarket itu, aku harus membuat sendiri bumbunya. Padahal aku paling tidak suka memegang bawang karena baunya bakal menempel di jariku selama berhari-hari. Kubuatkan juga telur ceplok yang kuningnya setengah matang seperti kesukaannya (itu juga seleraku), dan menemaninya makan.
Selesai makan, aku menyiapkan obatnya dan memastikan obatnya diminum, lalu pamit pulang. Setibanya di rumah, eh, ternyata Mama juga sedang sakit. Aku ke apotik dan membeli Sanmol, Amoxan dan jarum suntik insulin. Sekembalinya dari apotik, kutemani Mama makan. Sudah beres semuanya, aku mandi. Sekarang gantian aku yang sepertinya meriang dan kepala cenat-cenut. Ah, apes amat ini ceritanya.
Sedang musim-musimnya orang jatuh sakit kali, ya? Perubahan cuaca belakangan ini cukup ekstrim. Seminggu yang lalu, hampir setiap hari turun hujan disertai angin kencang. Minggu ini malah panas terik. Untung saja si pacar sering mengingatkanku untuk meminum vitamin yang dibelikannya untukku. Jadi setelah menenggak sebutir, aku bersiap tidur. Semoga sakitku tidak berlanjut.
Setahuku, dia termasuk orang yang jarang sekali sakit kepala. Tidak seperti aku, sebentar-sebentar sakit kepala. Kotak obatku isinya kalau bukan obat sakit kepala, ya obat migren (sama aja ya itu?) juga obat maag. Jadinya aku khawatir juga, karena untuk ukuran orang yang jarang sakit kepala, sakit selama tiga hari berturut-turut itu patut ditindaklanjuti. Maka tadi karena bertepatan ada urusan yang harus kuselesaikan di daerah dekat rumahnya, aku menyempatkan diri menjenguknya. Dan betapa kesalnya aku karena mendapati dia sedang berjibaku dengan kertas-kertas yang bertaburan angka. Padahal tadi itu dia sengaja izin pulang cepat karena sakit kepalanya sudah tak tertahankan. Eh, ini kok di rumah malah kerja.
"Katanya sakit kepala, kok kerja?" omelku.
"Aduh, say. Kamu memang seksi kalau omel-omel begini. Tapi ini kepalaku sedang cenat-cenut," rayunya.
"Ya gimana nggak cenat-cenut, yang dipelototin angka melulu."
"Maunya kupelototin kamu, tapi kamunya jauh," katanya membela diri. "Nah, sekarang kamu udah di sini, sakit kepalaku sudah berkurang."
Halah! Kalau sudah begini, aku malah tidak jadi ngomel-ngomel lagi deh.
Melihat aku yang tidak jadi marah, langsung saja dia membujukku membuatkannya nasi goreng untuk makan malam. Mana tega kubiarkan dia keluar sendiri malam-malam beli makanan dengan keadaan kepala yang sakit? Jadi kubuatkan dia nasi goreng. Dan karena dia tidak suka dengan bumbu instan untuk nasi goreng yang dijual di supermarket-supermarket itu, aku harus membuat sendiri bumbunya. Padahal aku paling tidak suka memegang bawang karena baunya bakal menempel di jariku selama berhari-hari. Kubuatkan juga telur ceplok yang kuningnya setengah matang seperti kesukaannya (itu juga seleraku), dan menemaninya makan.
Selesai makan, aku menyiapkan obatnya dan memastikan obatnya diminum, lalu pamit pulang. Setibanya di rumah, eh, ternyata Mama juga sedang sakit. Aku ke apotik dan membeli Sanmol, Amoxan dan jarum suntik insulin. Sekembalinya dari apotik, kutemani Mama makan. Sudah beres semuanya, aku mandi. Sekarang gantian aku yang sepertinya meriang dan kepala cenat-cenut. Ah, apes amat ini ceritanya.
Sedang musim-musimnya orang jatuh sakit kali, ya? Perubahan cuaca belakangan ini cukup ekstrim. Seminggu yang lalu, hampir setiap hari turun hujan disertai angin kencang. Minggu ini malah panas terik. Untung saja si pacar sering mengingatkanku untuk meminum vitamin yang dibelikannya untukku. Jadi setelah menenggak sebutir, aku bersiap tidur. Semoga sakitku tidak berlanjut.
