Hujan mengguyur deras tiada henti sejak kemarin malam hingga sore hari tadi. Hanya berhenti selama beberapa saat lalu kemudian turun lagi. Seolah langit tak sanggup lagi menahan curahnya. Cuaca yang tidak bersahabat dan udara yang dingin membuat gue bangun dengan mood jongkok.
Beberapa jam kemudian gue sudah berada di dalam mobil, menyetir sambil mendengarkan lagu. Hari ini gue harus ke kantor polisi untuk mengurus perpanjangan surat izin operasi mobil yang berjarak sekitar 1-1,5 jam perjalanan dari rumah. 2 jam jika keadaan hujan begini.
Wiper kaca bergerak ke kanan dan ke kiri. Gue memandang jalan di depan dengan pikiran yang masih sedikit melayang. Mungkin karena masih mengantuk atau karena kelelahan. Hujan seperti ini mengingatkan gue akan sebuah kejadian yang terjadi saat gue duduk di bangku SMA. Hari itu mungkin hari yang paling buruk yang pernah gue alami.
Pintu kamar kos gue diketuk perlahan dan ketika gue buka, gue mendapati teman gue berdiri di depan gue, basah kuyup dan menangis sesegukan. Untuk sesaat gue bengong, menatapnya dari kepala hingga kaki. Menyadari ada sesuatu yang salah, gue segera menariknya masuk ke dalam kamar sebelum ada orang lain yang melihatnya. Apa nanti kata orang jika mereka melihatnya?
Dia masih terus menangis sambil meremas handuk yang tadi gue lilitkan di punggungnya, sementara gue duduk diam, tidak yakin apa yang sebaiknya gue lakukan. Tangisnya akhirnya mereda setelah beberapa saat. Gue mengambil gelas air putih dari meja samping tempat tidur lalu mengulurkannya padanya. Dia meminum airnya dalam sekali teguk, menyerahkan gelas kosong ke gue, dan berkata, "aku hamil."
Sembilan bulan kemudian, gue dan seorang teman berada dalam sebuah kamar di rumah sakit. Teman gue yang baru saja melahirkan itu duduk di tempat tidur sambil menggendong seorang bayi mungil di dadanya. Wajahnya memancarkan sedikit kebahagian, banyak kelelahan dan lebih banyak lagi ketakutan. Dia mengusap-usap kepala sang bayi sambil matanya menerawang. Tanpa sadar dia berkata, "apa yang harus aku lakukan?" lebih kepada dirinya sendiri.
Suara klakson truk kontainer menendang gue jatuh ke bumi, dan gue kembali fokus pada jalanan di depan. Mengingat peristiwa yang terjadi dengan teman itu gue membuat gue berpikir bahwa alangkah baiknya jika hidup itu memiliki sebuah buku petunjuk. Kalian tahu? Seperti saat membeli Lego yang dilengkapi buku petunjuk mengenai cara-cara menyambung seluruh bagian yang menghasilkan berbagai macam bentuk. Maka buku petunjuk hidup itu diberikan saat kita lahir di dunia, dengan judul di sampul depannya: "Life 101."
Dalam pikiran gue, buku petunjuk hidup itu terbagi dalam beberapa sub bab, misalnya tentang keluarga, hubungan cinta, karir, dsb. Isinya bukan dalam bentuk seperti buku-buku motivasi atau buku renungan yang tersebar di berbagai toko buku yang ditulis oleh banyak penulis, yang penuh dengan uraian atau kisah-kisah inspiratif. Melainkan dalam bentuk pertanyaan yang jawabannya berupa poin-poin atas hal-hal yang seharusnya dilakukan.
Pertanyaannya seputar permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, seperti misalnya "apa yang sebaiknya dilakukan saat hubungan berakhir?", "bagaimana menghadapi bos yang sok pintar?", "bagaimana cara mengatakan pada sahabatmu bahwa pacarnya selingkuh?", "bagaimana cara membesarkan anak di usia muda?", atau "apa yang harus dilakukan ketika orang tua bertengkar tanpa henti?" Bahkan bukunya dilengkapi dengan bagian "Indeks" untuk mempermudah pencarian kata kunci, dan bukunya tersedia dalam ukuran kantong kantong celana agar mudah dibawa kemana-mana. Seperti itu kira-kira. To the point, praktis, mudah diikuti, dan menghemat waktu membaca.
Ya, kadang gue mengharapkan ada sebuah buku petunjuk mengenai menjalani kehidupan dan menghadapi semua permasalahan di dalamnya. Sebuah buku petunjuk yang bisa memberikan solusi dan jawaban. Bukannya gue tidak percaya dengan Tuhan yang merupakan solusi dan jawaban atas semua doa umat manusia. Hanya saja lebih sering gue merasa bahwa gue sangat membutuhkan solusi dan jawaban dari masalah gue secepat dan sesegera mungkin, sementara doa-doa yang gue panjatkan ternyata masih dalam antrian panjang dan bersanding dengan doa-doa dari 7 milyar penduduk bumi lainnya. Bayangkan berapa lama harus menunggu sampai akhirnya doa dikabulkan dan solusi diperoleh.
Kenyataan bahwa buku semacam itu tidak pernah ada, membuat gue melirik figur orang-orang yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, yang lebih bijaksana - selain orang tua gue pastinya - demi mendapatkan setitik pencerahan. Kekurangannya adalah gue mengalami kesulitan bagaimana mengutarakan isi hati dengan kata-kata yang tepat. Mungkin karena disebabkan oleh ketidakmampuan mengekspresikan apa yang gue rasakan dalam kata-kata. Atau mungkin saja karena terlalu banyak hal yang terjadi, terlalu banyak pikiran yang harus diutarakan, sehingga gue sendiri bingung harus mulai dari mana atau apa yang harus dikatakan.
Dan sekali lagi, gue mengharapkan ada sebuah buku petunjuk hidup seperti yang gue sebutkan tadi, yang tentunya juga memuat solusi mengenai bagaimana cara mengutarakan perasaan atau kata tepat apa yang harus dikatakan saat mengutarakan sebuah pikiran, dan bahkan menyebutkan cara-cara untuk bisa curhat atau bertukar pikiran dengan orang tua sendiri. Apapun itu, pastilah bisa sangat membantu orang-orang yang sedang berada dalam ujung keputus-asaan seperti gue ini.
Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image
Wednesday, 29 February 2012
Friday, 24 February 2012
Lesbian Life: Big WHY
Kata orang, hidup adalah misteri. Bagi gue, misteri itu adalah sesuatu yang tak pernah terpecahkan, sehingga ia tetap menjadi misteri. Melihat dan mengalami segala sesuatu hal yang terjadi dalam kehidupan sering membuat gue bertanya "kenapa?" Selama hampir seperempat abad kehidupan gue, pertanyaan kenapa, kenapa dan kenapa selalu berputar dalam benak dan kepala gue; kenapa begini, kenapa begitu, kenapa ini terjadi, kenapa itu tidak terjadi, dsb. Dan tidak jarang gue tidak menemukan jawabannya, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun.
Salah satu "kenapa" yang gue miliki, yang berdampak cukup besar bagi gue, gue peroleh beberapa tahun lalu. Ketika itu gue masih duduk di bangku kuliah, ada seorang dosen yang mengajar Etika Bisnis. Beliau menjalankan sebuah proyek amal dan gue ikut menjadi bagian di dalamnya secara sukarela. Proyeknya yaitu menyediakan tempat penampungan bagi anak-anak jalanan, yang kami sebut sebagai rumah singgah. Gue mengambil bagian dalam mengajar beberapa anak di sana membaca, menulis dan berhitung, yang waktunya disesuaikan dengan jadwal kuliah gue. Sedangkan beberapa sukarelawan lainnya bertugas mengajarkan beberapa keterampilan yang mereka miliki kepada anak-anak itu, sebagai bekal untuk mereka nantinya. Dengan begitu mereka bisa bekerja dan bukannya mengamen, meminta-minta, atau bahkan menjambret untuk mencari uang.
Proyeknya tentu tidak selalu berjalan mulus, karena meskipun ini untuk amal tetap saja masih membutuhkan bantuan dana. Anak-anak itu perlu makan, baju, dan tempat tidur. Namun bukan uang yang menjadi masalah utamanya, melainkan justru masalahnya adalah anak-anak itu sendiri. Banyak di antara mereka yang memilih kabur dari rumah singgah dan kembali pada kehidupan jalanan. Mereka lebih senang hidup di jalanan, bekerja mencari uang, juga bahkan ada yang menajdi pelaku kriminal, dibandingkan tinggal dirumah singgah dan belajar. Belum lagi sering kami mendapatkan surat kaleng atau ancaman dari oknum-oknum yang mengaku sebagai "pemilik" anak-anak itu.
Satu tahun proyeknya dilaksanakan sebelum akhirnya dihentikan dengan alasan konsekuensinya terlalu besar jika sampai ada yang dicelakai, meninggalkan gue dengan sebuah KENAPA besar di kepala gue; kenapa mereka lebih senang hidup terlantar di jalanan dan berkawan dengan para kriminal, kenapa - saat ada yang peduli - mereka malah tidak menginginkannya. Semua pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul menjadi sebuah tanda tanya besar. Jawabannya mungkin bisa diperoleh dengan melakukan sebuah riset mendalam mengenai psikologi anak-anak jalanan, baru kemdian bisa diketahui akar permasalahannya apa. Karena, terus terang, proyek amal dengan menyediakan sebuah rumah singgah bagi mereka bukan merupakan sebuah solusi dari inti masalah.
Mari mundur lagi ke beberapa tahun kehidupan gue sebelum proyek amal itu. Suatu hari gue bangun dengan sebuah pertanyaan di kepala gue: kenapa gue lesbian? Gue mulai menyadari ada sesuatu yang tidak lazim dengan diri gue saat mendapati gue lebih tertarik dengan perempuan, sedangkan teman-teman perempuan gue yang lain sedang heboh-hebohnya bermimpi kencan dengan Justin Timberlake atau Nick Carter, atau berusaha mengencani playmaker tim basket sekolah. Sejak saat itu gue pun mulai bertanya pada diri sendiri, kenapa? Bahkan setelah gue akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa gue memiliki preferensi tertentu terhadap perempuan, gue masih saja bertanya kenapa, kenapa dan kenapa.
Zaman sekarang sudah semakin canggih. Segala jenis teknologi memungkinkan diadakannya sebuat riset dan penelitian, terutama pada penelitian yang dilakukan kepada kaum homoseksual; apa yang membuat mereka tertarik pada sesama jenis. Berbagai hipotesis dikemukakan dan diuji, berbagai cara penelitian dilakukan melalui interaksi langsung dengan kaum-kaum homoseksual untuk mendapatkan jawaban yang masuk akal kenapa seseorang bisa menyukai sesama jenis dan agar supaya homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai sebuah penyakit mental.
Apapun hasil risetnya, tetap saja masih ada orang-orang tertentu yang tidak bisa menerima homoseksualitas. Dan bagi gue, seberapa masuk akalnya hasilnya, kadang masih membuat gue bertanya kenapa. Mungkin karena disebabkan oleh kehidupan sebagai lesbian yang dipenuhi dengan ketakutan dan rasa was-was. Takut ketahuan, takut keluar dari lemari, atau harap-harap cemas jangan sampai setiap gerak-gerik tubuh pun meneriakkan lesbian, dan membuat kehidupan jadi berantakan.
