Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Friday 10 February 2012

Melarikan Diri (lagi?!)

"So, you're running away again," tudingnya begitu melihat wajah gue menyembul dari jendela mobil.

"Well, hello to you, too," balas gue ketus. Gue paham maksud tudingannya. Namun yang membuat gue kesal adalah setidaknya dia bisa memberikan kata sambutan yang lebih baik - untuk ukuran seorang "satan" - setelah beberapa lama tidak berjumpa.

"Oh, come on. Give her a little break, will ya?" sahut perempuan di balik kemudi. "Now hop in before we get caught in the traffic."

Gue lebih banyak diam selama perjalanan, memikirkan tudingannya tadi. Masa iya, ketika gue akhirnya memilki sebuah rencana masa depan, gue dibilang melarikan diri lagi? Dia tidak tahu apa-apa. Dasar manusia asal bunyi. Gue mengenyahkan pikiran buruk tadi, meski gue tahu bahwa dia benar dan mungkin itu yang membuat gue semakin kesal. Terkadang gue merasa akan lebih baik jika dia tidak mengerti gue. Sama sekali.

"Spill it," katanya lagi bahkan saat gue belum sempat duduk. Gue melirik perempuan di balik kemudi tadi dengan tatapan memohon belas kasihan, tapi dia justru menggeleng pasrah. Tidak setia kawan, batin gue.

"Order dulu. Lapar nih."

"Gak ada waktu. Besok kan lo pulang." Dia mengambil buku menu dari tangan gue dan langsung memesan makanan; seafood dan kangkung tumis terasi, sementara gue hanya bisa mendesah pasrah.

Sambil menunggu makanan datang, gue ceritakan semua kejadian yang terjadi belakangan. Semuanya, karena tidak ada gunanya jika gue menyembunyikan sesuatu. Dia itu seperti seorang psychic yang bisa tahu jika ada yang tidak beres. Atau memang dia itu seorang psychic tulen. Psychic satan.

Ketika gue tiba pada akhir cerita, dimana gue menjelaskan alasan dibalik keinginan untuk melanjutkan sekolah di luar negeri, dia malah diam. Gue menunggu, berharap dia akan mengatakan sesuatu. Namun tak ada reaksi, tak ada kedipan, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Hari ini tumben ya sepi," ujarnya pada akhirnya setelah beberapa saat diam, sambil melayangkan pandangan kepada si perempuan di balik kemudi. What the hell? Gue nyerocos panjang lebar dan yang dikomentarinya adalah restoran yang sepi? Ingin rasanya gue lempari dia dengan piring di hadapan gue. Gue menarik nafas, berusaha menenangkan diri. Terserahlah.

Selesai makan, kami langsung menuju ke sebuah tempat karaoke dan bernyanyi sepuasnya selama hampir empat jam hingga suara serak. Rasanya gue ini jauh-jauh ke sana hanya untuk karaokean. Jam sembilan tepat kami keluar dan langsung menuju hotel tempat gue menginap. Selama perjalanan tidak ada satupun yang berbicara. Mungkin karena sama-sama kelelahan dan tak ada lagi suara yang tersisa. Dia tidak juga mengomentari mengenai cerita gue saat makan tadi. Sialan, pikir gue.

Perempuan di balik kemudi menurunkan kami berdua di depan lobi hotel dan pulang. Gue memilih untuk langsung naik ke kamar, segera mandi, lalu tidur. Masih kesal dengan reaksinya tadi, gue membanting pintu kamar mandi, sedikit terlalu kencang dari yang gue maksudkan. Gue menyalakan shower lalu berdiri di bawahnya, membiarkan air mengalir turun membasuh tubuh, sambil menebak-nebak. Apa sih maunya dia? Memangnya dia tahu apa? Dia maunya gue gimana? Dia tidak benar-benar mengalami apa yang gue alami. Benar-benar membuat orang depresi. Selesai mandi, gue memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Tidak akan gue biarkan sisa liburan gue terganggu.

"Jangan tidur dulu," katanya, lalu beranjak masuk ke kamar mandi.

Gue menunggu dia selesai mandi sambil menonton TV. Lima belas menit berlalu dan akhirnya dia selesai. Dia mengeluarkan dua botol anggur dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja. Gue mengedipkan mata berkali-kali menatapnya. Seriusan?

"You need alcohol to speak out your mind sometimes. Don't you know that?" Dia tersenyum menyeringai, persis seperti penyihir jahat dengan apel beracunnya. Gue tahu dia sekedar mengejek, mengingat kejadian bertahun-tahun yang lalu ketika gue mabuk dan muntah-muntah di mobil saat melewati sepanjang jalan Sudirman. Gue melengos, langsung merasakan pipi gue memerah.

Tak selang beberapa saat, kami berdua sudah larut dalam percakapan sambil minum anggur. Menjelang botol kedua, gue tahu gue sudah mulai bicara ngawur. Meski hanya dalam keadaan tipsy, tapi gue tidak ingat apa yang gue katakan. Tahunya kami berdua cekikikan, ketawa-ketiwi. Dan ketika gue tidak sanggup lagi minum, gue segera merangkak naik ke ranjang dan meringkuk di balik selimut. Alkohol bagi gue bisa mengalirkan panas seketika dalam tubuh, sekaligus bisa membuat gue menggigil kedinginan saat pengaruhnya mulai membuat otak gue sedikit kacau.

Kepala gue serasa berputar dan kuping berdengung. Nafas gue berat. Dua botol anggur jelas terlalu banyak buat gue. Ketika kantuk mulai mengambil alih kesadaran, samar-samar gue sempat mendengar dia berkata, "After everything you just told me, I know you're running away. You're running away again and again. So, you're coming with me tomorrow. It's about time, Rae. No excuse." Gue tahu pasti kemana dia akan membawa gue. Tapi gue terlalu lelah dan sedikit mabuk untuk membantah. Jadi gue pasrah saja.

Yeah, I know, kata gue dalam hati sebelum akhirnya jatuh tertidur.

1 comment:

The Insider said...

what's up?
apa kabar?