Akhirnya maminya S tiba juga. Pagi tadi, setelah *ehem ehem* kilat (yang sepertinya karena adu argumen kemarin malam), kami buru-buru mandi lalu berkendara ke bandara. Dan benar saja, ketika kami tiba ternyata pesawat yang ditumpangi maminya sudah mendarat, dan maminya sudah menuggu beberapa saat di sana. Aku, yang merasa tidak enak karena terlambat, berkali-kali minta maaf. Aduh, masa iya, kesan pertama bertemu mertua adalah aku orang yang tidak tepat waktu? Apalagi jika mengingat alasan kami terlambat...
Anyway, dari bandara aku mengantar mereka ke sebuah restoran yang menyediakan menu-menu sarapan untuk kami sarapan sekaligus hampir makan siang. Di sana, sambil menunggu pesanan, kami mengobrol santai. Lebih tepatnya sih, maminya menanyaiku ini dan itu, layaknya sedang mengintoregasi. Seperti fit and proper test gitu deh. Hehehe... enggak deng. Aku berlebihan.
Selesai makan, kami kembali pulang. Namun baru beberapa saat tiba di rumah, maminya bersikeras minta diajak jalan-jalan. S melarang karena maminya baru saja menempuh perjalanan panjang dan seharusnya istirahat. Tapi katanya, "Mami ini jauh-jauh datang ke sini, masa cuma berdiam diri di rumah? Mami masih kuat lho." Dengan itu, maka berakhirlah sudah rundingan, dengan hasil aku memihak maminya dan S mengernyitkan alisnya kepadaku, menyadari mulai terciptanya aliansi antara aku dan maminya. Kubalas dia dengan cengiran selebar cengir kuda.
Jadilah maminya kubawa jalan-jalan ke sebuah tempat wisata yang pernah aku dan S datangi. Sepanjang perjalanan maminya terus mengobrol, menanyaiku tentang kotaku, dan terutama ingin tahu banyak mengenai tempat wisata yang kami kunjungi. Pokoknya jika dibukukan, obrolan kami seharian ini bisa lulus syarat penerbitan novel.
Menjelang sore, S mengajak kami pulang dengan alasan aku masih harus menyetir pulang ke rumahku, yang letaknya cukup jauh dari rumah S. Iya, malam ini tidak ada acara inap-inapan karena ada maminya S. Di perjalanan pulang, S menyetir, maminya duduk di kursi penumpang dan tertidur, sementara aku duduk di kursi belakang. Berkali-kali S menatapku dari spion mobil dan kami saling beradu pandang. Seolah kami bisa berbicara melalui tatapan, aku tahu dia meminta maaf karena celotehan maminya yang tiada henti. Meski S selalu ikutan nimbrung dalam obrolan dan canda kami, tapi pada dasarnya aku lebih banyak berbicara. Aku memberinya senyum pengertian. Lagipula, aku menikmati obrolan dengan maminya tadi.
Aku sudah hampir menoleh ke arah jendela di samping ketika kulihat dia masih menatapku, sambil sesekali mengalihkan tatapannya ke jalan di depan. Lagi-lagi dia meminta maaf melalui tatapannya itu, dan kali ini aku tahu apa maksudnya. Dia meminta maaf atas kejadian kemarin malam. Padahal semalam kami sudah saling minta maaf, begitu juga tadi pagi. Namun melalui tatapan ternyata rasanya lebih menyentuh dan lebih tulus. Jadi ingat dengan kalimat "If looks can kill..." Melihat tatapannya, aku hanya menggelengkan kepala, seperti berkata, Lupakan saja. Lagipula pertengkaran itu tidak sepenuhnya salahnya. Aku juga salah.
Sisa perjalanan kuhabiskan dengan menyelesaikan buku yang sedang kubaca. Lalu setelah tiba di rumah S, aku segera pamit pulang. Dan sekarang, lagi-lagi, aku masih belum bisa tidur. Padahal tubuhku sudah berteriak minta diistirahatkan. Tapi apa daya, mataku belum mau menyerah. Entah karena dua gelas kopi hitam yang tadi kuminum, ditambah seperempat gelas kopi milik S, atau karena aku tidak berceloteh mengenai pikiran-pikiranku kepada S, seperti yang biasa kulakukan.
Semalam, setelah selesai menulis blog, aku bisa langsung tidur. Semoga malam ini juga begitu. Semoga menulis di sini, di tengah malam buta, bisa menjadi obat tidur untukku. Jika S bisa tidur setelah kuninabobokan dengan celotehanku, maka aku bisa tidur setelah berceloteh di sini. Makanya, kupikir blog ini seharusnya kunamakan "Celotehan Rae."
Ah, baiklah. Aku sudah mulai ngawur. Sebaiknya aku akhiri di sini lalu bersiap tidur.
Selamat malam, maksudku pagi, dunia.
No comments:
Post a Comment