Pada suatu titik tertentu, gue akhirnya memutuskan untuk berhenti bertanya kenapa untuk banyak hal dalam kehidupan gue dan memilih untuk bertindak. Instead of living a life miserably, I need to be happy for who I am. We're always being mistreated, misplaced, misunderstood, or underestimated for being homosexual or not. People will always criticizing, but here we are, still around in one piece. We need to stay alive. Dan terus-terusan bertanya kenapa tidak akan membuat gue berubah menjadi tidak lesbian. Tidak juga membuat kehidupan lebih baik.
Seperti saat gue berbicara dengan seorang perwakilan dari sebuah universitas di Australia yang sedang mengadakan expo beberapa waktu yang lalu, katanya dia juga mengalami hal yang sama (bukan soal homoseksual) dan dia juga memiliki banyak pertanyaan kenapa di kepalanya. Katanya, seperti yang gue kuitp, "I've been asking why for so many things. I have so many why's in my head. And then I looked at the mirror and decided to stop asking why and just try to make a difference. Start making a change."
Salah satu "kenapa" yang gue miliki, yang berdampak cukup besar bagi gue, gue peroleh beberapa tahun lalu. Ketika itu gue masih duduk di bangku kuliah, ada seorang dosen yang mengajar Etika Bisnis. Beliau menjalankan sebuah proyek amal dan gue ikut menjadi bagian di dalamnya secara sukarela. Proyeknya yaitu menyediakan tempat penampungan bagi anak-anak jalanan, yang kami sebut sebagai rumah singgah. Gue mengambil bagian dalam mengajar beberapa anak di sana membaca, menulis dan berhitung, yang waktunya disesuaikan dengan jadwal kuliah gue. Sedangkan beberapa sukarelawan lainnya bertugas mengajarkan beberapa keterampilan yang mereka miliki kepada anak-anak itu, sebagai bekal untuk mereka nantinya. Dengan begitu mereka bisa bekerja dan bukannya mengamen, meminta-minta, atau bahkan menjambret untuk mencari uang.
Proyeknya tentu tidak selalu berjalan mulus, karena meskipun ini untuk amal tetap saja masih membutuhkan bantuan dana. Anak-anak itu perlu makan, baju, dan tempat tidur. Namun bukan uang yang menjadi masalah utamanya, melainkan justru masalahnya adalah anak-anak itu sendiri. Banyak di antara mereka yang memilih kabur dari rumah singgah dan kembali pada kehidupan jalanan. Mereka lebih senang hidup di jalanan, bekerja mencari uang, juga bahkan ada yang menajdi pelaku kriminal, dibandingkan tinggal dirumah singgah dan belajar. Belum lagi sering kami mendapatkan surat kaleng atau ancaman dari oknum-oknum yang mengaku sebagai "pemilik" anak-anak itu.
Satu tahun proyeknya dilaksanakan sebelum akhirnya dihentikan dengan alasan konsekuensinya terlalu besar jika sampai ada yang dicelakai, meninggalkan gue dengan sebuah KENAPA besar di kepala gue; kenapa mereka lebih senang hidup terlantar di jalanan dan berkawan dengan para kriminal, kenapa - saat ada yang peduli - mereka malah tidak menginginkannya. Semua pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul menjadi sebuah tanda tanya besar. Jawabannya mungkin bisa diperoleh dengan melakukan sebuah riset mendalam mengenai psikologi anak-anak jalanan, baru kemdian bisa diketahui akar permasalahannya apa. Karena, terus terang, proyek amal dengan menyediakan sebuah rumah singgah bagi mereka bukan merupakan sebuah solusi dari inti masalah.
Mari mundur lagi ke beberapa tahun kehidupan gue sebelum proyek amal itu. Suatu hari gue bangun dengan sebuah pertanyaan di kepala gue: kenapa gue lesbian? Gue mulai menyadari ada sesuatu yang tidak lazim dengan diri gue saat mendapati gue lebih tertarik dengan perempuan, sedangkan teman-teman perempuan gue yang lain sedang heboh-hebohnya bermimpi kencan dengan Justin Timberlake atau Nick Carter, atau berusaha mengencani playmaker tim basket sekolah. Sejak saat itu gue pun mulai bertanya pada diri sendiri, kenapa? Bahkan setelah gue akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa gue memiliki preferensi tertentu terhadap perempuan, gue masih saja bertanya kenapa, kenapa dan kenapa.
Zaman sekarang sudah semakin canggih. Segala jenis teknologi memungkinkan diadakannya sebuat riset dan penelitian, terutama pada penelitian yang dilakukan kepada kaum homoseksual; apa yang membuat mereka tertarik pada sesama jenis. Berbagai hipotesis dikemukakan dan diuji, berbagai cara penelitian dilakukan melalui interaksi langsung dengan kaum-kaum homoseksual untuk mendapatkan jawaban yang masuk akal kenapa seseorang bisa menyukai sesama jenis dan agar supaya homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai sebuah penyakit mental.
Apapun hasil risetnya, tetap saja masih ada orang-orang tertentu yang tidak bisa menerima homoseksualitas. Dan bagi gue, seberapa masuk akalnya hasilnya, kadang masih membuat gue bertanya kenapa. Mungkin karena disebabkan oleh kehidupan sebagai lesbian yang dipenuhi dengan ketakutan dan rasa was-was. Takut ketahuan, takut keluar dari lemari, atau harap-harap cemas jangan sampai setiap gerak-gerik tubuh pun meneriakkan lesbian, dan membuat kehidupan jadi berantakan.
