"Say, udah punya pacar belum?"
Begitu isi pesan di BBM yang dikirim sejam sebelum kubuka. Saat itu aku baru saja selesai mengajari keponakanku Bahasa Inggris, dan hendak merebahkan diri di tempat tidur.
Aku sempat mengerutkan kening ketika membaca pesannya. Dikirimi pesan oleh seorang teman yang dulu pernah sama-sama berlangganan di gym dan barengan mengikuti kelas aerobic, tidak terlalu dekat, hanya saja kami bergereja di gereja yang sama, tentu membuatku terheran-heran. Perasaanku mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan permainan comblang-mencomblang ala mak comblang.
Dugaanku ternyata benar. Ketika kubalas pesannya dengan satu kata singkat, "Belum", disertai dengan emoticon tertawa, dia pun melanjutkan siasatnya dengan bertanya apa aku mau dikenalkan dengan seorang temannya. Langusng menolak, tentu saja aku tidak enak. Jadi aku berbasa-basi sedikit dengan bertanya mengenai pria yang hendak dicomblanginya. Oh, baiklah! Aku memang sedikit penasaran, makanya berbasa-basi. Sedikit, lho ya. Catat. Lagipula, aku yang hendak dicomblangi, jadi aku wajib tahu dong. Ngeles.
Nah, dari situ aku tahu bahwa pria yang hendak dikenalkannya padaku itu ternyata teman dekatnya, bahkan, kata dia, sudah seperti keluarga baginya, dan berusia 30-an. Kalau sudah begini ceritanya, pria itu bukan lagi cari pacar, tapi cari calon pendamping hidup selamanya. Haduh, haduh. Untungnya, kali ini aku punya jurus jitu menghindari pencomblangan ini. Kubilang saja kalau tidak lama lagi aku bakal pindah dari sini. Dia bertanya mau ke mana dan untuk apa, maka kuberikan dia penjelasan singkat.
"Yaaaaaa, telat dong gue," katanya setelah kujelaskan. Yah, mau gimana lagi. Enggak jodoh artinya. Lagipula tidak bisa kubayangkan jika sampai harus melalui kembali ajang jodoh-jodohan seperti ini, seperti yang dulu pernah terjadi dan membuatku hampir menikah. Masih ingat, kan, kisahku itu?
Aku jadi ingat, ketika banyak teman-temanku curhat sampai berbusa-busa betapa mereka sangat menantikan hari bahagia itu, aku malah tidak pernah sekalipun memikirkan tentang hal itu. Terlintas dalam pikiranku pun saja tidak. Atau ketika seorang teman dekatku berkata bahwa dia tidak bisa hidup sendirian, dalam benakku aku membatin bahwa kemungkinan besar aku akan menghabiskan sisa hidupku sendirian.
Terlepas dari orientasiku, pernah aku berkata, "Marriage is not my thing." Saat itu aku ditanya oleh seorang sahabatku, "Will you ever be married?", dan begitulah jawabku. Itu dulu. Jauh sebelum aku meletek.
Waktu itu aku berpikir, sampai sekarang juga masih, bagaimana mau menikah, wong mengurus diri sendiri saja tidak becus. Mama masih harus selalu mengingatkanku tentang ini dan itu. Gimana bisa mengurus pasangan dan anak? Mendidik anak tidaklah mudah. Membesarkan anak itu mahal. Belum lagi mengenai kemapanan dalam hal materi. Kalaupun menikah, tentu aku tidak mau hanya bergantung dari penghasilan pasangan. Dan masih banyak hal lainnya yang menjadi pertimbanganku.
Konsekuensinya, selama aku masih berpikir tidak siap padahal menurut orang lain aku sudah cukup umur, adalah selalu ditanyai kapan menikah, atau bahkan terus-terusan dicomblangi. Malah yang terparah itu dikatai nanti keburu tua. Pusing dong, ya? Lama-lama juga biasa kok. Lama-lama bisa cuek. Kadang-kadang bosan juga sih menghadapi pertanyaan dan orang-orang yang kelewat mau ikut campur. Aku ini masih manusia yang memiliki rasa, bukan manusia yang berlagak batu.
