"No, I am not."
"Yes, you are."
"No."
"Yes."
"No."
"Yes."
"Noooo..."
"Yessss..."
Perdebatan seperti itu dulu sering sekali terjadi. Itu jurus pamungkasnya sang mantan ketika gue sedang mogok bicara, meski lebih sering gagal. Bukan. Bukan diam sebagai aksi protes, melainkan gue hanya sedang kepengin diam saja. Malas bicara, malas membuka mulut. Sepertinya mengucapkan satu kata itu membutuhkan energi yang besar. Tidak hanya berbicara, namun juga malas ngobrol melalui SMS. Dan biasanya itu bisa terjadi selama berhari-hari. Gue lebih banyak diam, mengacuhkan setiap SMS yang masuk dan mulai menutup diri dari orang lain.
Kadang di saat gue sedang usil dan dia mengajukan protes, gue akan membungkamnya dengan kalimat "at least I'm still talking to you," tepat setelah dia menyebut gue anti-social cripple. Dan setelah itu, dia pun akan membiarkan gue berada sendirian dalam dunia gue. Iya, gue bisa menjadi orang yang sangat, sangat menyebalkan juga. Saking menyebalkannya, gue hampir saja di-talak empat sama dia. Hampir...
Kalau dipikir-pikir, sekarang gue sedang berada dalam fase mogok bicara. Tidak hanya sekarang, namun sebenarnya sejak gue kembali ke rumah. Jadi itu sudah berlangsung selama kurang lebih dua tahun, kalau tidak salah hitung. Gue sedang malas hitung-menghitung, apalagi menghitung hari.
Bedanya dengan yang dulu, sekarang keadaannya lebih parah. Lebih banyak diam, lebih banyak menutup diri, lebih sering tenggelam dalam dunia sendiri. Lihatlah, bahkan blog ini pun terlihat seperti sedang hibernasi. Tingkat parahnya sudah sampai pada ketika ditanya pun gue hanya diam saja. Menggunakan gerakan tubuh seperti menggangguk atau mengangkat bahu, atau sekedar "hmmm" singkat sebagai jawaban pun juga tidak. Benar-benar seperti patung. Dan kalau sekarang yang protes itu Mama. Katanya tadi siang, "Kamu ini diketok dulu baru punyi. Malah udah diketok pun suka gak bunyi. Mulutmu dilem saja, atau dijahit sekalian." Dan sekali lagi, gue pun diam seribu bahasa menanggapi komentar sinisnya itu.
Entahlah... gue hanya sedang ingin diam. Melihat semua kejadian di sekeliling gue membuat gue jadi malas bicara. Segalanya terlalu berbelit dan rumit seperti benang kusut yang tak tertolong lagi, membuat gue jadi bingung sendiri. Mau nangis? Tidak mungkin. Persediaan air mata gue sudah habis. Kering seperti sungai di musim kemarau. Alih-alih melakukan sesuatu, gue malah membisu. Tidak heran jika gue lebih memilih untuk hidup sendirian. Membiara sekalian. Maka ketika gue diam, tidak ada orang yang protes. Jadi mungkin memang benar, I am some anti-social cripple.