Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Saturday, 28 April 2012

Anti-social Cripple

"You're such an anti-social cripple."
"No, I am not."
"Yes, you are."
"No."
"Yes."
"No."
"Yes."
"Noooo..."
"Yessss..."

Perdebatan seperti itu dulu sering sekali terjadi. Itu jurus pamungkasnya sang mantan ketika gue sedang mogok bicara, meski lebih sering gagal. Bukan. Bukan diam sebagai aksi protes, melainkan gue hanya sedang kepengin diam saja. Malas bicara, malas membuka mulut. Sepertinya mengucapkan satu kata itu membutuhkan energi yang besar. Tidak hanya berbicara, namun juga malas ngobrol melalui SMS. Dan biasanya itu bisa terjadi selama berhari-hari. Gue lebih banyak diam, mengacuhkan setiap SMS yang masuk dan mulai menutup diri dari orang lain.

Kadang di saat gue sedang usil dan dia mengajukan protes, gue akan membungkamnya dengan kalimat "at least I'm still talking to you," tepat setelah dia menyebut gue anti-social cripple. Dan setelah itu, dia pun akan membiarkan gue berada sendirian dalam dunia gue. Iya, gue bisa menjadi orang yang sangat, sangat menyebalkan juga. Saking menyebalkannya, gue hampir saja di-talak empat sama dia. Hampir...

Kalau dipikir-pikir, sekarang gue sedang berada dalam fase mogok bicara. Tidak hanya sekarang, namun sebenarnya sejak gue kembali ke rumah. Jadi itu sudah berlangsung selama kurang lebih dua tahun, kalau tidak salah hitung. Gue sedang malas hitung-menghitung, apalagi menghitung hari.

Bedanya dengan yang dulu, sekarang keadaannya lebih parah. Lebih banyak diam, lebih banyak menutup diri, lebih sering tenggelam dalam dunia sendiri. Lihatlah, bahkan blog ini pun terlihat seperti sedang hibernasi. Tingkat parahnya sudah sampai pada ketika ditanya pun gue hanya diam saja. Menggunakan gerakan tubuh seperti menggangguk atau mengangkat bahu, atau sekedar "hmmm" singkat sebagai jawaban pun juga tidak. Benar-benar seperti patung. Dan kalau sekarang yang protes itu Mama. Katanya tadi siang, "Kamu ini diketok dulu baru punyi. Malah udah diketok pun suka gak bunyi. Mulutmu dilem saja, atau dijahit sekalian." Dan sekali lagi, gue pun diam seribu bahasa menanggapi komentar sinisnya itu.

Entahlah... gue hanya sedang ingin diam. Melihat semua kejadian di sekeliling gue membuat gue jadi malas bicara. Segalanya terlalu berbelit dan rumit seperti benang kusut yang tak tertolong lagi, membuat gue jadi bingung sendiri. Mau nangis? Tidak mungkin. Persediaan air mata gue sudah habis. Kering seperti sungai di musim kemarau. Alih-alih melakukan sesuatu, gue malah membisu. Tidak heran jika gue lebih memilih untuk hidup sendirian. Membiara sekalian. Maka ketika gue diam, tidak ada orang yang protes. Jadi mungkin memang benar, I am some anti-social cripple.

Wednesday, 25 April 2012

Maybe it's just not for me...

Mendengar curhatan seorang teman yang baru saja putus cinta di malam Minggu sama seperti mendengar pidato seorang politikus yang tengah kampanye. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Tapi mendengar dia curhat sama sekali tidak melukai siapa pun. Kecuali mungkin kuping kiri gue. Jadi dengan rela gue mendengarkan ocehannya tentang mantannya yang begini, mantannya yang begitu. Lagipula, memang tidak ada hal lain yang bisa gue kerjakan malam itu. So, I was being all ears.

Hingga satu jam berlalu...