Pada suatu titik tertentu, gue akhirnya memutuskan untuk berhenti bertanya kenapa untuk banyak hal dalam kehidupan gue dan memilih untuk bertindak. Instead of living a life miserably, I need to be happy for who I am. We're always being mistreated, misplaced, misunderstood, or underestimated for being homosexual or not. People will always criticizing, but here we are, still around in one piece. We need to stay alive. Dan terus-terusan bertanya kenapa tidak akan membuat gue berubah menjadi tidak lesbian. Tidak juga membuat kehidupan lebih baik.
Seperti saat gue berbicara dengan seorang perwakilan dari sebuah universitas di Australia yang sedang mengadakan expo beberapa waktu yang lalu, katanya dia juga mengalami hal yang sama (bukan soal homoseksual) dan dia juga memiliki banyak pertanyaan kenapa di kepalanya. Katanya, seperti yang gue kuitp, "I've been asking why for so many things. I have so many why's in my head. And then I looked at the mirror and decided to stop asking why and just try to make a difference. Start making a change."
Wednesday, 22 February 2012
One Fine Day
BlackBerry di meja berdering nyaring, melantunkan piano "Songbird." Gue menyeret tubuh turun dari tempat tidur, berjalan sempoyongan, menekan tombol snooze tanpa membuka mata, lalu roboh lagi di tempat tidur. Setelah deringan ketiga, gue akhirnya bangun. Di luar hujan turun cukup deras, membuat gue tergoda untuk kembali meringkuk di bawah selimut.
Gue memulai ritual pagi sambil menguap setiap lima menit, setidaknya sampai gue mandi. Air dingin benar-benar mengembalikan kesadaran. Ritual kemudian dilanjutkan dengan berdiri di depan lemari pakaian, memilah-milah baju mana yang akan dipakai hari ini, sambil membuat catatan dalam hati untuk mengambil pakaian bersih di tempat laundri.
Semuanya berjalan normal, setidaknya sebelum penghuni lainnya bangun. Gue sedang berdiri di depan wastafel sambil menyikat gigi ketika si Bungsu menghampiri dan menggeser tubuh gue dengan pantatnya. Gue mengernyitkan dahi, kesal karena dia main senggol, sekaligus heran dia bangun pagi. Sambil terus menyikat gigi, gue melihat dia mengambil krim cukur milik si Tengah dan mengoleskannya di wajahnya. Dia meraih pisau cukur, lalu diam memandang cermin di atas wastafel. Kali ini gue mengangkat alis. Sejak kapan anak ini mulai cukuran? Memangnya sudah berjanggutkah dia?
Dia menoleh ke arah gue, mengulurkan pisau cukur, lalu berkata, "tunjukin caranya dong." Gue hampir saja tersedak busa. Cepat-cepat gue berkumur. Gue mengambil pisau cukur dari tangannya sambil menahan tawa. Tahu apa gue soal cukur kumis dan janggut? Tapi tetap gue tunjukkan caranya. Dengan hati-hati gue menggerakkan pisau cukur dari jambang ke dagunya, kemudian kumisnya. Sedikit kaku karena gue takut melukai wajahnya. Setelah beberapa menit akhirnya gue selesai dan dia membilas wajahnya.
Tahu tidak? Mengajari adik gue cukuran itu sangat, sangat menyenangkan. Aneh sekaligus lucu juga sih. Gue jadi ingat kalau dulu gue tidak pernah melihat dia melangkahkan kakinya untuk pertama kalinya saat masih kecil. Saat itu gue sudah meninggalkan rumah. Namun hari ini, gue melihat dia cukuran untuk yang pertama kalinya. Menggelikan memang, tapi tetap saja menyenangkan. Setidaknya ada hal yang menyenangkan yang bisa terjadi, sekecil dan seremeh apapun itu, di antara hingar-bingar kehidupan gue belakangan ini.
Siang harinya, setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan kecil, gue menyempatkan diri jalan-jalan sendirian dan bertemu seorang teman lama. Mumpung pekerjaan belum benar-benar dimulai, gue butuh refreshing. Gue butuh menyendiri. Don't get me wrong. Gue cuma butuh waktu untuk bersenang barang sehari saja, jauh dari orang-orang rumah yang selalu mengoceh mengenai hal yang sama setiap hari. Gue butuh dipencet F5-nya. Bahkan, hey, tong sampah pun perlu dikosongkan sebelum bisa menampung sampah lagi.
Gue berjalan mengelilingi mall, belanja kaos, beli body mist dengan wangi yang berbeda dari yang selama ini gue pakai, mencari-cari ikat pinggang karena celana jins gue mulai pada kedodoran (gak lucu kan gue jalan sambil menarik-narik celana yang terus-terusan melorot), dan melihat-lihat sandal dan sepatu. Ketika teman gue tiba, kami berdua segera menuju kafe. Dua-duanya butuh segelas kopi. Kami duduk menikmati pemandangan laut di hadapan kami, sambil mengobrol ngalor-ngidul tentang ini dan itu, meski gue tetap menghindari membicarakan keadaan gue yang sebenarnya sekarang ini.
Setidaknya sekarang gue siap menampung sampah lagi untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Siap dengan pekerjaan dan segala hal yang tidak bisa diprediksi sebelumnya yang bisa terjadi. Siap dengan keributan yang bakal muncul. Pokoknya siap.
Yes, I had one fine day today. Even if it's just for one day.
Dan, oh, terima kasih untuk komentar dan e-mail kalian, yang berhubungan dengan postingan sebelumnya. Thank you, thank you, thank you. I can't thank you enough, girls. Menyenangkan rasanya mengetahui bahwa ada orang di luar sana yang peduli, yang bahkan mungkin hanya mengenal gue melalui tulisan. Dan itu akan gue ingat setiap hari. Setidaknya bisa membuat hari-hari gue selanjutnya jadi sedikit lebih ringan dan menyenangkan.
