Jumat pukul 7 aku tiba di rumah S. Dia masih di kantor, maka kukirimkan pesan singkat ke ponselnya mengabari kalau aku ada di rumahnya. Balasan darinya juga singkat; "Iya, Say. Bosku sedang rese." Jadi aku tahu dia masih lama di kantor dan aku masih punya waktu sebentar untuk menyiapkan makan malam.
Kubuatkan dia tempe goreng tepung dan tahu goreng karena beberapa hari yang lalu katanya dia kepengin makan tempe tahu. Tempenya kuiris tipis-tipis supaya garing seperti kesukaannya. Kemudian kutumis kangkung. Dia lebih suka tumisan kangkung yang sederhana, hanya bawang putih dan garam. Tuh, lagi-lagi aku pegang-pegang bawang. Lalu untuk sambal, ada sambal terasi yang kubawa dari rumah. Secara aku paling malas membuat sambal. Eh, bukan malas tapi tidak tahu. He he...
Masak-masak beres, aku pun mandi supaya nanti begitu pacar pulang, aku sudah rapi jali nan wangi. Tepat ketika aku selesai berpakaian, kudengar suara mobilnya di depan lalu beberapa saat kemudian bunyi pintu pagar dibuka. Aku bergegas menyambutnya di depan pintu, tak lupa memasang senyum manis semanis gula-gula. Kubuka pintu rumah, dan mendapati wajah kusutnya yang membuat senyumku berubah jadi cekikikan. Duh, kesiannya yang habis diresein bos.
"Ih, kamu. Pacar sedang kesal, kok malah diketawain?"
"Habis, tampangmu itu lho. Kayak anak kecil yang permennya diambil orang."
Kuajak dia makan malam dulu. Sambil makan, seperti biasanya kami mengobrol ini-itu. Inilah yang kusuka, kami berdua sepertinya selalu memiliki bahan pembicaraan. Mau yang ceritanya serius dan kadang kami terlibat dalam diskusi yang super serius, yang membuat kening mengkerut, sampai obrolan ngarol-ngidul. Eh, yang kumaksud dengan diskusi serius itu benar-benar diskusi loh, ya. Bukan menggosip. Tapi mendiskusikan gosip. Haha... enggak deng.
Malam itu, pembicaraan kami mengenai tokoh Sumire di dalam bukunya Haruki Murakami yang berjudul "Sputnik Sweetheart," yang dia berikan padaku beberapa waktu lalu. Iya, kami juga sering membicarakan buku-buku yang kami baca. Meski dia tidak se-avid aku dalam hal membaca, tapi untuk buku-buku tertentu dia baca. Dan kebetulan buku ini dia lebih dulu baca dariku. Soalnya tadinya aku stuck dengan "The Enchantress" karangan Michael Scott, yang sudah sebulan lebih belum selesai kubaca. Tapi akhirnya aku menyerah dengan buku itu, kuparkir dulu, lalu mulai membaca Sputnik Sweetheart. Karena aku belum selesai membacanya, adalah haram hukumnya baginya untuk menceritakan terlalu banyak. Spoiler dong nanti jadinya. Nggak seru.
Selesai makan, belum sempat kuangkat piring ke wastafel, dia bilang "Pesan pizza yuk, Say." Ya ampun, baru juga makan, sudah pengin makan pizza lagi. Selera makannya memang besar, dan dia makannya lebih banyak dari aku. Menjelang datang bulan, aku bisa meladeni selera makannya. Tapi aku baru selesai datang bulan, yang biasanya membuat aku tidak kepengin makan. Dan yang lebih mengherankan lagi, meski makannya banyak badannya ya segitu-segitu aja. Ih, bikin ngiri. Kalau aku makan sebanyak dia, badanku bisa sebesar rumah di kawasan Pondok Indah sana. Kubilang padanya, di perutnya jangan-jangan ada naga yang ikut memakan semua makanan yang dimakannya. Bukan cacing lagi! Hihihi... Tapi berhubung sudah malam, jajanan yang bisa diperolehnya hanya martabak telor yang masih jualan di depan kompleks. Kali itu, kurelakan semua bagian kulit renyah untuknya, secara aku masih kenyang. Padahal biasanya kami berebutan sih.
