Temanku baru saja putus dengan pacarnya. He wasn't the right one, begitu jawabnya ketika kutanya alasan kenapa dia mengakhiri hubungan mereka. Dia temanku dan aku mengenalnya dengan baik dan aku tahu dia akan baik-baik saja meski sedang patah hati. Tidak akan butuh waktu lama sampai dia menemukan pengganti.
Aku menoleh ke sebelah kanan monitor, dimana ada kotak chat dengan temanku yang lain. Kalau yang satu curhat menenai putus cinta, yang satu ini curhat kapan dia bisa menemukan si "Mr. Right".
Kenapa sih, banyak orang terobsesi untuk menemukan "the right one"? Temannya temanku bahkan pernah berkata bahwa dia harus pacaran sesering mungkin untuk memperbesar kemungkinan menemukan pendamping yang paling tepat untuknya. Percayalah, aku sedang tidak men-judge. Aku hanya ingin tahu saja. Maksudku, kalau setiap orang yang pacaran lalu merasa pacarnya bukanlah orang yang tepat, bukan belahan jiwanya, lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan, kasihan amat yang diputusin. Bagaimana kalau mereka ternyata bukanlah orang yang tepat bagi siapapun? (Aku tahu, ini pikiran paling ngaco. Jadi tidak usah diambil pusing.)
Sekarang coba bayangkan kalau aku juga seperti itu. Mencari orang yang paling tepat untukku. Kemungkinan besar aku tidak akan menemukannya. Maksudku begini, berapa banyak lesbian yang bisa kutemui dalam sebulan? ZERO. NULL. Ini saja kalau bukan S yang mengambil inisiatif lebih dulu, aku tidak akan pernah tahu kalau dia lesbian, apalagi menjadi pacarku. See? I don't even have gaydar on me!
Kembali ke pertanyaanku tadi. Akan kuperjelas pertanyaanku: Sepenting itukah menemukan "the right one"? Berapa banyak kali harus pacaran dengan orang yang salah sebelum akhirnya menemukan yang tepat?
Kupalingkan wajah ke arah S yang sedang asyik membaca buku, lalu kusenggol kakinya. Dia hanya menyahutku dengan "hmmm"-nya yang khas tanpa mengangkat wajahnya dari buku. Kutanyakan saja pendapatnya tentang perihal tadi. Nah, kali ini aku mendapatkan perhatiannya sepenuhnya.
"The right one?" tanyanya, dan aku mengangguk. Aku benar-benar ingin tahu jawabannya. Dan inilah jawabnya.
Whoever the person you're in love with, he/she is the right one. Otherwise, you wouldn't fall in love in the first place."
Jackpot!
Pikirku benar juga apa yang dikatakannya. Kalau dari awal sudah merasa salah, ya tidak bakal jatuh cinta. Iya, kan? Kurasa ya.
Karena merasa telah memperoleh jawaban yang sangat memuaskan, kuberi dia kecupan di pipi. Tapi ternyata di sinilah kekacauan mulai terjadi. S meletakkan bukunya di atas meja, memutar tubuhnya hingga menghadapku. Wajahnya tampak serius.
"Aku cinta kamu, itu artinya kamu orang yang tepat untukku. The right one, kalau mengikuti istilahmu." Pengakuannya membuat hatiku melonjak. "Pertanyaannya," lanjutnya. Kali ini aku was-was. "Apa kamu juga seperti itu terhadapku?"
Aku melongo. Aku bengong. Aku membuka dan menutup mulutku seperti ikan mas koki. Tidak mengatakan "ya" ataupun "tidak." Aku hanya menatapnya, tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulutnya. Selama beberapa saat dia menungguku mengatakan sesuatu, tapi mulutku tidak bisa berbicara di saat ia seharusnya berkata-kata. Dan malam itu dia memunggungiku saat tidur. Pintar sekali kamu, Rae.
Esok harinya dia mogok bicara. Bahkan ketika aku pamit pulang pun dia tidak mengatakan apa-apa. Baiklah, dia sedang emosi. Sedang sewot, kalau kata temanku. Jadi kubiarkan dia tenang dulu. Uh, setidaknya itulah yang kukira. Namun ternyata diamku, lagi-lagi, malah memperburuk keadaan. Setelah disadarkan, baru aku mengambil tindakan.
Kalau kamu belum menentukan pilihanmu, lebih baik akhiri saja hubungan ini. Lebih cepat, lebih baik.
Itu katanya ketika aku menelepon dia untuk meminta maaf dan menjelaskan kenapa aku bengong seperti beo malam itu. Ya ampun, begini nih repotnya pacaran sama yang lebih tua. Gak neko-neko.
Namun harus kuakui bahwa perkataannya itu membuatku sadar. Aku sadar bahwa aku memiliki sesuatu yang berharga. Aku memiliki seseorang yang tahan mendengar kicauanku tentang pikiran-pikiran teraneh yang tak bisa kaubayangkan, yang bersedia menggosokkan minyak gosok di punggungku sebelum tidur (oh ya, aku baru bisa tidur setelah digosoki minyak gosok), yang memberiku kecupan selamat malam dan selamat pagi, yang membuat dadaku sesak oleh bahagia saat dia menatapku, yang membuatku memasang senyum I-just-got-laid yang membuatku terlihat bodoh tapi aku tidak peduli.
Dan di antara segala ketidakpastian, aku tahu pasti bahwa aku tidak ingin kehilangan dia. Aku sudah menetapkan pilihanku sejak awal. Yang harus kulakukan sekarang adalah meyakinkannya bahwa - seperti aku baginya, dia bagiku juga orang yang tepat. The right one.
Ps. Maaf, aku sedang mellow, dan malam ini hujan lebat. Kelebayanku sedang berada pada titik tertinggi, dan aku perlu meredakan kecemasanku. So yeah...
No comments:
Post a Comment