Semuanya berawal dari tagihan listrik yang membludak. Entah bagaimana bisa tagihan listrik untuk bulan ini melonjak hinggak 4 jutaan rupiah. Tak masuk akal! Tentu saja kami segera mengajukan komplain di kantor PLN. Dan meskipun jika memang jumlah penggunaan listrik di rumah sebanyak itu - yang sepertinya tidak mungkin - kami akan membayarnya. Tapi untuk awalnya, kami hanya ingin kejelasan dengan angka yang tertera pada meteran.
Baru berselang satu hari sejak tanggal pembayaran, tiga orang petugas PLN tiba-tiba datang dengan tujuan memutuskan aliran listrik di rumah. Dan dengan seenak jidatnya, mereka memotong kabel sambungan listrik. Oh, tidak tahukah kalian bahwa kalian baru saja membangunkan singa betina yang sedang tidur? Tidak berselang lima menit setelah petugas-petugas keparat itu pergi, Mama langsung mengaum.
Segera kami berdua berangkat menuju kantor PLN. Seperti yang sudah gue duga, Mama langsung saja mengamuk di sana, membuat semua karyawan terperanjat. Gue cukup berdiri di belakang Mama, agak jauh, dan tidak melakukan apa-apa. Juga tidak berkata-kata. Hanya... bengong. Setelah diberi penjelasan mengenai segala tetek bengek administrasi oleh salah seorang petugas, (yang kelihatannya agak sedikit ketakutan) Mama menyuruh gue ke ATM terdekat untuk melakukan pembayaran. Meski agak ragu meninggalkannya sendirian di sana, gue segera angkat kaki, daripada gue ikutan kena auman.
Lima belas menit kemudian, gue kembali sambil mengayun-ayunkan struk pembayaran ATM layaknya mengayunkan bendera kemenangan. Ternyata sudah ada Papa dan si Tengah yang ikut datang meramaikan suasana. The more the merrier! Mama dan Papa menuntut penggantian kabel, sekaligus menuntut ketiga petugas keparat itu.
Entah bagaimana kejadiannya hingga kami semua berakhir di kantor polisi. Yang jelas melibatkan adu jotos di depan kantor PLN. Sementara Papa dan Mama saling beradu argumen dengan pihak polisi, meminta untuk menghukum tiga petugas bodoh tadi. Lucu ya. Baru beberapa malam yang lalu mereka saling meneriaki satu sama lain, dan sekarang mereka malah meneriaki polisi. Gue memandangi mereka dari sudut ruangan. Pandangan gue beralih dari Papa Mama-polisi-Pama Mama-polisi, seperti sedang menonton pertandingan tenis.
Tiga petugas tadi hampir saja masuk bui jika bukan karena si Tengah tahu-tahu masuk sambil membawa-bawa samurai. Iya, samurai! Dia membawa samurai ke kantor polisi! Entah dari mana dia belinya. Gue hanya mampu melotot sambil menahan tawa. Papa dan Mama berhenti meneriaki polisi. Tiga petugas PLN sedikit ketakutan, dan polisi dengan bingung menatap adik gue itu. Kasus yang tadinya ingin menghukum para petugas keparat itu kini malah beralih pada kasus kepemilikan benda tajam oleh adik gue.
Geblek!
Tapi untunglah semuanya berakhir tanpa ada yang masuk bui. Kabel pun sudah diganti dan lampu kembali menyala.
Ampun deh. Melihat kejadian tadi, gue merasa memiliki keluarga seperti "The Osbournes," yang penuh dengan kekonyolan. If it were a family reality show, we'd surely defeat theirs. Pantaslah jika dijuluki "The Osbournes versi Indonesia."
Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image
Friday, 27 January 2012
Wednesday, 25 January 2012
Retak
Malam menjelang larut. Kali ini gue memilih membaca fanfiction dari laptop sebelum tidur. Sesekali terdengar suara tawa renyah dari kamar sebelah. Kedua adik gue mungkin sedang bermain Play Station atau menonton DVD Korea. Suara Mama terdengar samar dari ruang keluarga di lantai bawah. Sedang mengobrol sama Papa mungkin.
Selama beberapa saat suasana cukup hening. Gue larut dalam cerita yang tengah dibaca. Beberapa fic memiliki gagasan yang cemerlang dan jalan cerita yang tak terprediksi, lucu, sedih, dan mengharukan. Chemistry antar pairing yang mereka ciptakan sangat kuat, sampai-sampai gue berpikir bahwa seharusnya karakter-karakter tersebut benar-benar menjadi pasangan dalam cerita yang sebenarnya. Saking asyiknya gue tidak menyadari keributan kecil yang terjadi.
Suara Mama yang tadinya samar, kini meninggi dan terdengar jelas dari dalam kamar. Jelas ada amarah dalam nadanya. Papa yang biasanya diam dan membiarkan Mama mengoceh sesukanya, sekarang malah ikutan bersuara keras. Kaget, gue segera melongokkan kepala dari balik pintu, tepat saat kedua adik gue keluar dari kamar mereka. Keduanya segera turun, bukan untuk menengahi, tapi jelas untuk membela Mama. Sementara gue memilih untuk menonton dari atas, di balik railing.