P.S. @Caty, kamu bukan wanita penghibur, tapi kamu pintar menghibur. ;) (Oh, namamu resmi jadi Caty mulai saat ini. Hehe.)
P.P.S. Caty = Cat.
Gue memulai ritual pagi sambil menguap setiap lima menit, setidaknya sampai gue mandi. Air dingin benar-benar mengembalikan kesadaran. Ritual kemudian dilanjutkan dengan berdiri di depan lemari pakaian, memilah-milah baju mana yang akan dipakai hari ini, sambil membuat catatan dalam hati untuk mengambil pakaian bersih di tempat laundri.
Semuanya berjalan normal, setidaknya sebelum penghuni lainnya bangun. Gue sedang berdiri di depan wastafel sambil menyikat gigi ketika si Bungsu menghampiri dan menggeser tubuh gue dengan pantatnya. Gue mengernyitkan dahi, kesal karena dia main senggol, sekaligus heran dia bangun pagi. Sambil terus menyikat gigi, gue melihat dia mengambil krim cukur milik si Tengah dan mengoleskannya di wajahnya. Dia meraih pisau cukur, lalu diam memandang cermin di atas wastafel. Kali ini gue mengangkat alis. Sejak kapan anak ini mulai cukuran? Memangnya sudah berjanggutkah dia?
Dia menoleh ke arah gue, mengulurkan pisau cukur, lalu berkata, "tunjukin caranya dong." Gue hampir saja tersedak busa. Cepat-cepat gue berkumur. Gue mengambil pisau cukur dari tangannya sambil menahan tawa. Tahu apa gue soal cukur kumis dan janggut? Tapi tetap gue tunjukkan caranya. Dengan hati-hati gue menggerakkan pisau cukur dari jambang ke dagunya, kemudian kumisnya. Sedikit kaku karena gue takut melukai wajahnya. Setelah beberapa menit akhirnya gue selesai dan dia membilas wajahnya.
Tahu tidak? Mengajari adik gue cukuran itu sangat, sangat menyenangkan. Aneh sekaligus lucu juga sih. Gue jadi ingat kalau dulu gue tidak pernah melihat dia melangkahkan kakinya untuk pertama kalinya saat masih kecil. Saat itu gue sudah meninggalkan rumah. Namun hari ini, gue melihat dia cukuran untuk yang pertama kalinya. Menggelikan memang, tapi tetap saja menyenangkan. Setidaknya ada hal yang menyenangkan yang bisa terjadi, sekecil dan seremeh apapun itu, di antara hingar-bingar kehidupan gue belakangan ini.
Siang harinya, setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan kecil, gue menyempatkan diri jalan-jalan sendirian dan bertemu seorang teman lama. Mumpung pekerjaan belum benar-benar dimulai, gue butuh refreshing. Gue butuh menyendiri. Don't get me wrong. Gue cuma butuh waktu untuk bersenang barang sehari saja, jauh dari orang-orang rumah yang selalu mengoceh mengenai hal yang sama setiap hari. Gue butuh dipencet F5-nya. Bahkan, hey, tong sampah pun perlu dikosongkan sebelum bisa menampung sampah lagi.
Gue berjalan mengelilingi mall, belanja kaos, beli body mist dengan wangi yang berbeda dari yang selama ini gue pakai, mencari-cari ikat pinggang karena celana jins gue mulai pada kedodoran (gak lucu kan gue jalan sambil menarik-narik celana yang terus-terusan melorot), dan melihat-lihat sandal dan sepatu. Ketika teman gue tiba, kami berdua segera menuju kafe. Dua-duanya butuh segelas kopi. Kami duduk menikmati pemandangan laut di hadapan kami, sambil mengobrol ngalor-ngidul tentang ini dan itu, meski gue tetap menghindari membicarakan keadaan gue yang sebenarnya sekarang ini.
Setidaknya sekarang gue siap menampung sampah lagi untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Siap dengan pekerjaan dan segala hal yang tidak bisa diprediksi sebelumnya yang bisa terjadi. Siap dengan keributan yang bakal muncul. Pokoknya siap.
Yes, I had one fine day today. Even if it's just for one day.
Dan, oh, terima kasih untuk komentar dan e-mail kalian, yang berhubungan dengan postingan sebelumnya. Thank you, thank you, thank you. I can't thank you enough, girls. Menyenangkan rasanya mengetahui bahwa ada orang di luar sana yang peduli, yang bahkan mungkin hanya mengenal gue melalui tulisan. Dan itu akan gue ingat setiap hari. Setidaknya bisa membuat hari-hari gue selanjutnya jadi sedikit lebih ringan dan menyenangkan.
P.S. @Caty, kamu bukan wanita penghibur, tapi kamu pintar menghibur. ;) (Oh, namamu resmi jadi Caty mulai saat ini. Hehe.)
P.P.S. Caty = Cat.
Sunday, 19 February 2012
I am Not Fine
It's 3:05 AM now. I worked late today and am exhausted, yet I can't fall asleep. I close my eyelids, trying so hard to be able to sleep but my mind just keep racing. At another time, I'd blame it for being too tired. But not this time.
I'd likely to say "I'm fine" when I'm being asked how am I doing. I've been saying it a lot lately. But the truth is I tell people I'm fine because I want to believe that I am fine, that I will be just fine, when I'm actually not fine. That, or either simply I'm just avoiding people. I don't want them to feel pity about me if I tell them the truth. It's silly, I know. But I just can't help it.
It's never been easy for me to admit that I'm not okay, simply because I don't want to feel not fine. I'm fighting this feeling so hard because I want everything to be fine. And this is what happens: I'm wide awake in the middle of the night.
Somehow, things can get out of control. They're getting bigger and bigger, they keep slipping out of my hands. That's when I am not fine.
I am not fine.
I'm alone, exhausted, scared, confused, and feeling hopeless. I cry a lot. I've been having this miserable feeling and I am not fine.
I am not fine.
I am just not fine.
And I'm admitting that I feel not fine, and I do need help. It's just that I'm not allowing anybody to help me.
I'd likely to say "I'm fine" when I'm being asked how am I doing. I've been saying it a lot lately. But the truth is I tell people I'm fine because I want to believe that I am fine, that I will be just fine, when I'm actually not fine. That, or either simply I'm just avoiding people. I don't want them to feel pity about me if I tell them the truth. It's silly, I know. But I just can't help it.
It's never been easy for me to admit that I'm not okay, simply because I don't want to feel not fine. I'm fighting this feeling so hard because I want everything to be fine. And this is what happens: I'm wide awake in the middle of the night.
Somehow, things can get out of control. They're getting bigger and bigger, they keep slipping out of my hands. That's when I am not fine.
I am not fine.
I'm alone, exhausted, scared, confused, and feeling hopeless. I cry a lot. I've been having this miserable feeling and I am not fine.
I am not fine.
I am just not fine.
And I'm admitting that I feel not fine, and I do need help. It's just that I'm not allowing anybody to help me.
Friday, 10 February 2012
Melarikan Diri (lagi?!)
"Well, hello to you, too," balas gue ketus. Gue paham maksud tudingannya. Namun yang membuat gue kesal adalah setidaknya dia bisa memberikan kata sambutan yang lebih baik - untuk ukuran seorang "satan" - setelah beberapa lama tidak berjumpa.
"Oh, come on. Give her a little break, will ya?" sahut perempuan di balik kemudi. "Now hop in before we get caught in the traffic."
Gue lebih banyak diam selama perjalanan, memikirkan tudingannya tadi. Masa iya, ketika gue akhirnya memilki sebuah rencana masa depan, gue dibilang melarikan diri lagi? Dia tidak tahu apa-apa. Dasar manusia asal bunyi. Gue mengenyahkan pikiran buruk tadi, meski gue tahu bahwa dia benar dan mungkin itu yang membuat gue semakin kesal. Terkadang gue merasa akan lebih baik jika dia tidak mengerti gue. Sama sekali.
"Spill it," katanya lagi bahkan saat gue belum sempat duduk. Gue melirik perempuan di balik kemudi tadi dengan tatapan memohon belas kasihan, tapi dia justru menggeleng pasrah. Tidak setia kawan, batin gue.
"Order dulu. Lapar nih."
"Gak ada waktu. Besok kan lo pulang." Dia mengambil buku menu dari tangan gue dan langsung memesan makanan; seafood dan kangkung tumis terasi, sementara gue hanya bisa mendesah pasrah.
Sambil menunggu makanan datang, gue ceritakan semua kejadian yang terjadi belakangan. Semuanya, karena tidak ada gunanya jika gue menyembunyikan sesuatu. Dia itu seperti seorang psychic yang bisa tahu jika ada yang tidak beres. Atau memang dia itu seorang psychic tulen. Psychic satan.
Ketika gue tiba pada akhir cerita, dimana gue menjelaskan alasan dibalik keinginan untuk melanjutkan sekolah di luar negeri, dia malah diam. Gue menunggu, berharap dia akan mengatakan sesuatu. Namun tak ada reaksi, tak ada kedipan, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Hari ini tumben ya sepi," ujarnya pada akhirnya setelah beberapa saat diam, sambil melayangkan pandangan kepada si perempuan di balik kemudi. What the hell? Gue nyerocos panjang lebar dan yang dikomentarinya adalah restoran yang sepi? Ingin rasanya gue lempari dia dengan piring di hadapan gue. Gue menarik nafas, berusaha menenangkan diri. Terserahlah.
Selesai makan, kami langsung menuju ke sebuah tempat karaoke dan bernyanyi sepuasnya selama hampir empat jam hingga suara serak. Rasanya gue ini jauh-jauh ke sana hanya untuk karaokean. Jam sembilan tepat kami keluar dan langsung menuju hotel tempat gue menginap. Selama perjalanan tidak ada satupun yang berbicara. Mungkin karena sama-sama kelelahan dan tak ada lagi suara yang tersisa. Dia tidak juga mengomentari mengenai cerita gue saat makan tadi. Sialan, pikir gue.
Perempuan di balik kemudi menurunkan kami berdua di depan lobi hotel dan pulang. Gue memilih untuk langsung naik ke kamar, segera mandi, lalu tidur. Masih kesal dengan reaksinya tadi, gue membanting pintu kamar mandi, sedikit terlalu kencang dari yang gue maksudkan. Gue menyalakan shower lalu berdiri di bawahnya, membiarkan air mengalir turun membasuh tubuh, sambil menebak-nebak. Apa sih maunya dia? Memangnya dia tahu apa? Dia maunya gue gimana? Dia tidak benar-benar mengalami apa yang gue alami. Benar-benar membuat orang depresi. Selesai mandi, gue memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Tidak akan gue biarkan sisa liburan gue terganggu.
"Jangan tidur dulu," katanya, lalu beranjak masuk ke kamar mandi.
Gue menunggu dia selesai mandi sambil menonton TV. Lima belas menit berlalu dan akhirnya dia selesai. Dia mengeluarkan dua botol anggur dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja. Gue mengedipkan mata berkali-kali menatapnya. Seriusan?