Tapi aku lebih memilih mengambil sisi positifnya saja. Kalau ada orang-orang yang seperti itu, kuanggap mereka peduli terhadapku. Kalau hendak dicomblangi, kuanggap itu karena aku memiliki nilai lebih sehingga mereka menominasikanku kepada kenalan, sahabat, ataupun saudara mereka. Sedikit narsis itu tidak mengapa, daripada pusing sendiri.
Dan lagi, aku tidak ingin jika suatu saat aku memang harus menikah, itu hanya karena aku ingin membahagiakan semua orang, seperti pemikiranku pada saat kejadian dulu itu. Atau agar supaya orang-orang berhenti bertanya. Karena yang menjalani hidupku adalah aku sendiri. Bukan orang lain. Kalaupun akhirnya aku menikah, itu artinya aku sudah memikirkan segalanya masak-masak, ratusan kali, sambil mengelilingi lapangan sepak bola ribuan kali.
Tidak mau hal seperti ini kujadikan beban juga. Beban lain, yang entah itu kujadikan beban maupun karena kewajiban, sudah cukup banyak. Aku tidak mau menambah-nambah beban lagi. Menuh-menuhin isi kepala kalau terlalu dipikirkan. Apalagi sekarang ritme tidurku sudah mulai pulih, aku emoh merusaknya dengan pikiran-pikiran yang kurang penting.
Jadi kalau ditanya "will I ever be married?", jawabnya mungkin ya, mungkin tidak. Maksudku, siapa yang tahu kedepannya. Buktinya dulu aku pernah hampir menikah. Jadi sampai sebelum saat itu tiba (lagi), kujalani saja hidupku yang sekarang. Sambil menikmatinya tentu saja.
Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image
Friday, 19 April 2013
Saturday, 13 April 2013
Brother's birthday and then swimming
Hari ini ulang tahun adikku, Si Tengah. Kami merayakannya dengan makan siang sederhana; mie goreng, sambal merah dan tak ketinggalan telur rebus yang kulitnya diberi pewarna merah, sebagai tanda umur panjang, sehat selalu dan bahagia. Setidaknya itu yang kukira arti dari kehadiran telur merah setiap kali ada yang ulang tahun di rumah kami. Red is always a happy color, isn't it?
Selesai makan siang, aku menyelesaikan beberapa pekerjaan, lalu sorenya aku kembali berenang. Kali ini otot-ototku sudah lumayan terbiasa. Dibandingkan kemarin, sekalinya berenang satu putaran sudah membuatku ngos-ngosan. Kali ini aku bisa melakukan beberapa putaran tanpa henti di kolam yang panjangnya 25 meter. Dimulai dengan gaya bebas, dan ketika mulai kelelahan, aku menggunakan gaya dada. Itu lho, gaya yang mirip kodok berenang, makanya orang-orang menamainya gaya kodok. Tapi ya, di samping namanya yang lucu, aku lebih suka berenang dengan gaya itu. Orang boleh berkata itu gaya yang terlalu santai, tapi kenyataannya cukup melelahkan juga. Apalagi jika dilakukan tanpa henti. Aku suka dengan gaya itu karena tidak hanya menggunakan otot dada dan punggung, tapi juga otot kaki, paha dan pinggul pun ikut bergerak. Nah, merata, adil dan makmur bagi tubuh, kan?
Baiklah, jujur saja aku tengah penasaran mampus dengan gaya butterfly stroke. Bagiku itu gaya yang paling sulit. Sejak pertama kali belajar berenang saat masih kecil dulu, aku tidak pernah berhasil memeragakan gaya itu. Kalaupun berhasil kulakukan dalam sekali atau dua kali kecipak, boro-boro tubuhku bergerak maju, yang terjadi adalah aku terlihat seperti kupu-kupu patah sayap. Saking tidak pernah berhasil, aku sampai membuat lelucon yang mana itu bukan cuma gaya kupu-kupu, tapi juga gaya duyung. Coba deh perhatikan, kedua kaki harus digerakkan bersamaan. Benar-benar terlihat seperti duyung, kan?
Sore kian menjelang, kolam renang berangsur ramai. Rupanya hari ini adalah hari anak-anak les renang. Jadilah aku harus rela berbagi kolam dengan bocah-bocah. Beberapa kali aku harus berhenti di tengah putaran karena mereka berenang menuju ke arahku. Aku cukup melihat kepala mungil mereka yang timbul tenggelam, yang bergerak meluncur ke jalur aku berenang.
