Malam menjelang larut. Kali ini gue memilih membaca fanfiction dari laptop sebelum tidur. Sesekali terdengar suara tawa renyah dari kamar sebelah. Kedua adik gue mungkin sedang bermain Play Station atau menonton DVD Korea. Suara Mama terdengar samar dari ruang keluarga di lantai bawah. Sedang mengobrol sama Papa mungkin.
Selama beberapa saat suasana cukup hening. Gue larut dalam cerita yang tengah dibaca. Beberapa fic memiliki gagasan yang cemerlang dan jalan cerita yang tak terprediksi, lucu, sedih, dan mengharukan. Chemistry antar pairing yang mereka ciptakan sangat kuat, sampai-sampai gue berpikir bahwa seharusnya karakter-karakter tersebut benar-benar menjadi pasangan dalam cerita yang sebenarnya. Saking asyiknya gue tidak menyadari keributan kecil yang terjadi.
Suara Mama yang tadinya samar, kini meninggi dan terdengar jelas dari dalam kamar. Jelas ada amarah dalam nadanya. Papa yang biasanya diam dan membiarkan Mama mengoceh sesukanya, sekarang malah ikutan bersuara keras. Kaget, gue segera melongokkan kepala dari balik pintu, tepat saat kedua adik gue keluar dari kamar mereka. Keduanya segera turun, bukan untuk menengahi, tapi jelas untuk membela Mama. Sementara gue memilih untuk menonton dari atas, di balik railing.
Waktu kecil, saat gue mungkin baru berusia 7 atau 8 tahun, sesekali mendengar mereka beradu argumen. Ketika itu, Oma pasti langsung membawa gue dan si Tengah masuk ke kamar. Tidak etis jika menyaksikan pertengkaran orangtua. Dan lagi mungkin karena beliau merasa kami terlalu kecil untuk paham. Mungkin adik gue tidak, tapi gue sudah cukup besar untuk mengerti apa yang mereka pertengkarkan. Namun gue tidak memiliki keberanian untuk angkat suara, juga karena usia gue. Hanya ada ketakutan yang melilit perut.
Sekarang agak sedikit berbeda. Seiring bertambah usia, kami bertiga sama-sama mahfum akan alasan di balik adu argumen mereka. Hanya saja, kedua adik gue selalu mampu mengambil tindakan nyata dalam memihak, yaitu Mama. Bungsu malah pernah mecoret wajah Papa dengan tanda silang di semua foto keluarga dengan spidol. Untungnya masih bisa dihapus, meskipun sekarang malah menjadi bahan ledekan yang bakal membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Dan si Tengah pasti selalu siap beraksi jika terjadi sesuatu dengan Mama.
Sementara gue? Gue masih sama seperti gue 17 tahun yang lalu. Memahami, namun tidak ada tindakan nyata. Tidak juga memihak. Ketakutan masih selalu melilit. Bahkan saat itu gue memilih untuk mengunci diri di kamar dan memasang earplugs. Tak mampu menyaksikan atau mendengarkan mereka berdua melontarkan argumen dengan nada kasar, apalagi mendekati mereka berdua.
Kenapa gue tidak bisa memihak? Jangankan memihak, berdiri di tengah pun gue tidak bisa. Somehow, gue lebih suka berada di luar lingkaran, seperti anak bawang. Kenapa? Itu selalu yang menjadi pertanyaan gue. Padahal gue ini anak sulung. Seharusnya berani angkat suara. Berani menentukan pihak. Atau setidaknya berani menengahi. Bukannya sembunyi seperti pengecut, macam kucing yang disiram air.
Mungkin karena Mama sering curhat sama gue. Papa juga begitu, meski jarang. Dan itu yang membuat gue tidak mampu memihak. Atau karena sesuai zodiak, gue ini termasuk orang yang tidak menyukai perpecahan dan keributan. Cukup damai-damai saja.
Oh, tentu saja itu demi penghiburan diri. Karena sebenarnya ketakutan, kecemasan dan putus asa mulai meresap perlahan dan meretakkan jiwa. Dan sungguh, tak ada yang lebih menakutkan dari itu.
4 comments:
Hey, sabar ya. :) Lagian lo diem bukan berarti lo nggak mau mengambil tindakan atau apa. Mungkin lo nggak berani angkat bicara waktu keadaan lagi kaya gitu. Tapi bukan berarti lo nggak guna. Lo berguna juga lahhh, dengan cara ngedengerin curhatan nyokap lo :)
Kopi
ngerti ka, ngerti banget rasanya. semangaat ! :)
Lemme guess. Faberry fanfic?
No, silly. I ship Brittana, in case you forgot. It was Sebastiana! Eh?!
Post a Comment