Ocehannya masih belum berhenti. Bahkan semakin banyak yang dia ceritakan mengenai tingkah laku mantannya saat masih berstatus pacar hingga sekarang, berstatus mantan, semakin dia semangat. Mirip orator yang menyuarakan orasi dengan semangat membara. Persamaannya dia dengan orator adalah sama-sama dipenuhi amarah... dan mungkin kebencian.

Empat bulan yang lalu, kuping gue penuh dengan segala jenis pujian untuk mantannya itu. Sampai-sampai gue berpikir mantannya yang kurus kering itu sebenarnya adalah Superman yang mengendarai Mercedes. Pokoknya serba sempurna deh, bak pangeran berkuda putih. Sekarang? Mantannya itu tidak lebih dari pria kurus tengik yang naik motor butut. Setidaknya itu yang diceritakan ke gue.

Di hari lainnya, gue terpaksa harus mendengar curhatan seorang ibu tentang suaminya yang buaya darat. Berlagak seperti sapi dungu yang hanya mengangguk-anggukkan kepala, gue mendengar 1001 kejelekan suaminya yang dilontarkan bagai peluru yang ditembakkan dari senapan mesin. Belum ada ibu itu selesai mengoceh, bertambah lagi ibu-ibu lainnya. Sepertinya timing gue selalu buruk. Selalu berada di tempat yang salah pada waktu yang salah pula.

Dalam hati gue jadi bertanya-tanya sendiri, kenapa dari awal harus saling jatuh cinta lalu menjalin hubungan jika pada akhirnya yang tersisa hanya benci? Kenapa dari awal mau saja mengikat janji dalam tali pernikahan kalau akhirnya malah bercerai? For Smurfs' sake! Katanya, nanti gue juga tahu sendiri gimana rasanya. Kalau memang seperti itu hasilnya, eh, thanks. But no, thanks. Mending gue sendirian, hidup tenang dan damai. I'd say enough to any kind of relationship. Paling buruk yang terjadi adalah gue tua sendirian, menjadi usang, lalu mati.

Pernah baca entah di mana, relationship itu seperti rumah sakit. Di rumah sakit, setiap hari dikasih makan, suster-susternya cantik, dokternya ganteng, orang yang datang berkunjung selalu membawa hadiah. Menyenangkan. Tapi mau jika harus kembali masuk rumah sakit? Relationship juga begitu. Manis seperti gula-gula. Tapi ketika manisnya sudah melampaui batas, yang tersisa hanyalah rasa hambar. Tinggal menunggu satu pertengkaran hebat untuk mengakhirnya. Lalu gue diminta untuk kembali menjalin sebuah hubungan? Gue mikir dua kali sambil keliling lapangan sepak bola seratus kali dulu.

Mungkin terdengar pesimis, atau bahkan sinis. Gue juga tahu, everlasting love itu ada. Buktinya ketika gue melihat sendiri bagaimana sepasang suami istri hidup dan tua bersama hingga akhirnya tiba ajalnya sang suami di usianya yang ke-80. Namun gue juga melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kebencian merasuki seseorang karena cintanya dikhianati. Really doesn't look good, and I don't want it in my future. So maybe love or relationship isn't for me. Not now, not ever. Who knows?

Saturday, 7 April 2012

Mata

Di suatu siang yang terik, gue dan beberapa teman kampus mampir di sebuah kedai sederhana di pinggir jalan Jakarta yang ramai. Sambil melepas penat dan menyeka peluh, kami duduk sambil menikmati segelas minuman dingin. Percakapan pun bergulir mulai dari tentang tugas kuliah sampai pada percakapan tentang apa itu bahagia.

Apalah kami ini... hanya sekumpulan mahasiswa tingkat satu yang masih terlalu hijau namun memiliki ambisi yang kelewat tinggi. Maka bagi kami, saat itu, bahagia artinya memiliki segala-galanya.