Waktu kecil, saat gue mungkin baru berusia 7 atau 8 tahun, sesekali mendengar mereka beradu argumen. Ketika itu, Oma pasti langsung membawa gue dan si Tengah masuk ke kamar. Tidak etis jika menyaksikan pertengkaran orangtua. Dan lagi mungkin karena beliau merasa kami terlalu kecil untuk paham. Mungkin adik gue tidak, tapi gue sudah cukup besar untuk mengerti apa yang mereka pertengkarkan. Namun gue tidak memiliki keberanian untuk angkat suara, juga karena usia gue. Hanya ada ketakutan yang melilit perut.
Sekarang agak sedikit berbeda. Seiring bertambah usia, kami bertiga sama-sama mahfum akan alasan di balik adu argumen mereka. Hanya saja, kedua adik gue selalu mampu mengambil tindakan nyata dalam memihak, yaitu Mama. Bungsu malah pernah mecoret wajah Papa dengan tanda silang di semua foto keluarga dengan spidol. Untungnya masih bisa dihapus, meskipun sekarang malah menjadi bahan ledekan yang bakal membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Dan si Tengah pasti selalu siap beraksi jika terjadi sesuatu dengan Mama.
Sementara gue? Gue masih sama seperti gue 17 tahun yang lalu. Memahami, namun tidak ada tindakan nyata. Tidak juga memihak. Ketakutan masih selalu melilit. Bahkan saat itu gue memilih untuk mengunci diri di kamar dan memasang earplugs. Tak mampu menyaksikan atau mendengarkan mereka berdua melontarkan argumen dengan nada kasar, apalagi mendekati mereka berdua.
Kenapa gue tidak bisa memihak? Jangankan memihak, berdiri di tengah pun gue tidak bisa. Somehow, gue lebih suka berada di luar lingkaran, seperti anak bawang. Kenapa? Itu selalu yang menjadi pertanyaan gue. Padahal gue ini anak sulung. Seharusnya berani angkat suara. Berani menentukan pihak. Atau setidaknya berani menengahi. Bukannya sembunyi seperti pengecut, macam kucing yang disiram air.
Mungkin karena Mama sering curhat sama gue. Papa juga begitu, meski jarang. Dan itu yang membuat gue tidak mampu memihak. Atau karena sesuai zodiak, gue ini termasuk orang yang tidak menyukai perpecahan dan keributan. Cukup damai-damai saja.
Oh, tentu saja itu demi penghiburan diri. Karena sebenarnya ketakutan, kecemasan dan putus asa mulai meresap perlahan dan meretakkan jiwa. Dan sungguh, tak ada yang lebih menakutkan dari itu.
Selama beberapa saat suasana cukup hening. Gue larut dalam cerita yang tengah dibaca. Beberapa fic memiliki gagasan yang cemerlang dan jalan cerita yang tak terprediksi, lucu, sedih, dan mengharukan. Chemistry antar pairing yang mereka ciptakan sangat kuat, sampai-sampai gue berpikir bahwa seharusnya karakter-karakter tersebut benar-benar menjadi pasangan dalam cerita yang sebenarnya. Saking asyiknya gue tidak menyadari keributan kecil yang terjadi.
Suara Mama yang tadinya samar, kini meninggi dan terdengar jelas dari dalam kamar. Jelas ada amarah dalam nadanya. Papa yang biasanya diam dan membiarkan Mama mengoceh sesukanya, sekarang malah ikutan bersuara keras. Kaget, gue segera melongokkan kepala dari balik pintu, tepat saat kedua adik gue keluar dari kamar mereka. Keduanya segera turun, bukan untuk menengahi, tapi jelas untuk membela Mama. Sementara gue memilih untuk menonton dari atas, di balik railing.
Waktu kecil, saat gue mungkin baru berusia 7 atau 8 tahun, sesekali mendengar mereka beradu argumen. Ketika itu, Oma pasti langsung membawa gue dan si Tengah masuk ke kamar. Tidak etis jika menyaksikan pertengkaran orangtua. Dan lagi mungkin karena beliau merasa kami terlalu kecil untuk paham. Mungkin adik gue tidak, tapi gue sudah cukup besar untuk mengerti apa yang mereka pertengkarkan. Namun gue tidak memiliki keberanian untuk angkat suara, juga karena usia gue. Hanya ada ketakutan yang melilit perut.
Sekarang agak sedikit berbeda. Seiring bertambah usia, kami bertiga sama-sama mahfum akan alasan di balik adu argumen mereka. Hanya saja, kedua adik gue selalu mampu mengambil tindakan nyata dalam memihak, yaitu Mama. Bungsu malah pernah mecoret wajah Papa dengan tanda silang di semua foto keluarga dengan spidol. Untungnya masih bisa dihapus, meskipun sekarang malah menjadi bahan ledekan yang bakal membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Dan si Tengah pasti selalu siap beraksi jika terjadi sesuatu dengan Mama.
Sementara gue? Gue masih sama seperti gue 17 tahun yang lalu. Memahami, namun tidak ada tindakan nyata. Tidak juga memihak. Ketakutan masih selalu melilit. Bahkan saat itu gue memilih untuk mengunci diri di kamar dan memasang earplugs. Tak mampu menyaksikan atau mendengarkan mereka berdua melontarkan argumen dengan nada kasar, apalagi mendekati mereka berdua.
Kenapa gue tidak bisa memihak? Jangankan memihak, berdiri di tengah pun gue tidak bisa. Somehow, gue lebih suka berada di luar lingkaran, seperti anak bawang. Kenapa? Itu selalu yang menjadi pertanyaan gue. Padahal gue ini anak sulung. Seharusnya berani angkat suara. Berani menentukan pihak. Atau setidaknya berani menengahi. Bukannya sembunyi seperti pengecut, macam kucing yang disiram air.
Mungkin karena Mama sering curhat sama gue. Papa juga begitu, meski jarang. Dan itu yang membuat gue tidak mampu memihak. Atau karena sesuai zodiak, gue ini termasuk orang yang tidak menyukai perpecahan dan keributan. Cukup damai-damai saja.
Oh, tentu saja itu demi penghiburan diri. Karena sebenarnya ketakutan, kecemasan dan putus asa mulai meresap perlahan dan meretakkan jiwa. Dan sungguh, tak ada yang lebih menakutkan dari itu.
Friday, 20 January 2012
Kala Mereka Tidak Mampu Memahami
Mungkin Mama termasuk seorang ibu yang mengerti anak-anaknya. Terhadap gue misalnya, ia tahu apa makanan kesukaan, warna favorit, kebiasaan-kebiasaan yang baik dan buruk, bahkan sampai pada sifat gue yang sedikit pendiam dan tertutup jika berada di antara keluarga. Untuk yang terakhir itu, Mama sering frustrasi karena katanya gue TERLALU pendiam, sehingga terkesan cuek.
Well, sebenarnya ada alasan kenapa gue sedikit (menurut takaran gue) tertutup dan pendiam. Tapi bukan itu yang ingin gue tulis untuk saat ini. Mungkin nanti, jika saatnya tepat.
Gue juga sedikit banyak mengerti tentang Mama; sifat maupun jalan pikirannya. Gue cukup mengerti sehingga sanggup mendengar keluh kesahnya, yang sepertinya sudah menggunung, tentang beban hidupnya. Dan Mama cukup paham bahwa gue bisa menjadi pendengar yang-tidak-pernah-berkomentar. Namun di antara saling pengertian itu, ada satu hal yang tidak pernah bisa Mama pahami tentang satu-dua hal yang sering gue lakukan: [1] duduk berjam-jam di depan laptop, dan [2] membaca buku.
Gue tidak terlalu ambil pusing jika Mama tidak paham kenapa gue betah duduk berlama-lama di depan laptop. Paling-paling kalau gue sudah mengeluh sakit punggung, pasti tuduhannya dijatuhkan kepada sang laptop. Tapi soal membaca buku, Mama seringkali protes berlebihan. Komentar-komentarnya mengenai kegemaran gue ini juga sesekali menusuk, menancap tepat di hati. Katanya, "Buang-buang duit beli buku, gunanya apa? Dijual ulang juga ga bisa." (Ibaratnya gue ini beli buku untuk dijual lagi. Ouch!)
Bukan salah Mama sepenuhnya jika ia tidak mengerti akan kegiatan membeli dan membaca buku gue. Maksudnya, selama ini juga gue tidak pernah berusaha untuk menjelaskan kepada Mama alasan kenapa gue senang membaca. Yang Mama tahu, sifat gemar membaca ini diturunkan langsung dari Papa. Iya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya memang.
Well, bukannya tidak ingin memberikan penjelasan sekaligus pembelaan diri. Hanya saja betapa kuatpun gue berusaha menjelaskan, Mama tetap tidak akan bisa paham. Sama seperti gue yang tidak akan pernah paham mengapa orang mau saja mengeluarkan banyak uang demi sepotong baju, dan malah perhitungan jika menyangkut soal makanan. (Meskipun gue juga sebenarnya bisa menghabiskan ratusan ribu untuk belanja baju, hanya jika gue sedang membutuhkan sebuah baju.)
Dan lagi, sangat tidak mungkin jika gue katakan bahwa kegiatan membaca itu buat gue adalah suatu kegiatan yang sakral, seperti halnya bercinta. Membaca itu nikmat seperti bercinta; membuka bungkus plastiknya sama seperti foreplay; mencium aroma buku baru sama seperti mencium aroma tubuh pasangan; melahap isi bukunya sama seperti menikmati setiap inci tubuh pasangan dan merasakan sensasi sentuhannya; dan orgasme yang membawa pada puncak kenikmatan langit ketujuh dan membuat tubuh bergetar saat cerita berakhir dan buku ditutup. Benar-benar candu. (Meskipun gue bukan pecandu seks. Catat lho ya.)
Sebuah pemikiran bahwa kemungkinan besar orang-orang tidak akan memahami pemikiran gue yang membuat gue seringkali memilih untuk diam. Gue lebih suka membiarkan mereka dengan pemahamannya sendiri terhadap gue, tanpa harus ada pembenaran ataupun koreksi. Membiarkan ketidakpahaman mereka mengambang di udara.
Seperti itu, maka gue bisa hidup lebih bebas tanpa harus terbebani dengan apa yang dikatakan orang. Tak juga perlu merasa terganggu. Like one said, "People tend to believe what they want to believe, see what they want to see."
Well, sebenarnya ada alasan kenapa gue sedikit (menurut takaran gue) tertutup dan pendiam. Tapi bukan itu yang ingin gue tulis untuk saat ini. Mungkin nanti, jika saatnya tepat.
Gue juga sedikit banyak mengerti tentang Mama; sifat maupun jalan pikirannya. Gue cukup mengerti sehingga sanggup mendengar keluh kesahnya, yang sepertinya sudah menggunung, tentang beban hidupnya. Dan Mama cukup paham bahwa gue bisa menjadi pendengar yang-tidak-pernah-berkomentar. Namun di antara saling pengertian itu, ada satu hal yang tidak pernah bisa Mama pahami tentang satu-dua hal yang sering gue lakukan: [1] duduk berjam-jam di depan laptop, dan [2] membaca buku.
Gue tidak terlalu ambil pusing jika Mama tidak paham kenapa gue betah duduk berlama-lama di depan laptop. Paling-paling kalau gue sudah mengeluh sakit punggung, pasti tuduhannya dijatuhkan kepada sang laptop. Tapi soal membaca buku, Mama seringkali protes berlebihan. Komentar-komentarnya mengenai kegemaran gue ini juga sesekali menusuk, menancap tepat di hati. Katanya, "Buang-buang duit beli buku, gunanya apa? Dijual ulang juga ga bisa." (Ibaratnya gue ini beli buku untuk dijual lagi. Ouch!)
Bukan salah Mama sepenuhnya jika ia tidak mengerti akan kegiatan membeli dan membaca buku gue. Maksudnya, selama ini juga gue tidak pernah berusaha untuk menjelaskan kepada Mama alasan kenapa gue senang membaca. Yang Mama tahu, sifat gemar membaca ini diturunkan langsung dari Papa. Iya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya memang.
Well, bukannya tidak ingin memberikan penjelasan sekaligus pembelaan diri. Hanya saja betapa kuatpun gue berusaha menjelaskan, Mama tetap tidak akan bisa paham. Sama seperti gue yang tidak akan pernah paham mengapa orang mau saja mengeluarkan banyak uang demi sepotong baju, dan malah perhitungan jika menyangkut soal makanan. (Meskipun gue juga sebenarnya bisa menghabiskan ratusan ribu untuk belanja baju, hanya jika gue sedang membutuhkan sebuah baju.)
Dan lagi, sangat tidak mungkin jika gue katakan bahwa kegiatan membaca itu buat gue adalah suatu kegiatan yang sakral, seperti halnya bercinta. Membaca itu nikmat seperti bercinta; membuka bungkus plastiknya sama seperti foreplay; mencium aroma buku baru sama seperti mencium aroma tubuh pasangan; melahap isi bukunya sama seperti menikmati setiap inci tubuh pasangan dan merasakan sensasi sentuhannya; dan orgasme yang membawa pada puncak kenikmatan langit ketujuh dan membuat tubuh bergetar saat cerita berakhir dan buku ditutup. Benar-benar candu. (Meskipun gue bukan pecandu seks. Catat lho ya.)
Sebuah pemikiran bahwa kemungkinan besar orang-orang tidak akan memahami pemikiran gue yang membuat gue seringkali memilih untuk diam. Gue lebih suka membiarkan mereka dengan pemahamannya sendiri terhadap gue, tanpa harus ada pembenaran ataupun koreksi. Membiarkan ketidakpahaman mereka mengambang di udara.
Seperti itu, maka gue bisa hidup lebih bebas tanpa harus terbebani dengan apa yang dikatakan orang. Tak juga perlu merasa terganggu. Like one said, "People tend to believe what they want to believe, see what they want to see."
Tuesday, 17 January 2012
What am I Looking For?
What an odd day today. Di tengah kesibukan, ada yang bertanya, "Apa yang lo cari dalam hidup?" oleh dua orang yang berbeda melalui Twitter dan e-mail. *Lirik Ole*. Mau tidak mau gue jadi ikut bertanya-tanya juga.
Apa yang gue cari dalam hidup? Adakah yang gue cari? Jika menjawab kebahagiaan, sepertinya kurang tepat. Maksud gue, apa yang menjadi definisi dari "kebahagiaan" itu sendiri? Apa aturan standar baku bagi seseorang untuk bisa bahagia? Lalu kenapa juga gue harus tidak bahagia, sehingga ia harus dicari-cari?
Disamping beberapa masalah yang gue hadapi serta kecemasan yang sedikit mengganggu malam-malam gue, kehidupan gue baik-baik saja. Kegiatan sehari-hari pun terlihat normal. Ada satu-dua keinginan gue yang memang belum tercapai, namun itu tidak memengaruhi kehidupan sedikit pun. Seperti weekend kemarin, si Bungsu pulang ke rumah lalu kami bertiga - gue, si Tengah dan si Bungsu - mengurung diri di kamar semalam suntuk, bergantian bermain Play Station.
Esok harinya, bangun agak kesiangan. Sempat meladeni Kopi curhat banci sebentar (itu karena nyumpahin rambut gue ubanan!) lalu gue keluar kamar dan bersih-bersih rumah.Termasuk juga membungkus kembali Pohon Natal beserta ornamen-ornamennya dan pernak-pernik lainnya, yang seharusnya dilakukan sejak minggu lalu.
Di malam hari, setelah semuanya beres, gue mandi lalu mengunci diri di kamar dan melanjutkan menonton Glee yang gue unduh sejak beberapa hari yang lalu. Selesai menonton Glee, (oh, I can't wait for the next episode!) gue lanjut membaca buku sebentar. Buku yang sudah sejak tahun lalu belum juga tamat dibaca, sambil mendengarkan lagu-lagu dari Glee juga.
Dan tadi sempat menonton Red Carpet acara Golden Globe di channel E! bersama Mama, dan ikut mengomentari pakaian yang dikenakan oleh para artis. Lumayan deh, gue bisa cuci mata. Baju-bajunya pada bagus-bagus. Artis-artisnya juga cantik-cantik semua; Kate Beckinsale, Jessica Alba, Naya Rivera (she looked so damn sexy!), Diana Agron, Heidi Klum, dan oh, Zoey Deschanel dong.
