Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Friday, 20 January 2012

Kala Mereka Tidak Mampu Memahami

Mungkin Mama termasuk seorang ibu yang mengerti anak-anaknya. Terhadap gue misalnya, ia tahu apa makanan kesukaan, warna favorit, kebiasaan-kebiasaan yang baik dan buruk, bahkan sampai pada sifat gue yang sedikit pendiam dan tertutup jika berada di antara keluarga. Untuk yang terakhir itu, Mama sering frustrasi karena katanya gue TERLALU pendiam, sehingga terkesan cuek.

Well, sebenarnya ada alasan kenapa gue sedikit (menurut takaran gue) tertutup dan pendiam. Tapi bukan itu yang ingin gue tulis untuk saat ini. Mungkin nanti, jika saatnya tepat.

Gue juga sedikit banyak mengerti tentang Mama; sifat maupun jalan pikirannya. Gue cukup mengerti sehingga sanggup mendengar keluh kesahnya, yang sepertinya sudah menggunung, tentang beban hidupnya. Dan Mama cukup paham bahwa gue bisa menjadi pendengar yang-tidak-pernah-berkomentar. Namun di antara saling pengertian itu, ada satu hal yang tidak pernah bisa Mama pahami tentang satu-dua hal yang sering gue lakukan: [1] duduk berjam-jam di depan laptop, dan [2] membaca buku.

Gue tidak terlalu ambil pusing jika Mama tidak paham kenapa gue betah duduk berlama-lama di depan laptop. Paling-paling kalau gue sudah mengeluh sakit punggung, pasti tuduhannya dijatuhkan kepada sang laptop. Tapi soal membaca buku, Mama seringkali protes berlebihan. Komentar-komentarnya mengenai kegemaran gue ini juga sesekali menusuk, menancap tepat di hati. Katanya, "Buang-buang duit beli buku, gunanya apa? Dijual ulang juga ga bisa." (Ibaratnya gue ini beli buku untuk dijual lagi. Ouch!)

Bukan salah Mama sepenuhnya jika ia tidak mengerti akan kegiatan membeli dan membaca buku gue. Maksudnya, selama ini juga gue tidak pernah berusaha untuk menjelaskan kepada Mama alasan kenapa gue senang membaca. Yang Mama tahu, sifat gemar membaca ini diturunkan langsung dari Papa. Iya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya memang.

Well, bukannya tidak ingin memberikan penjelasan sekaligus pembelaan diri. Hanya saja betapa kuatpun gue berusaha menjelaskan, Mama tetap tidak akan bisa paham. Sama seperti gue yang tidak akan pernah paham mengapa orang mau saja mengeluarkan banyak uang demi sepotong baju, dan malah perhitungan jika menyangkut soal makanan. (Meskipun gue juga sebenarnya bisa menghabiskan ratusan ribu untuk belanja baju, hanya jika gue sedang membutuhkan sebuah baju.)

Dan lagi, sangat tidak mungkin jika gue katakan bahwa kegiatan membaca itu buat gue adalah suatu kegiatan yang sakral, seperti halnya bercinta. Membaca itu nikmat seperti bercinta; membuka bungkus plastiknya sama seperti foreplay; mencium aroma buku baru sama seperti mencium aroma tubuh pasangan; melahap isi bukunya sama seperti menikmati setiap inci tubuh pasangan dan merasakan sensasi sentuhannya; dan orgasme yang membawa pada puncak kenikmatan langit ketujuh dan membuat tubuh bergetar saat cerita berakhir dan buku ditutup. Benar-benar candu. (Meskipun gue bukan pecandu seks. Catat lho ya.)

Sebuah pemikiran bahwa kemungkinan besar orang-orang tidak akan memahami pemikiran gue yang membuat gue seringkali memilih untuk diam. Gue lebih suka membiarkan mereka dengan pemahamannya sendiri terhadap gue, tanpa harus ada pembenaran ataupun koreksi. Membiarkan ketidakpahaman mereka mengambang di udara.

Seperti itu, maka gue bisa hidup lebih bebas tanpa harus terbebani dengan apa yang dikatakan orang. Tak juga perlu merasa terganggu. Like one said, "People tend to believe what they want to believe, see what they want to see."

2 comments:

Nitz said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Tenggang rasa-lah. Perbedaan ada untuk dipahami (diperangi?).