Hujan mengguyur deras tiada henti sejak kemarin malam hingga sore hari tadi. Hanya berhenti selama beberapa saat lalu kemudian turun lagi. Seolah langit tak sanggup lagi menahan curahnya. Cuaca yang tidak bersahabat dan udara yang dingin membuat gue bangun dengan mood jongkok.
Beberapa jam kemudian gue sudah berada di dalam mobil, menyetir sambil mendengarkan lagu. Hari ini gue harus ke kantor polisi untuk mengurus perpanjangan surat izin operasi mobil yang berjarak sekitar 1-1,5 jam perjalanan dari rumah. 2 jam jika keadaan hujan begini.
Wiper kaca bergerak ke kanan dan ke kiri. Gue memandang jalan di depan dengan pikiran yang masih sedikit melayang. Mungkin karena masih mengantuk atau karena kelelahan. Hujan seperti ini mengingatkan gue akan sebuah kejadian yang terjadi saat gue duduk di bangku SMA. Hari itu mungkin hari yang paling buruk yang pernah gue alami.
Pintu kamar kos gue diketuk perlahan dan ketika gue buka, gue mendapati teman gue berdiri di depan gue, basah kuyup dan menangis sesegukan. Untuk sesaat gue bengong, menatapnya dari kepala hingga kaki. Menyadari ada sesuatu yang salah, gue segera menariknya masuk ke dalam kamar sebelum ada orang lain yang melihatnya. Apa nanti kata orang jika mereka melihatnya?
Dia masih terus menangis sambil meremas handuk yang tadi gue lilitkan di punggungnya, sementara gue duduk diam, tidak yakin apa yang sebaiknya gue lakukan. Tangisnya akhirnya mereda setelah beberapa saat. Gue mengambil gelas air putih dari meja samping tempat tidur lalu mengulurkannya padanya. Dia meminum airnya dalam sekali teguk, menyerahkan gelas kosong ke gue, dan berkata, "aku hamil."
Sembilan bulan kemudian, gue dan seorang teman berada dalam sebuah kamar di rumah sakit. Teman gue yang baru saja melahirkan itu duduk di tempat tidur sambil menggendong seorang bayi mungil di dadanya. Wajahnya memancarkan sedikit kebahagian, banyak kelelahan dan lebih banyak lagi ketakutan. Dia mengusap-usap kepala sang bayi sambil matanya menerawang. Tanpa sadar dia berkata, "apa yang harus aku lakukan?" lebih kepada dirinya sendiri.
Suara klakson truk kontainer menendang gue jatuh ke bumi, dan gue kembali fokus pada jalanan di depan. Mengingat peristiwa yang terjadi dengan teman itu gue membuat gue berpikir bahwa alangkah baiknya jika hidup itu memiliki sebuah buku petunjuk. Kalian tahu? Seperti saat membeli Lego yang dilengkapi buku petunjuk mengenai cara-cara menyambung seluruh bagian yang menghasilkan berbagai macam bentuk. Maka buku petunjuk hidup itu diberikan saat kita lahir di dunia, dengan judul di sampul depannya: "Life 101."
Dalam pikiran gue, buku petunjuk hidup itu terbagi dalam beberapa sub bab, misalnya tentang keluarga, hubungan cinta, karir, dsb. Isinya bukan dalam bentuk seperti buku-buku motivasi atau buku renungan yang tersebar di berbagai toko buku yang ditulis oleh banyak penulis, yang penuh dengan uraian atau kisah-kisah inspiratif. Melainkan dalam bentuk pertanyaan yang jawabannya berupa poin-poin atas hal-hal yang seharusnya dilakukan.
Pertanyaannya seputar permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, seperti misalnya "apa yang sebaiknya dilakukan saat hubungan berakhir?", "bagaimana menghadapi bos yang sok pintar?", "bagaimana cara mengatakan pada sahabatmu bahwa pacarnya selingkuh?", "bagaimana cara membesarkan anak di usia muda?", atau "apa yang harus dilakukan ketika orang tua bertengkar tanpa henti?" Bahkan bukunya dilengkapi dengan bagian "Indeks" untuk mempermudah pencarian kata kunci, dan bukunya tersedia dalam ukuran kantong kantong celana agar mudah dibawa kemana-mana. Seperti itu kira-kira. To the point, praktis, mudah diikuti, dan menghemat waktu membaca.
Ya, kadang gue mengharapkan ada sebuah buku petunjuk mengenai menjalani kehidupan dan menghadapi semua permasalahan di dalamnya. Sebuah buku petunjuk yang bisa memberikan solusi dan jawaban. Bukannya gue tidak percaya dengan Tuhan yang merupakan solusi dan jawaban atas semua doa umat manusia. Hanya saja lebih sering gue merasa bahwa gue sangat membutuhkan solusi dan jawaban dari masalah gue secepat dan sesegera mungkin, sementara doa-doa yang gue panjatkan ternyata masih dalam antrian panjang dan bersanding dengan doa-doa dari 7 milyar penduduk bumi lainnya. Bayangkan berapa lama harus menunggu sampai akhirnya doa dikabulkan dan solusi diperoleh.
Kenyataan bahwa buku semacam itu tidak pernah ada, membuat gue melirik figur orang-orang yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, yang lebih bijaksana - selain orang tua gue pastinya - demi mendapatkan setitik pencerahan. Kekurangannya adalah gue mengalami kesulitan bagaimana mengutarakan isi hati dengan kata-kata yang tepat. Mungkin karena disebabkan oleh ketidakmampuan mengekspresikan apa yang gue rasakan dalam kata-kata. Atau mungkin saja karena terlalu banyak hal yang terjadi, terlalu banyak pikiran yang harus diutarakan, sehingga gue sendiri bingung harus mulai dari mana atau apa yang harus dikatakan.
Dan sekali lagi, gue mengharapkan ada sebuah buku petunjuk hidup seperti yang gue sebutkan tadi, yang tentunya juga memuat solusi mengenai bagaimana cara mengutarakan perasaan atau kata tepat apa yang harus dikatakan saat mengutarakan sebuah pikiran, dan bahkan menyebutkan cara-cara untuk bisa curhat atau bertukar pikiran dengan orang tua sendiri. Apapun itu, pastilah bisa sangat membantu orang-orang yang sedang berada dalam ujung keputus-asaan seperti gue ini.
No comments:
Post a Comment