Suatu kali, saat sedang beristirahat di pinggir kolam, seorang anak perempuan menghampiriku.
"Kak," panggilnya. Aku, yang kaget ada yang memanggil, hanya menatapnya bingung dengan masih mengenakan kacamata renang. "Nama kakak siapa?"
Nah lho, ngapain juga ini anak nanya-nanya, ngajak kenalan pula. "Rae." Tetap kujawab meski makin bingung.
"Kakak belajar berenang umur berapa?" tanyanya lagi, seolah tidak memerhatikan kebingungan di wajahku.
"Eh... waktu masih kecil, dek." Sejujurnya aku lupa kapan. Hehehe.
"Tapi umur berapa?" Masih maksa dong si bocah.
"Kakak beneran lupa. Kayaknya seumuran kamu dulu deh."
"5 tahun?" Percaya deh, aku ini bukan penggemar yang namanya anak kecil. Tapi ketika si bocah mengajukan pertanyaan itu dengan suara khas anak kecil yang cempreng, mau tidak mau aku tertawa kecil. Tapi ada yang aneh dari anak ini. Setelah kulepas kacamata renang dan kuperhatikan dengan saksama, mata si anak kecil ini kok ya berpindah-pindah antara menatap wajahku dan dadaku. Entah dia mau membedakan dadaku dengan dadanya yang masih belum menunjukkan pertumbuhan, ataukah dia... ya, kalian tahu? Atau bisa jadi dia kepingin punya dada seperti dadaku? Yaaa, dadaku sih biasa-biasa saja ukurannya. Malah oleh teman asramaku dulu sering diolok-olok. Kecil, katanya. Tapi setidaknya aku masih punya dada. Ya, kan? (Ini kenapa malah jadi ngomongin dada coba?). Aih, gara-gara si bocah nih. Sabar, ya, nak. Nanti juga dadamu muncul seiring usiamu bertambah. Lho?!
"Alexa, gaya kupu-kupu!" teriak sang pelatih dari atas kolam sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. Seketika itu juga aku melihat tubuh mungilnya meluncur ke tengah kolam dan memeragakan gaya kupu-kupu yang cukup sempurna untuk ukuran anak kecil. Oalah! Aku kalah sama anak kecil dong. Manyun.
Aku kembali melanjutkan rally-ku. Namun kali ini aku berkali-kali harus berhenti di tengah putaran karena sekelompok pria yang usianya sebaya, bukannya berenang, eh, malah main lempar koin ke tengah kolam, lalu mereka adu cepat mengambil koin di dasar kolam. Kesalnya aku. Hoi, aku ini datang untuk berenang, tauk! Mestinya, kolam bagi yang niatnya berenang dan kolam bagi yang niatnya hanya untuk bermain itu dipisah. Bagi yang niatnya hanya untuk main lempar koin, kolamnya tidak perlu diisi air. Percuma. Toh, mereka enggak berenang. Cuma kecipak-kecipuk berlarian. Buang-buang air.
Setelah 2 jam berenang dan jari-jari tanganku mulai keriput, aku akhirnya cukup puas. Sekarang tubuhku agak nyeri. Apalagi di bagian paha dan pinggul. Tapi nyeri-nyeri enak. Masokis banget deh ya. Hehehe... Enggak deng. Maksudku, nyeri tapi badan terasa segar, otot lentur jadinya.
Ada benarnya kata Quinnie ketika dia mengusulkan agar aku kembali berolah raga untuk mengatasi masalah susah tidur yang sebelumnya pernah kukeluhkan. Dia juga memberiku beberapa referensi video work out untuk kulakukan sendiri di rumah. Sudah kulihat, dan nanti akan kucoba. Yang berminat, boleh cari melalui Youtube dengan kata kunci: Blogilates. Her videos are good, seperti kata Quinnie.
Dan, oh, aku juga mendadak tertarik dengan kelas zumba di gym yang dulu menjadi langgananku. Q memberitahuku, it's a lot of dancing. Kita coba lihat nanti, apa aku sanggup bertahan untuk sekali percobaan di kelas itu.