Menilik kembali kehidupan gue dari apa yang gue jabarkan tadi, sepertinya gue tidak kekurangan satu pun. Oleh karenanya, gue juga tidak memiliki sesuatu untuk gue cari. Pastinya gue tetap memiliki impian dan cita-cita, dan gue sebaiknya mencari cara bagaimana mewujudkannya. Tapi untuk mencari sesuatu demi melengkapi kehidupan, sepertinya tidak ada. Belum. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti.
Pada intinya, gue merasa cukup puas dengan apa yang gue miliki sekarang. Kalaupun gue mendapatkan sesuatu yang tidak gue cari, ya syukur. Gue masih sempat melakukan beberapa kegiatan yang gue sukai, dan gue menikmatinya. Bagi gue, jalani hidup apa adanya saja. Sedikit terdengar pesimis, tapi begitulah gue menjalani kehidupan. Jalani yang sekarang ada di hadapan gue. Soal "mencari sesuatu", itu bisa diketahui nanti saat roda kehidupan mulai berputar.
Maka menurut gue, tidaklah mengapa jika seseorang tidak memiliki sesuatu yang ingin dicarinya. Dan ya, itu juga tidak bisa disebut tidak bahagia, melainkan soal kepuasan. Karena semuanya hanya masalah waktu. Dan gue hanya ingin menjalani hidup seperti yang sebagaimana seharusnya.
Apa yang gue cari dalam hidup? Adakah yang gue cari? Jika menjawab kebahagiaan, sepertinya kurang tepat. Maksud gue, apa yang menjadi definisi dari "kebahagiaan" itu sendiri? Apa aturan standar baku bagi seseorang untuk bisa bahagia? Lalu kenapa juga gue harus tidak bahagia, sehingga ia harus dicari-cari?
Disamping beberapa masalah yang gue hadapi serta kecemasan yang sedikit mengganggu malam-malam gue, kehidupan gue baik-baik saja. Kegiatan sehari-hari pun terlihat normal. Ada satu-dua keinginan gue yang memang belum tercapai, namun itu tidak memengaruhi kehidupan sedikit pun. Seperti weekend kemarin, si Bungsu pulang ke rumah lalu kami bertiga - gue, si Tengah dan si Bungsu - mengurung diri di kamar semalam suntuk, bergantian bermain Play Station.
Esok harinya, bangun agak kesiangan. Sempat meladeni Kopi curhat banci sebentar (itu karena nyumpahin rambut gue ubanan!) lalu gue keluar kamar dan bersih-bersih rumah.Termasuk juga membungkus kembali Pohon Natal beserta ornamen-ornamennya dan pernak-pernik lainnya, yang seharusnya dilakukan sejak minggu lalu.
Di malam hari, setelah semuanya beres, gue mandi lalu mengunci diri di kamar dan melanjutkan menonton Glee yang gue unduh sejak beberapa hari yang lalu. Selesai menonton Glee, (oh, I can't wait for the next episode!) gue lanjut membaca buku sebentar. Buku yang sudah sejak tahun lalu belum juga tamat dibaca, sambil mendengarkan lagu-lagu dari Glee juga.
Dan tadi sempat menonton Red Carpet acara Golden Globe di channel E! bersama Mama, dan ikut mengomentari pakaian yang dikenakan oleh para artis. Lumayan deh, gue bisa cuci mata. Baju-bajunya pada bagus-bagus. Artis-artisnya juga cantik-cantik semua; Kate Beckinsale, Jessica Alba, Naya Rivera (she looked so damn sexy!), Diana Agron, Heidi Klum, dan oh, Zoey Deschanel dong.
Menilik kembali kehidupan gue dari apa yang gue jabarkan tadi, sepertinya gue tidak kekurangan satu pun. Oleh karenanya, gue juga tidak memiliki sesuatu untuk gue cari. Pastinya gue tetap memiliki impian dan cita-cita, dan gue sebaiknya mencari cara bagaimana mewujudkannya. Tapi untuk mencari sesuatu demi melengkapi kehidupan, sepertinya tidak ada. Belum. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti.
Pada intinya, gue merasa cukup puas dengan apa yang gue miliki sekarang. Kalaupun gue mendapatkan sesuatu yang tidak gue cari, ya syukur. Gue masih sempat melakukan beberapa kegiatan yang gue sukai, dan gue menikmatinya. Bagi gue, jalani hidup apa adanya saja. Sedikit terdengar pesimis, tapi begitulah gue menjalani kehidupan. Jalani yang sekarang ada di hadapan gue. Soal "mencari sesuatu", itu bisa diketahui nanti saat roda kehidupan mulai berputar.
Maka menurut gue, tidaklah mengapa jika seseorang tidak memiliki sesuatu yang ingin dicarinya. Dan ya, itu juga tidak bisa disebut tidak bahagia, melainkan soal kepuasan. Karena semuanya hanya masalah waktu. Dan gue hanya ingin menjalani hidup seperti yang sebagaimana seharusnya.
Thursday, 12 January 2012
What I'm Worried About
Atau malah sebaliknya, ketika justru tidak berharap akan sesuatu, eh, tiba-tiba kamu malah mendapatkannya. Kadang kamu mendapatkannya begitu saja, tanpa usaha. Seolah jatuh dari langit, tepat di hadapanmu. Atau kamu justru memperoleh kesempatan untuk mendapatkannya, namun membutuhkan usaha untuk meraih apa yang ditawarkan kesempatan itu.
