Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Sunday, 8 January 2012

Kekuatan Hati

Seharusnya hari itu gue menemani Mama dan si Bungsu ke acara resepsi pernikahan. Namun membayangkan banyaknya jumlah undangan yang bakal hadir, membuat gue tidak tertarik untuk datang. Bayangkan saja, ruangan luas yang akan penuh sesak dengan para undangan dan antrian yang dipastikan mengular-ular. Jika ada tawaran yang lebih menarik - apapun itu - untuk menghabiskan malam, akan gue terima dengan senang hati.

Untungnya, seorang teman lama dari sekolah dulu berhasil menghubungi gue sehari sebelum hari H. Sudah sejak lulus SMA kami tidak pernah bertemu. Sempat kehilangan kontak. Namun masih ada Facebook sebagai penyelamat. Jadi gue menerima tawarannya untuk bertemu daripada harus menghadiri resepsi pernikahan. Dan tentu saja membutuhkan waktu selama 30 menit untuk menjelaskan ke Mama kenapa gue malas ikutan, dan menawarkan diri untuk mengantar mereka ke tempat respsi.

Betapa dunia ini hanya selebar daun kelor. Ataukah dunia ini memang luas, hanya saja sudah disesaki oleh manusia yang jumlah populasinya membludak setiap tahunnya, sehingga besar kemungkinan setiap orang akan saling bersinggungan satu sama lain? I'd like to believe so. Maka bukan sebuah kebetulan apabila ternyata sang pengantin pria yang menikah hari itu adalah teman sekolah gue, yang juga berarti teman sekolahnya teman gue. Oh, yang lebih bukan kebetulan lagi adalah mereka berdua dulu merupakan pasangan. Sementara itu, si pengantin wanita adalah kakak dari teman sekolah Bungsu, dan ibu dari pengantin wanita pernah berada dalam satu kelompok dengan Mama saat mereka melakukan tur keliling Cina beberapa tahun yang lalu. You see? I tell you, that's just too much for a coincident.

Dan ketika teman gue mengajak untuk bertemu pada hari itu juga jelas bukan merupakan sebuah kebetulan. Gue tahu dan dia juga tahu hari itu hari pernikahan teman kami (juga mantannya). Kami sama-sama tersenyum saat kami akhirnya bisa bertatap muka. Senyum lama-tidak-berjumpa dan senyum akhirnya-dia-menikah. Ceritanya kenapa mereka akhirnya berpisah, well, tentu saja karena hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua si lelaki. Katakan saja penyebabnya adalah teman gue tidak memiliki mata yang sipit dan dalam darahnya tidak mengalir darah kaum pedagang. Klasik. Namun masih menjadi tren tersendiri bahkan di era yang sudah serba maju seperti sekarang ini.

Atau gue lebih suka menyebutnya "tidak berjodoh", meskipun semua orang dulu menganggap mereka sebagai "The it Couple." Begitu terasa lebih enak daripada menggunakan unsur perbedaan suku bangsa sebagai alasan pemisahan. Patah hati? Sudah pasti. Gue lihat sendiri, entah berapa kali dia menangis. Tapi itu terjadi bertahun-tahun yang lalu dan dia kelihatan baik-baik saja sekarang. Setidaknya itu yang gue perhatikan. Karena jika tidak, gue pasti mengetahuinya dari gelagatnya. Lagipula sekarang dia seorang dokter dan sudah memiliki pasangan. Dia move on dan bahagia.

Gue mencoba memetik sebuah hikmah dari kisah teman gue itu. Yaitu bahwa patah hati merupakan bagian dari cinta dan segala prosesnya. Bahwa jika seseorang berani jatuh cinta, maka ia pun harus berani patah hati. Jika ia siap mencintai, maka ia harus siap kehilangan cinta. Karena segala sesuatu di dunia ini tidak berjalan sendirian, melainkan berdampingan.

Menghargai apa yang dimiliki saat masih memilikinya merupakan salah satu cara untuk bisa melepaskan ketika saatnya tiba harus menghadapi kehilangan. Untuk kemudian move on merupakan langkah selanjutnya. Dan meskipun penuh luka, memar dan tambalan di sana-sini, namun pada akhirnya hati akan bisa bertahan. Jangan pernah meremehkan kekuatan hati seorang manusia, karena ia lebih kuat daripada jenis simpul apapun.

And somehow I believe that heart can heal itself...

No comments: