"Say, udah punya pacar belum?"
Begitu isi pesan di BBM yang dikirim sejam sebelum kubuka. Saat itu aku baru saja selesai mengajari keponakanku Bahasa Inggris, dan hendak merebahkan diri di tempat tidur.
Aku sempat mengerutkan kening ketika membaca pesannya. Dikirimi pesan oleh seorang teman yang dulu pernah sama-sama berlangganan di gym dan barengan mengikuti kelas aerobic, tidak terlalu dekat, hanya saja kami bergereja di gereja yang sama, tentu membuatku terheran-heran. Perasaanku mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan permainan comblang-mencomblang ala mak comblang.
Dugaanku ternyata benar. Ketika kubalas pesannya dengan satu kata singkat, "Belum", disertai dengan emoticon tertawa, dia pun melanjutkan siasatnya dengan bertanya apa aku mau dikenalkan dengan seorang temannya. Langusng menolak, tentu saja aku tidak enak. Jadi aku berbasa-basi sedikit dengan bertanya mengenai pria yang hendak dicomblanginya. Oh, baiklah! Aku memang sedikit penasaran, makanya berbasa-basi. Sedikit, lho ya. Catat. Lagipula, aku yang hendak dicomblangi, jadi aku wajib tahu dong. Ngeles.
Nah, dari situ aku tahu bahwa pria yang hendak dikenalkannya padaku itu ternyata teman dekatnya, bahkan, kata dia, sudah seperti keluarga baginya, dan berusia 30-an. Kalau sudah begini ceritanya, pria itu bukan lagi cari pacar, tapi cari calon pendamping hidup selamanya. Haduh, haduh. Untungnya, kali ini aku punya jurus jitu menghindari pencomblangan ini. Kubilang saja kalau tidak lama lagi aku bakal pindah dari sini. Dia bertanya mau ke mana dan untuk apa, maka kuberikan dia penjelasan singkat.
"Yaaaaaa, telat dong gue," katanya setelah kujelaskan. Yah, mau gimana lagi. Enggak jodoh artinya. Lagipula tidak bisa kubayangkan jika sampai harus melalui kembali ajang jodoh-jodohan seperti ini, seperti yang dulu pernah terjadi dan membuatku hampir menikah. Masih ingat, kan, kisahku itu?
Aku jadi ingat, ketika banyak teman-temanku curhat sampai berbusa-busa betapa mereka sangat menantikan hari bahagia itu, aku malah tidak pernah sekalipun memikirkan tentang hal itu. Terlintas dalam pikiranku pun saja tidak. Atau ketika seorang teman dekatku berkata bahwa dia tidak bisa hidup sendirian, dalam benakku aku membatin bahwa kemungkinan besar aku akan menghabiskan sisa hidupku sendirian.
Terlepas dari orientasiku, pernah aku berkata, "Marriage is not my thing." Saat itu aku ditanya oleh seorang sahabatku, "Will you ever be married?", dan begitulah jawabku. Itu dulu. Jauh sebelum aku meletek.
Waktu itu aku berpikir, sampai sekarang juga masih, bagaimana mau menikah, wong mengurus diri sendiri saja tidak becus. Mama masih harus selalu mengingatkanku tentang ini dan itu. Gimana bisa mengurus pasangan dan anak? Mendidik anak tidaklah mudah. Membesarkan anak itu mahal. Belum lagi mengenai kemapanan dalam hal materi. Kalaupun menikah, tentu aku tidak mau hanya bergantung dari penghasilan pasangan. Dan masih banyak hal lainnya yang menjadi pertimbanganku.
Konsekuensinya, selama aku masih berpikir tidak siap padahal menurut orang lain aku sudah cukup umur, adalah selalu ditanyai kapan menikah, atau bahkan terus-terusan dicomblangi. Malah yang terparah itu dikatai nanti keburu tua. Pusing dong, ya? Lama-lama juga biasa kok. Lama-lama bisa cuek. Kadang-kadang bosan juga sih menghadapi pertanyaan dan orang-orang yang kelewat mau ikut campur. Aku ini masih manusia yang memiliki rasa, bukan manusia yang berlagak batu.
Tapi aku lebih memilih mengambil sisi positifnya saja. Kalau ada orang-orang yang seperti itu, kuanggap mereka peduli terhadapku. Kalau hendak dicomblangi, kuanggap itu karena aku memiliki nilai lebih sehingga mereka menominasikanku kepada kenalan, sahabat, ataupun saudara mereka. Sedikit narsis itu tidak mengapa, daripada pusing sendiri.
Dan lagi, aku tidak ingin jika suatu saat aku memang harus menikah, itu hanya karena aku ingin membahagiakan semua orang, seperti pemikiranku pada saat kejadian dulu itu. Atau agar supaya orang-orang berhenti bertanya. Karena yang menjalani hidupku adalah aku sendiri. Bukan orang lain. Kalaupun akhirnya aku menikah, itu artinya aku sudah memikirkan segalanya masak-masak, ratusan kali, sambil mengelilingi lapangan sepak bola ribuan kali.
Tidak mau hal seperti ini kujadikan beban juga. Beban lain, yang entah itu kujadikan beban maupun karena kewajiban, sudah cukup banyak. Aku tidak mau menambah-nambah beban lagi. Menuh-menuhin isi kepala kalau terlalu dipikirkan. Apalagi sekarang ritme tidurku sudah mulai pulih, aku emoh merusaknya dengan pikiran-pikiran yang kurang penting.
Jadi kalau ditanya "will I ever be married?", jawabnya mungkin ya, mungkin tidak. Maksudku, siapa yang tahu kedepannya. Buktinya dulu aku pernah hampir menikah. Jadi sampai sebelum saat itu tiba (lagi), kujalani saja hidupku yang sekarang. Sambil menikmatinya tentu saja.
No comments:
Post a Comment