Selesai makan siang, aku menyelesaikan beberapa pekerjaan, lalu sorenya aku kembali berenang. Kali ini otot-ototku sudah lumayan terbiasa. Dibandingkan kemarin, sekalinya berenang satu putaran sudah membuatku ngos-ngosan. Kali ini aku bisa melakukan beberapa putaran tanpa henti di kolam yang panjangnya 25 meter. Dimulai dengan gaya bebas, dan ketika mulai kelelahan, aku menggunakan gaya dada. Itu lho, gaya yang mirip kodok berenang, makanya orang-orang menamainya gaya kodok. Tapi ya, di samping namanya yang lucu, aku lebih suka berenang dengan gaya itu. Orang boleh berkata itu gaya yang terlalu santai, tapi kenyataannya cukup melelahkan juga. Apalagi jika dilakukan tanpa henti. Aku suka dengan gaya itu karena tidak hanya menggunakan otot dada dan punggung, tapi juga otot kaki, paha dan pinggul pun ikut bergerak. Nah, merata, adil dan makmur bagi tubuh, kan?
Baiklah, jujur saja aku tengah penasaran mampus dengan gaya butterfly stroke. Bagiku itu gaya yang paling sulit. Sejak pertama kali belajar berenang saat masih kecil dulu, aku tidak pernah berhasil memeragakan gaya itu. Kalaupun berhasil kulakukan dalam sekali atau dua kali kecipak, boro-boro tubuhku bergerak maju, yang terjadi adalah aku terlihat seperti kupu-kupu patah sayap. Saking tidak pernah berhasil, aku sampai membuat lelucon yang mana itu bukan cuma gaya kupu-kupu, tapi juga gaya duyung. Coba deh perhatikan, kedua kaki harus digerakkan bersamaan. Benar-benar terlihat seperti duyung, kan?
Sore kian menjelang, kolam renang berangsur ramai. Rupanya hari ini adalah hari anak-anak les renang. Jadilah aku harus rela berbagi kolam dengan bocah-bocah. Beberapa kali aku harus berhenti di tengah putaran karena mereka berenang menuju ke arahku. Aku cukup melihat kepala mungil mereka yang timbul tenggelam, yang bergerak meluncur ke jalur aku berenang.
Suatu kali, saat sedang beristirahat di pinggir kolam, seorang anak perempuan menghampiriku.
"Kak," panggilnya. Aku, yang kaget ada yang memanggil, hanya menatapnya bingung dengan masih mengenakan kacamata renang. "Nama kakak siapa?"
Nah lho, ngapain juga ini anak nanya-nanya, ngajak kenalan pula. "Rae." Tetap kujawab meski makin bingung.
"Kakak belajar berenang umur berapa?" tanyanya lagi, seolah tidak memerhatikan kebingungan di wajahku.
"Eh... waktu masih kecil, dek." Sejujurnya aku lupa kapan. Hehehe.
"Tapi umur berapa?" Masih maksa dong si bocah.
"Kakak beneran lupa. Kayaknya seumuran kamu dulu deh."
"5 tahun?" Percaya deh, aku ini bukan penggemar yang namanya anak kecil. Tapi ketika si bocah mengajukan pertanyaan itu dengan suara khas anak kecil yang cempreng, mau tidak mau aku tertawa kecil. Tapi ada yang aneh dari anak ini. Setelah kulepas kacamata renang dan kuperhatikan dengan saksama, mata si anak kecil ini kok ya berpindah-pindah antara menatap wajahku dan dadaku. Entah dia mau membedakan dadaku dengan dadanya yang masih belum menunjukkan pertumbuhan, ataukah dia... ya, kalian tahu? Atau bisa jadi dia kepingin punya dada seperti dadaku? Yaaa, dadaku sih biasa-biasa saja ukurannya. Malah oleh teman asramaku dulu sering diolok-olok. Kecil, katanya. Tapi setidaknya aku masih punya dada. Ya, kan? (Ini kenapa malah jadi ngomongin dada coba?). Aih, gara-gara si bocah nih. Sabar, ya, nak. Nanti juga dadamu muncul seiring usiamu bertambah. Lho?!
"Alexa, gaya kupu-kupu!" teriak sang pelatih dari atas kolam sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. Seketika itu juga aku melihat tubuh mungilnya meluncur ke tengah kolam dan memeragakan gaya kupu-kupu yang cukup sempurna untuk ukuran anak kecil. Oalah! Aku kalah sama anak kecil dong. Manyun.
Aku kembali melanjutkan rally-ku. Namun kali ini aku berkali-kali harus berhenti di tengah putaran karena sekelompok pria yang usianya sebaya, bukannya berenang, eh, malah main lempar koin ke tengah kolam, lalu mereka adu cepat mengambil koin di dasar kolam. Kesalnya aku. Hoi, aku ini datang untuk berenang, tauk! Mestinya, kolam bagi yang niatnya berenang dan kolam bagi yang niatnya hanya untuk bermain itu dipisah. Bagi yang niatnya hanya untuk main lempar koin, kolamnya tidak perlu diisi air. Percuma. Toh, mereka enggak berenang. Cuma kecipak-kecipuk berlarian. Buang-buang air.
Setelah 2 jam berenang dan jari-jari tanganku mulai keriput, aku akhirnya cukup puas. Sekarang tubuhku agak nyeri. Apalagi di bagian paha dan pinggul. Tapi nyeri-nyeri enak. Masokis banget deh ya. Hehehe... Enggak deng. Maksudku, nyeri tapi badan terasa segar, otot lentur jadinya.
Ada benarnya kata Quinnie ketika dia mengusulkan agar aku kembali berolah raga untuk mengatasi masalah susah tidur yang sebelumnya pernah kukeluhkan. Dia juga memberiku beberapa referensi video work out untuk kulakukan sendiri di rumah. Sudah kulihat, dan nanti akan kucoba. Yang berminat, boleh cari melalui Youtube dengan kata kunci: Blogilates. Her videos are good, seperti kata Quinnie.
Dan, oh, aku juga mendadak tertarik dengan kelas zumba di gym yang dulu menjadi langgananku. Q memberitahuku, it's a lot of dancing. Kita coba lihat nanti, apa aku sanggup bertahan untuk sekali percobaan di kelas itu.
Friday, 12 April 2013
Dulu dan Sekarang
Aku baru saja menyelesaikan season 1 ketika seorang teman lama memanggilku di Path dan meng-updateku dengan kabar terbarunya yang agak sedikit kurang baik. Lalu dia mengirimiku sebuah foto yang diambil beberapa tahun yang lalu. Ada aku, dia dan seorang teman lagi di foto itu. Kami berpose di lobi sebuah mal di Jakarta. Saat itu adalah kali pertama kami bertemu.
Katanya, "I miss those old moments."
"Gee, I look so young on this picture." Aku memerhatikan foto itu. Kami tersenyum, saling berangkulan saat difoto.
"We were. Younger, happier..."
"Innocent, naive... Oh, dan waktu itu gue belum pernah merasakan mabuk sekalipun. Never had an orgasm, too. Hahaha..."
"Hehehe. Itu sih elo. Lucu, ya, gimana sekarang kita berubah."
Aku termenung menatap deretan kata-kata temanku di layar ponsel. Sekali lagi aku memandang foto yang dikiriminya dan aku menyetujuinya dalam hati. Hanya dalam waktu kurang lebih 5 tahun sejak foto itu diambil dan segalanya telah berubah, termasuk kami. Senyum kami terlihat inosen, bahagia, seolah-olah tiada beban. Hidup saat itu terasa lebih mudah, masa depan terlihat cerah.
Lalu semuanya mulai berubah. Ketika itu aku mulai mencoba menyesap minuman berakohol. Aku ingat pertama kalinya mereka mengajakku makan malam di sebuah restoran di kawasan Kemang. Itu pertama kalinya aku minum bir. I had 2 bottles of Corona! Selesai makan malam, mereka membawaku ke sebuah lounge tidak jauh dari situ. Kami berlima ketika itu dan memesan sebotol sparkling white wine. Namanya masih pemula, jadi kepingin coba semuanya. Kulihat segelas minuman berwarna merah yang diantar seorang pelayan untuk tamu di meja lainnya, dan akupun pesan itu. Strawberry Martini. Seorang temanku memesan satu sloki Tequila, dan akupun sempat mencuri sesapan.
