Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Saturday 7 April 2012

Mata

Di suatu siang yang terik, gue dan beberapa teman kampus mampir di sebuah kedai sederhana di pinggir jalan Jakarta yang ramai. Sambil melepas penat dan menyeka peluh, kami duduk sambil menikmati segelas minuman dingin. Percakapan pun bergulir mulai dari tentang tugas kuliah sampai pada percakapan tentang apa itu bahagia.

Apalah kami ini... hanya sekumpulan mahasiswa tingkat satu yang masih terlalu hijau namun memiliki ambisi yang kelewat tinggi. Maka bagi kami, saat itu, bahagia artinya memiliki segala-galanya.

Butuh waktu bertahun-tahun kemudian untuk bisa membuka mata gue lebar-lebar, bahwa bahagia itu bukanlah memiliki segalanya. Ketika itu gue sedang berhadapan dengan seorang bapak yang usianya kira-kira akhir 50an. Saat itu kami sedang berada di kios tempat usahanya. Dari hasil pengamatan saat itu, gue menyimpulkan bahwa pendapatan sang bapak seharusnya lumayan karena kiosnya ramai didatangi pembeli. Namun jika ditilik dari keadaan kiosnya yang juga sekaligus rumahnya, membuat gue terheran-heran.

Beliau tinggal dengan istri dan enam anaknya di rumah yang tersambung dengan kiosnya. Sempit dan penuh sesak. Begitulah gue bisa menggambarkan keadaan tempat tinggal mereka. Sebagai mahasiswa jurusan Ekonomi, di kepala gue sudah mulai berjejer berbagai teori untuk sang bapak. Dan sebelum gue sadar, mulut gue telah berbicara seenak bibirnya. Ia mulai mengutarakan cara-cara untuk perluasan usaha, dan yang lebih parah lagi, ia berbicara mengenai cara mengajukan KPR beserta segala tetek bengek persyaratan dan keuntungan dari bunga yang lebih kecil. Dan itu semua agar sang bapak dan keluarga bisa hidup lebih leluasa, lebih bahagia, dan tentu dengan pendapatan yang berlebih.

Kutu kupret!

Wajah gue merah padam. Seketika ruangan jadi semakin panas. Melihat gue, beliau hanya tertawa. Lalu katanya, "Segini saya rasa sudah cukup, Dik. Yang penting hidup saling berdekatan, masih bisa makan, anak-anak masih bisa saya sekolahkan." Oh, ingin rasanya gue berlari keluar dari kios secepat kilat karena malu. Sang bapak tertawa makin kencang melihat gue salah tingkah, dan beliau pun menyodorkan sebotol minuman dingin ke gue. "Biar wajahnya ndak merah lagi, Dik," guyonnya.

Dari pengalaman yang memalukan itu, setidaknya gue belajar akan dua hal: Pertama, bahwa bahagia itu tidak selamanya harus memperoleh segala yang diinginkan. Kebahagiaan itu bisa diperoleh dari hal-hal kecil dan sederhana, tidak melulu tentang memiliki segala sesuatu yang terkesan "wah." Bahwa untuk bahagia, tidaklah membutuhkan kesempurnaan. Melainkan bagaimana menciptakan kebahagiaan dari ketidaksempurnaan hidup. Kamu bisa bahagia jika membiarkan dirimu merasa bahagia. Dan jelasnya, bahagia takkan pernah bisa dibeli dengan uang.

Kedua, adalah bahwa kadang apa yang terlihat oleh mata tidaklah benar seperti itu adanya. Bahwa mata bisa menipu sang empunya. Mengaburkan penilaian yang melihat. Yang terjadi pada gue saat itu adalah gue menilai kehidupan seseorang hanya dengan melihat sisi luarnya. Melihat apa yang hanya ingin gue lihat. Ketika melihat keadaan bangunan sang bapak tadi, gue menyimpulkan bahwa hidup beliau dan keluarganya itu bagaikan terhimpit, sesak dan tidak bahagia. Gue menilai bahwa jika usahanya bisa diperbesar dan beliau tinggal di sebuah rumah yang nyaman bersama keluarganya, maka mereka bisa berbahagia. Namun ternyata gue salah besar.

Itu semua karena mata.

Intinya? Bahwa menilai sesuatu atau seseorang hanya dari apa yang tampak di bagian luar adalah kesalahan mutlak. Atau menilai hanya karena merasa (sok) lebih tahu. Seperti kata seorang teman, "Jangan melihat seseorang hanya dari tulisan, penampilan, raut wajah, atau bahkan gerak tubuhnya semata. Habiskan satu hari bersama dia secara langsung, maka kamu akan melihat dirinya lebih banyak." Bukankah seperti kata pepatah, don't judge a book by its cover? Baca dulu bukunya hingga tuntas, baru bisa tahu ceritanya bagus atau tidak.

Dan gue sudah mendapatkan pelajarannya.

No comments: