Selama ini bagi gue coming out bukanlah merupakan sebuah pressure. Bukan pula merupakan suatu keharusan. Gue tidak pernah merasa harus memberitahu semua orang-orang terdekat dalam hidup gue mengenai orientasi seksual gue. Namun entah apa yang membuat gue tiba-tiba coming out kepada seorang sahabat yang sudah 13 tahun gue kenal.
Ini merupakan kali ketiga gue coming out, dan lagi-lagi tanpa perencanaan sebelumnya. Ketika itu kami berdua tengah mengobrol mengenai kehidupan masing-masing dan segala dilema yang sedang dihadapi. Usianya 3 tahun lebih tua, sehingga selama ini gue selalu menganggapnya sebagai seorang kakak perempuan yang tidak pernah gue miliki. Begitu juga sebaliknya, dia menganggap gue sebagai adiknya.
Berjam-jam kami mengobrol. Gue bercerita mengenai banyak hal dan dia sesekali memberikan pendapatnya. Dan saat gue coming out, seperti yang gue duga, dia sangat, sangat terkejut. Baginya ini merupakan pengelamannya yang pertama. Gue sahabatnya yang pertama yang lesbian, dan ini pertama kalinya dia menghadapi hal yang berhubungan dengan homoseksual. Well, selalu ada yang pertama untuk segala sesuatunya, bukan?
Seperti yang sudah gue duga dengan reaksinya, begitu pula gue bisa menebak seperti apa responnya. 13 tahun gue mengenalnya, sudah barang tentu gue tahu seperti apa karakternya. Oleh karenanya gue paham betul ketika dia mengingatkan gue akan dosa, dsb. Bahkan dengan jujur dia mengungkapkan mengenai "penyimpangan" atau "penyakit" ini. Katanya, kalaupun gue akan membencinya setelah dia mengatakan semua itu, atau bahkan ingin memukulnya, dia akan terima, karena sebagai sahabat dia harus menyampaikannya. Dan dengan segala hormat gue menerima semua perkataannya.
Kenyataan bahwa dia masih tetap menganggap gue sahabatnya, bagi gue sudah lebih dari cukup. Hey, bahkan pada awalnya gue sendiri sulit menerima keadaan gue sendiri. Malahan sampai sekarang kadang-kadang gue masih berharap kalau gue ini bukan lesbian. Jadi adalah tidak mungkin jika gue memaksakan orang lain untuk bisa mengerti dan paham dalam sekejap mengenai keadaan gue, ya kan? Sudah untung dia masih bisa melihat gue apa adanya, melihat gue sebagai gue dan tidak dari sisi orientasi gue. Sudah lebih dari cukup bahwa dia masih bisa menerima gue.
Obrolan pun berlanjut pada apa yang bisa menjadikan seseorang homoseksual. Dia bertanya, kenapa gue bisa menjadi lesbian. Sesungguhnya, gue sendiri pun tidak tahu. Lalu kemudian dia mencoba mengambil kesimpulan dari cerita-cerita gue yang sebagian besar dia ketahui, bahwa mungkin gue dibesarkan dalam sebuah lingkungan keluarga dimana perempuanlah yang memegang peran penting, yang menjadi tulang punggung.
Mungkin ada benarnya juga, karena sejak kecil gue dibesarkan oleh Oma. Lalu ketika gue beranjak dewasa, gue bisa melihat sendiri bahwa Mama-lah yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Bukan berarti peran Opa dan Papa tidak ada. Ada, tapi tidak seintens peran para perempuan-perempuan perkasa yang membesarkan gue.
Selama ini gue melihat bagaimana perjuangan mereka, yang seringkali tanpa dukungan sang suami, membuat gue berpikir bahwa seorang perempuan bisa hidup sendiri dan mandiri. Sejujurnya, tidak hanya kagum terhadap mereka, namun gue juga merasa iba dengan mereka. Mungkin bukan iba, melainkan lebih kepada perasaan tersentuh dan ingin melindungi. Dan itulah yang kemudian menyebabkan ketertarikan gue pada perempuan. Namun itu masih merupakan kemungkinan. Tidak lantas paten menjadi penyebab gue lesbian.
Apapun kesimpulan kami berdua saat itu, bagi gue yang jauh lebih melegakan adalah dia masih menerima gue apa adanya. 13 tahun, baru pada akhirnya gue sanggup mengutarakannya. Dan 13 tahun adalah waktu yang gue butuhkan untuk mengenali dan mempelajari karakter serta pemikirannya. Atau bisa dibilang 13 tahun adalah waktu yang gue butuhkan untuk mengumpulkan keberanian, sebelum akhirnya gue coming out.
Meski memang ada beberapa teman dekat gue lainnya yang sudah tahu mengenai orientasi gue, dan gue baru mengenal mereka selama kurang lebih 8 tahun. Sehingga menurut gue, lamanya waktu saat kita mengenali seseorang tidak selalu menjadi patokan. Namun untuk tetap berhati-hati adalah sebuah keharusan. Bukan begitu?
2 comments:
Butuh keberanian yang luar biasa untuk berterus terang tentang orientasi sexual kita, sekalipun itu kepada orang yang sangat dekat dengan kita. aku sendiri juga ga pernah punya keberanian seperti kamu. satu kata buat kamu: salut!!!
Apapun pilihan hidup mu/orientasi seksualmu yg penting hidup mu bahagia&you have a courage.Semangat Rae
Post a Comment