Hasilnya? Saat itu juga aku langsung dibopong ke toilet dan memuntahkan semua isi perutku di kloset. Bikin kerjaan banget buat cleaning service deh. Hihihi. Sepanjang jalan pulang juga aku muntah. Bubur ayam, yang katanya lumayan menolong orang yang tengah teler, ternyata tidak banyak membantuku. Makan satu sendok dan aku kembali muntah. Tiba di kost, aku dipapah sampai ke kamarku di lantai 3. Terakhir yang kuingat, paginya aku bangun dengan sakit kepala yang luar biasa sakitnya, mulutku terasa pahit, dan rasanya aku seperti orang linglung. Aku kemudian dijuluki Mr. Toto. Itu pengalaman pertama dan terakhir kalinya.
Kemudian tahun berikutnya aku meletek. Hehehe...
"Masih ingat juga yang kita main ke Put Put Golf?" katanya lagi.
"Iya."
"Rasanya bahagia banget, ya? Kita main, taruhan, terus ketawa-ketiwi sepanjang permainan."
"It was one happy moment, indeed."
Lalu kami melanjutkan makan malam di Y&Y Cafe sambil terus menertawakan permainan tadi siang. Sambil makan, sambil berfoto ria. Dia dan keluarganya, dan aku. Segalanya terasa utuh saat itu.
"Sedih rasanya lihat foto-foto yang dulu-dulu. Gue masih enggak percaya semuanya udah berubah sekarang. Kayaknya semuanya seperti dirampas dari tangan gue."
Kali itu aku tidak tahu harus menjawab apa. Setelah tahu ceritanya akan kehidupannya belakangan ini, aku hanya bisa mengiyakan perkataannya. Aku jadi berpikir bahwa memang sudah seperti itu yang namanya kehidupan. Akrab dengan yang namanya perubahan selama ia masih berputar. Dan hidup juga mengubah manusianya. Bukan begitu? Setidaknya itu yang kulihat terjadi pada diri temanku.
"Gue capek, Rae."
"I know..."
"I'm not happy. I just want this to be over."
"It will."
Setengah jam kemudian kami masih mengobrol dan pada akhirnya aku berhasil membujuknya untuk tidur.
"May the happiness awaits us ahead," hiburku.
"Hopefully."
Kami mengakhiri pembicaraan. Aku mematikan ponsel dan sepertinya malam ini aku akan tidur dengan perasaan gloomy, sambil tak lupa memanjatkan doa agar temanku tetap kuat.
Tuesday, 2 April 2013
"Autis"
Saat berkata seperti itu, aku sungguh tidak sadar bahwa komentarku itu bisa saja menyinggung perasaan saudara serumpun. Aku malah ikutan tertawa bersama temanku pada waktu itu. Aku ini memang pendiam, tapi kadang ada saatnya dimana mulutku berceplas-ceplos ria tanpa sempat otakku menyaring terlebih dahulu. Bukan sesuatu hal yang kubanggakan. Jelas aku sudah menyinggung perasaan orang lain, juga menjelek-jelekkan sesama, sekaligus melanggar kode etik tali persaudaraan yang senasib sepenanggungan. Maksudku, hello??? You're one of us, Rae.
Di lain waktu, baru aku kena batunya ketika seorang teman pria melontarkan komentar yang hampir sama kepada teman yang lain tepat di depan hidungku. Katanya, "Tuh lihat, sekarang kita punya saingan buat cari pacar." Yang dia maksudkan adalah seorang perempuan yang berpenampilan seperti pria. Bucth kalau bahasa kita. Saat itu muka dan kupingku langsung memerah mendengar komentar temanku, dengan dua alasan: 1) Jelas saja aku tersinggung dengan komentarnya yang asal bunyi itu, dan 2) Tepat ketika itu pandanganku langsung terarah pada perempuan yang dimaksudkan temanku, eh, orangnya malah ternyata sedang memandang ke arahku, atau mungkin saja ke arah kami, dan tersenyum (mana cakep pula, alamak!).