"You need alcohol to speak out your mind sometimes. Don't you know that?" Dia tersenyum menyeringai, persis seperti penyihir jahat dengan apel beracunnya. Gue tahu dia sekedar mengejek, mengingat kejadian bertahun-tahun yang lalu ketika gue mabuk dan muntah-muntah di mobil saat melewati sepanjang jalan Sudirman. Gue melengos, langsung merasakan pipi gue memerah.
Tak selang beberapa saat, kami berdua sudah larut dalam percakapan sambil minum anggur. Menjelang botol kedua, gue tahu gue sudah mulai bicara ngawur. Meski hanya dalam keadaan tipsy, tapi gue tidak ingat apa yang gue katakan. Tahunya kami berdua cekikikan, ketawa-ketiwi. Dan ketika gue tidak sanggup lagi minum, gue segera merangkak naik ke ranjang dan meringkuk di balik selimut. Alkohol bagi gue bisa mengalirkan panas seketika dalam tubuh, sekaligus bisa membuat gue menggigil kedinginan saat pengaruhnya mulai membuat otak gue sedikit kacau.
Kepala gue serasa berputar dan kuping berdengung. Nafas gue berat. Dua botol anggur jelas terlalu banyak buat gue. Ketika kantuk mulai mengambil alih kesadaran, samar-samar gue sempat mendengar dia berkata, "After everything you just told me, I know you're running away. You're running away again and again. So, you're coming with me tomorrow. It's about time, Rae. No excuse." Gue tahu pasti kemana dia akan membawa gue. Tapi gue terlalu lelah dan sedikit mabuk untuk membantah. Jadi gue pasrah saja.
Yeah, I know, kata gue dalam hati sebelum akhirnya jatuh tertidur.
Thursday, 2 February 2012
Serangan Panik Mendadak
"Gue benar-benar salah ambil jurusan," kata teman gue. Saat itu kami sedang makan siang di kantin kampus. Tangal-tanggal buncit penghujung bulan selalu membuat kami terpaksa mengencangkan ikat pinggang demi penghematan. Tidak ada makan siang di mall atau restoran cepat saji. Cukup kantin saja yang menyediakan makanan murah meriah lezat (untuk ukuran mahasiswa kehabisan uang.)
"Kenapa?" gue menanggapi acuh tak acuh. Mungkin dia sedang asal berbicara. Kami berdua sama-sama mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi, meski berbeda jurusan. Gue sedang menggarap data kuesioner dan sedang pusing berkutat dengan SPSS, sementara dia sendiri sudah hampir selesai. Bahkan punyanya tinggal menunggu persetujuan dari dosen pembimbing untuk diajukan sidang. Jadi tidak mungkin kan, jika tiba-tiba dia bilang salah ambil jurusan.
"Entahlah," katanya lagi sambil mengangkat bahunya. "Gue hanya merasa tidak tertarik menjadi seorang akuntan."
Gue melayangkan tatapan serius-lo, sambil menaikkan alis. "But isn't it a little bit too late to realize that?"
Dia diam sejenak, menundukkan kepalanya, mengerutkan alis - tanda dia sedang berpikir dua kali - sambil memainkan sendoknya, sebelum akhirnya menjawab, "yeah, it is."
"You'll be a good one. Trust me," kata gue, berusaha menenangkannya. Dia mengangkat kepalanya, menatap gue seolah bertanya "beneran?" Gue mengangguk lalu tersenyum.
Bertahun-tahun sesudahnya, gue baru mengerti bagaimana perasaan teman gue saat itu. Malah sekarang gue mengalami hal yang dia alami dulu. Pasalnya, ketika gue, beberapa hari yang lalu, iseng-iseng membuka website beberapa universitas di luar negeri, gue menemukan beberapa program studi untuk jenjang S2 yang gue minati. Dan program studi-program studi tersebut sangat jauh berbeda dengan latar belakang pendidikan S1 gue. Jadi terang saja gue merasa bahwa selama ini gue salah ambil jurusan.
Gue tidak tertarik mengambil program MBA, MIM, atau apapun itu yang berkaitan dengan pendidikan S1 gue. Bukannya gue tidak menikmati mata kuliah-mata kuliah yang dulu gue ambil. Malah gue menyenangi beberapa mata kuliah tertentu yang menjadi mata kuliah utama untuk peminatan gue. Hanya saja, ketika melihat program studi yang berhubungan dengan social work/science untuk calon mahasiswa graduate yang ditawarkan oleh beberapa universitas di US dan Australia, gue tahu bahwa itulah yang selama ini ingin gue lakukan.
Langsung saja gue mengubek-ubek isi website demi mencari tahu lebih lanjut mengenai program studi tersebut. Semakin gue mencari tahu, semakin gue tertarik. Namun semakin gue tertarik, semakin pula gue panik. Seolah kepanikan itu sedang bersembunyi di suatu tempat dalam diri gue, merayap perlahan melalui jari-jari gue yang tengah sibuk menggerakkan kursor. Dan akhirnya membuncah saat gue semakin yakin akan minat gue. Semakin mantap gue akan keinginan gue, semakin melekat erat kepanikan itu di setiap sel tubuh gue. Membuat gue bergidik, lalu mendadak sesak nafas.
Kemana saja gue selama ini? Apa saja yang gue lakukan selama ini? Kenapa gue menyia-nyiakan waktu, menyia-nyiakan usia yang terbuang percuma? Bagaimana mungkin realisme telah menghempaskan gue jauh pada kepasrahan akan keadaan sehingga membuat gue berhenti berkeinginan?
Gue panik. Terlalu panik untuk bisa memikirkan jalan keluar. Gue mengalihkan perhatian terhadap hal-hal lain; musik, fanfiction, buku, pekerjaan. Namun usaha gue sia-sia. Setiap hari gue bangun dan sadar gue sudah salah melangkah dan gue harus kembali pada apa yang selama ini gue inginkan. Bahwa gue harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki. Tapi apa?