Mungkin itulah yang dinamakan misteri kehidupan. Ah, entahlah... Apapun itu namanya, jelas sedikit membingungkan bagaimana cara alam bekerja pada kehidupan manusia. Setidaknya bagi gue. Itulah mengapa ada saat-saat dimana gue tidak berharap akan sesuatu karena siapa tahu dia akan datang dengan sendirinya. Dan benar saja. Seperti saat ini, ketika gue tidak mengharapkan apa-apa, justru datang sebuah kesempatan.
Bukannya gue tidak senang mendapatkan kesempatan untuk memperoleh sesuatu. Hanya saja keadaan seperti ini sedikit membuat gue kesal. Karena ketika gue akhirnya memutuskan untuk menggunakan kesempatan tersebut, maka gue pastinya mulai berharap akan hasil yang baik. Di sinilah letak kejengkelan gue memuncak, yaitu pada saat gue cemas jika ternyata gue sudah menyia-nyiakan kesempatan yang diperoleh.
Terlalu banyak pikiran berkecamuk di kepala gue, menyebabkan gelisah dalam tidur. Terlalu banyak pengandaian yang dipikirkan. Bagaimana jika seandainya hasilnya tidak sebagus yang gue harapkan? Atau, bagaimana jika seandainya gue gagal? Penantian yang berkepanjangan juga membuat gue semakin kepikiran, semakin cemas dan gelisah. Bayangan kekecewaan sudah menghantui bahkan sebelum hasilnya diketahui. Memikirkan cara mengatasi rasa kecewa pun ternyata juga ikut menguras tenaga dan pikiran. Dan ternyata inilah yang menjadi kecemasan gue selama berminggu-minggu belakangan ini.
Apapun hasilnya, semoga cepat selesai. Semoga....
Sunday, 8 January 2012
Kekuatan Hati
Seharusnya hari itu gue menemani Mama dan si Bungsu ke acara resepsi pernikahan. Namun membayangkan banyaknya jumlah undangan yang bakal hadir, membuat gue tidak tertarik untuk datang. Bayangkan saja, ruangan luas yang akan penuh sesak dengan para undangan dan antrian yang dipastikan mengular-ular. Jika ada tawaran yang lebih menarik - apapun itu - untuk menghabiskan malam, akan gue terima dengan senang hati.
Untungnya, seorang teman lama dari sekolah dulu berhasil menghubungi gue sehari sebelum hari H. Sudah sejak lulus SMA kami tidak pernah bertemu. Sempat kehilangan kontak. Namun masih ada Facebook sebagai penyelamat. Jadi gue menerima tawarannya untuk bertemu daripada harus menghadiri resepsi pernikahan. Dan tentu saja membutuhkan waktu selama 30 menit untuk menjelaskan ke Mama kenapa gue malas ikutan, dan menawarkan diri untuk mengantar mereka ke tempat respsi.
Betapa dunia ini hanya selebar daun kelor. Ataukah dunia ini memang luas, hanya saja sudah disesaki oleh manusia yang jumlah populasinya membludak setiap tahunnya, sehingga besar kemungkinan setiap orang akan saling bersinggungan satu sama lain? I'd like to believe so. Maka bukan sebuah kebetulan apabila ternyata sang pengantin pria yang menikah hari itu adalah teman sekolah gue, yang juga berarti teman sekolahnya teman gue. Oh, yang lebih bukan kebetulan lagi adalah mereka berdua dulu merupakan pasangan. Sementara itu, si pengantin wanita adalah kakak dari teman sekolah Bungsu, dan ibu dari pengantin wanita pernah berada dalam satu kelompok dengan Mama saat mereka melakukan tur keliling Cina beberapa tahun yang lalu. You see? I tell you, that's just too much for a coincident.
Dan ketika teman gue mengajak untuk bertemu pada hari itu juga jelas bukan merupakan sebuah kebetulan. Gue tahu dan dia juga tahu hari itu hari pernikahan teman kami (juga mantannya). Kami sama-sama tersenyum saat kami akhirnya bisa bertatap muka. Senyum lama-tidak-berjumpa dan senyum akhirnya-dia-menikah. Ceritanya kenapa mereka akhirnya berpisah, well, tentu saja karena hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua si lelaki. Katakan saja penyebabnya adalah teman gue tidak memiliki mata yang sipit dan dalam darahnya tidak mengalir darah kaum pedagang. Klasik. Namun masih menjadi tren tersendiri bahkan di era yang sudah serba maju seperti sekarang ini.
Atau gue lebih suka menyebutnya "tidak berjodoh", meskipun semua orang dulu menganggap mereka sebagai "The it Couple." Begitu terasa lebih enak daripada menggunakan unsur perbedaan suku bangsa sebagai alasan pemisahan. Patah hati? Sudah pasti. Gue lihat sendiri, entah berapa kali dia menangis. Tapi itu terjadi bertahun-tahun yang lalu dan dia kelihatan baik-baik saja sekarang. Setidaknya itu yang gue perhatikan. Karena jika tidak, gue pasti mengetahuinya dari gelagatnya. Lagipula sekarang dia seorang dokter dan sudah memiliki pasangan. Dia move on dan bahagia.
Gue mencoba memetik sebuah hikmah dari kisah teman gue itu. Yaitu bahwa patah hati merupakan bagian dari cinta dan segala prosesnya. Bahwa jika seseorang berani jatuh cinta, maka ia pun harus berani patah hati. Jika ia siap mencintai, maka ia harus siap kehilangan cinta. Karena segala sesuatu di dunia ini tidak berjalan sendirian, melainkan berdampingan.