Butuh waktu bertahun-tahun kemudian untuk bisa membuka mata gue lebar-lebar, bahwa bahagia itu bukanlah memiliki segalanya. Ketika itu gue sedang berhadapan dengan seorang bapak yang usianya kira-kira akhir 50an. Saat itu kami sedang berada di kios tempat usahanya. Dari hasil pengamatan saat itu, gue menyimpulkan bahwa pendapatan sang bapak seharusnya lumayan karena kiosnya ramai didatangi pembeli. Namun jika ditilik dari keadaan kiosnya yang juga sekaligus rumahnya, membuat gue terheran-heran.

Beliau tinggal dengan istri dan enam anaknya di rumah yang tersambung dengan kiosnya. Sempit dan penuh sesak. Begitulah gue bisa menggambarkan keadaan tempat tinggal mereka. Sebagai mahasiswa jurusan Ekonomi, di kepala gue sudah mulai berjejer berbagai teori untuk sang bapak. Dan sebelum gue sadar, mulut gue telah berbicara seenak bibirnya. Ia mulai mengutarakan cara-cara untuk perluasan usaha, dan yang lebih parah lagi, ia berbicara mengenai cara mengajukan KPR beserta segala tetek bengek persyaratan dan keuntungan dari bunga yang lebih kecil. Dan itu semua agar sang bapak dan keluarga bisa hidup lebih leluasa, lebih bahagia, dan tentu dengan pendapatan yang berlebih.

Kutu kupret!

Wajah gue merah padam. Seketika ruangan jadi semakin panas. Melihat gue, beliau hanya tertawa. Lalu katanya, "Segini saya rasa sudah cukup, Dik. Yang penting hidup saling berdekatan, masih bisa makan, anak-anak masih bisa saya sekolahkan." Oh, ingin rasanya gue berlari keluar dari kios secepat kilat karena malu. Sang bapak tertawa makin kencang melihat gue salah tingkah, dan beliau pun menyodorkan sebotol minuman dingin ke gue. "Biar wajahnya ndak merah lagi, Dik," guyonnya.

Dari pengalaman yang memalukan itu, setidaknya gue belajar akan dua hal: Pertama, bahwa bahagia itu tidak selamanya harus memperoleh segala yang diinginkan. Kebahagiaan itu bisa diperoleh dari hal-hal kecil dan sederhana, tidak melulu tentang memiliki segala sesuatu yang terkesan "wah." Bahwa untuk bahagia, tidaklah membutuhkan kesempurnaan. Melainkan bagaimana menciptakan kebahagiaan dari ketidaksempurnaan hidup. Kamu bisa bahagia jika membiarkan dirimu merasa bahagia. Dan jelasnya, bahagia takkan pernah bisa dibeli dengan uang.

Kedua, adalah bahwa kadang apa yang terlihat oleh mata tidaklah benar seperti itu adanya. Bahwa mata bisa menipu sang empunya. Mengaburkan penilaian yang melihat. Yang terjadi pada gue saat itu adalah gue menilai kehidupan seseorang hanya dengan melihat sisi luarnya. Melihat apa yang hanya ingin gue lihat. Ketika melihat keadaan bangunan sang bapak tadi, gue menyimpulkan bahwa hidup beliau dan keluarganya itu bagaikan terhimpit, sesak dan tidak bahagia. Gue menilai bahwa jika usahanya bisa diperbesar dan beliau tinggal di sebuah rumah yang nyaman bersama keluarganya, maka mereka bisa berbahagia. Namun ternyata gue salah besar.

Itu semua karena mata.

Intinya? Bahwa menilai sesuatu atau seseorang hanya dari apa yang tampak di bagian luar adalah kesalahan mutlak. Atau menilai hanya karena merasa (sok) lebih tahu. Seperti kata seorang teman, "Jangan melihat seseorang hanya dari tulisan, penampilan, raut wajah, atau bahkan gerak tubuhnya semata. Habiskan satu hari bersama dia secara langsung, maka kamu akan melihat dirinya lebih banyak." Bukankah seperti kata pepatah, don't judge a book by its cover? Baca dulu bukunya hingga tuntas, baru bisa tahu ceritanya bagus atau tidak.

Dan gue sudah mendapatkan pelajarannya.