Dua pengalaman tadi menunjukkan bahwa aku seringkali menyinggung perasaan orang lain, sengaja ataupun tidak. Memalukan, ya? Bahkan dulu ketika kata "autis" cukup populer di kalangan pergaulan, aku pernah ikut-ikutan menggunakan istilah "autis" untuk teman-temanku yang tidak bisa lepas dari Blackberry-nya, dengan maksud menyindir. Betapa kejamnya, ya? Tidak pernah terpikirkan olehku bagaimana perasaan seorang ibu yang anaknya penderita autis jika mendengarku menyebut-nyebut "autis", seolah itu hal yang sepele. Lebih kejamnya lagi, salah seorang sepupu dekatku menderita autis, dan aku dengan seenak jidatnya memakai istilah itu untuk iseng belaka.
Image is taken from here. |
Maka adalah sangat tidak berperikemanusiaan jika masih saja ada orang-orang yang dengan sembarangan menggunakan istilah "autis". Aku sendiri belajar untuk tidak lagi menggunakan menyebut-nyebut "autis" atau istilah-istilah lainnya. Hey, bukankah perubahan dilakukan dari hal-hal yang kecil, dan itu dimulai dari diri sendiri? Sudah saatnya untuk lebih sadar lingkungan dan sekitarnya. Untuk itu aku mengucapkan Selamat Hari Autis Sedunia.
Monday, 1 April 2013
Kebiasaan Melirik
Rupanya potinganku yang sebelumnya tidak perlu berlanjut pada bagian 2. Tidak ada sekuelnya. Syukurlah. Terima kasih untuk Ole, yang sudah berbagi pengetahuan mengenai masalah sleep deprivation. Meski harus kuakui saat membaca email-emailnya, aku sedikit ketakutan. Coba bayangkan kalau kamu membaca kata-kata seperti "insomnia", "sleep paralyze", "sleeping pill", bahkan "muka jadi tampak tua", aku yakin pasti kamu bakalan berusaha untuk bisa tidur. Nah, itulah yang terjadi padaku. Jadi mau tidak mau aku mencari cara agar bisa tidur nyenyak. Salah satunya dengan ilmu bengong sambil mendengarkan lagu-lagu Jason Mraz (oh, album terbarunya itu recommended banget deh), saat hendak tidur.
Masalah tidur sudah teratasi, tapi lalu kemudian aku tetap saja masih kepingin ngoceh-ngoceh, cuap-cuap tidak jelas di sini. Kalau soal ini, sepertinya tidak ada obatnya, ya? Ngomong-ngomong ya, aku punya radar yang bisa mendeteksi yang cantik-cantik dan manis-manis dalam radius jarak pandang mata. Eh, aku bukan mata keranjang, lho. Bukan pula lesbian predator yang meng-eye sexed setiap perempuan. Duh, amit-amit. Aku masih punya harga diri dan aku menjunjung tinggi martabat perempuan, dan menolak mentah-mentah lirikan yang bersifat menelanjangi (only on certain occasion with a certain person, then I guess I won't mind. Ups! Hehehe). Tapi kalau cuma sekedar melirik, boleh kan??? Itu namanya lesbianawi, maksudku manusiawi, teman.
Nah, susahnya radarku ini seringkali berfungsi di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Seperti di hari Sabtu kemarin, aku menghadiri misa Sabtu Suci, atau Malam Paskah, di gereja, lalu radarku tiba-tiba berdengung. Tentu saja ketika aku menajamkan mata dan melihat sekeliling, tepat di sebalah kanan depan berdiri seorang perempuan berwajah manis, berambut panjang hitam lurus, mengenakan dress kasual. Aduh, aku mulai tidak konsentrasi dengan prosesi misa dan malah mencuri-curi pandang. Ini mataku melakukan keinginannya sendiri, melirik-lirik, tanpa bisa kuhentikan. Namun berhubung aku masih ingat di mana aku sedang berada, dengan satu tarikan nafas aku kembali memegang kontrol atas mataku. Untuk sementara aku menang.
Apesnya, keadaan sedang tidak bersahabat dan malah menantang mataku. Saat hendak komuni, aku yang duduk di belakang jelas sempat melihatnya berjalan menuju tempat duduknya. Mataku benar-benar menatapnya. Ah, mataku ini memang sering mengkhianati aku. Selama beberapa detik aku memandangnya sampai Mama menyikut lenganku, lalu berbisik, "Eh, itu kan temanmu." Aih, nyaris saja jantungku mau copot rasanya. Apa kata dunia kalau Mama memergokiku sedang melirik perempuan coba? Mampuslah aku kalau begitu ceritanya. Lalu kata Mama itu temanku? Tunggu dulu, kok aku tidak tahu sih, ya? Aku hanya setengah mengangguk, setengah menggeleng menjawab pertanyaan Mama. Gelagapan.
Kata Mama lagi, perempuan yang kulirik itu teman sekolahku dulu saat masih TK. Sejujurnya, aku tidak ingat. Aku hanya merasa wajahnya familiar karena aku tahu dulu sekali aku pernah melihatnya di gereja yang sama. Dan aku masih ingat betul dengan auranya itu; aura gadis manis kalau kataku. Ih, pantas saja radarku langsung berbunyi. Hihihi.
Iya, iya, cukup sudah lirik-liriknya. Lain kali enggak lagi, deh. Tapi tidak janji sih. Hehehe. Sudah, ah. Semakin meracau ini postingannya.
Oya, Happy Easter! May your basket be full of blessings!
Masalah tidur sudah teratasi, tapi lalu kemudian aku tetap saja masih kepingin ngoceh-ngoceh, cuap-cuap tidak jelas di sini. Kalau soal ini, sepertinya tidak ada obatnya, ya? Ngomong-ngomong ya, aku punya radar yang bisa mendeteksi yang cantik-cantik dan manis-manis dalam radius jarak pandang mata. Eh, aku bukan mata keranjang, lho. Bukan pula lesbian predator yang meng-eye sexed setiap perempuan. Duh, amit-amit. Aku masih punya harga diri dan aku menjunjung tinggi martabat perempuan, dan menolak mentah-mentah lirikan yang bersifat menelanjangi (only on certain occasion with a certain person, then I guess I won't mind. Ups! Hehehe). Tapi kalau cuma sekedar melirik, boleh kan??? Itu namanya lesbianawi, maksudku manusiawi, teman.
Nah, susahnya radarku ini seringkali berfungsi di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Seperti di hari Sabtu kemarin, aku menghadiri misa Sabtu Suci, atau Malam Paskah, di gereja, lalu radarku tiba-tiba berdengung. Tentu saja ketika aku menajamkan mata dan melihat sekeliling, tepat di sebalah kanan depan berdiri seorang perempuan berwajah manis, berambut panjang hitam lurus, mengenakan dress kasual. Aduh, aku mulai tidak konsentrasi dengan prosesi misa dan malah mencuri-curi pandang. Ini mataku melakukan keinginannya sendiri, melirik-lirik, tanpa bisa kuhentikan. Namun berhubung aku masih ingat di mana aku sedang berada, dengan satu tarikan nafas aku kembali memegang kontrol atas mataku. Untuk sementara aku menang.
Apesnya, keadaan sedang tidak bersahabat dan malah menantang mataku. Saat hendak komuni, aku yang duduk di belakang jelas sempat melihatnya berjalan menuju tempat duduknya. Mataku benar-benar menatapnya. Ah, mataku ini memang sering mengkhianati aku. Selama beberapa detik aku memandangnya sampai Mama menyikut lenganku, lalu berbisik, "Eh, itu kan temanmu." Aih, nyaris saja jantungku mau copot rasanya. Apa kata dunia kalau Mama memergokiku sedang melirik perempuan coba? Mampuslah aku kalau begitu ceritanya. Lalu kata Mama itu temanku? Tunggu dulu, kok aku tidak tahu sih, ya? Aku hanya setengah mengangguk, setengah menggeleng menjawab pertanyaan Mama. Gelagapan.
Kata Mama lagi, perempuan yang kulirik itu teman sekolahku dulu saat masih TK. Sejujurnya, aku tidak ingat. Aku hanya merasa wajahnya familiar karena aku tahu dulu sekali aku pernah melihatnya di gereja yang sama. Dan aku masih ingat betul dengan auranya itu; aura gadis manis kalau kataku. Ih, pantas saja radarku langsung berbunyi. Hihihi.
Iya, iya, cukup sudah lirik-liriknya. Lain kali enggak lagi, deh. Tapi tidak janji sih. Hehehe. Sudah, ah. Semakin meracau ini postingannya.
Oya, Happy Easter! May your basket be full of blessings!
Subscribe to:
Posts (Atom)