Gue menghubungi Q dan tanpa berlama-lama YM-nya menyala. Gue beberkan semuanya kepadanya, masih dalam kepanikan. Seperti biasanya dia mendengar (atau membaca pesan?) sampai gue selesai. Lalu seperti biasanya pula dia berhasil menenangkan gue, menopang gue agar tidak goyah. Menuntun gue dan memberikan detil mengenai hal-hal yang harus gue lakukan. Kadang, setelah 8 tahun bersahabat, gue masih takjub dengan kemampuannya yang satu itu.
Sebuah pelajaran yang gue peroleh dari pengalaman ini adalah bahwa kadang membutuhkan waktu yang lama bagi seseorang untuk sadar ia telah salah melangkah. Masalahnya adalah akankah ada kesempatan untuk memperbaikinya?
Bagi gue, semoga ini merupakan kesempatan gue untuk benar-benar memperbaiki dan meraih apa yang gue inginkan.
"Kenapa?" gue menanggapi acuh tak acuh. Mungkin dia sedang asal berbicara. Kami berdua sama-sama mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi, meski berbeda jurusan. Gue sedang menggarap data kuesioner dan sedang pusing berkutat dengan SPSS, sementara dia sendiri sudah hampir selesai. Bahkan punyanya tinggal menunggu persetujuan dari dosen pembimbing untuk diajukan sidang. Jadi tidak mungkin kan, jika tiba-tiba dia bilang salah ambil jurusan.
"Entahlah," katanya lagi sambil mengangkat bahunya. "Gue hanya merasa tidak tertarik menjadi seorang akuntan."
Gue melayangkan tatapan serius-lo, sambil menaikkan alis. "But isn't it a little bit too late to realize that?"
Dia diam sejenak, menundukkan kepalanya, mengerutkan alis - tanda dia sedang berpikir dua kali - sambil memainkan sendoknya, sebelum akhirnya menjawab, "yeah, it is."
"You'll be a good one. Trust me," kata gue, berusaha menenangkannya. Dia mengangkat kepalanya, menatap gue seolah bertanya "beneran?" Gue mengangguk lalu tersenyum.
Bertahun-tahun sesudahnya, gue baru mengerti bagaimana perasaan teman gue saat itu. Malah sekarang gue mengalami hal yang dia alami dulu. Pasalnya, ketika gue, beberapa hari yang lalu, iseng-iseng membuka website beberapa universitas di luar negeri, gue menemukan beberapa program studi untuk jenjang S2 yang gue minati. Dan program studi-program studi tersebut sangat jauh berbeda dengan latar belakang pendidikan S1 gue. Jadi terang saja gue merasa bahwa selama ini gue salah ambil jurusan.
Gue tidak tertarik mengambil program MBA, MIM, atau apapun itu yang berkaitan dengan pendidikan S1 gue. Bukannya gue tidak menikmati mata kuliah-mata kuliah yang dulu gue ambil. Malah gue menyenangi beberapa mata kuliah tertentu yang menjadi mata kuliah utama untuk peminatan gue. Hanya saja, ketika melihat program studi yang berhubungan dengan social work/science untuk calon mahasiswa graduate yang ditawarkan oleh beberapa universitas di US dan Australia, gue tahu bahwa itulah yang selama ini ingin gue lakukan.
Langsung saja gue mengubek-ubek isi website demi mencari tahu lebih lanjut mengenai program studi tersebut. Semakin gue mencari tahu, semakin gue tertarik. Namun semakin gue tertarik, semakin pula gue panik. Seolah kepanikan itu sedang bersembunyi di suatu tempat dalam diri gue, merayap perlahan melalui jari-jari gue yang tengah sibuk menggerakkan kursor. Dan akhirnya membuncah saat gue semakin yakin akan minat gue. Semakin mantap gue akan keinginan gue, semakin melekat erat kepanikan itu di setiap sel tubuh gue. Membuat gue bergidik, lalu mendadak sesak nafas.
Kemana saja gue selama ini? Apa saja yang gue lakukan selama ini? Kenapa gue menyia-nyiakan waktu, menyia-nyiakan usia yang terbuang percuma? Bagaimana mungkin realisme telah menghempaskan gue jauh pada kepasrahan akan keadaan sehingga membuat gue berhenti berkeinginan?
Gue panik. Terlalu panik untuk bisa memikirkan jalan keluar. Gue mengalihkan perhatian terhadap hal-hal lain; musik, fanfiction, buku, pekerjaan. Namun usaha gue sia-sia. Setiap hari gue bangun dan sadar gue sudah salah melangkah dan gue harus kembali pada apa yang selama ini gue inginkan. Bahwa gue harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki. Tapi apa?
Gue menghubungi Q dan tanpa berlama-lama YM-nya menyala. Gue beberkan semuanya kepadanya, masih dalam kepanikan. Seperti biasanya dia mendengar (atau membaca pesan?) sampai gue selesai. Lalu seperti biasanya pula dia berhasil menenangkan gue, menopang gue agar tidak goyah. Menuntun gue dan memberikan detil mengenai hal-hal yang harus gue lakukan. Kadang, setelah 8 tahun bersahabat, gue masih takjub dengan kemampuannya yang satu itu.
Sebuah pelajaran yang gue peroleh dari pengalaman ini adalah bahwa kadang membutuhkan waktu yang lama bagi seseorang untuk sadar ia telah salah melangkah. Masalahnya adalah akankah ada kesempatan untuk memperbaikinya?
Bagi gue, semoga ini merupakan kesempatan gue untuk benar-benar memperbaiki dan meraih apa yang gue inginkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)