Kata orang, hidup adalah misteri. Bagi gue, misteri itu adalah sesuatu yang tak pernah terpecahkan, sehingga ia tetap menjadi misteri. Melihat dan mengalami segala sesuatu hal yang terjadi dalam kehidupan sering membuat gue bertanya "kenapa?" Selama hampir seperempat abad kehidupan gue, pertanyaan kenapa, kenapa dan kenapa selalu berputar dalam benak dan kepala gue; kenapa begini, kenapa begitu, kenapa ini terjadi, kenapa itu tidak terjadi, dsb. Dan tidak jarang gue tidak menemukan jawabannya, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun.
Salah satu "kenapa" yang gue miliki, yang berdampak cukup besar bagi gue, gue peroleh beberapa tahun lalu. Ketika itu gue masih duduk di bangku kuliah, ada seorang dosen yang mengajar Etika Bisnis. Beliau menjalankan sebuah proyek amal dan gue ikut menjadi bagian di dalamnya secara sukarela. Proyeknya yaitu menyediakan tempat penampungan bagi anak-anak jalanan, yang kami sebut sebagai rumah singgah. Gue mengambil bagian dalam mengajar beberapa anak di sana membaca, menulis dan berhitung, yang waktunya disesuaikan dengan jadwal kuliah gue. Sedangkan beberapa sukarelawan lainnya bertugas mengajarkan beberapa keterampilan yang mereka miliki kepada anak-anak itu, sebagai bekal untuk mereka nantinya. Dengan begitu mereka bisa bekerja dan bukannya mengamen, meminta-minta, atau bahkan menjambret untuk mencari uang.
Proyeknya tentu tidak selalu berjalan mulus, karena meskipun ini untuk amal tetap saja masih membutuhkan bantuan dana. Anak-anak itu perlu makan, baju, dan tempat tidur. Namun bukan uang yang menjadi masalah utamanya, melainkan justru masalahnya adalah anak-anak itu sendiri. Banyak di antara mereka yang memilih kabur dari rumah singgah dan kembali pada kehidupan jalanan. Mereka lebih senang hidup di jalanan, bekerja mencari uang, juga bahkan ada yang menajdi pelaku kriminal, dibandingkan tinggal dirumah singgah dan belajar. Belum lagi sering kami mendapatkan surat kaleng atau ancaman dari oknum-oknum yang mengaku sebagai "pemilik" anak-anak itu.
Satu tahun proyeknya dilaksanakan sebelum akhirnya dihentikan dengan alasan konsekuensinya terlalu besar jika sampai ada yang dicelakai, meninggalkan gue dengan sebuah KENAPA besar di kepala gue; kenapa mereka lebih senang hidup terlantar di jalanan dan berkawan dengan para kriminal, kenapa - saat ada yang peduli - mereka malah tidak menginginkannya. Semua pertanyaan-pertanyaan itu berkumpul menjadi sebuah tanda tanya besar. Jawabannya mungkin bisa diperoleh dengan melakukan sebuah riset mendalam mengenai psikologi anak-anak jalanan, baru kemdian bisa diketahui akar permasalahannya apa. Karena, terus terang, proyek amal dengan menyediakan sebuah rumah singgah bagi mereka bukan merupakan sebuah solusi dari inti masalah.
Mari mundur lagi ke beberapa tahun kehidupan gue sebelum proyek amal itu. Suatu hari gue bangun dengan sebuah pertanyaan di kepala gue: kenapa gue lesbian? Gue mulai menyadari ada sesuatu yang tidak lazim dengan diri gue saat mendapati gue lebih tertarik dengan perempuan, sedangkan teman-teman perempuan gue yang lain sedang heboh-hebohnya bermimpi kencan dengan Justin Timberlake atau Nick Carter, atau berusaha mengencani playmaker tim basket sekolah. Sejak saat itu gue pun mulai bertanya pada diri sendiri, kenapa? Bahkan setelah gue akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa gue memiliki preferensi tertentu terhadap perempuan, gue masih saja bertanya kenapa, kenapa dan kenapa.
Zaman sekarang sudah semakin canggih. Segala jenis teknologi memungkinkan diadakannya sebuat riset dan penelitian, terutama pada penelitian yang dilakukan kepada kaum homoseksual; apa yang membuat mereka tertarik pada sesama jenis. Berbagai hipotesis dikemukakan dan diuji, berbagai cara penelitian dilakukan melalui interaksi langsung dengan kaum-kaum homoseksual untuk mendapatkan jawaban yang masuk akal kenapa seseorang bisa menyukai sesama jenis dan agar supaya homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai sebuah penyakit mental.
Apapun hasil risetnya, tetap saja masih ada orang-orang tertentu yang tidak bisa menerima homoseksualitas. Dan bagi gue, seberapa masuk akalnya hasilnya, kadang masih membuat gue bertanya kenapa. Mungkin karena disebabkan oleh kehidupan sebagai lesbian yang dipenuhi dengan ketakutan dan rasa was-was. Takut ketahuan, takut keluar dari lemari, atau harap-harap cemas jangan sampai setiap gerak-gerik tubuh pun meneriakkan lesbian, dan membuat kehidupan jadi berantakan.
Pada suatu titik tertentu, gue akhirnya memutuskan untuk berhenti bertanya kenapa untuk banyak hal dalam kehidupan gue dan memilih untuk bertindak. Instead of living a life miserably, I need to be happy for who I am. We're always being mistreated, misplaced, misunderstood, or underestimated for being homosexual or not. People will always criticizing, but here we are, still around in one piece. We need to stay alive. Dan terus-terusan bertanya kenapa tidak akan membuat gue berubah menjadi tidak lesbian. Tidak juga membuat kehidupan lebih baik.
Seperti saat gue berbicara dengan seorang perwakilan dari sebuah universitas di Australia yang sedang mengadakan expo beberapa waktu yang lalu, katanya dia juga mengalami hal yang sama (bukan soal homoseksual) dan dia juga memiliki banyak pertanyaan kenapa di kepalanya. Katanya, seperti yang gue kuitp, "I've been asking why for so many things. I have so many why's in my head. And then I looked at the mirror and decided to stop asking why and just try to make a difference. Start making a change."
3 comments:
gimana kalau aku malah ga pernah bertanya, "kenapa aku dilahirkan sebagai Lesbian?"
I just live with it.
xoxo,
CCTB
That's the difference: I'm thinking too much. Though I live with it, eventually, Ms. CCTB.
P.S. So you are now officially CCTB. Hahahaha. :D
errrrrr, only in here.
still haven't got the p?
starting to wonder.
rrrr
xoxo
CCTB
Post a Comment