Paginya dia bangun dan bersiap ke kantor. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya berhubung sebentar lagi libur. Mami memintanya untuk pulang karena salah satu sepupunya merayakan Lebaran. Dia mengecup keningku sebelum berangkat karena aku masih enggan turun dari tempat tidur. Sejam kemudian baru aku bangun dan mendapati ada roti bakar dan segelas teh manis. Aku makan, lalu karena tidak tahu harus ngapain, selesai makan aku beres-beres rumah saja. Kumasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, dan sambil menunggu pakaian selesai dicuci, aku menyapu, mengepel, mengelap perabot yang untungnya tidak banyak, kemudian menyetrika beberapa potong bajunya dan bajuku juga.
Sudah selesai semuanya, pakaian juga sudah kujemur, aku selonjoran di sofa. Capek, bok. Aku menyalakan TV dan menonton "Got to Dance UK" sambil menyambangi dunia maya. Menjelang sore, dia pulang dan mengajakku kencan. Aku sedang mandi ketika dia tiba, dan tahu-tahunya sudah ikutan menyelinap di kamar mandi. Eh, lho lho, apa-apaan ini? Biar cepat, katanya. Idih, alesan banget deh ah.
Mandi dan berdandan ternyata memakan waktu hampir sejam. Biasanya aku tidak mau repot-repot mem-blow rambut, apalagi make-up. Tapi berhubung ini kencan spesial, meski dadakan, mau tidak mau aku dandan. Lagipula, sepertinya aku sedang mood dandan juga. Pakaian yang kukenakan juga bukan gaya standar; kaos, celana jins, sandal teplek. Untuk kencan kali itu, aku mengenakan baju terusan hitam yang kukenakan saat ke pernikahan sepupuku, karena memang cuma baju itu yang ada di rumahnya dan untungnya sudah diambilnya dari 5àsec. Sementara dia juga mengenakan baju yang hampir sama.
Kami disambut pemandangan matahari terbenam ketika tiba di kafe yang menjadi tempat kencan kami. Kami diantar pelayan ke meja yang sudah dipesannya sebelumnya. Dalam hatiku, niat sekali dia. Jangan-jangan ada hal serius yang ingin dibicarakannya. Namun sampai ketika pelayan mengantarkan sajian dessert, tidak ada tanda-tandanya dia bakal memulai pembicaraan. Akhirnya kutanyakan saja. Tahu tidak, jawabnya apa? Begini jawabnya, dengan wajah yang dibuatnya serius, "Sebenarnya, aku ingin mengajakmu kawin lari." Halah, aku diisengin! Kulempari dia dengan serbet dan membuatnya tertawa terbahak-bahak, sampai dilihatin orang-orang di meja samping.
Sudah cukup lama kami duduk di meja itu. Es krimku juga sudah tandas. Tapi sepertinya dia belum mau beranjak. Sebaliknya, dia kembali memanggil pelayan dan memesan sebotol anggur. Aku menaikkan alisku. Sebotol? Untuk berdua? Melihat reaksiku, dia terkekeh. Tidak mungkin kami minum sebotol. Aku tidak pandai minum. Satu sesapan saja sudah bisa membuat wajah dan leherku merah seperti udang rebus. Begitu juga dia, meski tidak memberi efek merah-semerah-udang-rebus sepertiku. Baru aku ngeh, kenapa tadi dia menolak membawa mobil dan memilih menggunakan taksi. Ternyata, eh ternyata.
"Eh, jangan-jangan kamu memang niat mengajakku kawin lari nih," bisikku.
Lagi-lagi dia tertawa sambil memegang perutnya. Enggak kok. Cuma ingin mengajakmu kencan romantis saja, katanya. Sekali-kali, katanya lagi. Aku masih tidak percaya. Akhirnya dia menyerah dan mengatakan alasan yang sebenarnya.
"Aku cuma senang berada di sini. Ada kamu juga. Kita berdua. Itu saja, kok."
Nah, lho. Ucapannya memberi efek yang jauh lebih dahsyat dari anggur yang kuminum. Sekejap aku merasakan panas menjalar ke wajah, dan aku tidak bisa membayangkan semerah apa kelihatannya wajahku. Untung saja matahari sudah sepenuhnya terbenam dan satu-satunya cahaya berasal dari lilin kecil di atas meja yang memancarkan sinar redup. Tuh, kan. Aku jadi kikuk sendiri. Aku cuma bisa senyum malu-malu. Malu-malu kucing. Kena deh aku.
Pukul 11 kami pulang, lalu bersiap tidur. Malam itu kami tidur sambil berpelukan. Aku kembali mengingat kencan tadi. And to tell you truth, I was in cloud nine that night.
1 comment:
Ini kali ketiga aku baca postingan ini, and I never get bored. Serasa aku ikut ke dalam ceritamu, Rae.
RF
Post a Comment