"Destiny has two ways of crushing us... by refusing our wishes... and by fulfilling them." –Henri Frederic Amiel
Kutemukan sepenggal kutipan di atas dalam serial Revenge yang sedang kuikuti sekarang ini. Entah pada episode keberapa dari season kedua. Hanya sekilas pandang kubaca kutipan itu, namun cukup untuk menangkap perhatianku.
Kamu percaya dengan yang namanya takdir? Seorang mentor bimbingan rohani pernah berkata kepadaku, tidak ada yang namanya takdir karena hidup itu penuh dengan pilihan. Apapun yang terjadi sekarang ini ataupun nanti itu adalah karena pilihanmu. Aku lupa apa tepatnya yang sedang kami bahas saat itu. Kala itu aku tidak mengatakan apapun meski dalam hati aku agak sedikit keberatan. Mungkin karena sewaktu kecil Oma sering berkata kepadaku bahwa jalan hidup setiap manusia telah tertulis sejak ia lahir ke dunia. Mungkin pemikiran itu yang tertanam dalam kepalaku, lalu kemudian menjelma menjadi satu dari banyak kenanganku akan Oma.
Sebut saja aku ini konservatif, tapi aku memang percaya dengan yang namanya takdir. Pendapatku berkata bahwa takdir itu sesuatu yang mau tidak mau harus kita terima, harus kita jalani. Tidak ada pilihan lain karena memang sudah seharusnya seperti itu. Sudah semestinya terjadi. Aku ditakdirkan menjadi anak dari kedua orang tuaku. Aku tidak diberi hak ekslusif oleh Tuhan untuk memilih siapa orang tuaku. Tidak satupun manusia bisa. Takdir bagiku juga adalah sesuatu yang pasti, sepasti kematian manusia. Karena kematian itu merupakan bagian dari hidup setiap insan, bahwa kita semua akan kembali berpulang. Seperti itulah aku menggambarkan takdir.
Manusia mana yang tidak memiliki sebuah keinginan, atau harapan, cita-cita, hasrat, atau apapun itu? Aku, yang sering dikata manusia kaku seperti gagang sapu yang berdiri tegak di sudut ruangan, bahkan memiliki kesemuanya itu. Ya, apapun itu yang diingini layaknya oleh manusia lainnya. Lantas setiap keinginan, harap dan asaku itu merupakan bagian dalam takdirku? Pasti tidak semuanya. Maka di sinilah aku kemudian memilih, dalam ketidaktahuanku akan takdirku, jalan hidupku, untuk tetap mengejar apapun itu yang menjadi tujuanku, atau tidak.
Aku seringkali memilih untuk mengejarnya, meski sering tidak berhasil. Bukan karena aku kurang berusaha tapi mungkin saja karena itu bukan menjadi bagianku. Mungkin saja itu menjadi bagian dari orang lain. Seperti kata Mama, kalau sudah rezeki tidak bakal lari kemana. Mau dikejar sampai matipun, kalau bukan rezekimu, tidak bakalan diperoleh. Bukannya yang kukejar itu rezeki, amit-amit jodoh. Itu hanya contoh saja.
Ketika keinginanku untuk melanjutkan kuliah sepertinya bisa tercapai di tahun ini, aku merasa itu merupakan bagian takdirku. Dari situ kemudian akan berlanjut pada jalan hidupku yang selanjutnya. Namun aku juga selalu ingat bahwa ada keinginanku yang memang sesuai dengan takdirku, itu artinya ada keinginan-keinginanku yang lain yang tidak sejalan dengan takdirku. Sebesar apapun keinginanku, sekuat apapun aku berusaha. Karena itu bukan untukku. Jelas aku tidak bisa memiliki segalanya.
Karena, sekali lagi, destiny has two ways of crushing us; by refusing our wishes and by fulfilling them. Yang manapun itu, hanya bisa kujalani saja.
No comments:
Post a Comment