Sungguh, sangat tidak kusarankan untuk membaca novel Haruki Murakami di saat sedang sakit. Setelah menyelesaikan "Sputnik Sweetheart," aku lanjutkan dengan membaca "1Q84." Sebelum "Sputnik Sweetheart" sebetulnya aku sudah membaca "Kafka On the Shore" pemberian Nitz tapi belum kuselesaikan karena kupikir bukunya kecil dan ringan, jadi nanti bisa kuangkut saat hijrah ke negeri seberang. Sementara "1Q84" ini berbentuk hard cover dengan tebal 925 halaman. DOENG!
Karya-karya Haruki Murakami, yang kalau kukutip dari Jeung Wiki, "...is humorous and surreal, focusing on themes of alienation and loneliness." Tuh, makanya kalau dibaca saat sakit bisa bikin tambah sakit. Tapi ya, somehow, aku merasa sangat mengenal karakter-karakter dalam novel-novelnya Murakami. Bahkan mungkin merasa menjadi bagian dari karakter-karakter itu. Kau tahu, karakter yang kesepian, yang keep others at arm's length.
Alienation dan loneliness.
Seorang temanku dulu pernah bertanya padaku, bagaimana mungkin seseorang bisa sendirian dan tidak kesepian? Jawabku, bisa saja. Benar-benar tidak kesepian? Tanyanya lagi. Pasti mereka juga merasa kesepian, kataku. Lalu ketika mereka kesepian, apa yang mereka lakukan? Jawabku lagi, tidak ada. Apa itu yang kaulakukan dengan kesepianmu? Tidak ada? Tidak juga, kataku sambil menerawang. Yang kulakukan dengan kesepianku adalah berdamai dengannya, kemudian menjalin hubungan baik dengannya. Mengakrabinya malah. Sehingga ketika ia datang, aku menyambutnya dengan senang hati.
Membaca novel Murakami membuatku teringat akan saat-saat di mana aku sendirian, menutup diri dan menjaga jarak dari orang lain. Kubangun tembok setinggi langit yang mengelilingi diriku untuk menghalang agar orang lain tidak mendekat, lalu kupasang tampang tangguh agar tidak dikasihani. Padahal di saat yang sama aku juga merasa kesepian. Semakin tinggi tembok yang kubangun, semakin membuatku terisolasi dengan dunia luar. Menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan sehingga membuatku terlalu lelah untuk merasa kesepian, ternyata tidak memberi efek yang signifikan dalam jangka panjang. Malahan ada suatu waktu di mana aku merasa sangat, sangat kesepian di saat aku sedang kelelahan. Maka pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti menghindari rasa sepi itu. Karena jelas bagiku, semakin kuhindari ia, semakin ia melumpuhkanku.
Ketika S tahu-tahu hadir dalam hidupku, aku sedang dalam keadaan terbiasa dengan kesendirian dan rasa sepi. Lagipula, siapa yang menyangka kalau dia akan muncul, out of blue, di hadapanku, dan menawarkan sebuah hubungan romantisme? Itu artinya jika aku menerima tawarannya, maka aku harus kembali menyesuaikan diriku bahwa kini aku tidak lagi sendirian, dan kembali harus bernegosiasi dengan kesepian yang tadinya sudah menjadi teman akrabku. Maksudku, bagaimana mungkin kau bisa berkata pada teman akrabmu, "Hey, aku punya teman baru. Jadi aku mau jalan dengannya, dan tidak denganmu"?
Beberapa bulan belakangan ini, sejak aku memutuskan untuk bersamanya, kembali aku mulai terbiasa melakukan apa-apa bersamanya. Namun ada saat-saat di mana aku harus sendirian. Saat di mana aku melakukan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengannya, atau saat di mana dia harus melakukan sesuatu dan harus meninggalkanku. Secara fisik tidak bersama, melainkan sendiri. Namun di saat-saat seperti itu aku tidak merasa kesepian. Entah apa aku yang berhasil bernegosiasi dengan sang kesepian itu, ataukah memang ia yang enggan datang karena aku terlalu asyik dengan 'teman baru'-ku. Yang manapun itu, yang jelas aku tidak merasakan sedikitpun rasa sepi.
Aku tahu, bahwa kemungkinan besar ini hanyalah momen sementara dalam hidupku. Hanya sebuah fase singkat dari serangkaian kehidupan. Akan tiba waktunya untuk aku kembali menjadi manusia terisolasi. Aku harus kembali mencari kesepian dan membujukknya agar mau kembali padaku, kembali berteman denganku. Kaupikir kenapa tadinya aku berkali-kali kalut dan mundur ketika S menawarkan hubungan ini?
Lalu lantas bagaimana jika saat itu tiba? Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Cukup aku melakukan apa yang seharusnya nanti kulakukan. Tetapi, sungguh, yang ingin kulakukan saat ini, sekarang ini, hanyalah menikmati waktu di mana aku sedang sendirian (karena dia harus pulang ke kotanya demi memenuhi permintaan maminya), namun aku tidak merasa kesepian. Karena aku tahu, meski kami sedang berjauhan selama beberapa hari tapi kami saling memikirkan satu sama lain.
Dan benar saja. Ketika aku hendak mengakhiri tulisan ini, sebuah pesan masuk ke ponselku darinya. Katanya, "Say, aku kok mikirin kamu, ya?" Aku tersenyum, bahkan tertawa, bukan hanya karena isi pesannya, namun juga karena dia itu tipenya seperti aku, jarang mengekspresikan sesuatu dalam kata-kata.
Selama beberapa saat kami saling mengirimkan pesan singkat dan dari situ aku tahu bahwa sejak tiba di kotanya kemarin malam, dia menginap di rumah sepupunya yang merayakan Lebaran, tidur di kamar bersama 2 sepupunya yang lain, yang masih kecil dan rewel dan tendang sana-tendang sini kalau tidur, dan dalam sehari sudah ada 3 orang yang menanyakan padanya "Kapan kawin?" Lalu aku memberitahunya tentang kegiatanku seharian ini; mengerjakan beberapa dokumen yang tidak bisa ditunda lagi, BBM-an, lalu tidur lagi karena obat yang kuminum menyebabkan kantuk yang sangat, euy. Sesudah itu kami saling mengucapkan selamat tidur.
So, I'm going to sleep now, with the memory that I precious so much of what I have just experienced; me being alone, yet feeling so loved.
No comments:
Post a Comment