Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Thursday 2 February 2012

Serangan Panik Mendadak

"Gue benar-benar salah ambil jurusan," kata teman gue. Saat itu kami sedang makan siang di kantin kampus. Tangal-tanggal buncit penghujung bulan selalu membuat kami terpaksa mengencangkan ikat pinggang demi penghematan. Tidak ada makan siang di mall atau restoran cepat saji. Cukup kantin saja yang menyediakan makanan murah meriah lezat (untuk ukuran mahasiswa kehabisan uang.)

"Kenapa?" gue menanggapi acuh tak acuh. Mungkin dia sedang asal berbicara. Kami berdua sama-sama mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi, meski berbeda jurusan. Gue sedang menggarap data kuesioner dan sedang pusing berkutat dengan SPSS, sementara dia sendiri sudah hampir selesai. Bahkan punyanya tinggal menunggu persetujuan dari dosen pembimbing untuk diajukan sidang. Jadi tidak mungkin kan, jika tiba-tiba dia bilang salah ambil jurusan.

"Entahlah," katanya lagi sambil mengangkat bahunya. "Gue hanya merasa tidak tertarik menjadi seorang akuntan."

Gue melayangkan tatapan serius-lo, sambil menaikkan alis. "But isn't it a little bit too late to realize that?"

Dia diam sejenak, menundukkan kepalanya, mengerutkan alis - tanda dia sedang berpikir dua kali - sambil memainkan sendoknya, sebelum akhirnya menjawab, "yeah, it is."

"You'll be a good one. Trust me,"
kata gue, berusaha menenangkannya. Dia mengangkat kepalanya, menatap gue seolah bertanya "beneran?" Gue mengangguk lalu tersenyum.

Bertahun-tahun sesudahnya, gue baru mengerti bagaimana perasaan teman gue saat itu. Malah sekarang gue mengalami hal yang dia alami dulu. Pasalnya, ketika gue, beberapa hari yang lalu, iseng-iseng membuka website beberapa universitas di luar negeri, gue menemukan beberapa program studi untuk jenjang S2 yang gue minati. Dan program studi-program studi tersebut sangat jauh berbeda dengan latar belakang pendidikan S1 gue. Jadi terang saja gue merasa bahwa selama ini gue salah ambil jurusan.

Gue tidak tertarik mengambil program MBA, MIM, atau apapun itu yang berkaitan dengan pendidikan S1 gue. Bukannya gue tidak menikmati mata kuliah-mata kuliah yang dulu gue ambil. Malah gue menyenangi beberapa mata kuliah tertentu yang menjadi mata kuliah utama untuk peminatan gue. Hanya saja, ketika melihat program studi yang berhubungan dengan social work/science untuk calon mahasiswa graduate yang ditawarkan oleh beberapa universitas di US dan Australia, gue tahu bahwa itulah yang selama ini ingin gue lakukan.

Langsung saja gue mengubek-ubek isi website demi mencari tahu lebih lanjut mengenai program studi tersebut. Semakin gue mencari tahu, semakin gue tertarik. Namun semakin gue tertarik, semakin pula gue panik. Seolah kepanikan itu sedang bersembunyi di suatu tempat dalam diri gue, merayap perlahan melalui jari-jari gue yang tengah sibuk menggerakkan kursor. Dan akhirnya membuncah saat gue semakin yakin akan minat gue. Semakin mantap gue akan keinginan gue, semakin melekat erat kepanikan itu di setiap sel tubuh gue. Membuat gue bergidik, lalu mendadak sesak nafas.

Kemana saja gue selama ini? Apa saja yang gue lakukan selama ini? Kenapa gue menyia-nyiakan waktu, menyia-nyiakan usia yang terbuang percuma? Bagaimana mungkin realisme telah menghempaskan gue jauh pada kepasrahan akan keadaan sehingga membuat gue berhenti berkeinginan?

Gue panik. Terlalu panik untuk bisa memikirkan jalan keluar. Gue mengalihkan perhatian terhadap hal-hal lain; musik, fanfiction, buku, pekerjaan. Namun usaha gue sia-sia. Setiap hari gue bangun dan sadar gue sudah salah melangkah dan gue harus kembali pada apa yang selama ini gue inginkan. Bahwa gue harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki. Tapi apa?

Gue menghubungi Q dan tanpa berlama-lama YM-nya menyala. Gue beberkan semuanya kepadanya, masih dalam kepanikan. Seperti biasanya dia mendengar (atau membaca pesan?) sampai gue selesai. Lalu seperti biasanya pula dia berhasil menenangkan gue, menopang gue agar tidak goyah. Menuntun gue dan memberikan detil mengenai hal-hal yang harus gue lakukan. Kadang, setelah 8 tahun bersahabat, gue masih takjub dengan kemampuannya yang satu itu.

Sebuah pelajaran yang gue peroleh dari pengalaman ini adalah bahwa kadang membutuhkan waktu yang lama bagi seseorang untuk sadar ia telah salah melangkah. Masalahnya adalah akankah ada kesempatan untuk memperbaikinya?

Bagi gue, semoga ini merupakan kesempatan gue untuk benar-benar memperbaiki dan meraih apa yang gue inginkan.

3 comments:

Bedjo said...

Mau tau yang bisa bikin lebih panik lagi Rae? Kamu pikir bahwa kamu telah salah haluan, terus banting setir ke kanan... tak lama kemudian baru kamu sadar bahwa jalan yang dulu itu, yang kamu bantingi setir itu, adalah jalur yang sebenarnya kamu suka.... Pikir baik-baik, jangan keburu nafsu ya...

Rae said...

Iya, mas. Itu yang sedang aku lakukan saat ini. :)

luke! said...

hhmm......mirip sama yang saya alami sekarang. bedanya, saya sekarang (maksudnya sudah 2 tahun terakhir) sadar kalo profesi saya ini memiliki banyak spektrum. dan salah satu spektrum yang saya minati merupakan sesuatu yang jarang dilirik rekan2 seprofesi saya.

saya percaya bahwa saya bisa tetap mengaplikasikan ilmu waktu kuliah dulu dengan cara yang lain, walaupun cara ini tidak secara khusus diajarkan waktu kuliah dulu.

saya seorang dokter, dan saya tertarik pada bidang disaster management.