Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Wednesday, 4 July 2012

Perawan Tua

Wajah maminya terlihat berseri saat mendapatiku berdiri di depan pintu rumah. Aku membalas dengan senyum yang tak kalah sumringah dan mami mengajakku masuk. Rasanya lucu karena aku diperlakukan seperti tamu. Padahal aku punya kunci rumahnya, lho. Sambil menunggu mami siap-siap, aku duduk manis di sofa. Kemarin aku janji mengajaknya jalan-jalan hari itu. Katanya bosan di rumah sendirian karena S harus bekerja. Kebetulan aku memiliki beberapa jam waktu luang sebelum mulai les, jadi kuajak mami jalan sebelum nanti kembali pulang ke kotanya. Ketika mami akhirnya siap, kami langsung menuju mal terdekat.

Di mal aku menemaninya belanja beberapa barang keperluan hariannya, juga keperluan S. Selesai belanja, aku membawa mami ke restoran favoritku untuk makan siang, yang juga akhirnya menjadi tempat kencan favorit aku dan S. Di sana kami mengobrol tentang banyak hal, termasuk mengenai S. Awalnya aku sedikit kikuk membicarakan S dengan maminya. Aku tidak ingin terlalu banyak memberikan komentar. Tapi kemudian kuanggap saja maminya berbicara padaku seperti berbicara pada teman anaknya. Ngerti kan maksudku? Enggak, ya? Yasudah. Aku juga tidak mengerti.

Dan tentu saja, dari sekian banyak hal yang dibicarakan tentang S, terselip pembicaraan mengenai S yang sampai saat ini belum ada tanda-tandanya bakal menikah. Setelah beberapa waktu bersama S, aku tahu kalau maminya masih suka mengingatkan dia mengenai usianya yang sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga, meski menurut S tidak sesering dulu. Katanya, Mami sudah di ambang menyerah, tapi belum karena orang-orang sering bertanya padanya kapan anaknya menikah.

Aku melayangkan senyum pengertian, seolah aku mengerti. Tapi aku tak kuasa menahan mulut, dan tanpa kusadari aku berujar, Mungkin dia lebih senang hidup sendirian dan bebas, ai. Oh, terkutuk mulutku. Dan mami merespon ucapanku dengan menjelaskan bahwa meski tidak ingin memaksa, tapi ia hanya tidak ingin anak perempuannya hidup sendiri dan kesepian di masa tuanya. Ia tidak akan selamanya hidup di dunia dan ketika saat itu tiba, saat ia harus pergi, maka S akan sendirian. Lalu siapa yang mengurusnya di saat dia tua nanti? Siapa yang akan menemaninya?

Kali ini aku mengerti perasaan mami. Maksudku, orangtua mana yang tidak bakalan memikirkan anak-anaknya? Dan setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, bukan? Meski sebenarnya bagiku, kadang yang mereka anggap terbaik belum tentu seperti itu bagi anak-anak. Untungnya kali ini aku berhasil menahan mulutku, dan yang kulakukan hanya mengangguk-angguk kecil.

Mungkin ini salahku, karena keadaan keluarga yang sulit membuat dia tumbuh menjadi perempuan yang terlalu mandiri, lanjutnya lagi. Nah, ini baru mengejutkan buatku. Aku memang tahu cerita mengenai riwayat kehidupan keluarga mereka. Tapi mami yang menyalahkan dirinya dengan apa yang terjadi pada anaknya sekarang? Ini sungguh di luar dugaan. Aku jadi kehilangan kata-kata. Ingin kuhibur, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tiba-tiba aku memikirkan Mama. Dalam hati aku bertanya, akankah Mama juga nantinya berpikir seperti ini? Menyalahkan dirinya karena aku tidak menikah? Atau menyalahkan keadaan yang pernah terjadi, yang membuatku tidak ingin menikah?

"Bagaimana dengan kamu?" tanya mami, membuyarkan lamunanku.

"Eh? Aku? Uhmm, belum kepikirian, ai," kataku.

"Ah, kamu sama saja dengan S. Kalian berdua bisa tua bersama kalau begitu. Si perawan-perawan tua." Aku hanya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan mami. Seandainya mami tahu, ya...

Kami melanjutkan makan, lalu aku memesan es krim sebagai makanan penutup. Es krim kami tiba bersamaan dengan S yang baru saja pulang dari kantor. Kami janjian bertemu di sana karena dia yang akan mengantar maminya pulang. Kutanya apakah dia ingin makan, tapi dia menolak. Katanya dia kepingin makan tahu tempe yang dimasak maminya di rumah, lalu menyicip es krimku. Setelah selesai, kami keluar dari restoran karena sudah waktunya aku les. Maminya minta ditemani ke toilet dan sambil kami menunggu, kuceritakan kepada S obrolanku dengan mami.

Perawan tua yang tidak perawan tentunya, komentar S, menanggapi ceritaku. Dan mami bilang kita berdua boleh tua bersama. Kamipun tergelak. Dan masih tergelak ketika mami kembali, membuatnya menatap kami penuh heran.

"Ya, ya, ya. Kalian berdua memang cocok. Sama-sama aneh," kata mami, lalu ngeloyor pergi dan kami mengikutinya dari belakang sambil terkikik.

Mami, mami...

2 comments:

Farrel Fortunatus said...

jadi pengen ngomong sama mami tentang kalian; "kasih tau ga yaaaaa...??" #ngomongnya ala tukul arwana wkwkwk...

Rae said...

Waduh jangan. Aku tidak siap menjanda. Eh?! Hahaha.