Tuesday, 7 August 2012
Jangan Ganggu Banci!
Dari dulu aku paling tidak mau mencampuri urusan orang. Aku tidak suka. Aku tidak ingin terlibat dengan masalah orang lain, apalagi kalau ternyata keterlibatanku sampai memperkeruh keadaan. Amit-amit jabang babon. Aku paling anti dengan hal-hal yang seperti itu. Pokoknya urusanmu bukan urusanku, dan aku tidak mau tahu urusanmu. Begitu.
Begini ya, aku tidak mau mencampuri urusan orang lain karena urusanku juga masih banyak dan tak kunjung selesai kuurusi. Urusanku sendiri juga sudah membuatku pusing seribu keliling. Mana sempat aku mengurusi urusan orang lain? Dikata sombong? Egois? Individualis? Anti-sosial? Terlalu cuek, kalau kata Mama. Beda-beda tipis lah ya. Biar deh. Daripada aku dijuluki tukang campur urusan orang. Apa peduliku? Tidak ada.
Tapi ya, ada alasan mengapa aku bersikap seperti itu. Simpel saja; kalau aku tidak mau tahu dengan urusan orang, maka aku pun tidak mau orang lain mau tahu dengan urusanku. Aku tidak suka. Sejalan, kan? Karena sesungguhnya, orang yang mau tahu urusan orang lain itu hanya karena mereka ingin sekedar mau tahu saja. Membantu juga tidak, kok. Menggosip, iya! Ditambah dengan bumbu-bumbu hasil racikan lidah bercabang dua, amboi enaknya. Apalagi jika ditemani kue dan secangkir kopi di sore hari, maka tiada yang lebih membahagiakan selain membicarakan kehidupan orang lain.
Apa enaknya sih, ngomongin orang? Apa untungnya mengedarkan cerita-cerita miring yang keberadaannya belum tentu benar? Di mana letak kesenangan saat melihat orang yang diomongin menderita dan malu? Bagiku, tidak ada enaknya, tidak ada untungnya, tidak ada senangnya jika melakukan itu.
Cuek aja, Rae. Iya, aku memang cuek-cuek saja. Tapi sampai sejauh mana batas yang bisa kutolerir? Sudah tentu ada batasnya, dong. Jangan karena aku melakukan A, lalu ceritanya sampai pada yang kulakukan adalah Z. Hey, mau ngomongin orang juga jangan cuma pakai mulut aja. Otak juga dipakai, dong. Atau otaknya dipakai, tapi kadar mengira-ngiranya jauh lebih banyak daripada fakta yang ada. Aduh, demi Papa Smurf yang kerjaannya ngasih quests, cari kerjaan sana!
Versi lainnya, orang mau tahu karena mau sok prihatin. Man, paling keki kalau ketemu yang seperti ini! Versi ini jauh bikin lebih pusing. Pastinya menyarankanku (tanpa kuminta!) melakukan ini dan itu yang menurut mereka adalah yang terbaik dan sudah sepantas dan selayaknya kulakukan demi kebaikan semua orang. Oh well, semua orang, kecuali AKU. Plis deh, aku tahu apa yang kulakukan karena menurutku itulah yang paling tepat dengan keadaanku.
Namun susahnya ya, orang kalau sudah berbicara sama seperti mobil yang remnya blong. Halah! Kalau sudah begitu, yang bisa kulakukan hanyalah menyanyikan "Jangan Ganggu Banci!"
Ps. Aku bukan banci!
Begini ya, aku tidak mau mencampuri urusan orang lain karena urusanku juga masih banyak dan tak kunjung selesai kuurusi. Urusanku sendiri juga sudah membuatku pusing seribu keliling. Mana sempat aku mengurusi urusan orang lain? Dikata sombong? Egois? Individualis? Anti-sosial? Terlalu cuek, kalau kata Mama. Beda-beda tipis lah ya. Biar deh. Daripada aku dijuluki tukang campur urusan orang. Apa peduliku? Tidak ada.
Tapi ya, ada alasan mengapa aku bersikap seperti itu. Simpel saja; kalau aku tidak mau tahu dengan urusan orang, maka aku pun tidak mau orang lain mau tahu dengan urusanku. Aku tidak suka. Sejalan, kan? Karena sesungguhnya, orang yang mau tahu urusan orang lain itu hanya karena mereka ingin sekedar mau tahu saja. Membantu juga tidak, kok. Menggosip, iya! Ditambah dengan bumbu-bumbu hasil racikan lidah bercabang dua, amboi enaknya. Apalagi jika ditemani kue dan secangkir kopi di sore hari, maka tiada yang lebih membahagiakan selain membicarakan kehidupan orang lain.
Apa enaknya sih, ngomongin orang? Apa untungnya mengedarkan cerita-cerita miring yang keberadaannya belum tentu benar? Di mana letak kesenangan saat melihat orang yang diomongin menderita dan malu? Bagiku, tidak ada enaknya, tidak ada untungnya, tidak ada senangnya jika melakukan itu.
Cuek aja, Rae. Iya, aku memang cuek-cuek saja. Tapi sampai sejauh mana batas yang bisa kutolerir? Sudah tentu ada batasnya, dong. Jangan karena aku melakukan A, lalu ceritanya sampai pada yang kulakukan adalah Z. Hey, mau ngomongin orang juga jangan cuma pakai mulut aja. Otak juga dipakai, dong. Atau otaknya dipakai, tapi kadar mengira-ngiranya jauh lebih banyak daripada fakta yang ada. Aduh, demi Papa Smurf yang kerjaannya ngasih quests, cari kerjaan sana!
Versi lainnya, orang mau tahu karena mau sok prihatin. Man, paling keki kalau ketemu yang seperti ini! Versi ini jauh bikin lebih pusing. Pastinya menyarankanku (tanpa kuminta!) melakukan ini dan itu yang menurut mereka adalah yang terbaik dan sudah sepantas dan selayaknya kulakukan demi kebaikan semua orang. Oh well, semua orang, kecuali AKU. Plis deh, aku tahu apa yang kulakukan karena menurutku itulah yang paling tepat dengan keadaanku.
Namun susahnya ya, orang kalau sudah berbicara sama seperti mobil yang remnya blong. Halah! Kalau sudah begitu, yang bisa kulakukan hanyalah menyanyikan "Jangan Ganggu Banci!"
Ps. Aku bukan banci!
Thursday, 2 August 2012
To-do List
Tidak terasa bulan sudah berganti. Sudah bulan Agustus. Sudah dua minggu lebih puasa berjalan bagi yang menjalankannya. Dan aku, di sini, masih juga sibuk dengan urusan kuliah ini. Tidak sesibuk itu sih, cuma ternyata masih banyak yang harus kukerjakan setelah aku merasa ada banyak hal yang telah kuselesaikan.
Kemarin aku sudah menerima Letter of Full Offer dari pihak universitas yang dikirimkan ke email-ku melalui agen internasional resmi. Itu artinya aku sudah bisa melakukan pembayaran tuition fee sejumlah yang ditentukan untuk kemudian mendapatkan Confirmation of Enrollment (CoE). Namun sebelum membayar, aku masih harus memasukkan permohonan beasiswa yang batasnya tanggal 17 Agustus. Lumayan kan, bisa mendapatkan sedikit potongan untuk tuition fee setiap semester, selama masa studi.
Setelah membayar (semoga permohonan beasiswaku disetujui!) dan memperoleh CoE, aku masih harus menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk permohonan visa pelajar untukku dan visa pengunjung untuk Mama yang katanya ingin ikut mengantarku, termasuk juga medical check-up di rumah sakit yang ditunjuk langsung oleh kedutaan di kota terdekat. Sementara itu aku masih harus tetap mencari tempat tinggal, juga mem-booking tiket pesawat.
Jika semuanya sudah beres-res-res, tinggal aku perlu belanja-belenji baju musim dingin. Secara beli di sini sudah pasti lebih murah. Ya, kan? Bukannya perhitungan atau pelit, tapi ini ceritanya tinggal di negeri dolar, yang apa-apa jika dirupiahkan harganya melangit. Lalu hal terakhir yang harus kulakukan adalah mengajari Mama menyetir, karena biasanya aku yang mengantar dia ke mana-mana. Kemudian mengajarinya menggunakan internet, cara mengirimkan email, melakukan panggilan video di Skype, dan hal lainnya yang berbau teknologi semacam itu.
Nah, jadi itulah yang masih harus kukerjakan, dan kukerjakan sendiri karena hanya aku yang paham. Mama tahunya beres. Sudah barang tentu aku tidak mau merepotkannya karena cukuplah ia berkorban dan merelakan anak perempuan satu-satunya pergi jauh darinya, untuk yang ke sekian kalinya. Tidak perlu lagi kupusingkan dengan segala pengurusan yang belibet ini. Lagipula, aku sendiri pusing jika harus menerjemahkan satu per satu segala dokumen yang dikirimkan kepadaku, yang berbahasa Inggris.
Sengaja kutuliskan ini di sini supaya aku bisa masuk ke sini dan melihat kembali apa saja yang harus kukerjakan. Kalau yang lain menggunakan notes atau post-it, maka aku menggunakan blog. Dan menulis ini, mengurangi kecemasanku karena dalam pikiranku waktu semakin mepet, sementara yang harus diselesaikan masih banyak. Membuatku jadi gelagapan sendiri jika memikirkannya. Baru setelah diuraikan seperti ini, rasanya sedikit lega.
Jadi saatnya mengerjakan satu per satu, langkah demi langkah. Dan untuk sekarang, yaitu tidur! Eh, maksudku beasiswa....
Kemarin aku sudah menerima Letter of Full Offer dari pihak universitas yang dikirimkan ke email-ku melalui agen internasional resmi. Itu artinya aku sudah bisa melakukan pembayaran tuition fee sejumlah yang ditentukan untuk kemudian mendapatkan Confirmation of Enrollment (CoE). Namun sebelum membayar, aku masih harus memasukkan permohonan beasiswa yang batasnya tanggal 17 Agustus. Lumayan kan, bisa mendapatkan sedikit potongan untuk tuition fee setiap semester, selama masa studi.
Setelah membayar (semoga permohonan beasiswaku disetujui!) dan memperoleh CoE, aku masih harus menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk permohonan visa pelajar untukku dan visa pengunjung untuk Mama yang katanya ingin ikut mengantarku, termasuk juga medical check-up di rumah sakit yang ditunjuk langsung oleh kedutaan di kota terdekat. Sementara itu aku masih harus tetap mencari tempat tinggal, juga mem-booking tiket pesawat.
Jika semuanya sudah beres-res-res, tinggal aku perlu belanja-belenji baju musim dingin. Secara beli di sini sudah pasti lebih murah. Ya, kan? Bukannya perhitungan atau pelit, tapi ini ceritanya tinggal di negeri dolar, yang apa-apa jika dirupiahkan harganya melangit. Lalu hal terakhir yang harus kulakukan adalah mengajari Mama menyetir, karena biasanya aku yang mengantar dia ke mana-mana. Kemudian mengajarinya menggunakan internet, cara mengirimkan email, melakukan panggilan video di Skype, dan hal lainnya yang berbau teknologi semacam itu.
Nah, jadi itulah yang masih harus kukerjakan, dan kukerjakan sendiri karena hanya aku yang paham. Mama tahunya beres. Sudah barang tentu aku tidak mau merepotkannya karena cukuplah ia berkorban dan merelakan anak perempuan satu-satunya pergi jauh darinya, untuk yang ke sekian kalinya. Tidak perlu lagi kupusingkan dengan segala pengurusan yang belibet ini. Lagipula, aku sendiri pusing jika harus menerjemahkan satu per satu segala dokumen yang dikirimkan kepadaku, yang berbahasa Inggris.
Sengaja kutuliskan ini di sini supaya aku bisa masuk ke sini dan melihat kembali apa saja yang harus kukerjakan. Kalau yang lain menggunakan notes atau post-it, maka aku menggunakan blog. Dan menulis ini, mengurangi kecemasanku karena dalam pikiranku waktu semakin mepet, sementara yang harus diselesaikan masih banyak. Membuatku jadi gelagapan sendiri jika memikirkannya. Baru setelah diuraikan seperti ini, rasanya sedikit lega.
Jadi saatnya mengerjakan satu per satu, langkah demi langkah. Dan untuk sekarang, yaitu tidur! Eh, maksudku beasiswa....
Subscribe to:
Posts (Atom)