Menghargai apa yang dimiliki saat masih memilikinya merupakan salah satu cara untuk bisa melepaskan ketika saatnya tiba harus menghadapi kehilangan. Untuk kemudian move on merupakan langkah selanjutnya. Dan meskipun penuh luka, memar dan tambalan di sana-sini, namun pada akhirnya hati akan bisa bertahan. Jangan pernah meremehkan kekuatan hati seorang manusia, karena ia lebih kuat daripada jenis simpul apapun.
And somehow I believe that heart can heal itself...
Untungnya, seorang teman lama dari sekolah dulu berhasil menghubungi gue sehari sebelum hari H. Sudah sejak lulus SMA kami tidak pernah bertemu. Sempat kehilangan kontak. Namun masih ada Facebook sebagai penyelamat. Jadi gue menerima tawarannya untuk bertemu daripada harus menghadiri resepsi pernikahan. Dan tentu saja membutuhkan waktu selama 30 menit untuk menjelaskan ke Mama kenapa gue malas ikutan, dan menawarkan diri untuk mengantar mereka ke tempat respsi.
Betapa dunia ini hanya selebar daun kelor. Ataukah dunia ini memang luas, hanya saja sudah disesaki oleh manusia yang jumlah populasinya membludak setiap tahunnya, sehingga besar kemungkinan setiap orang akan saling bersinggungan satu sama lain? I'd like to believe so. Maka bukan sebuah kebetulan apabila ternyata sang pengantin pria yang menikah hari itu adalah teman sekolah gue, yang juga berarti teman sekolahnya teman gue. Oh, yang lebih bukan kebetulan lagi adalah mereka berdua dulu merupakan pasangan. Sementara itu, si pengantin wanita adalah kakak dari teman sekolah Bungsu, dan ibu dari pengantin wanita pernah berada dalam satu kelompok dengan Mama saat mereka melakukan tur keliling Cina beberapa tahun yang lalu. You see? I tell you, that's just too much for a coincident.
Dan ketika teman gue mengajak untuk bertemu pada hari itu juga jelas bukan merupakan sebuah kebetulan. Gue tahu dan dia juga tahu hari itu hari pernikahan teman kami (juga mantannya). Kami sama-sama tersenyum saat kami akhirnya bisa bertatap muka. Senyum lama-tidak-berjumpa dan senyum akhirnya-dia-menikah. Ceritanya kenapa mereka akhirnya berpisah, well, tentu saja karena hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua si lelaki. Katakan saja penyebabnya adalah teman gue tidak memiliki mata yang sipit dan dalam darahnya tidak mengalir darah kaum pedagang. Klasik. Namun masih menjadi tren tersendiri bahkan di era yang sudah serba maju seperti sekarang ini.
Atau gue lebih suka menyebutnya "tidak berjodoh", meskipun semua orang dulu menganggap mereka sebagai "The it Couple." Begitu terasa lebih enak daripada menggunakan unsur perbedaan suku bangsa sebagai alasan pemisahan. Patah hati? Sudah pasti. Gue lihat sendiri, entah berapa kali dia menangis. Tapi itu terjadi bertahun-tahun yang lalu dan dia kelihatan baik-baik saja sekarang. Setidaknya itu yang gue perhatikan. Karena jika tidak, gue pasti mengetahuinya dari gelagatnya. Lagipula sekarang dia seorang dokter dan sudah memiliki pasangan. Dia move on dan bahagia.
Gue mencoba memetik sebuah hikmah dari kisah teman gue itu. Yaitu bahwa patah hati merupakan bagian dari cinta dan segala prosesnya. Bahwa jika seseorang berani jatuh cinta, maka ia pun harus berani patah hati. Jika ia siap mencintai, maka ia harus siap kehilangan cinta. Karena segala sesuatu di dunia ini tidak berjalan sendirian, melainkan berdampingan.
Menghargai apa yang dimiliki saat masih memilikinya merupakan salah satu cara untuk bisa melepaskan ketika saatnya tiba harus menghadapi kehilangan. Untuk kemudian move on merupakan langkah selanjutnya. Dan meskipun penuh luka, memar dan tambalan di sana-sini, namun pada akhirnya hati akan bisa bertahan. Jangan pernah meremehkan kekuatan hati seorang manusia, karena ia lebih kuat daripada jenis simpul apapun.
And somehow I believe that heart can heal itself...
Wednesday, 4 January 2012
People can Change
Bolehlah menyebut gue bukan seorang pribadi yang religius. Tidak. Bukan kafir. Ataupun Atheist. Meskipun jarang menyentuh Kitab Suci, namun gue masih tahu beberapa kisah di dalamnya beserta maknanya. Dan gue masih memiliki keyakinan akan iman gue yang meskipun mungkin baru sebesar biji sesawi, namun siapa tahu bisa memindahkan gunung.
Biara Karmel merupakan biara yang dihuni oleh para biarawati yang perannya sedikit berbeda dengan biarawati yang selama ini gue kenal. Mereka merupakan bagian dari sebuah ordo yang disebut: Ordinis Carmelitarum Discalceatorum (Ordo Karmel tak Berkasut). Tugas utama biarawati Karmel adalah melayani umat dengan membantu mendoakan ujud-ujud permohonan mereka. Jadi setiap umat yang datang pasti membawa serta ujud permohonan mereka, yang kemudian didiskusikan dengan seorang biarawati. Sang biarawati pun nantinya akan mendoakan setiap permohonan setiap pukul 12 malam, di sebuah pekarangan tempat mereka berdoa. Mungkin mengikuti cara Yesus berdoa sebelum Ia disalibkan.
Ketika tiba giliran kami, kami segera diantar ke sebuah ruangan yang cukup luas dengan jeruji besi yang memisahkan ruangan tersebut dengan sebuah ruangan lainnya. Kami duduk di satu sisi ruangan, sementara biarawati yang melayani kami duduk di sisi ruangan lainnya.
Sambil menunggu biarawati yang mungkin keluar untuk menenggak segelas air atau meluruskan punggungnya, gue meraih sebuah kalender di atas meja, membolak-balik halamannya dan memerhatikan setiap gambar yang memotret berbagai kegiatan di biara, di samping angka-angka yang menunjukkan tanggal. Gue berhenti membalik halaman di bulan Juni dan mengamati dengan lebih cermat gambar yang tertera di sana. Seorang biarawati yang memegang sebuah buku doa, kepalanya sedikit menunduk. Ada Pastor berdiri di depannya, tangannya terulur di atas kepala biarawati tadi. Tidak mungkin. Tidak mungkin itu dia. Biarawati itu. Pasti mata gue salah. Namun keterangan di bawah gambar mengatakan bahwa benar biarawati itu adalah orang yang gue kenal. Betul itu namanya yang tertulis di sana. Dan di gambar itu ia tengah menerima kaul - membuatnya menjadi biarawati termuda di biara itu.
Pikiran gue sejenak kembali ke masa SMA. Perempuan itu dulu adalah kakak kelas gue. Mempesona karena sisi liarnya, populer karena jumlah laki-laki yang dipacarinya. Dia dan rok mini seperti amplop dan perangko. Baju selalu yang berbelahan rendah. Namun yang paling menggemparkan, setidaknya bagi gue, adalah ketika gue memergokinya sedang berciuman dengan seorang siswa laki-laki di dalam mobil yang diparkir tepat di luar, di depan jendela kelas gue. Lip locking.
Dan sekarang ia menjadi biarawati. Karmel pula!
Entahlah, nampaknya lebih mudah dipercaya jika membayangkannya berada dari satu pesta ke pesta lainnya. Bukannya di biara Karmel ini. Namun gue menampik bayangan itu segera dari pikiran gue. Memang lebih mudah untuk menghakimi seseorang dari masa lalunya. Dan kenyataan bahwa seseorang bisa berubah 180 derajat sulit untuk dimengerti.
Seseorang memang bisa berubah. Menjadi lebih baik tentu saja. Yang dibutuhkan adalah kemauan dan tekad. Jadi ingat ketika memberikan saran perubahan untuk seorang teman dan dia malah ngeyel terus-terusan. Katanya, "Gue ini sudah dari sananya begini, Rae. Yang seharusnya dilakukan orang-orang adalah mengerti dan menerima keadaan gue yang seperti ini." Sungguh, dia mengharapkan orang lain untuk menerima dirinya apa adanya, sementara dia sendiri tidak bisa memahami keadaan orang lain?
Mungkin inilah yang rancu dari kalimat "bisa menerima gue apa adanya" ketika seseorang mencari pasangan. Memang ketika mencintai seseorang maka segala sesuatunya, baik kelebihan maupun kekurangan, seharusnya tidak menjadi masalah. Karena keduanya bisa saling menerima apa adanya. Akan tetapi, adalah salah jika meminta pasangan untuk terus-terusan memahami dan menerima setiap kekuarangan. Yang diperlukan adalah perubahan untuk meminimalisir dampak buruk dari kekurangan masing-masing terhadap sebuah hubungan.
Bukannya gue ini sempurna. Bahkan, hey, hubungan cinta gue pun harus kandas karena gue masih belum bisa mengatasi berbagai kekuarangan dalam diri gue sendiri. Karena mungkin lebih mudah untuk tidak berubah dan selalu mengharapkan orang lain untuk memahami kita. Dan masalah pun selesai tanpa benar-benar diselesaikan, dengan cara menyalahkan pihak lain yang tidak mampu mengerti keadaan kita.
Namun itu hanya merupakan contoh kecil. Kini sudah saatnya gue berhenti mengelak dan memulai perubahan untuk diri gue sendiri. Ini sudah tahun yang baru, gitu lho! Dan katanya perubahan besar harus dimulai dari yang kecil dulu. Jadi seharusnya gue mulai merubah hal-hal kecil yang sering gue lakukan, yang tidak baik, dan yang terpenting adalah kebiasaan buruk yang selalu membuat Mama naik pitam.
Tunggu dulu. Bukannya gue bertekad untuk berubah lalu mengikuti jejak teman gue itu dan menjadi biarawati. Aduh, tidak sanggup! Tapi maksud gue adalah berubah menjadi manusia yang lebih baik demi kehidupan yang juga lebih baik. Itu saja.
Ketika selesai, kami keluar dan melewati sebuah ruangan lain. Di sana, di balik jeruji, dia duduk berhadapan dengan dua orang yang datang untuk berdoa. Ketika melewatinya, dia memanggil nama gue. Itu benar suaranya. Kami bersalaman lalu gue pun pulang, masih sambil menerka-nerka apa yang terjadi dengannya dan yang membuatnya menjadi biarawati.
Ps. Sudah tahun 2012, tapi kebiasaan gue meracau masih terus saja dibawa. Erk!
Subscribe to:
Posts (Atom)